Sabtu, Desember 25, 2004

Ultah

Bismillahirrahmanirrahim!


“Selamat Ulang Tahun, semoga panjang umur dan sukses selalu.” Begitu bunyi dua pesan pendek (sandek) yang nangkring di telepon genggam saya. Pengirimnya, Dyna Keumala dan Nani Afrida. Keduanya, kawan saya di Banda Aceh. Dyna, bekas kolega saya di Tabloid Modus. Sekarang dia bekerja sebagai penyiar Radio Prima FM. Sementara Nani Afrida, kawan saya yang bekerja di The Jakarta Post. Dia koresponden TJP di Banda Aceh.

Saya membalas sandek itu dengan mengucapkan terimakasih atas perhatian yang mereka berikan.

Sebenarnya, saya tidak terlalu menghiraukan dengan ulang tahun itu. Bagi saya, itu adalah masa peralihan dan pertambahan umur. Bagi saya itu tidak terlalu berarti, jika saya tidak mengisinya dengan hal-hal positif.

Saya tidak pernah membuat acara merayakan ulang tahun. Karena, sejak kecil memang keluarga saya tidak memperkenalkan hal-hal begituan dalam hidup saya. Kami sekeluarga, tidak pernah merayakannya. Paling, kalau ada anggota keluaga kami yang bertambah umur, ayah dan ibu mendoakan semoga diberi umur panjang, dan sukses dalam hidup, dunia dan akhirat. Itu lebih bermakna, saya anggap, ketimbang merayakannya.

Pun, saya mengenal tradisi ada ulang tahun ini, ketika saya pindah ke Banda Aceh untuk melanjutkan pendidikan tinggi saya. Di sana, kawan-kawan memperkenalkannya. Setiap ada kawan yang ulang tahun, mereka selalu membuat acara, walaupun kecil-kecilan. Ngajak kawan minum kopi atau makan mie rebus. Saya juga terbawa dengan itu. Tapi, saya juga tidak merayakannya.

Pernah di tahun 2001, ketika saya ulang tahun, kawan mengajak makan-makan di sebuah café. Terus terang, saya tidak punya uang, untuk bisa membayar makan-makan itu. Uang dalam kantong saya, hanya Rp 50 ribu. Kalau saya meladeni makan-makan, berarti saya harus puasa untuk dua minggu, sebelum bulan baru menjumpai. Saat itu saya masih dikirimi uang dari kampung, untuk biaya hidup di Banda Aceh.

Tak kuasa menolak permintaan kawan, saya akhirnya meluluhkan permintaan mereka. Apalagi, selama ini kawan-kawan selalu mengajak makan-makan, kalau mereka ulang tahun. Dengan sebuah sedan corolla hitam milik kawan, saya bersama enam kawan, berangkat ke Juju café. Kami memesan makanan dan minuman yang paling murah. Untung kawan-kawan mengerti.

Itu adalah acara pertama yang saya buat. Setelah itu, tidak ada lagi.

Di masa-masa selanjutnya, setiap ada yang ulang tahun, kawan-kawan kost saya, selalu menyediakan telor, tepung, dan pernak-pernik yang bau lainnya. Jika si “pemilik” ulang tahun lengah, maka semua peralatan itu, ber”sarang” di atas kepala kawan yang ulang tahun itu.

Pernah sih saya berlaku jahil terhadap kawan yang ulang tahun. Junaidi namanya. Dia kawan dekat saya. Usianya di atas saya. Tapi di bangku kuliah, dia adik letting. Saya mengajak dia jalan-jalan ke depan rumah. Saya dan kawan lainnya, Murdani (kami memanggil namanya Pon), sudah mempersiapkan sebutir telor mentah yang akan dipecahkan di atas kepalanya. Saya dengan memakai sarung, mengajak Junaidi jalan-jalan. Sebuah kode isyarat dengan tangan, saya lambaikan ke arah si Pon.

Sambil berlari, Murdani memecahkan telor di atas kepala Junaidi. Saya menghindar, supaya pecahan itu tidak mengenai saya. Dia terkejut. Tapi tidak marah. Kejadiannya, pukul 22.00 WIB.

Di lain waktu, saya dan kawan-kawan di rumah, mengerjai Rizal. Dia kami mandikan dengan air “tujuh bau dan warna” di tengah malam buta. Dia menggigil. Tapi dia tidak marah. Di lain waktu, saya dikerja kawan-kawan di rumah. Tapi, saya tidak separah yang mereka alami. Hanya sebutir telor yang pecah di atas kepala saya. Itu karena saya lengah. Tapi, kami menikmati semua itu.

Di usia 24 kemarin, tidak ada yang pecah di atas kepala saya. Pada harinya, saya sibuk kerja. Pulang udah malam. Tak berapa lama, saya tertidur. Jadi mereka tidak bisa mengerjai saya.

Di usia 25 tahun, yang jatuh hari Sabtu ini, saya tidak lagi bersama kawan-kawan dekat saya. Maklum, sejak empat bulan lalu, saya pindah tugas ke Jakarta. Saya tidak bisa menemukan kejahilan kawan-kawan yang membuat senang. Biasanya, suara tawa Junaidi yang melengking, senyuman Murdani yang rada malu-malu, “petuah” Rizal yang bak orangtua, membuat saya senang. Mereka tidak lagi berada di dekat saya. Biasanya, kalau malam menjelang, kami sering menghabiskan malam di bawah pohon jambu yang ada dekat kamar Murdani, sembari cerita dan cet langet (berangan-angan). Juga, membicarakan masalah percintaan…

Tapi, tak apalah. Di Jakarta, saya bisa berteman dengan kawan-kawan baru saya, yang sangat baik-baik.

Ulang tahun yang jatuh bertepatan dengan Hari Natal ini, juga diprakarsai kawan-kawan. Saya sebenarnya tidak hendak merayakannya.

“Kak, Radzie ulang tahun,” kata Maimun kepada Kak Ita, setelah membaca sebuah imel yang saya kirim. Imel itu berisi kartu nama elektronik dari Plaxo.

Dia lalu mengumumkan pada semua isi kantor. Maimun mengajak malam itu juga, untuk makan-makan. Tapi saya bergeming. Karena memang belum sampai tanggalnya.

“Bakar ikan aja,” kata Bang Risman. Dia bos saya di kantor.

“Ide yang bagus,” batin saya, sembari mengiyakan.

Bakar ikan, tidak banyak menghabiskan uang, pikir saya lagi.

Pagi tadi, saya meminta Bang Jol untuk membeli ikan dan tetek bengek lainnya. Dia membeli ikan tongkol. Kami membakar di belakang kantor.

Maimun dan Tuahta, banyak membantu untuk menghidupkan api. Kak Ita dan Diana, mengurus ikan dan membuat bumbu. Bang Joe, membeli panggang. Bang Jol, mencari perlatan yang belum cukup.

Ikan sudah siap untuk dibakar. Api belum juga nyala. Bara untuk memanggang ikan, belum ada. Maimun terlihat marah-marah. Dia kecapaian, menyiasati api. Tuah mondar-mandir. saya berdiri di dekat pembakaran, mulai pesimis. Jam waktu makan siang, hampir tiba. Usaha menghidupkan api, beberapa kali dicoba, gagal.

“Wah, payah api ini,” kata Maimun.

Kak Ita, Tuah dan saya hanya bisa memandang onggokan arang yang masih belum terbakar. Padahal, minyak sudah banyak kami habiskan. Bang Joe marah-marah, apinya belum nyala. Dia lalu membantu menghidupkan api. Tidak membuahkan hasil. Dia membuat bumbu untuk ikan bakar kesukaannya.

Kak Ita, menyuruh Tuah mencari minyak tanah. Maimun belum juga bisa menghidupkan api. Segala usaha telah ia lakukan.

Dua liter minyak tanah, dibeli. Maimun menumpahkan ke dalam arang. Sebutir korek kayu, dilemparkan ke dalam arang. Api menyembul, mengeluarkan asap hitam ke udara.

“Langit-langit ini sudah hitam,” kata Tuah.

Kami hanya memandangi saja. Tidak berkomentar.

Kali ini, nyala api sudah membesar. Tapi, Maimun masih pesimis, api akan menjadikan arang menjadi bara yang bisa memanggang ikan-ikan itu. dia terus mencoba menghidupkan api. Tak berapa lama, usahanya berhasil. Arang-arang tidak lagi hitam. Dia berubah memerah. Pertanda ikan siap diletakkan di atasnya.

Satu, dua, tiga, empat….sampai tujuh ikan, diletakkan di atas panggang. Ia mengipas-ngipas api, supaya memanas.

“Pake kipas angin aja,” kata saya.

Kak Ita mengambil kipas angin. Tuah mencari wayer. Klop. Sekarang Maimun bisa tertawa girang. Dia berhasil memerahkan arang hitam menjadi panas tak tertahankan.

Satu per satu ikan menghitam. Baunya menusuk hidung. Perut semakin keronconga, lapar tak tertahankan. Maimun masih setia memegang kipas angin, mengipas-ngipas ke semua penjuru api. Tak berapa lama, satu per satu ikan dipindahkan ke piring. Bang Risman, ikut membantu. Ia menjaga ikan bakar, sampai benar-benar bisa dimakan.

Wuih! Saya senang. Maimun riang. Kak Ita, juga tak kalah senang dibanding kami berdua. Kami segera beranjak ke dapur, mengambil piring dan nasi.

“Ini ala kadarnya,” kata saya kepada si bos. Si bos yang saya maksud adalah, Dandhy Dwi Laksono.

“Terimakasih. Selamat ulang tahun ya,” kata Dandhy, sembari menjabat tangan saya.

“Thanks.”

Saya makan sampai puas.

“Selama di Jakarta, baru kali ini saya makan banyak,” kata saya kepada Kak Ita dan Diana, yang duduk di hadapan saya.

***

Kami semua senang, acara syukuran kecil-kecilan ini, bisa berhasil. Padahal perasaan saya sempat dag-dig-dug.

Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada kawan-kawan yang sudah membantu. Tanpa mereka, saya tidak bisa sesenang hari ini.

Ya Allah, panjangkan umurku. Berkahkan umurku ini, dengan amal kebaikan!
***

Sebuah sandek kembali mampir ke ponsel saya. "Met ultah ya! Bukan umur yang panjang, tapi amal plus prestasi yang banyak." Pengirimnya, MH. Saya sering memanggilnya Murizal. Dia bekerja sebagai koresponden Sinar Harapan di Banda Aceh. Sandek itu bisa menjadi pengingat, sekaligus cambuk untuk saya introspeksi diri. [r]

1 comments:

Anonim mengatakan...

halo Mas,gimana kabarnya?semoga gak papa ya.Kuatir kenapa-kenapa euy.

salam,
http://blog.bintangbola.com

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting