Sabtu, Desember 25, 2004

Ultah

Bismillahirrahmanirrahim!


“Selamat Ulang Tahun, semoga panjang umur dan sukses selalu.” Begitu bunyi dua pesan pendek (sandek) yang nangkring di telepon genggam saya. Pengirimnya, Dyna Keumala dan Nani Afrida. Keduanya, kawan saya di Banda Aceh. Dyna, bekas kolega saya di Tabloid Modus. Sekarang dia bekerja sebagai penyiar Radio Prima FM. Sementara Nani Afrida, kawan saya yang bekerja di The Jakarta Post. Dia koresponden TJP di Banda Aceh.

Saya membalas sandek itu dengan mengucapkan terimakasih atas perhatian yang mereka berikan.

Sebenarnya, saya tidak terlalu menghiraukan dengan ulang tahun itu. Bagi saya, itu adalah masa peralihan dan pertambahan umur. Bagi saya itu tidak terlalu berarti, jika saya tidak mengisinya dengan hal-hal positif.

Saya tidak pernah membuat acara merayakan ulang tahun. Karena, sejak kecil memang keluarga saya tidak memperkenalkan hal-hal begituan dalam hidup saya. Kami sekeluarga, tidak pernah merayakannya. Paling, kalau ada anggota keluaga kami yang bertambah umur, ayah dan ibu mendoakan semoga diberi umur panjang, dan sukses dalam hidup, dunia dan akhirat. Itu lebih bermakna, saya anggap, ketimbang merayakannya.

Pun, saya mengenal tradisi ada ulang tahun ini, ketika saya pindah ke Banda Aceh untuk melanjutkan pendidikan tinggi saya. Di sana, kawan-kawan memperkenalkannya. Setiap ada kawan yang ulang tahun, mereka selalu membuat acara, walaupun kecil-kecilan. Ngajak kawan minum kopi atau makan mie rebus. Saya juga terbawa dengan itu. Tapi, saya juga tidak merayakannya.

Pernah di tahun 2001, ketika saya ulang tahun, kawan mengajak makan-makan di sebuah café. Terus terang, saya tidak punya uang, untuk bisa membayar makan-makan itu. Uang dalam kantong saya, hanya Rp 50 ribu. Kalau saya meladeni makan-makan, berarti saya harus puasa untuk dua minggu, sebelum bulan baru menjumpai. Saat itu saya masih dikirimi uang dari kampung, untuk biaya hidup di Banda Aceh.

Tak kuasa menolak permintaan kawan, saya akhirnya meluluhkan permintaan mereka. Apalagi, selama ini kawan-kawan selalu mengajak makan-makan, kalau mereka ulang tahun. Dengan sebuah sedan corolla hitam milik kawan, saya bersama enam kawan, berangkat ke Juju café. Kami memesan makanan dan minuman yang paling murah. Untung kawan-kawan mengerti.

Itu adalah acara pertama yang saya buat. Setelah itu, tidak ada lagi.

Di masa-masa selanjutnya, setiap ada yang ulang tahun, kawan-kawan kost saya, selalu menyediakan telor, tepung, dan pernak-pernik yang bau lainnya. Jika si “pemilik” ulang tahun lengah, maka semua peralatan itu, ber”sarang” di atas kepala kawan yang ulang tahun itu.

Pernah sih saya berlaku jahil terhadap kawan yang ulang tahun. Junaidi namanya. Dia kawan dekat saya. Usianya di atas saya. Tapi di bangku kuliah, dia adik letting. Saya mengajak dia jalan-jalan ke depan rumah. Saya dan kawan lainnya, Murdani (kami memanggil namanya Pon), sudah mempersiapkan sebutir telor mentah yang akan dipecahkan di atas kepalanya. Saya dengan memakai sarung, mengajak Junaidi jalan-jalan. Sebuah kode isyarat dengan tangan, saya lambaikan ke arah si Pon.

Sambil berlari, Murdani memecahkan telor di atas kepala Junaidi. Saya menghindar, supaya pecahan itu tidak mengenai saya. Dia terkejut. Tapi tidak marah. Kejadiannya, pukul 22.00 WIB.

Di lain waktu, saya dan kawan-kawan di rumah, mengerjai Rizal. Dia kami mandikan dengan air “tujuh bau dan warna” di tengah malam buta. Dia menggigil. Tapi dia tidak marah. Di lain waktu, saya dikerja kawan-kawan di rumah. Tapi, saya tidak separah yang mereka alami. Hanya sebutir telor yang pecah di atas kepala saya. Itu karena saya lengah. Tapi, kami menikmati semua itu.

Di usia 24 kemarin, tidak ada yang pecah di atas kepala saya. Pada harinya, saya sibuk kerja. Pulang udah malam. Tak berapa lama, saya tertidur. Jadi mereka tidak bisa mengerjai saya.

Di usia 25 tahun, yang jatuh hari Sabtu ini, saya tidak lagi bersama kawan-kawan dekat saya. Maklum, sejak empat bulan lalu, saya pindah tugas ke Jakarta. Saya tidak bisa menemukan kejahilan kawan-kawan yang membuat senang. Biasanya, suara tawa Junaidi yang melengking, senyuman Murdani yang rada malu-malu, “petuah” Rizal yang bak orangtua, membuat saya senang. Mereka tidak lagi berada di dekat saya. Biasanya, kalau malam menjelang, kami sering menghabiskan malam di bawah pohon jambu yang ada dekat kamar Murdani, sembari cerita dan cet langet (berangan-angan). Juga, membicarakan masalah percintaan…

Tapi, tak apalah. Di Jakarta, saya bisa berteman dengan kawan-kawan baru saya, yang sangat baik-baik.

Ulang tahun yang jatuh bertepatan dengan Hari Natal ini, juga diprakarsai kawan-kawan. Saya sebenarnya tidak hendak merayakannya.

“Kak, Radzie ulang tahun,” kata Maimun kepada Kak Ita, setelah membaca sebuah imel yang saya kirim. Imel itu berisi kartu nama elektronik dari Plaxo.

Dia lalu mengumumkan pada semua isi kantor. Maimun mengajak malam itu juga, untuk makan-makan. Tapi saya bergeming. Karena memang belum sampai tanggalnya.

“Bakar ikan aja,” kata Bang Risman. Dia bos saya di kantor.

“Ide yang bagus,” batin saya, sembari mengiyakan.

Bakar ikan, tidak banyak menghabiskan uang, pikir saya lagi.

Pagi tadi, saya meminta Bang Jol untuk membeli ikan dan tetek bengek lainnya. Dia membeli ikan tongkol. Kami membakar di belakang kantor.

Maimun dan Tuahta, banyak membantu untuk menghidupkan api. Kak Ita dan Diana, mengurus ikan dan membuat bumbu. Bang Joe, membeli panggang. Bang Jol, mencari perlatan yang belum cukup.

Ikan sudah siap untuk dibakar. Api belum juga nyala. Bara untuk memanggang ikan, belum ada. Maimun terlihat marah-marah. Dia kecapaian, menyiasati api. Tuah mondar-mandir. saya berdiri di dekat pembakaran, mulai pesimis. Jam waktu makan siang, hampir tiba. Usaha menghidupkan api, beberapa kali dicoba, gagal.

“Wah, payah api ini,” kata Maimun.

Kak Ita, Tuah dan saya hanya bisa memandang onggokan arang yang masih belum terbakar. Padahal, minyak sudah banyak kami habiskan. Bang Joe marah-marah, apinya belum nyala. Dia lalu membantu menghidupkan api. Tidak membuahkan hasil. Dia membuat bumbu untuk ikan bakar kesukaannya.

Kak Ita, menyuruh Tuah mencari minyak tanah. Maimun belum juga bisa menghidupkan api. Segala usaha telah ia lakukan.

Dua liter minyak tanah, dibeli. Maimun menumpahkan ke dalam arang. Sebutir korek kayu, dilemparkan ke dalam arang. Api menyembul, mengeluarkan asap hitam ke udara.

“Langit-langit ini sudah hitam,” kata Tuah.

Kami hanya memandangi saja. Tidak berkomentar.

Kali ini, nyala api sudah membesar. Tapi, Maimun masih pesimis, api akan menjadikan arang menjadi bara yang bisa memanggang ikan-ikan itu. dia terus mencoba menghidupkan api. Tak berapa lama, usahanya berhasil. Arang-arang tidak lagi hitam. Dia berubah memerah. Pertanda ikan siap diletakkan di atasnya.

Satu, dua, tiga, empat….sampai tujuh ikan, diletakkan di atas panggang. Ia mengipas-ngipas api, supaya memanas.

“Pake kipas angin aja,” kata saya.

Kak Ita mengambil kipas angin. Tuah mencari wayer. Klop. Sekarang Maimun bisa tertawa girang. Dia berhasil memerahkan arang hitam menjadi panas tak tertahankan.

Satu per satu ikan menghitam. Baunya menusuk hidung. Perut semakin keronconga, lapar tak tertahankan. Maimun masih setia memegang kipas angin, mengipas-ngipas ke semua penjuru api. Tak berapa lama, satu per satu ikan dipindahkan ke piring. Bang Risman, ikut membantu. Ia menjaga ikan bakar, sampai benar-benar bisa dimakan.

Wuih! Saya senang. Maimun riang. Kak Ita, juga tak kalah senang dibanding kami berdua. Kami segera beranjak ke dapur, mengambil piring dan nasi.

“Ini ala kadarnya,” kata saya kepada si bos. Si bos yang saya maksud adalah, Dandhy Dwi Laksono.

“Terimakasih. Selamat ulang tahun ya,” kata Dandhy, sembari menjabat tangan saya.

“Thanks.”

Saya makan sampai puas.

“Selama di Jakarta, baru kali ini saya makan banyak,” kata saya kepada Kak Ita dan Diana, yang duduk di hadapan saya.

***

Kami semua senang, acara syukuran kecil-kecilan ini, bisa berhasil. Padahal perasaan saya sempat dag-dig-dug.

Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada kawan-kawan yang sudah membantu. Tanpa mereka, saya tidak bisa sesenang hari ini.

Ya Allah, panjangkan umurku. Berkahkan umurku ini, dengan amal kebaikan!
***

Sebuah sandek kembali mampir ke ponsel saya. "Met ultah ya! Bukan umur yang panjang, tapi amal plus prestasi yang banyak." Pengirimnya, MH. Saya sering memanggilnya Murizal. Dia bekerja sebagai koresponden Sinar Harapan di Banda Aceh. Sandek itu bisa menjadi pengingat, sekaligus cambuk untuk saya introspeksi diri. [r]

Jumat, Desember 24, 2004

Geger 'Kayu Haram'

Reporter: Radzie – Jakarta

Selasa (26/10) lalu, kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh di kawasan Lampriet mendadak ramai dijejali wartawan. Di salah satu ruang sempit di kantor itu, para wartawan duduk menekuri Muhammad Ibrahim, Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Bambang Antariksa, pengacara, dan Akhiruddin, Koordinator Badan Pekerja Solidaritas Gerakan Antikorupsi (SoRAK) Aceh.

Hari itu, mereka memakai bendera Kelompok Kerja Aceh Damai Tanpa Korupsi (Pokja ADTK). Isu yang diangkat adalah hilangnya 5.221,99 meter kubik kayu sitaan di Pulau Simeulue. Akibatnya, menurut mereka, negara telah dirugikan Rp 3,5 miliar.

Bambang Antariksa yang menjadi jurubicara, lancar memaparkan ihwal penyelewengan kayu yang disita Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) pada 11 Agustus 2003 silam. Dalam sebuah operasi pencegahan illegal logging di pulau penghasil kayu terbesar di Aceh itu, PDMD menyita 18.682,42 meter kubik. Oleh PDMD, kayu bulat tak bertuan itu disita menjadi milik negara.

Cerita selesai sampai di sini. Nasib kayu itupun nyaris terlupakan. Baru di penghujung darurat militer, PDMD mengalihkan kayu sitaan itu kepada Pemda Nanggroe Aceh Darussalam. Lalu, pada tanggal 14 April 2004, Gubernur Abdullah Puteh membentuk Tim Pemanfaatan Kayu Sitaan Kabupaten Simeulue dan Aceh Singkil, melalui SK Gubernur Aceh No 522.21/144/2004.

Dari namanya saja, kata Pokja Aceh Damai, tim bentukan Abdullah Puteh ini sejak semula memang tak berniat akan melelang kayu curian itu. Yang terjadi justru pengangkutan, pengolahan dan penjualan. Dan belakangan terbukti, kayu-kayu itu memang dilego tanpa lelang. Padahal, menurut UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 79 ayat (1), setiap kayu hasil sitaan harus dilelang oleh negara.

Tapi nyatanya, penjualan itu hanya didasarkan pada SK Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) No DD 1152211 tertanggal 19 Mei 2004 oleh Dinas Kehutanan NAD cq Dinas Kehutanan Simeulue. Lalu dikuatkan oleh Abdullah Puteh, selaku PDSD saat itu, yang mengirimkan surat kepada menteri keuangan dan menteri kehutanan tentang pemutihan kayu sitaan tersebut. Surat itu bernomor 522.21/159-PDSD/2004, tanggal 28 Juni. Yang menarik, saat surat itu belum lagi sampai ke Jakarta, kayu-kayu tersebut sudah berada di Banda Aceh sejak 26 Mei.

Siapa Pembelinya?
Dalam dokumen yang diterima acehkita, proses pelegoan kayu negara itu dimulai pada Mei 2004, saat kayu-kayu itu dipindahkan dari Pulau Simeulue ke Banda Aceh melalui pelabuhan Ulee Lheue. Tahap pertama, kayu gelondongan itu dibawa dengan tug boat Panton, sebanyak 2.221,99 meter kubik. Kayu log dikirim ke alamat PT Kuala Batee Indonesia, milik seorang penguasa bernama Akmal di Jalan Tengku Chik Di Tiro, 24, Banda Aceh.

Menurut taksiran Pokja ADTK, kayu itu bernilai Rp 1,5 miliar dengan asumsi harga Rp 500 ribu per meter kubik. Anehnya, belakangan kayu yang dialamatkan ke PT Kuala Batee Indonesia itu, juga berada di lokasi CV Rahmah Furniture milik H. Anwar dan PT Budi Triksati yang beralamat di Krueng Raya, Ladong, Aceh Besar.

Nah, inilah yang menjadi masalah di kemudian hari. Selain kayu-kayu tersebut dijual tanpa melalui proses lelang, Pokja ADTK juga mencium gelagat tak baik dari perusahaan-perusahaan pembeli itu. PT Kuala Batee Indonesia misalnya, disebut-sebut sebelumnya tidak mencantumkan alamat jelas dan belum memiliki izin Perdagangan Kayu Antar-Pulau (PKAPT). Padahal, pencantuman nomor PKAPT pada SKSHH (Surat Keputusan Sahnya Hasil Hutan) adalah wajib.

Lagipula, menurut Pokja ADTK, kapal yang digunakan untuk mengangkut kayu tersebut diduga juga tak jelas juntrungannya. Menurut aturan, pengangkutan kayu antar pulau harus melalui perusahaan angkutan laut nasional yang memiliki Surat Izin Usaha Perusahaan Angkutan Laut (SIUPAL) atau Surat Izin Operasi Perusahaan Angkutan Laut Khusus (Siopsus) atau Pelayaran Rakyat (Pelra).

Silang sengkarut ini dilanjutkan pada bulan Agustus 2004, di mana sebanyak 3.000 meter kubik kayu sitaan itu kembali masuk ke Banda Aceh, dengan taksiran nilai mencapai Rp 2,02 miliar setelah ditambah Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).

Yang lebih miris, setelah PDMD menyita kayu haram itu, kasusnya sendiri justru terkatung-katung dan tak terdengar tindak lanjut pengusutan terhadap para pihak yang terlibat. Nah, belum lagi selesai yang satu, kini ditimpali dengan kasus penjualan tanpa lelang ini.

“Kita mendorong Kajati untuk mengusut tuntas kasus ini, sampai ke pengadilan. Kita akan bantu supaya pelaku illegal logging ini ditangkap,” kata Muhammad Ibrahim, Direktur Eksekutif Walhi Aceh ketika dihubungi acehkita telepon selular, Senin (29/11).

Lalu untuk kasus penjualan zonder lelang ini, Ibrahim menaksir kerugian negara yang ditimbulkan tak hanhya mentok pada angka Rp 3,5 miliar. “Itu angka minimal yang kita hitung,” katanya.

Lalu, siapa yang harus bertanggungjawab dalam penjualan kayu tanpa lelang ini? Ibrahim mengatakan, Gubernur Abdullah Puteh dan Wakil Gubernur Azwar Abubakar adalah orang yang paling bertanggungjawab. “Mereka sangat bertanggungjawab terkait kasus ini,” tegasnya.

Dalih bahwa kucuran dana hasil penjualan kayu ilegal itu digunakan untuk operasi kemanusiaan, tak terlalu dipercaya Ibrahim. “Kalau membangun fasilitas kemanusiaan yang dana proyeknya ada, tidak boleh. Tapi kalau tidak ada dananya, silakan saja. Seharusnya, membangun rumah korban konflik, bisa menggunakan kayu ini,” katanya.

Selain menohok Puteh dan Azwar Abubakar, Pokja ADTK juga mencatat sedikitnya 15 orang yang juga harus dimintai pertanggungjawaban.

Mereka adalah Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Ir Mustafa Hasjubullah, Ir Husni Syamaun (Kepala Sub Dinas Pengusahaan Hutan Dishut Aceh), Ir Ibnu Abbas (Kadis Kehutanan Simeulue), Hermansyah (Kepala Sub Dinas Pengusahaan Hutan Dishut Simeulue), Syamsuddin AG (staf Dishut Simeulue), dan Yuswin (staf Dishut Aceh).

Sementara di kalangan pengusaha, Pokja ADTK memasukkan Direktur PT Kuala Batee Indonesia, Akmal, sebagai pihak yang layak dimintai tanggungjawab. Selain itu, ada nama H Anwar (Direktur CV Rahmah Furniture), Direktur PT Budi Trisakti, H Datuk NG Razali (PT Panton Teungku Abadi), Reinir Aminsyah (PT Simeulue Kekal Mandiri), serta Welly Utomo (PT Simeulue Kekal Mandiri).

Masih ada lagi; Margono (PT Langkis Inti Persada), HT Burdansyah (PT Langkis Inti Persada), Nurdin Harahap (CV Angga) dan Ansaruddin (Koperasi Aurivan Bersamo).

Dibantah
Tentu saja pemerintah daerah tak tinggal diam menghadapi tudingan ini. Kepala Biro Hukum dan Humas Sekretariat Pemda Aceh, Hamid Zein mengatakan tidak benar Gubernur Abdullah Puteh dan Wagub Azwar Abubakar harus bertanggungjawab dalam kasus ini.

Kata Zein, kasus ini sudah dikelarkan melalui rapat Muspida yang dihadiri Gubernur, Wagub, Pangdam Iskandar Muda, Kapolda, Kepala Kejaksaan dan unsur BPKP. Menurut rapat itu, tidak ada masalah sama sekali mengenai penjualan kayu tersebut.

Karenanya, “Tuduhan dan data-data itu tidak benar sama sekali,” kata Hamid Zein kepada acehkita.

Lalu, bagaimana dengan penjualan tanpa lelang?

Menurut Hamid Zein, hal itu dilakukan karena pihak Pemda Aceh atau PDSD sudah mengantongi kewenangan. “Kita sudah dikasih kewenangan. Namun kewenangan itu bukan secara normal. Artinya, kewenangan itu berdasarkan UU Kedaruratan. Jadi, dari PDMD yang kemudian PDSD, sebagai turunannya, dapat menggunakan hukum darurat itu,” elaknya.

Bahkan, menurutnya, Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayjen Endang Suwarya juga berpendapat bahwa penjualan itu tidak ada masalah sama sekali. “Itu dalam konferensi pers sudah dikelarkan,” terangnya.

“PDSD tidak bisa sembarangan menggunakan dalih status darurat. Tindakan penguasa darurat tetap tidak dapat dibenarkan jika melanggar peraturan perundangan yang sudah ada. Maka, tindakan PDSD yang ‘melegalkan’ kayu sitaan itu dan menjualnya kepada pihak ketiga adalah Perbuatan Melawan Hukum berupa tindak pidana korupsi,” bantah Pokja ADTK. [r]


Dimuat di Majalah AcehKita Edisi Desember 2004

Kamis, Desember 23, 2004

Sampai Kapan Petani Pala Dipalak

Reporter: Radzie - Banda Aceh

DANU, sebut saja namanya begitu, adalah mahasiswa sebuah peguruan tinggi swasta di Banda Aceh. Sudah tiga bulan terakhir kiriman uang dari orangtuanya datang tida tepat waktu. Sebelumnya, dia selalu menerima kiriman dari kampung pada awal bulan. Kini uang dari kampung itu ditrimanya di akhir, itu pun dengan nominal yang jauh berbeda dari sebelumnya. Danu sepenuhnya bisa memahami kenapa kiriman untuknya jadi macet.

Jatah biaya hidupnya di Banda Aceh berkurang karena pendapatan orangtuanya seret beberapa bulan terakhir. Ayahnya bekerja sebagai petani pala di Blang Pidie, Aceh Barat Daya (Abdya).

Ketika harga pala melambung tinggi, ayah Danu acap mengirimnya uang lebih. Sehingga dalam beberapa saat, Danu tidak penah kehabisan uang sebagai pangkal hidupnya di Banda Aceh. Selama itu pula, Danu seringkali bisa menabung uang kiriman. Tabungannya itu pun bisa dipakai untuk membeli buku antara satu sampai dua judul dalam sebulan.

Namun, kondisi keamanan di kampungnya mengubah realitas hidup Danu. Dengan kiriman pas-pasan, ia mengatur pengeluarannya secara ketat. Hobinya mengoleksi buku, kini harus ia kubur dalam-dalam.

Seperti halnya Danu, Nasri (juga bukan nama sebenarnya), pun mengalami nasib serupa. Nasri kuliah di sebuah akademi swasta di Banda Aceh. Kiriman dari orangtuanya belakangan sering terlambat. Akibatnya, ia kerap kali harus berhutang pada temannya.

"Ayah saya susah mencari uang di kampung," kata Nasri.

Ayah Nasri sehari-hari juga berpofesi sebagai petani pala di kabupaten hasil pemekaran dari Aceh Selatan itu.

****

DI Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, pala adalah komoditas yang sempat menjadi primadona. Bahkan, tingkat kepemilikan kebun pala juga menunjukkan tingkat status sosial masyarakat tersebut. Tanaman yang satu ini juga diakui sebagai lambang kebonafidan suatu keluarga, lambang martabat dan juga kehormatan. Makin banyak dan luas lahan pala yang dipunyai, maka makin disegani dalam tatanan masyarakat Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya.

Di masa lalu, 80 persen kebutuhan pala dunia dipenuhi dari Indonesia. Saat ini, berdasarkan data Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Aceh Selatan adalah harapan kedua bagi Indonesia setelah Provinsi Maluku sebagai penghasil pala. Memang hasil pala pernah mengakibatkan negara ini dijajah Inggris dan Belanda. Pala adalah salah satu bahan rempah yang diincar bangsa Eropa di masa itu.

Pada tahun 2001, Aceh Selatan masih menghasilkan 4.937 ton pala. Menurut data Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Aceh Selatan, hasil ini berasal dari 4.424 hektar lahan yang ditumbuhi tanaman pala yang sudah menghasilkan. Selain itu terdapat 2.289 hektar lahan pala yang belum menghasilkan.

Saat ini kondisi tanaman pala sudah sangat memprihatinkan. Sebabnya antara lain serangan penyakit dan hama yang menyebabkan banyak tanaman pala mati dan atau tidak bisa seproduktif sebelumnya. Kumbang Bathocera Sp adalah salah satu hama yang selama ini sangat serius menggerogoti rerimbunan tanaman pala yang menjanjikan.

Mewabahnya hama kumbang ini, disebabkan oleh menipisnya populasi Cicem Pala (burung murai batu –red). Cicem Pala banyak diburu manusia karena kemerduan suaranya dan kemolekan tubuhnya.

Berdasarkan data yang ada pada Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Selatan, selama enam tahun (1994-2000) rata-rata terjadi penurunan produksi 325 ton setiap tahun atau setara dengan kehilangan uang Rp 6,5 milyar. Data juga menyebutan sebanyak 15.443 keluarga petani menggantungkan hidup pada tanaman pala.

****

MENURUT Nasri, saat ini bukan hanya ayahnya saja yang susah mencari penghasilan di kampung. Menurutnya, dalam beberapa bulan terakhir ini petani pala di kampungnya tidak lagi leluasa dalam mengurus kebun pala di gunung.

Apalagi, "Kalau pergi ke gunung, kita harus melapor ke pos tentara di kampung."

Mereka juga, kata Nasri, diharuskan meninggalkan kartu tanda pengenal (KTP) di pos tentara. Jika ini tidak dipatuhi oleh petani dan petani pala, bisa-bisa mereka akan dituduh sebagai pemasok logistik bagi pasukan gerilyawan. Setelah selesai mengurus tanaman pala, para petani pala pun diwajibkan melapor jumlah timbangan biji pala yang mereka peroleh hari itu.

"KTP yang ditinggal itu, nanti ketika pulang dari gunung ambil lagi," katanya.

Mereka juga ditanyai seputar tujuan mereka di kebun. Juga, mereka diberi batas waktu berkebun.

"Jika batas itu dilanggar, katanya mereka tidak mau bertanggung jawab," ujar Nasri, tanpa memerinci maksudnya.

****

KISAH miris itu terus berlanjut dengan episode lainnya. Yang tragisnya, kata Nasri, petani pala mesti memberi upeti untuk setiap kilo dan jumlah bambu biji pala yang dibawa pulang. Upeti atau komisi itu, pada mulanya diperkenalkan oleh pasukan gerilyawan.

Nasri tidak mau mengada-ada. Di suatu hari di tahun 2001, ia pernah diminta upeti oleh pasukan gerilyawan. Upeti itu berupa komisi dari harga jual pala.

"Mereka meminta setiap kilo pala, sebesar Rp 500," katanya.

Jika tidak memberi upeti, mereka juga diharuskan menjual biji pala kepada agen yang telah ditentukan mereka.

"Harga pala di agen itu, lebih murah jika dibanding pada agen lainnya," Nasri menuturkan.

Pada tahun 2001 itu, harga biji pala basah per kilogram mencapai Rp 7.500 sampai Rp 8.000. Upeti yang harus disisihkan kepada gerilyawan, sebesar Rp 400. Sementara Rp 100 adalah keuntungan yang diambil oleh para agen. Dalam sehari, biasanya petani pala bisa membawa hasilnya sekitar 30 sampai 50 kilogram biji pala basah.

Ia pernah berusaha menolak pemintaan upeti ini. Ceritanya, usai dari gunung, ia membawa pulang biji pala sekitar 30 kilogram. Namun, ia tidak mau memberitahu kepada awak nanggroe itu. Namun, upaya sembunyi Nasri akhirnya diketahui juga oleh anggota gerilyawan. Tak pelak, mereka mendatangi rumah Nasri dan meminta jatah upeti itu.

"Saya tetap bersikeras tidak mau memberikan upeti itu," kenangnya. Atas sikapnya ini, ia diancam akan dihabisi.

"Mereka mengancam, kalau saya tidak kasih komisi ke mereka, saya akan ditembak," ujar Nasri, dengan suara agak gemetar, menahan kegeramannya ketika mengingat kisah ini.

Nasri terus bertahan dengan pendiriannya. Ketika itu, kisahnya, ia tidak lagi mendengar omongan para gerilyawan itu dan langsung beranjak keluar dari rumahnya.

Di luar dugaannya, ternyata sang ayah akhirnya memenuhi pemintaan pasukan gerilyawan.

"Mungkin ayah takut saya diapa-apakan, lalu ayah memberi apa yang mereka minta," kata Nasri, sambil meneguk segelas kopi di sebuah warung di pinggiran kota Banda Aceh.

Sesaat Nasri terdiam. Ia meneguk kopi aceh yang ada di gelasnya. Itu adalah tegukan terakhir. Sembari menerawang, ia menyulut rokok kesayangannya.

Sejak awal tahun 2003, keadaan di kampungnya berubah. Jika dulu gerilyawan yang berkuasa, kini pasukan pemerintah yang memegang peranan. Mereka juga meminta imbalan dari penghasilan para petani pala. Nasri tidak habis pikir. Menurutnya, seharusnya aparat keamanan itu bisa memberikan jaminan keamanan dan pengayoman kepada masyarakat yang kini sangat terjepit itu.

Namun, "Ternyata mereka juga meneruskan perilaku gerilyawan," katanya, sambil tersenyum getir.

Kini, kata Nasri, pihak tentara juga meminta jatah dari petani pala yang ada di daerah itu. Jatah komisi yang harus dibayar petani, juga masih berkisar antara Rp 400 sampai Rp 500 per kilogram atau are biji pala basah.

Modus operandi yang dilakonkan pasukan berseragam ini, dengan menginstruksikan kepada petani pala untuk menjual pala kepada agen yang telah ditentukan. Nanti, agenlah yang akan menyetor uang persenan kepada aparat. Ini adalah bentuk lain dari monopoli pembelian pala.

Salah seorang petani pala di Blang Pidie menuturkan, sejak adanya monopoli pembelian pala, pendapatan petani pala otomatis berkurang. Betapa tidak, mereka harus menyetor sejumlah Rp 400 kepada aparat keamanan. Komisi ini, kata petani itu, diambil dengan alasan uang pengamanan.

Para petani pala di Abdya menyebutnya dengan Undang-Undang (UU)!

"UU" ini keluar setelah digelar musyawarah para petua kampung untuk menanggung beban bersama. Jika para petani pala tidak bersedia membayar komisi ini, aparat itu akan mengambil komisi dari agen atau toke. Praktis, kondisi ini juga akan membuat anjloknya harga beli biji pala. Atas dasar itu, mereka sepakat untuk "rela" dipajaki.

"Sebab jika tidak dibebabkan kepada petani pala, nanti yang menjadi korban ya toke pala," kata salah seorang petua masyarakat di Blang Pidie.

Keputusan bersama ini diambil setelah diadakannya musyawarah antara petani pala dengan toke atau agen yang menampung hasil pala dari petani.

"Ini dilakukan untuk menghilangkan beban yang terlalu besar kepada toke pala. Kami harus memotong dari hasil penjualan pala penduduk agar pihak toke tidak begitu berat beban," ujarnya.

Terasa terdengar wajar apa yang dikemukakan petua masyarakat itu. Hal ini juga disebabkan oleh adanya pajak dua arah.

"Tahu sendirilah kami harus juga membayar untuk si A dan juga si B," katanya, lagi.

Lalu, bagaimana cara mereka bisa menentukan untuk menarik komisi?

Simak apa yang dikemukakan salah seorang agen pala berikut ini.

Menurut toke yang enggan disebutkan namanya ini, pihaknya selalu membeli pala berdasarkan aturan tidak tertulis yang telah digariskan. Artinya, setiap proses transaksi jual-beli pala ini, harus dicatat. Toke memberi sedikit catatan transaksi kepada si penjual atau petani pala. Lalu, petani pala menyerahkan kertas catatan itu kepada tentara ketika akan mengambi KTP yang dititipkan di pos tentara, pada saat akan ke gunung. Nah, berdasarkan catatan itu, si tentara akan mengambil retribusi atau komisi dari agen.

Akibat adanya pemungutan komisi tidak resmi ini, tak pelak memberi uang ekstra kepada aparat yang bertugas di daerah itu. Seorang penduduk Blang Pidie mengemukakan, ia memprediksi per hari, aparat keamanan berhasil meraup untung mencapai Rp 2 juta sampai Rp 3,5 juta.

"Kami telah dijadikan sapi perah mereka," tutur lelaki paruh baya ini.

Kondisi ini, telah berlangsung lama, sejak September 2003 hingga sekarang.

"Kami sangat tersiksa dengan perilaku ini. Ke mana kami harus mengadu?" katanya.

Tentu kondisi ini membuat masyarakat petani pala tidak bisa bekerja secara leluasa. Juga, mereka mengakui dengan adanya setoran ini, jadi malas ke gunung. Bahkan, mereka juga kadangkala dilarang ke gunung untuk jangka waktu tertentu. Praktis kondisi ini, bisa menciptakan banyak pengangguran di daerah penghasil pala terbesar di Aceh itu.

"Sekarang banyak dari kami yang sudah menjadi pengangguran," kata seorang pemuda.

Ia lalu mengumpamakan dengan pepatah orang tua dulu.

"Buya krueng teudong-dong, buya tameung meuraseuki (Buaya darat tidak dapat apa-apa, sementara buaya (pendatang) banyak dapat rezekinya)," kata pemuda itu mengumpamakan.

Ia berharap, kondisi ini tidak berlangsung lama lagi. Menurutnya, masyarakat sudah tidak bisa menahan lagi ketersiksaan yang sudah sangat besar ini.

"Kami sudah sangat tersiksa di sini sejak pemberlakuan darurat militer," lanjutnya.

****

SUDAH jatuh tertimpa tangga. Itulah perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan kondisi petani pala di Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya selama ini. Musibah alam berupa kumbang Bathocera Sp menyebabkan banyak tanaman pala yang tidak berproduksi secara maksimal. Lalu, ditambah dengan pemalakan tanpa henti yang dialami petani pala. Pala yang bisa dibuat menjadi minyak pala, sirup dan manisan itu, pun terancam kelestariannya. [r]

Rabu, Desember 08, 2004

Ada yang Tidak Tahu Konflik Aceh

Reporter: Radzie - Jakarta

“Payah TNI, main tembak aja. Belum tentu bersalah juga,” kata seorang anak jalanan, seakan memberi penjelasan kepada kawannya, ketika melihat foto dua Tenaga Pembantu Operasi (TPO) yang diduga tewas ditembak anggota GAM.

Beberapa anak jalanan sibuk memelototi pajangan foto yang dipamerkan di stan acehkita, Sabtu (28/8) di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. Pandangan mereka, tertuju pada sebuah foto mayat yang berdarah-darah.

“E, ini di mana, ya?” tanya salah seorang anak jalanan itu kepada kawannya.

“Di Iraq, kali,” sahut yang lainnya. “Ambon!”

“Bukan! Ini di Aceh,” kata kawannya yang satu lagi. “Baca tulisan di bawah foto.”

Anak yang memakai baju kaos bercelana pendek itu, lalu termangut-mangut. Ia lalu membaca caption foto yang ada di bawahnya. Raut wajahnya, seketika berubah. Dahinya berkerut, begitu tahu kejadian itu di Aceh, sebuah provinsi yang terletak di ujung barat Indonesia.

“Ngeri,” katanya, sambil berlalu meninggalkan stan acehkita.

Hari Minggu (29/8), sekitar lima anak jalanan yang lain datang melihat-lihat pameran Bazar Media yang diselenggarakan dalam rangka memperingati 10 tahun keberadaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Seorang anak yang bertubuh tinggi kurus, terlihat seakan menjadi “penunjuk” jalan bagi kawannya untuk melihat foto-foto menarik.

Satu per satu foto yang menurutnya menarik, diperlihatkan kepada empat kawannya. Rata-rata anak ini menunjuk foto mayat. Bahkan, ia juga menunjuk gambar dua tengkorak yang ditemukan di Lhok Ndoe, Simpang Tiga, Sibreh Aceh Besar. Kedua tengkorak warga sipil yang diduga dibantai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini, ditemukan dalam satu liang.

Dua buah foto yang menampilkan dua Tenaga Pembantu Operasi (TPO) yang tewas ditembak GAM, membuat anak jalanan ini berkomentar pedas. Ia tidak lagi membaca keterangan foto yang dibuat acehkita.

“Payah TNI, main tembak aja. Belum tentu bersalah juga,” katanya seakan memberi penjelasan kepada kawannya yang berdiri di samping kanannya. Anak-anak jalanan itu, diperkirakan masih berumur delapan atau sembilan tahun.

Kawannya yang berpakaian lusuh, terlihat hanya mengangguk. Matanya masih menatap sebuah foto yang menampilkan mayat yang mengucurkan darah segar. Lama ia menatap foto yang mengerikan itu. Ia baru tersentak kaget, setelah tanggannya dihentak seorang kawan lainnya.

“Lihat yang lain aja,” ajak kawannya.

Lima anak jalanan itu, akhirnya meninggalkan stan acehkita.

Tak berapa lama setelah lima anak jalanan tersebut meninggalkan stan acehkita, seorang pria berpakaian rapi, datang melihat-lihat pajangan foto.

“Wah, ternyata ada ya, foto-foto korban seperti ini. Saya tanya sama salah seorang kawan saya di sana, katanya tidak ada,” kata pria itu terheran-heran.

Penjaga stan acehkita, lalu menceritakan, bahwa banyak rakyat sipil yang menjadi korban semasa pemberlakuan darurat militer di Aceh. Ini, kata penjaga stan itu, hanya beberapa foto saja yang dipajang dari sekian banyak foto serupa yang dimiliki acehkita.

“Kalau mau lihat lagi, Bapak buka situs kami aja,” kata salah seorang staf acehkita.

Lelaki itu hanya bisa termangut-mangut. Ia masih terus memelototi foto demi foto yang dipajang di stan berukuran 2x2 meter itu.

“Ini haluannya ke mana. Kiri atau kanan? Atau, tengah-tengah aja,” tiba-tiba lelaki berkulit putih itu, bertanya.

“Kita hanya berpihak kepada rakyat sipil,” kata staf acehkita, menjelaskan.

Mendengar penjelasan ini, lelaki itu, pamit, setelah melihat-lihat kesemua foto dan karikatur satir yang ada di stan itu.

Stan acehkita termasuk salah satu stan yang paling banyak dikunjungi, selain stan Tabloid Pulsa. Pasalnya, di stan tabloid ini, saban sore sejak pukul 18.00-19.00 WIB diadakan pelelangan telepon selular.

Stan acehkita pada Sabtu (28/8) atau hari keempat pameran, sempat dikunjungi Sri Bintang Pamungkas, mantan aktivis Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang pernah dijebloskan ke penjara semasa rezim Soeharto. Selain Bintang, Liem Soei Liong dari Tapol Internasional (LSM HAM yang bermarkas di London) juga menyempatkan diri berkunjung.

Pengunjung stan acehkita, terlihat membludak di hari pertama dan kedua. Untuk mengantisipasi ini, acehkita meminta “ruang” lainnya untuk menempel beberapa foto lain. Akhirnya, Panitia dari AJI memperbolehkan acehkita menempel empat frame foto di dinding samping stan Tempo Inti Media yang berada persis di depan stan acehkita.

Dalam acara Bazar Media yang diikuti 33 lembaga pers dan penerbitan itu, Acehkita menampilkan sebanyak 106 lembar foto. Foto yang paling dominan dipamerkan adalah foto rakyat sipil yang menjadi korban semasa setahun pemberlakuan darurat militer, yang diperpanjang lagi dengan darurat sipil. Sejak 19 Mei 2003 hingga 18 Mei 2004, Pemerintah Pusat memberlakukan status darurat militer di Aceh. Pada 19 Mei 2004, Jakarta menurunkan status Aceh, menjadi Darurat Sipil selama enam bulan, yang akan berakhir pada 18 November 2004 mendatang.

Namun, ada juga beberapa foto yang bersifat human interest, seperti foto Muhammaddin, salah seorang pemulung di Banda Aceh, yang diabadikan melalui rekaman lensa Fajar M, usai perayaan HUT RI ke-59 di Blang Padang Banda Aceh.

Foto kematian Ersa Siregar, dan pembebasan Ferry Santoro, reporter dan kameramen RCTI, juga menarik minat pengunjung, selain foto-foto bernuansa pemilu presiden putaran pertama, 5 Juli lalu.

Bahkan, seorang ibu yang berkunjung bersama dua anak gadisnya, terlihat terus mengamati foto-foto yang menampilkan dua wartawan stasiun televisi swasta nasional pertama di Indonesia itu. Padahal, seorang anak gadisnya, terlihat menarik tangan sang ibu mengajak melihat-lihat ke stan lain.

“Entar dulu. Ini lihat mayat Ersa,” kata sang ibu memberi penjelasan kepada anak gadisnya yang sudah tidak sabaran itu.

Foto Ersa yang dipajang adalah foto ketika Ersa disalatkan oleh masyarakat dan perwira serta prajurit TNI di Makodim 0103 Aceh Utara. Usai melihat gambar Ersa dan Ferry Santoro, ibu itu bukannya memenuhi keinginan anak-anaknya. Ia terus saja melihat-lihat foto-foto lainnya.

Beberapa foto korban penembakan, seperti foto jepretan Misrie yang mengabadikan seorang korban yang otaknya terburai, terpaksa ditutup dengan kertas, agar tidak terkesan vulgar dan sadis. Beberapa pengunjung, termasuk wanita, malah menyempatkan diri untuk menyibak kertas putih itu, untuk melihat foto-foto otak terburai itu.

Banyak yang bersimpati dengan kejadian di Tanah Seulanga. Seorang pengunjung yang mengaku dari sebuah lembaga swadaya masyarakat yang konsern dengan Hak-hak Asasi Manusia (HAM) di Jakarta, sempat meminta acehkita untuk memberikan data-data tentang pelanggaran HAM di Aceh.

Bahkan, seorang perempuan muda, terlihat betah berlama-lama di depan pajangan foto yang banyak menampilkan kematian itu. Perempuan yang memakai baju merah dipadu celana panjang berwarna hitam, justru seakan tidak mau melewatkan satu pun foto-foto hasil jepretan kontributor acehkita di Aceh.

Namun, tidak jarang, pengunjung juga tidak sanggup melihat tampilan foto-foto yang dipajang acehkita tersebut.

“Takut,” kata salah seorang gadis yang menjaga salah satu stan yang berdekatan dengan stan acehkita.

Tidak semua pengunjung yang menyatakan rasa simpatinya terhadap penderitaan korban di Aceh. Salah seorang pria malah sempat mencibir.

“Kalian jual data ke negara asing, ya?” cibir pria itu.

Mungkin sebelum melontarkan pertanyaan ini, pria berbadan tegap tersebut, terprovokasi dengan sebuah tulisan yang dipajang di antara 17 frame foto yang dipamerkan acehkita.

“Bagaimana selama ini kalian bisa berjalan? Karena menukarkan data, kan? Sama seperti… (menyebutkan sebuah LSM –red.),” timpalnya lagi.

Mendengar beberapa pertanyaan yang dicecar, dua staf acehkita yang menjaga stan ketika itu hanya bisa senyam-senyum.

Tidak sedikit pula yang mempertanyakan kebenaran foto tersebut. Salah seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Jakarta, bahkan mengaku tidak percaya di Tanah Serambi Mekkah ada banyak korban berjatuhan seperti yang tengah disaksikan di hadapan matanya itu.

“Ini benar di Aceh?” tanya mahasiswi itu, seakan tidak percaya.

Pasalnya, menurut penuturan mahasiswi itu, dia tidak mendapatkan informasi seperti ini, di media nasional dan ibu kota lainnya.

“Bagaimana foto-foto ini bisa diambil?” dia bertanya dengan wajah yang serius, masih tidak percaya.

Penjaga stan acehkita lalu menjelaskan bagaimana media yang konsern memberitakan perang di Tanah Seulanga, ini mendapatkan foto-foto yang bagi sebagian orang “mengerikan” itu.


***

Minggu (29/8), pukul 18.30 WIB. Bazaar Media AJI, ditutup. Belasan lembaga yang ambil bagian dalam bazaar itu, sibuk mengepak barang-barangnya. Puluhan pengunjung, masih tampak melihat-melihat beberapa stan yang belum tutup. Beberapa pengunjung, malah makin memadati stan acehkita. Padahal, Tuahta Arif dari Acehkita, sudah mengepak beberapa barang. Namun, ia urung mencopot 17 frame foto. Pasalnya, sekitar 10 pengunjung masih terus melihat-lihat koleksi acehkita itu.

“Sebentar lagi aja,” kata Tuah kepada kawannya.

Satu per satu pengunjung mulai meninggalkan stan acehkita. Tuah pun, akhirnya mencabut frame foto yang dipasang di dinding partisi ruang utama.

Sebelumnya, pada pukul 17.30 WIB, usai temu presenter, panitia AJI secara resmi menutup acara bazar yang berlangsung selama lima hari itu. Bazar Media yang dibuka Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Ratna Sarumpaet yang juga sutradara Teater Satu Merah Panggung yang pernah mementaskan Alia Luka Serambi Mekkah, diikuti 33 lembaga pers dan penerbitan di Jakarta, dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia. Di antaranya, Tempo Inti Media, Majalah Trust, Forum, Bussiness Week edisi Indonesia, Sinar Harapan, The Habibie Centre (THC), Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), LKiS Yogyakarta dan Mizan Bandung.

Sebelumnya, Bazar Media juga diramaikan dengan bedah diskusi, bedah buku Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa dan Gelombang Kematian: Media Pengobar Genosida di Yugoslavia. Ada pemutaran film Fahrenheit 9/11 karya Michael Moore yang monumental dan sebuah film dokumenter tentang Veronica Guerin, seorang wartawan investigasi asal Irlandia yang tewas karena membongkar mafia obat bius, selain temu presenter dengan sejumlah presenter dari RCTI, SCTV, Metro TV dan beberapa televisi lainnya. [r]

Jumat, Desember 03, 2004

Mencapai Perbatasan [1]

9 November 2004
PERJALANAN dari Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng Jakarta ke Bandara Polonia Medan, terasa berjalan lama. Pikiran saya terus melayang supaya bisa segera berkumpul bersama keluarga, orang yang saya cintai dan orang-orang terdekat saya.

Jarum jam masih menunjukkan angka 09.12 WIB, ketika saya keluar dari lambung pesawat Adam Air yang mendarat di Bandara Polonia Medan.

Saya bergegas menuju ke tempat pengambilan bagasi dan segera saja meluncur ke Rumah Sakit Islam Malahayati yang terletak di Jalan Diponegoro Medan. Di sana, saya dan dua kawan akan mengambil tiket bus dengan menggunakan jalur darat. Keluarga kawan saya di Medan, sudah menunggu di rumah sakit itu.

Selembar tiket bus Kurnia, untuk dua orang, diberikan kepada kawan saya. Kami lalu mengganti biaya.

Jalur darat kami pilih, karena tiket pesawat Jakarta-Banda Aceh, sangat mahal, untuk ukuran saya. Wajar, karena menjelang perayaan Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 14 November 2004.

Sekitar pukul 12.03 WIB, kami berangkat ke Jalan Gajah Mada, tempat bus Kurnia mangkal. Lama juga kami berada di sana. Seharusnya, pukul 12.30 WIB bus sudah meninggalkan poolnya. Namun entah kenapa, baru pada pukul 13.00 WIB, bus baru berangkat.

Dalam perjalanan, saya mencoba memejamkan mata. Di luar bus, rintikan hujan membasahi jalanan yang membawa saya keluar dari Sumatera Utara. Mata saya sangat lelah. Maklum, malam sebelum berangkat, saya hanya sempat tidur satu jam, karena harus menyelesaikan pekerjaan yang akan saya tinggalkan selama dua pekan.

Seteklah bisa memejamkan mata sekitar 30 menit, saya kembali terjaga. Bus berhenti di sebuah SPBU, mengisi bahan bakar dan perbaikan kecil sebelum melanjutkan perjalanan jauh. Hujan masih belum berhenti ketika saya terjaga. Bus tak segera berangkat. Pikiran saya terus berkeliaran ke kampung halaman. Perjalanan akan memakan waktu sekitar 11 jam. Benar-benar akan menjadi hari yang melelahkan, sepanjang hidup saya.

Pukul 14.00 WIB, bus baru berangkat. Hujan sudah agak mereda. Jalanan licin, membuat sopir yang saya taksir berumur 40-an tahun berhati-hati dalam menekan pedal gas.

Mata tidak lagi terpejam. Saya mencoba tidur, tapi tidak bisa. Saya segera ingin mencapai perbatasan. Keinginan untuk cepat sampai perbatasan bukan tanpa alasan. Ketika singgah di RSI Malahayati, seorang dari Aceh mewanti-wanti razia identitas yang dilancarkan aparat keamanan.

“Pake KTP apa?” tanya orang itu.

“Merah Putih,” jawab saya.

Dia terdiam. Saya melihat dia agak tersenyum.

“Kalau KTP Kuning atau KTP luar Aceh, perjalanan akan lebih aman,” ujarnya.

Saya hanya bisa memandangi kawan yang duduk di samping. Kami membisu.

“Kalau KTP Merah Putih, biasanya harus ada surat jalan, kalau bepergian jauh,” lanjutnya lagi.

“Kami sudah lama tinggal di Jakarta,” balas kawan saya.

Tidak ada jawaban dari orang itu. Kami lalu bertanya, bagaimana situasi di jalan. Di daerah mana saja yang sering dilakukan razia atau pemeriksaan identitas.

“Tidak bisa dipastikan,” katanya.

Benar-benar gelap! Ini adalah perjalanan pertama saya dari Medan ke Banda Aceh, melalui jalur darat. Saya tidak tahu medan yang akan saya lewati. Namun, saya agak sedikit lega, setelah barang bawaan saya tidak ada yang berbahaya. Hanya baju. Selebihnya tidak ada. Sebelumnya, saya menyerahkan satu unit handphone kepada kawan, yang menjemput di Medan. Telepon itu, milik dia, yang dia titip beli di Jakarta. Ketika di Medan, saya berikan kepadanya.

***

Bus tidak segera mencapai perbatasan. Saya makin gusar, karena tidak sabar ingin segera mencapai perbatasan. Laju bus AC itu, lambat. Benar-benar membuat saya tidak sabar. Saya mencoba memejamkan mata. Tapi tetap tidak bisa. Entah kenapa. Di luar, hujan masih membasahi bumi. Entah kenapa, kali ini saya ingin hujan tidak berhenti.

“Kalau hujan, tidak ada razia,” batin saya.

Saya terus memandangi suasana jalan dan mengamati setiap kampung yang saya lewati. Setiap mencapai kecamatan baru, saya selalu mengirimi pesan pendek kepada kawan saya. Ini sering saya lakukan dalam setiap perjalanan jauh.

Sudah mencapai Binjai. Tak berapa lama, perbatasan, akan segera tampak. Jam sudah menunjukkan angka 17.15 WIB. Sudah sore. Perut saya mulai keroncongan. Ketika di Medan, saya mengeluh perut saya yang sakit. Saya berusaha untuk bertahan puasa.

Tak berapa lama, akhirnya bus yang membawa saya kembali ke Aceh, sampai juga ke perbatasan. Semula, saya melihat satu pos Polisi Militer. Seorang anggota berdiri di depannya, sembari mempersilakan bus dan kendaraan berjalan.

“Lho, katanya ada razia,” batin saya lagi.

Sebuah truk di depan, langsung merangsek, meninggalkan pos itu. “Perbatasan Sumatera Utara-Aceh”. Sebuah pamplet say abaca, begitu kira-kira isinya. Saya tidak terlalu sempat baca semua.

Ternyata dugaan saya salah. Pemeriksaan baru akan dilakukan setelah mencapai garis yang menjadi wilayah hukum Nanggroe Aceh Darussalam.

Sebuah pos berdiri di sana yang dijaga oleh beberapa petugas dari Polisi Militer. Mobil berhenti, mengantri pemeriksaan.

Giliran bus yang saya tumpangi, diperiksa.

“Assalamu’alaikum,” sapa petugas PM yang naik ke bus. Dia memakai seragam lengkap dengan senjata M-16 yang ditenteng di bahunya.

“Coba perlihatkan KTP,” katanya ramah.

Saya dan kawan yang duduk di depan, langsung saja merogoh dompet, mengeluarkan KTP. Ketika KTP saya pegang, petugas itu sudah berada di bangku nomor dua, di belakang saya. Petugas itu memperhatikan KTP dan mencocokkan dengan wajah si pemilik. Saya menduga, petugas itu akan kembali, memeriksa identitas saya. Ternyata, perkiraan saya salah. Petugas itu terus memeriksa penumpang di bagian belakang.

Seorang pemuda, tidak bisa menunjukkan KTP. Dia diturunkan, dan dibawa ke pos. Semua penumpang, terbelalak, mengetahui ada seorang penumpang lainnya yang tidak mengantongi KTP. Pak Sopir pun, terkejut.

“Kenapa?” tanyanya kepada kernet.

“Tidak ada KTP,” jawabnya. Kedua mereka berbicara dalam bahasa Aceh.

“Kok berani pulang kalau tidak ada KTP,” gumam sopir, sembari beranjak turun dari bus dan bergerak ke pos.

Saya terus memandangi beberapa aparat lainnya yang memeriksa kendaraan yang datang dari arah Aceh Tamiang. Tidak ada yang luput dari pemeriksaan. [bersambung]

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting