Rabu, Januari 26, 2005

CATATAN HARIAN 1
Tsunami: Semoga Bukan Kado Ulang Tahun

SABTU, 25 Desember 2005. Syukuran kecil-kecilan kami adakan di kantor. Saat itu, kawan-kawan meminta ditraktir atas bertambahnya usia saya yang ke-25. Saya memenuhinya dengan membeli ikan laut. Hari itu kami membakar ikan. Bukan pesta besar laiknya orang merayakan ulangtahun. Saya tidak kuasa, dan memang tidak mempunyai niat untuk merayakan ultah. Karena, orangtua saya tidak pernah memperkenalkan tradisi yang demikian. Saya tidak menyesal, malah bangga.

Acara itu lenyap, seiring matinya bara api di pembakaran. Tempurung kelapa yang kami gunakan, lenyap tak berbekas. Acara kami sudahi, menjelang pukul 15.00 WIB. Tak ada seremoni selain itu. Kecuali, saya memanjatkan doa kepada Tuhan, atas perpanjangan umur ini.

Menjelang dinihari pada Sabtu itu, seorang kawan dekat saya, Dyna, mengirimi pesan pendek mengucapkan selamat ulang tahun. Saya tidak menyangka, itu pesan pendek yang terakhir dari Dyna Keumala. Sampai saat ini, saya tidak bisa menghubungi dia. Dan, tidak mendapat kabar dari dia. Gelap!

Dyna tinggal di kawasan Surin, dekat kampus Universitas Iskandar Muda (Unida). Daerah itu termasuk salah satu kawasan yang sangat parah kerusakannya.

***

Di pagi Minggu, ketika bersiap-siap ke Gelora Bung Karno di Senayan, saya dikabari ada gempa di Medan dan Aceh. Saya cuek aja, karena berpikir itu imbas dari Medan.

“Sudah ada yang kirim laporan gempa di Aceh?” tanya Murizal, melalui sambungan telepon. Tidak biasanya dia menelepon saya menggunakan telepon rumah.

“Belum,” jawab saya, sembari menuruni tangga lantai dua kantor saya.

“Dahsyat gempanya. Sambungan HP, putus total,” katanya.

“Nanti saja Bang. Saya mau pergi.”

Saya menutup HP dan melangkah pergi. Satu kardus majalah saya angkat. Rencananya akan dijual di sana. Tuahta, siap memasarkan majalah kepada warga Aceh yang hadir dalam acara Halal bi Halal warga Aceh se-Jabotabek dan Banten di Senayan. Hadir dalam acara itu, Wapres Jusuf Kalla dan Wagub Aceh Azwar Abubakar.

Saya memasukkan kardus berisi majalah ke dalam bagasi taksi yang telah dicater Tuah. Nada terima sandek, berbunyi dari HP saya.

Sebuh SMS mengabarkan ada gempa, saya terima dari Dandhy D Laksono, bos saya. Lama saya memandangi SMS itu. Saya bimbang. Pergi ke Senayan, atau kembali duduk di depan komputer.

“Saya nggak jadi pergi,” kata saya pada Tuah. “Nanti menyusul.”

Saya berpikir, saya bisa mengerjakan satu tulisan, setelah itu langsung meluncur ke Senayan.

Gagang telepon saya raih. Saya memencet nomor HP Murizal. Tak bisa dihubungkan. Sebuah nomor yang tadi digunakan Murizal, saya gunakan untuk menghubungi dia. Beruntung, masih bisa dihubungi.

“Gempa tadi sangat dahsyat,” kata dia. “Orang-orang banyak yang berkumpul di luar rumah. gempanya besar sekali. Di Lampriet, jembatan agak turun.”

Saya masih menganggap itu biasa. Belum ada bayangan dan perkiraan bahwa itu gempa besar yang belakangan, mematikan tanah tempat saya besar.

Informasi saya kumpulkan dari Murizal.

Tak puas, saya menghubungi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Mata Ie, Banda Aceh. Masih juga bisa disambung. “Saya dengar Aceh diguncang gempa?” tanya saya kepada seorang petugas BMG.

“Iya, gempanya kuat,” kata Yasir, petugas BMG.

Menurut Yasir, gempa mengguncang Aceh sejak pada pukul 07.59 WIB, Gempa susulan sampai saat ini masih terjadi. “Sampai sekarang (pukul 09.00 WIB –red.), kawat pencatat gempa masih jalan,” lanjutnya.

“Berapa skala pada Riechter?”

“Kita belum bisa mengetahui skala-nya. Gempa ini berkisar antara 6 sampai 7 Modified Mercalli Intensity (skala yang bisa dirasakan),” balasnya.

Ketika saya menanyakan kerusakan yang ditimbulkan gempa, Yasir belum bisa memberikan informasinya. “Kami belum menerimanya.”

Perbincangan saya dengan Murizal dan Yasir dari BMG, terjadi antara pukul 08.45 hingga 09.05 WIB. Setelah merasa informasi yang saya perlukan lengkap, saya menulis berita dengan judul, Aceh Diguncang Gempa.

Saya terus berusaha mendapatkan informasi dari kawan-kawan di Banda Aceh. Ketika saya menghubungi Murizal dan Yasir di BMG, tak ada satu pun yang tersambung. Lalu, saya menelpon dua kawan saya di Banda Aceh. Juga tidak bisa.

Tak berapa lama, saya memencet nomor Enida, kawan saya yang sudah berangkat ke Senayan. Saya meminta dia melihat nomor telepon keluarga saya di Pidie dan kawan saya di Meulaboh, yang tertera di memori HP saya. Tak tahu, kenapa tiba-tiba saya teringat Meulaboh.

Setelah mengetahui dua nomor ke Pidie dan Meulaboh, saya menelepon keduanya. Juga tidak bisa dihubungi. “Parah,” batin saya.

Hati semakin tidak tenang. Saya teringat ibu yang lagi sakit di kampung. Teringat ayah, kakak, abang dan ipar. Saya juga teringat keponakan saya yang masih kecil dan lagi lucu-lucunya.

Selain itu, saya juga teringat Sofa di Meulaboh. Dia salah satu kawan saya paling akrab. Ke mana-mana kami selalu berdua, jika tidak ditemani beberapa kawan kuliah. Dia sudah saya anggap kakak, karena memang lebih tua. Keluarga dia, sudah seperti keluarga sendiri. Terakhir saya telepon dia, ketika hari raya Idul Fitri. Saya bisa bicara panjang lebar dengan dia, ibunya, dan adiknya, Nurul.

Tak berapa lama, saya menelepon Nurul, di Banda Aceh. Dia tinggal di Desa Cadek, Aceh Besar. Desa dekat pantai. Tidak ada sambungan. Saya menelepon Adi dan Yuswardi. Nasibnya sama: tidak tersambungkan. Terakhir saya kontak dia, empat hari sebelum musibah. Ketika saya telepon, dia berada di rumah bibinya, di Desa Kajhu, yang hanya berjarak 500 meter dari bibir pantai. Setelah itu, entah mengapa saya agak jarang menelepon. Padahal, biasanya, saban malam saya menelepon dia.

Semakin sesak dada ini. Namun, belum ada perasaan apa-apa di benak. Hingga siang, saya terus menghubungi mereka, orang-orang terdekat saya. Satu-satunya jalur yang bisa saya hubungi adalah Bireuen, dan Lhokseumawe. Dari mereka, saya peroleh banyak informasi.

“Sudah 35 jenasah warga yang meninggal akibat air laut naik dan gempa yang merubuhkan rumah,” kata kawan saya di Bireuen. Dia stand by di Puskesmas Krueng Mane, Aceh Utara.

Banjir! Wah, saya tidak menyangka, gempa yang disusul banjir. Memakan korban lagi. Saat itu, saya masih saja tidak percaya demikian dahsyat akibatnya.

“Kamu lihat jenasahnya?” saya belum begitu yakin.

“Saya berdiri di antara tumpukan jenasah,” balas kawan dari ujung telepom. “Jenasah terus berdatangan.”

Apa!?!

Saya terdiam.

Hingga menjelang malam, saya masih mengontak kawan-kawan, untuk memberikan laporan tentang gempa. Belum ada kosakata tsunami pada saya saat itu. Saya terus mencari tahu, sesekali keluar menonton televisi yang terus memutar informasi gempa di Aceh. Dari siaran televisi swasta nasional itu pula, saya tahu, kerusakan parah.

Hari itu saya tutup dengan perasaan sedih. Menjelang pukul 03.00 WIB dinihari, Senin, saya beranjak ke peraduan. Saya tertidur lelap. Mata saya perih dan lelah, akibat seharian memelototi layar komputer. Belum ada kabar dari Banda Aceh, Meulaboh dan Pidie, tempat orang-orang terdekat saya berada.

Malam menenangkan saya dalam mimpi. Entah apa mimpi saya malam itu, saya pun tidak ingat, pada pagi harinya.

***

Pukul 08.30 WIB, saya baru terjaga. Guyuran air menyegarkan tubuh saya yang lelah dan penat. Mandi saya percepat.

Setelah membuah segelas teh hangat, saya meraih gagang telepon. Saya mencoba menghubungi Meulaboh, Banda Aceh dan Pidie. Masih belum bisa. Sayup-sayup, di hari kedua itu, saya mendengar kerusakan parah di Meulaboh dan Banda Aceh. Pasalnya, pusat gempa ada di dekat Pulau Simeulue dan Meulaboh.

Perasaan saya masih tenang. Saya masih bisa tertawa. Sementara kawan saya, sudah meneteskan airmata sejak hari pertama. Entah kenapa, saya masih bisa tertawa hingga hari kedua.

Sebuah SMS dari Sulaiman Tripa mampir di HP. “Saya mau ke kantormu.” Begitu bunyi SMS yang ditulis dalam bahasa Aceh. Tak berapa lama, dia muncul.

“Hancur sudah kampung kita,” ujar Sulaiman. “Tadi saudara saya menghubungi saya melalui wartel,” ujarnya.

“Wartel,” saya terheran.

“Dia pake HP Satelite.”

“Mana nomornya.”

Bergegas saya menekan angka di box telepon. Perasaan saya dag-dig-dug.

“Bapak Muhammad Ali,” ujar saya sembari memperkenalkan diri.

“Saya dengar Banda Aceh gempa dan banjir…” belum lagi habis saya bebicara, dia langsung menimpali.

“Iya, banjirnya besar sekali,” ujarnya.

Ali, warga Simpang Surabaya. Dari dia saya tahu di Banda Aceh banyak korban berjatuhan. Dan, merupakan daerah terparah dilanda gempa dan tsunami. Banyak jenasah yang belum dievakuasi, kata Ali.

“Saya yakin 2.000 orang (tewas) yang sudah dievakuasi. Saya sendiri angkat 100 mayat kemarin,” kata Ali kepada acehkita melalui telepon satelit.

Menurutnya, korban tewas terbanyak berada di sekitar Lapangan Blang Padang, yang terletak di jantung kota Banda Aceh, karena kemarin di lokasi itu ada kegiatan senam pagi rutin yang digelar setiap minggu. Di lokasi itu pula, Ali menyaksikan sejumlah korban tewas di dalam mobil karena terendam air.

“Saya perkirakan korban di situ ada 300 orang,” katanya.

Saya terdiam. Perasaan ragu masih menyelimuti. Antara percaya dengan tidak akan keterangan Ali. “Kalau kita berdiri di Lampaseh, kita udah bisa lihat laut Ulee Lheue,” kata Ali.

Saya semakin terdiam. Beberapa saat kemudian, saya sadar, bahwa sedang mewawancara. Bagaimana pun, saya harus bisa menggali pertanyaan lebih banyak dari dia. Saya singkirkan perasaan bersedih. Beberapa waktu, berhasil. Namun, keterangan yang diberikan Ali, membuat saya tidak bisa bertahan. Wawancara hampir setengah jam itu, saya sudahi. Padahal, masih banyak pertanyaan yang harus saya konfirmasi ke dia.

“Bapak itu bilang, dua reo tersangkut di pertokoan,” terang saya pada Dandhy. “Apa mungkin? Saya ragu.”

“Mungkin saja. Karena kita tidak tahu gimana kondisi di sana,” katanya.

“Atau yang ini nggak usah ditulis saja, ya. Soalnya, saya masih ragu,” lanjut saya.

“Tulis aja. Bisa saja kan kalau tsunami,” Dandhy berusaha meyakinkan saya.

Beberapa perkataan Pak Ali masih terngiang di telinga saya. “Kalau kita berdiri di Lampaseh, kita udah bisa lihat laut Ulee Lheue.”

“Ada orang yang meninggal dalam mobil.”

“Ketika saya angkat satu jenasah, di bawahnya masih tertimbun jenasah.”

Itu adalah beberapa kalimat yang masih melekat di ingatan saya. Hingga kini!

Saya mendikte hasil wawancara. Dandhy yang menulis berita. Tak berapa lama, berita pertama dari Banda Aceh itu, kelar dan tayang di situs. Untuk media online, kami salah satu media pertama yang mendapat laporan dari Banda Aceh. Saya senang. Tersungging senyum di bibir saya, yang kelu.

Sebuah perasaan sakit, hinggap di tekuk saya. Sakit menjalar hingga ke kepala. Saya tidak tahu mengapa. Beberapa saat, saya pusing, tapi tidak parah. Saya menundukkan kepala di atas kursi.

“Kenapa, Dzie?” tanya Dandhy.

“Nggak tau, tiba-tiba kepala saya sakit.”

Dalam sakit, saya terus memainkan HP. Padahal, saya tidak hendak menelepon, dan berkirim SMS. Tak ada tujuan, saya memegang HP.

“Keluargamu gimana?” tanya Dandhy.

Saya menggeleng. Sejurus kemudian, buliran airmata mengucur. Saya terus merunduk. Tangan kiri mengusap airmata yang terus mengalir. Saya keluar dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan membersihkan airmata. Itu airmata pertama saya, setelah tsunami.

Tak berapa lama, saya kembali duduk di depan komputer. Lama terbengong. Saya berusaha mengendalikan emosi, yang sudah teraduk-aduk. Untuk hari itu hingga dinihari, saya berhasil mengendalikan emosi.

Hari-hari selanjutnya, merupakan hari-hari yang berat bagi saya. Apalagi, belum ada kabar tentang keluarga di Pidie, kawan di Meulaboh, Adi, Yuswardi di Banda Aceh dan Nurul di Cadek. [bersambung]

--------
NB: Tulisan ini sudah lama saya rencanakan, namun baru malam ini saya bisa menulisnya. Tulisan ini juga merupakan satu rangkaian dengan tulisan tentang kondisi saya selama menggawangi newsroom acehkita di saat emosi saya sedang labil. Beberapa tulisan, merupakan perjalanan saya di Banda Aceh, Lhoong (Aceh Besar) dan Pidie.

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting