Rabu, Agustus 31, 2005

Menyusun Agenda di LP Sukamiskin

Reporter: Fakhrurradzie & Tedi Hikmah - Bandung

Beberapa jurnalis siaga di luar Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Sebuah mobil siaran lapangan milik SCTV, terlihat diparkir di sudut penjara. Dalam beberapa hari belakangan ini, puluhan jurnalis cetak dan elektronik datang ke sana untuk meliput acara pembebasan dan pemulangan 74 narapidana yang terlibat kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Baru hari ini, akses kepada wartawan diberikan agak longgar.

acehkita juga ikut bertandang ke penjara peninggalan Belanda itu. Namun, bukan perkara mudah untuk masuk ke penjara itu. Karena saat ini penjara benar-benar tertutup untuk diliput media. Saat reporter situs ini hendak masuk, langsung menemukan pemeriksaan para sipir. Tas langsung digeledah. Kamera dan tape recorder ikut diamankan. Kartu pers milik reporter situs ini yang ditemukan dalam tas, menjadi penunjuk identitas bagi sipir.


Langsung saja, para sipir menolak memberikan izin liputan. Namun, setelah melobi akhirnya secarik izin pun diberikan.

Pertemuan dengan empat bekas perunding GAM itu, berlangsung di ruang Tramtib. Para petugas LP keluar masuk ruangan ini, sehingga wawancara agak susah dilakukan. Kendati demikian, acehkita berhasil mendapatkan keterangan seputar rencana para juru runding setelah mereka bebas.

***

Empat mantan juru runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) serentak keluar dari ruangan Tramtib Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Senin, 29 Agustus. Ada senyum mengembang di wajah mereka.

Tak jauh dari ruang Tamtib, tampak Teungku Muhammad Usman Lampoh Awe, berjabat tangan dengan dua petugas LP. Mereka sama-sama menebarkan senyum. Suasana hangat dan akrab tampak menyelimuti perbincangan Teungku Muhammad Usman dan dua petugas LP yang mengenakan pakaian coklat muda itu. Yang petugas perempuan, sambil berseloroh meminta ikut ke Aceh.

“Nanti, pakai perahu saja,” kata Teungku Usman, juga sambil berseloroh.

Ketiga mereka tertawa lepas. “Dua tiket, untuk suami istri,” balas petugas itu lagi.

Tak jauh dari pria yang berjabatan Menteri Keuangan itu, Teuku Kamaruzzaman juga terlihat berjabat tangan dengan seorang petugas LP.

“Oh ya, saya dengar kemarin (28/9 –red) kakek meninggal, ya,” kata petugas itu, sambil menggenggam tangan Teuku Kamaruzzaman.

Teuku Kamaruzzaman hanya mengangguk. “Saya ikut berduka,” timpal petugas itu sembari mempererat genggaman tangannya. Pria yang akrab disapa Ampon Man itu, kemudian pamit untuk kembali ke ruangan tahanan. Seuntai senyum masih menghiasi wajahnya.

Fragmen di atas bukan dilakonkan saat akan meninggalkan LP Sukamiskin, seiring dengan pemberian amnesti kepada ribuan anggota GAM. Itu terjadi beberapa saat setelah empat juru runding itu bertemu dengan reporter acehkita yang mengunjungi mereka menjelang pembebasan.

Para napi GAM, saat itu memang sedang menunggu dan bersiap-siap untuk menjemput pembebasan. Empat bekas perunding yang ditangkap Pemerintah Indonesia dua tahun silam itu, sudah berpamitan dengan beberapa petugas LP dan tahanan serta narapidana lain, yang menghuni LP itu.

T Kamaruzzaman mengaku terharu dengan respon yang diberikan petugas dan semua penghuni LP itu. “Kesan saya, kami begitu dekat. Beberapa napi mengaku kehilangan saya, setelah saya kembali ke Aceh nanti,” kata Ampon Man. Dia terlihat lebih kurus dibandingkan dua tahun sebelumnya.

Kepada acehkita yang menjumpainya di LP dua hari sebelum pembebasan, dia menceritakan panjang lebar tentang interaksi antara napi GAM dengan non-GAM. Menurutnya, dia dan dua juru runding lainnya sering dijadikan tempat diskusi para napi lain. “Mereka juga sering meminta nasehat,” tandasnya.

Di penjara itu, Ampon Man juga terlibat aktif dalam beberapa kegiatan yang diikuti sesama napi, seperti kelompok band dan olah raga bulu tangkis. Di bidang olah raga yang pernah populer di Indonesia itu, Ampon Man didaulat menjadi koordinator. “Anak band dan bulu tangkis pasti akan merasa kehilangan saya. Tapi mereka ikhlas melepaskan saya,” katanya. “Dalam beberapa hal, kita menjadi pionir.”

Lalu, apa yang dikerjakan Ampon Man selama setahun mendekam dalam penjara?

“Saya habiskan hari-hari dengan mengaji. Di sini saya juga bisa memperdalam ilmu agama, tafsir al-Qur’an, salat sunat. Banyak hal yang saya dapatkan,” katanya. “Ini suatu hal yang akan sulit saya dapatkan di luar penjara.”

Itulah hikmah yang dipetik Ampon Man selama menjadi tahanan politik. Untuk itu, dia sama sekali tidak pernah menyesali sikap politik yang selama ini diambilnya, kendati berseberangan dengan penguasa.

Sikap politik yang diambil Ampon Man ini, tidak terlepas dari dukungan yang diberikan oleh kakeknya, yang pada 28 Agustus lalu telah meninggal dunia. “Saya akan merasa kehilangan orang yang selama ini memberikan dukungan terhadap saya,” kata dia.

Setelah keluar dari LP Sukamiskin nanti, langkah pertama yang akan dilakukan mantan pengusaha konstruksi ini adalah berkunjung ke makam kakeknya. “Saya akan ke kuburan ayah nek di Montasik,” kata dia. “Saya merasa kehilangan. Apalagi dia sangat menyayangi saya dan mendukung sikap politik yang saya ambil.”

Selanjutnya, dia akan mengunjungi keluarganya yang menjadi korban tsunami. Dia mengaku sangat sedih saat menyaksikan siaran televisi yang menampilkan kerusakan yang ditimbulkan gelombang tsunami yang menghancurkan Aceh. Tentu, untuk selanjutnya dia akan membangun rumah tangganya yang sudah selama dua tahun ini, dia tidak pernah lagi bercengkrama dengan anak dan istrinya.

Dia mengaku belum mengatur rencana jangka panjang sekembali ke Aceh. Usaha jasa konstruksi yang pernah dirintisnya, sudah lama mati karena tak terurus. Peluang untuk kembali menekuni usaha yang satu ini, tidak tertutup kemungkinan dijalani Ampon Man. Namun, semua itu sangat tergantung pada modal yang dimiliki. “Tidak tertutup kemungkinan saya kembali jadi pengusaha, tapi itu kan butuh modal,” katanya.

Ampon Man lebih tertarik menjadi pengusaha atau kontraktor ketimbang menjadi pengacara, sebagaimana latar belakang pendidikannya di Fakultas Hukum. Ketidaktertarikannya untuk terjun dalam dunia advokat bukan tanpa alasan. Wajah hukum di Indonesia, khususnya di Aceh, menjadi alasan utama keputusannya untuk tidak terjun dalam dunia pengacara.

“Saya sama sekali tidak tertarik untuk menjadi lawyer, karena praktik hukum di Indonesia, apalagi di Aceh, tidak bagus,” kilah penyuka kuah pliek u (makanan khas Aceh) ini.

Sama halnya dengan Teuku Kamaruzzaman, Teungku Amni bin Ahmad Marzuki juga mengaku belum mempunyai rencana sekembali ke Aceh. Sesampai dan menetap di Aceh, dia akan menyusun rencana setelah melihat perkembangan situasi di tanah kelahirannya itu. Sebab, dia pun mengaku belum memahami secara menyeluruh isi kesepahaman yang telah diteken di Helsinki itu. Namun, untuk jangka pendek, dia hanya rindu ingin berjumpa dengan kerabat, dan teman-temannya yang ada di Aceh. “Saya juga ingin melihat langsung kota Banda Aceh setelah terkena tsunami, menjumpai kawan-kawan yang menjadi korban tsunami,” kata dia.

Bagaimana dengan niatnya untuk membina rumah tangga setelah Aceh ini aman?

“Sebagai orang normal, saya tentu punya keinginan untuk berumah tangga. Tapi, belum dipastikan apakah dalam waktu dekat ini atau tidak. Kita melihat situasi dan kondisi di sana,” kata Amni.

Saat ditanyakan apakah sudah ada perempuan yang memikat hatinya, pria kelahiran Desa Cut Mamplam, Kemukiman Kandang, Aceh Utara, ini menjawab diplomatis. “Kita lihat nanti.”

Bikin Yayasan
Jika dua bekas juru runding GAM di masa Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) itu belum menentukan apa yang akan dikerjakan sekembali ke Aceh, tidak demikian dengan Teungku Nashiruddin bin Ahmed. Menurut Teungku Nash, dia sudah merencanakan untuk menjadi warga biasa dan berbaur dengan masyarakat, jika konflik Aceh sudah berakhir.

Komitmennya untuk menjadi warga biasa, bukan tanpa sebab. “Saya punya komitmen dengan Almarhum Teungku Abdullah Syafii. Jika persoalan sudah selesai, maka kami akan kembali ke dasar, hidup sebagaimana masyarakat biasa,” tandasnya.

Namun, dia agak risau, bisnis yang sebelumnya pernah ditekuni bekas penghuni LP Cirebon ini, akan kembali menggodanya. “Susah untuk menghindari godaan bisnis. Godaannya besar,” kata dia.

Untuk menghindari godaan bisnis itu, dia akan mencoba mengabdikan ilmunya kepada masyarakat di sana, sekembali dari penjara. Dia juga berencana membuat sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan informal atau jasa konsultasi dan bimbingan. “Mendidik mereka bagaimana cara berpolitik secara baik dan bermoral. Selama ini kan banyak politikus yang tidak baik,” katanya.

Rencana pendirian yayasan itu pun, masih sebatas cita-cita. “Baru matang dalam ide,” tandasnya saat didesak apakah sudah mempersiapkan nama atau langkah-langkah yang akan dilakukan untuk pendirian yayasan itu.

Apa saja yang akan diperbuatnya dengan yayasan? “Ya mendidik anak-anak kecil atau remaja yang putus sekolah,” kata dia, penuh keyakinan.

Sementara program dia dalam waktu dekat ini, berharap bisa membantu implementasi perjanjian damai yang telah diteken kedua belah pihak di Helsinki, 15 Agustus silam. Dia mengibaratkan MoU itu sebagai anak bayi yang baru lahir. Bayi itu dinamakannya dengan bayi demokrasi. Menurut Nashiruddin, bayi demokrasi yang baru lahir ini menjadi tanggung jawab bersama untuk merawatnya. “Bayi demokrasi sudah lahir, tugas kita untuk merawat bati tersebut supaya tumbuh sehat. Dan kita harapkan bayi demokrasi ini bisa menyebar,” kata dia bertamsil. Tapi, menurut dia, demokrasi itu harus the real democracy, not pseudo democracy.

Teungku Nashiruddin ditahan di LP Cirebon, Jawa Barat. Hanya dia seorang tahanan GAM yang ditahan di sana. Sebuah ruangan kecil telah mengisolasi dirinya dari dunia luar setahun lamanya. Makanya, saat pertama kali menginjakkan kaki waktu akan dibawa ke LP Sukamiskin, dia seakan tidak percaya. Perasaan dia, kakinya tidak menyentuh tanah saat menginjak tanah. “Saya baru datang dari planet lain,” kata dia, disambut derai tawa tiga juru runding lainnya.

Selama enam bulan pertama, setiap ada tahanan yang bermasalah, selalu dimasukkan dalam ruangan tempat dia ditahan. “Pernah saya ditempatkan bersama tahanan kasus pembunuhan yang sudah pernah melarikan diri dari LP itu,” kenangnya.

Penjara LP Cirebon itu masih dalam penjagaan sangat ketat. Sekali saja ketahuan mencuri apa yang ada di sana, maka tahanan itu akan dimasukkan ke dalam ruang gelap selama sebulan.

Untuk membunuh kebosanan selama diisolasi itu, dia selalu mengagendakan apa yang akan dilakukan setiap hari, dari membaca al-Qur’an, salat sunat, hingga menulis pengalaman selama di sana. “Tulisan ini bisa membantu orang-orang yang terisolasi baik di sel maupun di alam bebas. Ini cara bagaimana mengatasinya,” tandasnya.

Akibatnya, dia bisa membunuh kerinduannya ke kampung halaman dan melupakan kehidupan sekitar, termasuk berinteraksi sesama napi lain. Kejadian itu berlangsung selama enam bulan pertama dia dikurung di sana. Sementara untuk enam bulan selanjutnya, pihak LP meminta dia dibuatkan surat permohonan supaya bisa keluar dari selnya. Namun, tawaran itu ditepis. “Saya tidak mau buat permohonan,” ujarnya.

Kendati mendapatkan amnesti hingga membawa dia bisa kembali menghirup udara bebas, Teungku Nashiruddin menanggapinya biasa saja. “Itu konsekuensi dari sebuah perjanjian,” kata dia. Bahkan, menurutnya, keputusan amnesti yang akan diberikan ini merupakan sebuah koreksi atas kesalahan Indonesia menahan perunding. “Ini sebenarnya bukan sesuatu yang berharga, karena amnesti merupakan salah satu bentuk koreksi atas tindakan yang pernah diambil terhadap kami (perunding GAM),” kata pria beranak dua ini.

Teungku Nashiruddin bukan kali ini saja mendekam dalam penjara. Sebelum ditangkap pada Mei 2003, sebelumnya dia juga pernah ditahan di Jakarta, setelah proses perundingan juga berbuah kegagalan.

“Sesampai di Aceh, saya langsung akan berkunjung ke kuburan ayah di Pidie,” kata Teungku Muhammad Usman Lampoh Awe, yang di kalangan GAM lebih dikenal sebagai Menteri Keuangan (Meuntroe Peng).

Di Aceh, dia berharap bisa menghabiskan masa tuanya dengan damai dan aman. “Saya akan isi hari tua, mungkin, dengan bertani,” kata dia, sumringah. [dzie]

Minggu, Agustus 21, 2005

Cape dan Kabar dari Nanggroe


Tidur malam ini tidak terlalu lelap. Padahal, jam 11 malam, saya sudah beranjak ke peraduan. Menjelang pukul 01 dinihari, saya terbangun, karena bunyi nada dering HP yang ada di atas lemari. Saya lirik jam di HP satunya lagi, 00.57 WIB.

"Siapa gerangan," batin saya.

Begitu mengangkat HP, tak ada jawab dari seberang. Terputus. Mungkin si penelpon sudah lama menelpon. Nomor itu tidak bernama.

Saya kembali merebahkan badan, setelah meminum setengah gelas air putih yang sudah kupersiapkan sejak beranjak tidur. Suasana malam tadi, gerah. Sebelum kembali menjemput mimpi, saya memencet beberapa digit nomor yang menghubungi saya di dinihari itu.

"Ooo..." kata saya setelah mengetahui siapa yang melakukan panggilan.

Memang, sejak usai Isya, saya mengirim SMS kepada kawan untuk mengabari kabar penting. Kabar itu berupa amanah. Dan, alhamdulillah, saya sudah menyampaikan amanah.

Saya kembali siap menjemput mimpi (yang saya berharap mimpi indah). Kendati suasana gerah, saya terlelap lagi, kendati dalam perjalanan tidur itu, beberapa sempat terbangun, karena terusik oleh kawan yang mondar mandir ke kamar saya.

Malam tadi, saya benar-benar tidak menuntaskan tidur dengan sempurna, layaknya malam-malam sebelumnya. Tapi, tidak mengapa, karena saya juga tidur terlalu cepat tadi malam. (Biasanya saya baru tidur jam 01.00 atau lebih dikit. Tiap malam begitu).

Paginya, tanpa membasuh muka, langsung menghidupkan komputer. Berusaha meng-up load foto ke situs acehkita.com. Belum lagi semua imel saya terbuka, koneksi internet kacau.

"Uh, menyebalkan," gerutu saya.

Tak mau buang waktu, saya beranjak ke kamar mandi. Mulanya hanya ingin mengguyur tubuh dengan air dingin. Tapi, melihat tumpukan pakaian kotor yang sudah menggunung, saya putuskan untuk nyuci.

Benar-benar membuat saya cape. Soalnya, sudah sebulan ini saya tidak mencuci pakaian kotor. Bayangkan saja, ya....

Kendati sedikit malas, saya menuntaskan mencuci pakaian itu dalam dua ronde. Ronde pertama, baju kaos yang ringan. Ronde kedua, celana jeans yang membuat tangan cape dan mengeluarkan keringat. Tapi, akhirnya semua bisa dilalui. Tapi, konsekuensinya, saya terlambat meng-up date situs.

Kabar dari Aceh
Ada yang menarik sebenarnya yang ingin saya publikasi di situs. Ya, kejadiannya sih sudah kemarin. Ada tiga bendera Gerakan Aceh Merdeka yang dikibarkan di Desa Alue Mampreh, Kecamatan Nisam, Aceh Utara. Nisam memang dikenal sebagai daerah basis GAM, pada kurun waktu 1999 hingga 2004 awal. Kini, daerah itu juga masih jadi wilayah "hitam" atau minimal "abu-abu" lah, versi TNI. Sandi HITAM dan ABU-ABU adalah daerah yang rawan keamanan.

Rupanya, banyak media yang tertarik dengan kejadian ini. Radio ABC Australi juga menampilkan foto bendera GAM. Kompas juga menulis berita ini di versi Cyber Media. Kalau di situs kami, berita ini sudah tayang sejak tadi malam.

Saya kemudian membaca-baca berita yang ada di TEMPO Interaktif dan Koran Tempo versi Online. Di sana, saya menemukan pernyataan Alwi Shihab, yang Menko Kesra. Dia mengatakan, masyarakat jangan cemburu terhadap fasilitas yang diterima anggota GAM yang kembali ke Indonesia.

Kepada kawan, saya mengatakan, "Apa benar nanti masyarakat Aceh akan cemburu?"

"Entah," jawab kawan, sambil tersenyum.

Kemudian, sebuah SMS datang dari kawan di Aceh. Dia seperti berpantun. Inti SMS itu mengabari begini: "Orang Jakarta (baca: pemerintah) memang tidak suka kalau Aceh itu damai. Mereka ingin Aceh tidak damai, tapi sudah ada MoU RI-GAM."

Saya balas.

"Orang Jakarta itu, tidak termasuk saya, kan?"

Tidak berbalas lagi. Saya yakin, dia kesal dengan situasi dan sikap yang diambil pemerintah. Tapi yang mana, saya tidak tahu. Mungkin ini ada kaitannya dengan kondisi lapangan di Aceh. Tapi, dia tidak mengabari lebih lanjut.

Kepada kawan di kantor, saya berkata.

"Ada orang Jakarta, artinya politisi dan pemerintah, yang tidak ingin Aceh itu damai dan aman," kata saya. "Termasuk beberapa wartawan."

"Ohya?" kata dia sambil tersenyum.

"Bukan apa-apa, saya jadi teringat, bahwa media itu diuntungkan oleh situasi tidak normal atawa krisis," kata saya, yang teringat ungkapan Raboy dan Dagenais, yang dikutip Dedy N Hidayat dalam tulisan yang berjudul Media Sang Penabuh Genderang Perang yang ditulis di Kompas, September 2001, beberapa pekan setelah tragedi WTC, 9/11.

"Lihat saja, kalau ada kejadian besar di Aceh, situs kita banyak pengunjung," kata saya.

"Iya," kata dia.

Tapi, kami kemudian sepakat untuk mencoba bersikap fair terhadap kejadian di lapangan. Kami semua berharap, Aceh aman dan damai.

Ehm,

Saya kembali berkutat dengan tuts dan layar komputer. Mata saya perih. Namun kembali berusaha mengedit tulisan dari Aceh Timur. Masih soal perang dan damai. Seorang panglima muda yang ingin kembali ke masyarakat dan ingin jadi guru ngaji saja. Tidak muluk-muluk cita-cita panglima ini.

Makanya, kembali teringat ucapan Alwi Shibab. Benarkah orang Aceh akan cemburu terhadap fasilitas yang diterima GAM? Entah!

Tapi, simak komentar dari orang GAM yang diwawancara TEMPO. Begini kira-kira. "Kita tak tergiur dengan konsesi tanah, tapi bagaimana kami bisa dapat jaminan keamanan," kata GAM di pedalaman Bireuen.

Begitulah...!

Jakarta, 21 Agustus 2005

Sabtu, Agustus 20, 2005

Galau

Hari ini, perasaan saya sedikit gelisah. Galau dan terasa sesak. Saya tidak tahu apa penyebabnya. Yang jelas, setelah gagang telepon saya letakkan. Semoga, kegalauan yang saya rasakan tidak jadi kenyataan.

Hari ini, tidak ada yang istimewa yang saya lakukan. Kecuali pengulangan apa yang telah kukerjakan kemarin, kemarin, kemarin, kemarin lagi, dan kemarinnya lagi. Artinya, saya hanya menjalani rutinitas, yang sudah selama setahun ini saya lakoni. Begitulah, saya mengisi hari-hari, termasuk hari akhir pekan dan hari libur.

Hari ini, seorang temen iseng. Dia miscol ke HP saya beberapa kali. Setiap diangkat, selalu diputuskan. Saya memutuskan untuk menelponnya. Tapi, tak juga tersambung. Otomatis saya menggerutu, karena jengkel.

"Bahaya kalau ada yang miscol. itu..." kata seorang kawan.

"Apa cakap..."

Dia juga berusaha menakuti saya. Bukan apa-apa, saat menerima miscol itu, saya lagi mengedit tulisan kekisruhan di Rumah Tahanan Jantho Aceh Besar. Kekisruhan itu disebabkan ada aparat intel polisi yang memaksa narapidana GAM untuk berpose di depan bendera GAM yang digambar di dinding sel. Jelas, si napi menolak. Nah, saat menolak itulah, seorang intel mengeluarkan sepucuk pistol dan menodong ke kepala si napi.

Kontan saja, si napi yang pernah dapat pendidikan militer ini, berteriak, sehingga mengundang perhatian sesama napi. Beberapa intel itu dikejar dan hampir ketangkap. Saya bisa membayangkan, jika ketangkap, intel itu akan babak belur. Nah, skenario selanjutnya, pasti akan ketahuan. Ke Rutan Jantho akan dikerahkan sejumlah personel aparat keamanan untuk mengamankan lokasi. Akan ada interogasi terhadap napi. Pasti, karena napi GAM, akan ada pemukulan dan segala macam. Tapi, untung itu tidak terjadi.

Begitulah. Saya jadi paranoia saat mendapat telpon tak dikenal. Makanya, jujur, saat menerima tiga kali miscol itu, saya kok rada takut.

Akhirnya, saya memilih mengirimi SMS ke nomor yang tidak terdaftar di HP.

"Maaf. Ini siapa, ya? Kamu miscol. Dan saat saya telpon, tak juga dijawab. Ada perlu apa ya. Bisa saya bantu?"

Itu bunyi SMS yang saya kirim ke nomor 085218*****.

"Saya dapat nomor anda dari teman. Saya baca situs yang anda kelola, sangat tajam sekali. Apa tadi nomor kantor anda? Maaf sinyal kurang bagus di banda. Salam."

Saya ketawa getir. Saya tahu, ini anak bukan lagi berada di Banda. Karena, dia memakai nomor handphone luar Aceh. Saya kemudian membalas.

"Oo. Tapi nomor yang anda pake bukan nomor banda deh. Bisa saya tau siapa anda?"

"Nama saya R*** ******i tapi anda dapat memanggil saya N******t...."

Saya ketawa ngakak saat menerima SMS balasan itu. Wah, dia sukses ngerjain saya hari ini. Eh, dia ternyata mau ngabari kalau dia itu udah ganti nomor HP. Saya kembali membalas SMS.

"Ah, ga kenal tuh. Siapa ya. Tapi sinyalnya emang kagak bagus tuh. Ngerjain gw lo ya."

Kembali saya berusaha menelpon kawan yang memang imut itu. Manis lagi. (Jangan marah, ya).

Tak juga bisa tersambungkan. Bikin patah arang juga ngehubungi ini si imut. Kembali saya berkutat dengan tuts komputer, hingga membuat mata perih.

Cihaa, saya teringat nomor dia yang satu lagi. Saya telpon, dan berbicara panjang lebar. Bisa katawa ngakak juga di telpon. Tengkiu, ya.

Saat mau nulis blog ini, komputer saya hang. Sehingga, apa yang saya tulis hilang semua. Ini adalah tulisan kedua. Semoga lebih baik dari yang belum sempat saya edit.

Udah ah....

Maaf, pembaca, saya tidak menuliskan semuanya ya. Soalnya, saya sensor, ada hal-hal yang tak layak diketahui publik, hehehe.....

Jakarta, 20 Agustus 2005

Ditulis sehabis nonton Garfield. Kocak banget deh! Selain ada bumbu persahabatan antara kucing (Garfield) dan anjing (Odie). Juga, percintaan antara Jon (Breckin Meyer) dan Liz (Jennifer Love Hewitt).

Sabtu, Agustus 13, 2005

Terimakasih, Kawan

Kawan-kawan yang baik, saya hanya ingin mengucapkan banyak terimakasih atas dukungan yang telah diberikan, sehingga saya bisa menerima kejadian ini.

Alhamdulillah, beberapa hari lalu abang saya yang mengalami musibah, sudah kembali membuka usahanya. Kami sekeluarga sangat berterimakasih atas dukungan yang diberikan.

Demikian,

Saleum dari Aceh yang insya Allah akan damai
Radzie

Rabu, Agustus 03, 2005

Buku dan Skripsi Juga Ikut Terbakar

Jam di handphone saya sudah menunjukkan angka 01.44 WIB dinihari, 02 Agustus lalu. Saya baru saja merebahkan tubuh di atas kasus lipat di dalam ruang redaksi. Tiba-tiba ponsel saya berbunyi. Nada deringnya, khas. Sehingga saya bisa tahu siapa yang memanggil saat itu.

Saya langsung berpikiran yang bukan-bukan, karena nomor yang keluar adalah milik Abi (Ayah). Saya menduga ini pasti ada sesuatu yang tidak beres di kampung. Benar saja, dari ujung telepon kakak saya memberitahu kalau kami baru saja ditimpa musibah.

Toko milik ayah yang sekarang dikelola abang saya yang paling tua, ludes dimangsa si jago merah. Bukan hanya milik keluarga kami saja yang dimangsa api. Setidaknya 30-an toko di Kecamatan Keumala, ikut terbakar.

Nyak, keude katutong (Kedai sudah terbakar),” kata Kakak saya, dengan nada terbata-bata. Kakak sering memanggil saya nyak, kalau dia tidak memanggil dengan nama asli.

Saya hanya bisa terdiam sesaat mendengar kabar itu. Lalu, saya menanyai sebab-musabab hingga terjadinya kebakaran.

“Sumber api dari kedai kak Nur,” kata dia.

“Bagaimana dengan Bang Yeuk?”

“Tidak apa-apa.”

Bang Yeuk panggilan kesukaan saya kepada Abang yang paling tua. Dia lah yang selama ini menjaga toko milik keluarga. Dia sebenarnya seorang guru di Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Sakti, Pidie. Namun, karena dia sudah mulai berjualan sejak usia muda, makanya Abang menjadi penerus “dinasti” keluarga.

Soalnya, dari lima bersaudara, hanya Abang saya yang tertua yang mengikuti jejak ayah, menjadi seorang pedagang. Sementara dua kakak saya, menjadi ibu rumah tangga bagi anak-anaknya. Abang saya yang satu lagi, menjadi seorang mandor mekanis di sebuah perusahaan perkebunan di Palembang. Sedangkan saya memilih menjadi wartawan dan hijrah ke Jakarta. Darah Pidie (berdagang) sama sekali tidak mengalir dalam darah saya.

Sebenarnya, musibah kebakaran bukan pertama kali ini menimpa kami. Dulu, sebelum saya lahir, rumah keluarga di Desa Pulo Pante, juga ludes dimangsa api. Ayah, ibu, dua kakak, dan abang saya, sempat berada dalam rumah saat itu. Di tubuh ayah saya masih ada luka bakar. Abang saya yang kini ada di Palembang, saat itu masih berusia sekitar satu tahun. Sementara abang saya yang paling tua, tidak menjadi korban karena sedang tidur di kedai, yang sekarang ikut ludes.

“Tuhan Maha Adil,” kata Kakak saya.

Dia berusaha menenangkan saya. Keluarga di kampung, sudah bisa menerima musibah ini. “Semuanya kembali pada Tuhan, jika sudah tiba masanya,” lanjut dia lagi.

Kakak saya kemudian akan mematikan HP. “Saya mau lihat kedai dulu. Nanti saya telepon lagi,” katanya.

Saya kemudian mencoba kembali merebahkan badan. Mata saya memang sudah sangat ngantuk, setelah seharian memelototi layar komputer. Akhirnya, saat berusaha mengingat-ingat kejadian itu, saya terlelap tidur. Dan, lupa jika kakak saya akan menelpon lagi. Memang benar, keesokan harinya, saya melihat ada sebuah panggilan tak terjawab di HP saya.

Ah. Saya benar-benar terlelap. Saya putuskan untuk menelepon paginya. Namun, kesibukan di pagi hari membuat saya lupa. Hingga, baru siangnya saya bisa menelepon. Itu pun, saat teringat beberapa barang saya yang paling berharga, juga musnah terbakar.

“Tidak ada yang bisa diselamatkan,” kata Kakak saya.

“Saya baru teringat, puluhan judul buku saya masih ada di kedai,” kata saya. “Bagi saya, itu sangat berharga. Yang lain juga.”

“Sampai tadi pagi, api masih ada di kumpulan buku itu,” lanjutnya.

Ya, memang, dua kardus buku yang saya miliki, saya simpan di toko itu. Saat saya hijrah ke Jakarta setahun silam, saya membawa pulang semua buku-buku yang saya punyai ke kampung. Buku-buku itu sangat berharga bagi saya. Ada puluhan buku, artikel dan makalah tentang media dan jurnalisme di sana. Buku-buku itu saya kumpulkan, setahun sebelum menamatkan kuliah.

Tapi, tak apalah, nanti bisa saya cari lagi.

Setelah menelepon kakak, saya kembali teringat. Ada skripsi saya yang berjudul Pers di Daerah Konflik: Antara Jurnalisme Damai dan Perang (Studi Analisis Berita Konflik di Harian Serambi Indonesia), di antara tumpukan buku itu.

Benar-benar membuat saya kalap. “Jun, tolong ke pustaka IAIN dan Fakultas Dakwah, copy skripsi saya sebentar. Punya saya hilang,” kataku kepada T Junaidi. Saya tidak mengabari dia kalau skripsi ikut terbakar.

“Saya lagi di Sigli,” kata dia.

Waduh. Siapa yang harus saya minta tolong lagi.

Akhirnya, saya teringat kalau masih punya soft copy materi skripsi setebal 100-an halaman itu. Saya sedikit tenang.

***

Tadi pagi, Rabu (3/8), abang yang di Palembang menghubungi saya.

“Apa yang punyamu ikut terbakar?” tanya dia.

“Puluhan judul buku dan skripsi,” kata saya.

Dia lalu menanyakan penyebab kebakaran. “Apa ada indikasi dilakukan secara sengaja, untuk membuat toko baru?”

“Informasi sementara, tidak sih. Murni kebakaran disebabkan konslet listrik.”

Ah, sudah lah, saya tidak terlalu memikirkan lagi buku-buku itu. Toh nanti saya bisa cari lain.

Yang justru saat ini saya pikirkan adalah, nasib abang saya. Sebenarnya, dia mau berjualan di toko baru yang ada di depan toko lama. Namun, toko itu masih disewa sama orang lain, sehingga belum bisa pindah. Saya belum berbicara dengan abang saya itu. Saya juga tidak bisa membayangkan perasaan ayah saya yang sudah puluhan tahun menjadi pedagang. Kendati di usia tuanya itu, sang ayah masih suka berjualan. Jika abang saya pergi mengajar atau ke sawah, dia yang menggantikannya.

Melalui usaha itu, ayah saya bisa menyekolahkan lima anaknya. Empat sampai ke perguruan tinggi. Kakak saya yang satu lagi, memilih pergi ke Pesantren di Samalanga, seusai SMA, ketimbang sekolah di universitas. Sementara kakak saya yang paling tua, memilih kawin sebelum menyelesaikan skripsinya. Itu adalah kebebasan yang diberikan ayah kepada kami. Belia tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada kami. Semua tergantung pada keinginan kami.

Saya jadi teringat, saat menyatakan keinginan untuk kuliah di Jawa. Kendati tidak sanggup, beliau tidak secara langsung memperlihatkannya kepada saya. Malah, saya mendengarnya dari seorang kawan yang datang ke rumah. Beruntung, saat itu saya tidak diterima di jurusan komunikasi di salah satu universitas terkemuka di Jawa. Saya tidak menyesal!

Tentu, hari-hari ini menjadi sangat berat bagi keluarga, terutama ayah dan abang saya.

Tuhan, tabahkan hati kami! [r]

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting