Jumat, Mei 12, 2006

Tak Hanya Uang, Nama Baik Juga

FAKHRURRADZIE

OKY Rahmatna Tiba punya sebuah harapan di masa damai ini. “Saya ingin nama baik orangtua saya dipulihkan,” kata Oky. Orangtua Oky adalah Sofyan Ibrahim Tiba, ketua perunding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di masa Cessation of Hostilities Agreement (CoHA). Tiba yang meninggal dunia dalam musibah raya di penghujung tahun 2004 lalu, masih menyandang status tahanan politik. Dia ditangkap dan dinyatakan bersalah melawan negara, saat Pemerintahan Megawati Sukarnoputri memberlakukan status Darurat Militer di Aceh, Mei 2003 lalu.

Status tahanan politik itu telah “membelenggu” Oky dan keluarga. Paling terasa, saat Indonesia memberlakukan status darurat selama dua tahun di Aceh. Banyak orang yang menjauhi keluarga yang tinggal di Jeulingke, Kecamatan Syiah Kuala, ini. Bahkan, Oky juga sering dijauhi teman-temannya, karena sang bapak menjadi perunding mewakili gerakan yang menuntut kemerdekaan itu.

“Di masa Darurat Militer dan Sipil, semua orang menjauhi GAM. Saya dan keluarga juga terkena imbas ini. Ada orang yang menjauhi kami, karena takut dengan tekanan yang sangat besar di masa itu,” kata Oky kepada saya, Sabtu (8/4). “Beban psikologis sangat berat.”

Beban besar itu hingga kini masih berada di pundak keluarga ini. Oky sendiri mengaku hingga kini tidak bisa menerima status tahanan politik yang disandangkan ke ayahnya yang seorang perunding untuk menciptakan perdamaian di Tanah Seulanga ini. Apalagi, sang ayah yang dosen di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala ini, harus meninggal dalam status sebagai tahanan politik.

Setelah perdamaian dicapai di Bumi Jeumpa ini. Oky berharap ada upaya Pemerintah untuk memulihkan nama baik orangtuanya yang sudah telanjur dicap sebagai separatis karena melawan Pemerintah dan negara. “Yang perlu dilakukan Badan Reintegrasi dan Pemerintah adalah memulihkan nama baik, dalam kondisi damai ini, supaya menghilangkan cap/stempel dari orang-orang bahwa ayah saya seorang musuh negara,” harap pria yang memilih berkarir sebagai wartawan ini.

Bukan hanya nama baik ayahnya yang harus dipulihkan oleh Pemerintah. Semua korban konflik, menurut Oky, juga harus direhabilitasi nama baik mereka. Dia menyarankan supaya Pemerintah meminta maaf secara terbuka kepada seluruh keluarga dan korban yang jatuh dalam konflik yang berlangsung selama tiga dekade ini. “Pemerintah perlu secara terbuka meminta maaf,” ujarnya.

Bisa saja, permintaan maaf itu dilakukan dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Nah, melalui Komisi ini, masyarakat Aceh bisa menilai dan melihat sikap apa saja yang akan diambil Pemerintah untuk menciptakan perdamaian abadi di Tanoh Jeumpa ini. Uang saja tidak cukup, menurut Oky. “Uang Rp 60 juta memang besar, tapi apa artinya jika tidak dibarengi dengan sikap lain,” kata pria yang bekerja sebagai penyiar di salah satu radio terkemuka di Banda Aceh.

Lantas, bagaimana dengan dana diyat? Oky mengaku tidak terpikir untuk mengajukan permohonan untuk memperoleh uang duka itu, kendati Badan Reintegrasi mengalokasikan dana diyat bagi eks tahanan politik. Menurutnya, uang sama sekali tidak bisa menghilangkan stigma yang sudah melekat di nama baik ayahnya.

“Stigma itu tidak bisa dihilangkan dengan uang. Bukan kita tidak perlu uang, ya. Tapi nama baik memang tidak bisa dipulihkan dengan pemberian uang oleh Pemerintah,” katanya.

Kendati demikian, dia menilai langkah yang diambil Pemerintah sudah bagus dalam memberikan diyat kepada para korban konflik yang jatuh sejak tahun 1989 hingga 2005 ini. Tapi, “yang perlu diingat adalah, perjuangan yang dilakukan bukan karena uang, melainkan untuk membawa Aceh ke arah yang lebih bagus,” tandas pria hitam manis ini.

“Kami tidak mengharap apa-apa, karena perjuangan orang ini ikhlas. Dikasih kami ambil, kalau tidak ya terserah. Perjuangan abang kami ikhlas karena telah bersumpah,” kata Barona, 27 tahun, adik kandung Mardani. Mardani, 28 tahun, anggota GAM Aceh Rayeuk, meninggal dalam sebuah kontak tembak dengan pasukan TNI di gunung Meusale, Indrapuri.

Memang, stigma musuh negara tidak bisa dipulihkan dengan uang diyat dan reintegrasi. FAKHRURRADZIE


* This article published in Aceh Magazine, Mei 2006

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting