Sabtu, September 27, 2008

Upin dan Ipin





And here is the rest of it.

Kamis, September 25, 2008

ACEHKINI | 30 Menit Bersama Hasan Tiro


Salam,

Kawan-kawan yang baik, minta izin memposting email promosi majalah ACEHKINI edisi Oktober 2008. Edisi kali ini menampilkan laporan eksklusif kontributor Acehkini di Swedia yang berhasil menemui Hasan Tiro, pemimpin tertinggi GAM. Kepada kontributor ACEHKINI, Hasan Tiro yang dikenal sebagai Wali Nanggroe menyatakan kerinduannya terhadap kampung halaman yang sudah lama ditinggalkan. "I'll be back next month," kata Hasan Tiro saat itu. Selain laporan eksklusif 30 menit bersama Hasan Tiro, Acehkini juga menurunkan laporan soal upaya Pansus DPRA yang pergi ke Swedia dan Belanda untuk menjaring pendapat soal Qanun Wali Nanggroe. Kenapa mereka menyebutnya, Wali Nanggroe Hanya Ada di Kamus Tua??

Di balik cerita pengepungan kelompok kriminal bersenjata di Aceh Utara dikupas tuntas, termasuk jejaring kelompok kriminal yang selama ini meresahkan masyarakat Aceh di masa damai.

Cerita masih berlanjut, saat anak muda yang maju dalam pemilihan umum 2009 nanti (dari Partai Lokal) yang terjangkit Demam Obama. Mereka menjadikan situs jejaring sosial Facebook untuk menjaring aspirasi dan calon dukungan. Apa kiat mereka meraup dukungan massa melalui dunia maya?

Kami tak hanya menyajikan laporan politik semata. Ada oase yang kami suguhkan, biar Anda tak hanya berkutat dengan isu politik. Simak laporan ringan kami, seperti melancong di negeri seribu sungai, esai foto yang menceritakan cara suku Dayak di Kalimantan bersyukur pada Tuhan.

Berbagai laporan menarik ini kami suguhkan untuk Anda, pembaca setia kami... ACEHKINI akan beredar pada Senin nanti. Itung-itung oleh-oleh di saat Anda berkumpul bersama keluarga merayakan lebaran nan fitri ini.

"Hari raye dah dekat," kata Upin.

"Betol, betol, betol," balas Ipin.

Jajaran redaksi ACEHKINI mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1429 H. Mohon maaf lahir dan batin.

Salam,
Fakhrurradzie Gade

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Kamis, September 18, 2008

Grenade Hits Office Of Former Indonesian Rebels

BANDA ACEH, INDONESIA: Unidentified assailants threw a grenade at the office of a political party set up by former rebels in Aceh province, shattering windows and destroying computers but causing no injuries, police said Wednesday (17 Sept).The pre-dawn blast in Bireun, a remote town 1,100 miles (1,800 kilometers) from the capital Jakarta, was the latest in a string of politically charged attacks ahead of next year's parliamentary and provincial elections.

Aceh has been relatively quiet since the government signed a peace deal with separatists in 2005, ending a 29-year rebellion that left more than 15,000 people dead.

But tensions are building between the military, which is worried ex-rebels will win control of local legislatures and challenge Jakarta's authority, and the former separatists who are afraid the government will try to intervene in the election process.

Police spokesman Lt. Colonel Ahmad Saleh said a witness told authorities two motorcycles stopped outside the Aceh Party office shortly before Wednesday's explosion, but that the investigation was still ongoing.

Another of the party's offices was torched Tuesday (16 Sept) and the residence of a party official was struck by a grenade last month, said Adnan Beuransah, a spokesman for the party, calling it "part of efforts to sabotage the upcoming polls." (AP/Fakhrurradzie Gade, The Associated Press stringer in Banda Aceh contributed to this report.)

Minggu, September 14, 2008

Nakhoda dari Lahti

Oleh FAKHRURRADZIE GADE dan NURDIN HASAN


TANGGAL 26 Juni 2003, awal babak baru dalam kehidupan Juha Christensen. Di sebuah hotel Kota Stockholm, Swedia, Juha menyiapkan presentasi di hadapan sejumlah petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Yang hadir: Malik Mahmud Al Haytar (perdana menteri), Zaini Abdullah (menteri kesehatan merangkap menteri luar negeri), dan Bakhtiar Abdullah (jurubicara), Muzakkir Abdul Hamid. Setidaknya ada delapan tokoh GAM yang hadir dalam pertemuan di musim panas (summer) itu.Di hadapan petinggi GAM, bekas dosen Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, menyampaikan presentasi. “Saya siapkan presentasi siapa saya, apa hubungan saya dengan Indonesia, dan apa posisi saya,” kata Juha dalam satu wawancara khusus dengan ACEHKINI, akhir Juni lalu. Karena kesibukannya yang sering bolak-balik Indonesia dan sejumlah negara Eropa, wawancara berlangsung di samping kolam renang Hotel Sheraton, Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten, saat Juha sedang transit.

Juha lega. Pertemuan 3,5 jam itu lancar. Itulah awal Juha bertemu pihak GAM untuk merintis perdamaian dengan Pemerintah Indonesia. Kedua pihak telah berulangkali duduk di meja perundingan dan melakukan gencatan senjata. Ujung-ujungnya, perdamaian gagal di tengah jalan. Sebulan sebelum Juha bertemu petinggi GAM di Stockholm, pemerintah baru saja memberlakukan Darurat Militer akibat gagalnya perjanjian penghentian permusuhan (CoHA) pada 18 Mei 2003.

Gagalnya perundingan yang difasilitasi Hendry Dunant Centre, sebuah lembaga swadaya masyarakat bermarkas di Jenewa, Swiss, membuat Juha tergerak untuk membawa dua musuh ini kembali ke meja perundingan. Aceh tak asing lagi bagi Juha. Sejak awal 2000, Juha sibuk meneliti Aceh. Berbagai bahan mengenai Aceh yang diunduh via internet, seminar, makalah, koran, dilahapnya. Kunjungan pertamanya ke daerah perang Aceh terjadi pada Oktober 2002. Dia malah ikut konferensi pers yang digelar HDC, fasilitator perundingan, di Hotel Kuala Tripa, Banda Aceh.

Berbekal pengetahuan tentang Aceh, dia memberanikan diri menawarkan konsep perdamaian kepada pihak GAM. Sebenarnya, sejak berakhir CoHA, Juha telah berupaya mendekati tokoh GAM yang tinggal di negeri Skandinavia. Nah, saat koran Helsingin Sanomain, edisi 1 Juni 2003, menurunkan artikel tentang kondisi Aceh yang sedang berdarah-darah, Juha tak buang waktu. Dia langsung menghubungi editor koran besar Finlandia itu dan menanyakan nomor kontak Jurubicara GAM, Bakhtiar Abdullah. Berbekal nomor kontak itu, Juha menghubungi Bakhtiar.

“Dia bilang ok dan mereka mau memberi jawaban empat hari kemudian. Saya kemudian dipersilakan datang ke Stockholm dan kita bertemu selama 3,5 jam,” ujar Juha.

Usai pertemuan, Juha tak langsung balik ke Helsinki. Ia terlebih dulu terbang ke Copenhagen Belanda untuk menghadiri satu konferensi medis. Kala itu, Juha memang sedang menggeluti bisnisnya di bidang medis. Dari Copenhagen, Juha kembali lagi ke Stockholm. “Kita ketemu lagi. Dari situ mulai (ada keinginan untuk berunding) lagi,” sebut Juha.

Lagi-lagi, Juha presentasi. Memperkenalkan diri dan konsep perundingan. “Saya bilang, saya dari sektor swasta dan tidak ada yang menyuruh saya bertemu tokoh GAM. Ini inisiatif saya,” ujarnya.

Kepada petinggi GAM di pengasingan, Juha menyampaikan siap memfasilitasi perundingan dengan Pemerintah Indonesia. Tak mudah meyakinkan GAM kembali ke meja perundingan. Pasalnya, saat itu baru sebulan Presiden Megawati Sukarnoputri mengakhiri proses damai, dan mengirim pasukan perang ke Aceh pada 19 Mei 2003, menyusul gagalnya pertemuan Tokyo yang direncanakan pada 1 Juni 2003.

Para jururunding GAM di Aceh ditangkap saat baru keluar dari Hotel Kuala Tripa, hendak ke Bandara Sultan Iskandarmuda, Blang Bintang, untuk menghadiri pertemuan tersebut. Mereka – Sofyan Ibrahim Tiba, Teungku Muhammad Usman Lampoh Awe, Teuku Kamaruzzaman, Nashiruddin bin Ahmed, dan Amni bin Ahmad Marzuki-- diboyong ke Markas Polisi Daerah Aceh. Akhirnya, kelima orang itu divonis di atas 10 tahun penjara oleh pengadilan.

“Saya bilang saya percaya dialog harus kita lanjutkan. Tentu ini sangat sulit, karena tensi tinggi pendapat petinggi GAM terhadap Pemerintah Indonesia,” sebut Juha.

Proses untuk meyakinkan petinggi GAM berlangsung hingga enam bulan. Sepanjang kurun waktu Juni hingga Desember 2003, ada tujuh kali pertemuan antara Juha dan GAM. Hampir saban pekan, Juha berkomunikasi dengan Bakhtiar dan Zaini. Kadang-kadang melalui telepon atau berkirim surat elektronik. “Saya tanya apakah ada berita dari Aceh atau berita dunia lain yang penting. Kita bikin komunikasi,” kata dia.

Setelah terbangun komunikasi dengan GAM, Juha memutuskan untuk mendekati pemerintah. Desember 2003, Juha ke Jakarta. Indonesia tak asing baginya. Sejak 1985, dia menjadi dosen luar biasa di Universitas Hasanuddin Makassar dan tinggal di sana. Juha berteman baik dengan Ahmad Fauzi Gani, duta besar Indonesia untuk Finlandia. Kepada Fauzi Gani, Juha meminta agar difasilitasi bertemu Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Jusuf Kalla.

Tapi, Juha tak terbuka pada Fauzi Gani soal keinginannya bertemu Kalla. Juha hanya bilang mau berbisnis speed boat dengan Kalla, yang memang dikenal sebagai pengusaha sukses asal Makassar. “Kedatangannya agak dirahasiakan dan tidak terbuka untuk banyak orang,” kata Fauzi Gani pada ACEHKINI yang menemuinya di kawasan Bintaro, Jakarta, akhir Juni lalu. “Sama saya pun dia tidak terbuka. Dia hanya bilang mau jual kapal untuk Pak Jusuf Kalla.”

Fauzi Gani pun tak tahu banyak apa yang dibicarakan dalam pertemuan antara Juha dengan Kalla. “Mungkin juga bicarakan soal perdamaian Aceh dan Indonesia, karena Pak Jusuf Kalla kan dikenal sudah menyelesaikan konflik Poso dan Ambon,” kata dia.

Pertemuan dengan Kalla berlangsung di Kantor Menko Kesra di bilangan Medan Merdeka Barat Jakarta, medio Desember 2003. Sebelumnya, dia bertemu Farid Husain, saat itu deputi Menko Kesra, yang juga berasal dari Makassar. Juha mempresentasi tentang kapal teknologi tinggi produksi terbaru Finlandia, yang memiliki kecepatan lebih 50 knot atau 100 kilometer perjam. Menurut Juha, Indonesia yang merupakan negara kepulauan butuh kapal cepat untuk mengatasi “masalah illegal logging dan black market.”

Bisnis perkapalan bukan tujuan utama Juha. “Kita bicara soal kapal hanya 25 menit,” katanya seraya menyatakan bahwa pertemuannya dengan Farid diperantarai oleh seorang kenalannya di PT PAL, yang juga dari Makassar. Apalagi Farid terkesan tak tertarik dengan presentasi tentang bisnis kapal. “Itu hanya undercover untuk bertemu Jusuf Kalla,” kata Juha, tertawa.

Di akhir pertemuan yang berlangsung antara tanggal 9 dan 16 Desember 2003, Juha akhirnya buka-bukaan soal kedatangannya ke Indonesia. Gayung bersambut. Farid juga punya “tugas khusus” dari Kalla untuk mendekati GAM agar mau kembali ke meja perundingan.

“Saya bilang ke Farid bahwa saya banyak kenal pimpinan GAM. Dia terkejut dan langsung lihat bahwa ini serius, karena saya tahu semua,” kata managing director sebuah perusahaan farmasi di Finlandia. “Dia mengerti bahwa saya tak ada agenda lain. Ini untuk kemanusiaan.”



***



GEMPA yang meluluhlantakkan Bam, Iran, pada awal Februari 2004, membuat Farid harus terbang ke negeri Persia. Setelah menyelesaikan misi kemanusiaan di Bam, Farid singgah di Helsinki dan bertemu Juha. Saat itu, Juha mengajak Farid bertemu tokoh GAM di Stockholm. Tapi gagal.

Menurut Juha, pimpinan GAM tak mau menemui wakil pemerintah, apalagi pejabat setingkat deputi menteri. “Belum waktunya, belum bisa,” kata Juha, meniru ucapan seorang petinggi GAM yang menolak bertemu Farid Husain.

Farid jengkel bukan kepalang karena tak bisa bertemu petinggi GAM Swedia. Dia dan tokoh-tokoh GAM hanya saling pandang di lobi hotel. Usai pertemuan Juha dan pemimpin GAM, Farid menggebrak meja. Dia memarahi Juha. Padahal, pertemuan itu sangat diharapkan Farid. Sudah dua kali ia coba bertemu petinggi GAM. Tapi selalu gagal. “Dia tidak mau memanggil saya (hadir dalam pertemuan),” kata Farid pada ACEHKINI, awal Juli lalu di Jakarta. “Saya marahi Juha. Saya gebrak mejanya,” ungkap Farid mengenang saat-saat dia ditolak bertemu GAM.

Kemarahan Farid sempat membuat Juha gusar. Padahal, dia telah berencana mempertemukan bekas Presiden Finlandia Martti Ahtisaari dengan Pemerintah Indonesia, Februari 2004. Tapi, itu belum dikatakan baik kepada pemerintah maupun pihak GAM. Juha punya keinginan agar perundingan kali ini dimediasi Ahtisaari yang sudah dikenal mampu menyelesaikan sejumlah konflik di berbagai belahan dunia.

“Wah.. apa yang saya buat sekarang sudah membuat dia kecewa. Dia marah. Dia marah pada saya, dan marah pada situasi. Dia pukul meja,” ujar Juha. Tetapi, kemarahan Farid akhirnya bisa diredam setelah Juha mengeluarkan kartu terakhir, yaitu dia akan mempertemukan Farid dengan Presiden Ahtisaari.

Juha menelpon Tapani Ruokanen, pemimpin redaksi Suomen Kuvalehti, majalah berpengaruh di Finlandia. Ia punya hubungan dekat dengan Ahtisaari. Kepada Tapani, Juha mengutarakan bahwa dia sudah maju untuk mempertemukan dua musuh bebuyutan ini di meja perundingan dan meminta Ahtisaari memediasi perundingan ini.

“Juha bagus sekali. Kapan saja Anda perlu, saya akan bantu Anda,” timpal Tapani, seperti ditirukan Juha.

Pada hari Minggu, 15 Februari 2004, Tapani mempertemukan Juha dan Farid Husain dengan Presiden Ahtisaari. Ini tak lazim sebab Ahtisaari tidak pernah menerima tamu pada hari libur. Tapi waktu memang ada hari itu karena esoknya dia harus bertolak ke New York untuk satu urusan penting di kantor PBB. Farid melaporkan kondisi pertemuan Ahad di Helsinki itu pada Kalla. Akhir Februari, Kalla dan Farid menghubungi Juha dan meminta pendapatannya soal Martti Ahtisaari.

Pertemuan antara Kalla dan Juha di Jakarta berlangsung hampir dua jam. Ini pertemuan yang cukup lama dirasakan Juha. “Saya rasakan sendiri meskipun saya orang yang banyak bicara. Saya menyampaikan argumentasi mengapa menurut saya begini, begini, dan begini,” kata warga Lahti, Finlandia, ini.

Awal Desember 2004, Juha kembali ke Jakarta untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan proses perundingan. Jalan semakin terbuka. Apalagi, Jusuf Kalla sudah jadi wakil presiden. Sebelum ke Jakarta, Juha bertemu pimpinan GAM di Stockholm. Untuk menguji keseriusan pemerintah ingin berunding lagi, ada satu permintaan khusus dari mereka pada Juha, yaitu dia diizinkan bertemu perunding GAM yang ditahan di Penjara Suka Miskin, Jawa Barat.

Juha memberitahu Hamid Awaludin, yang telah jadi menteri hukum dan hak asasi manusia, dan Farid Husain. “Kaget semua pimpinan dan staf Suka Miskin. Kenapa tiba-tiba ada bule datang. Siapa orang ini, dari mana. Dan ada perintah: ‘harus sediakan kamar, tidak boleh ada rekam, tidak boleh ada orang lain, jangan mengganggu.’ Satu jam setengah dengan tiga orang ini,” kata Juha, tentang pertemuannya dengan Tgk Muhammad Usman Lampoh Awe, Teuku Kamaruzzaman dan Amni bin Ahmad Marzuki. Esoknya, dia bertemu Muhammad Nazar (sekarang wakil gubernur) di Penjara Malang.

Saat itu, GAM belum tahu siapa yang bakal memediasi perundingan dengan Indonesia. Juha sama sekali belum memberikan nama mediator kepada mereka. Juha baru menyebut nama Ahtisaari pada pihak GAM tanggal 24 Desember, melalui selembar surat yang difax ke Malik Mahmud dan Zaini Abdullah. Pasalnya, Ahtisaari baru menyatakan kesediaannya menjadi mediator perundingan RI-GAM pada 23 Desember.

Menurut Juha, perundingan harus dilakukan pada Januari 2005 karena Ahtisaari tidak punya cukup waktu. Banyak tugas lain yang harus diselesaikannya. Tsunami yang meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004, mempercepat proses perundingan. Kedua pihak yang bertikai akhirnya sepakat untuk memulai dialog damai pada Januari di Helsinki, ibukota Finlandia.

“Sekarang kita punya kesempatan untuk meningkatkan pendidikan dan ekonomi,” kata Juha. Yang lebih penting, tambahnya, orang Aceh kembali memperoleh kebanggaannya. “Orang Aceh punya akar sejarah panjang. Kini, akar sejarah itu dapat dirajut kembali,” ujar Juha, yang menjadi tangan kanan Ahtisaari selama proses perundingan berlangsung.

Saat implemetasi butir-butir perjanjian Helsinki, Juha ikut berperan aktif di Aceh Monitoring Mission (AMM). Lalu, apa yang membuatnya mau terlibat dalam upaya penyelesaian konflik Aceh? Kepada ACEHKINI, Juha buka rahasia: “Saya mungkin punya otak untuk matematika dan bisnis. Dalam hati, untuk kemanusiaan. Ada orang suka main golf atau hobi lain. Jadi itu seperti hobi, tetapi akhirnya menjadi tugas.” [a]

Minggu, September 07, 2008

Kopi vs Tarawih


Ramadan memasuki hari kedelapan. Syiar agama di bulan suci banyak dikumandangkan. Orang-orang dengan untaian sajadah dan peci beragam corak di kepalanya, berlomba-lomba mendatangi masjid unt bermunajat, beribadah kepada Allah, rabb semesta alam.

Setiap masjid di berbagai penjuru menggelar prosesi salat isya dan tarawih. Ada yang salat dengan 8 rakaat ditambah 3 rakaat witir. Banyak juga yang menunaikan 23 rakaat. Tapi itu tak jadi soal. Karena, perbedaan rakaat hanya pada persoalan keyakinan akan dalil yang dipegangnya.

Di masyarakat kita, perbedaan itu memancing masalah. Kita asyik mempersalahkam mereka yang salat 8 rakaat, atau sebaliknya. Tapi kita selalu abai untuk mengajak mereka yang sama sekali tidak berniat untuk menunaikan ibadah sunnah itu.

Kedai kopi justru lebih ramai, ketimbang masjid. Tadarusan usai tarawih hanya dilakoni orang-orang itu juga. Tapi kedai kopi, yakinlah bahwa yang datang dari bermacam kelas, beragam wajah dan selalu orangnya berganti-ganti serta ramai. Tak di satu kedai, di kedai kopi lain begitu juga adanya.

Sent from my phone using trutap


Sabtu, September 06, 2008

Tes Trutap


Salam,
Ini posting coba-coba menggunakan software Trutap yang saya install ke ponsel kesayangan saya, si bandel SE K800i.
Semoga perangkat lunak Trutap yang bisa diunduh gratisan ini semakin membuat saya sering mengunjungi rumah maya saya ini.
Salam,
Radzie
Connected by sinyal kuat INDOSAT

Sent from my phone using trutap


 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting