Kamis, Desember 23, 2004

Sampai Kapan Petani Pala Dipalak

Reporter: Radzie - Banda Aceh

DANU, sebut saja namanya begitu, adalah mahasiswa sebuah peguruan tinggi swasta di Banda Aceh. Sudah tiga bulan terakhir kiriman uang dari orangtuanya datang tida tepat waktu. Sebelumnya, dia selalu menerima kiriman dari kampung pada awal bulan. Kini uang dari kampung itu ditrimanya di akhir, itu pun dengan nominal yang jauh berbeda dari sebelumnya. Danu sepenuhnya bisa memahami kenapa kiriman untuknya jadi macet.

Jatah biaya hidupnya di Banda Aceh berkurang karena pendapatan orangtuanya seret beberapa bulan terakhir. Ayahnya bekerja sebagai petani pala di Blang Pidie, Aceh Barat Daya (Abdya).

Ketika harga pala melambung tinggi, ayah Danu acap mengirimnya uang lebih. Sehingga dalam beberapa saat, Danu tidak penah kehabisan uang sebagai pangkal hidupnya di Banda Aceh. Selama itu pula, Danu seringkali bisa menabung uang kiriman. Tabungannya itu pun bisa dipakai untuk membeli buku antara satu sampai dua judul dalam sebulan.

Namun, kondisi keamanan di kampungnya mengubah realitas hidup Danu. Dengan kiriman pas-pasan, ia mengatur pengeluarannya secara ketat. Hobinya mengoleksi buku, kini harus ia kubur dalam-dalam.

Seperti halnya Danu, Nasri (juga bukan nama sebenarnya), pun mengalami nasib serupa. Nasri kuliah di sebuah akademi swasta di Banda Aceh. Kiriman dari orangtuanya belakangan sering terlambat. Akibatnya, ia kerap kali harus berhutang pada temannya.

"Ayah saya susah mencari uang di kampung," kata Nasri.

Ayah Nasri sehari-hari juga berpofesi sebagai petani pala di kabupaten hasil pemekaran dari Aceh Selatan itu.

****

DI Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, pala adalah komoditas yang sempat menjadi primadona. Bahkan, tingkat kepemilikan kebun pala juga menunjukkan tingkat status sosial masyarakat tersebut. Tanaman yang satu ini juga diakui sebagai lambang kebonafidan suatu keluarga, lambang martabat dan juga kehormatan. Makin banyak dan luas lahan pala yang dipunyai, maka makin disegani dalam tatanan masyarakat Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya.

Di masa lalu, 80 persen kebutuhan pala dunia dipenuhi dari Indonesia. Saat ini, berdasarkan data Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Aceh Selatan adalah harapan kedua bagi Indonesia setelah Provinsi Maluku sebagai penghasil pala. Memang hasil pala pernah mengakibatkan negara ini dijajah Inggris dan Belanda. Pala adalah salah satu bahan rempah yang diincar bangsa Eropa di masa itu.

Pada tahun 2001, Aceh Selatan masih menghasilkan 4.937 ton pala. Menurut data Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Aceh Selatan, hasil ini berasal dari 4.424 hektar lahan yang ditumbuhi tanaman pala yang sudah menghasilkan. Selain itu terdapat 2.289 hektar lahan pala yang belum menghasilkan.

Saat ini kondisi tanaman pala sudah sangat memprihatinkan. Sebabnya antara lain serangan penyakit dan hama yang menyebabkan banyak tanaman pala mati dan atau tidak bisa seproduktif sebelumnya. Kumbang Bathocera Sp adalah salah satu hama yang selama ini sangat serius menggerogoti rerimbunan tanaman pala yang menjanjikan.

Mewabahnya hama kumbang ini, disebabkan oleh menipisnya populasi Cicem Pala (burung murai batu –red). Cicem Pala banyak diburu manusia karena kemerduan suaranya dan kemolekan tubuhnya.

Berdasarkan data yang ada pada Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Selatan, selama enam tahun (1994-2000) rata-rata terjadi penurunan produksi 325 ton setiap tahun atau setara dengan kehilangan uang Rp 6,5 milyar. Data juga menyebutan sebanyak 15.443 keluarga petani menggantungkan hidup pada tanaman pala.

****

MENURUT Nasri, saat ini bukan hanya ayahnya saja yang susah mencari penghasilan di kampung. Menurutnya, dalam beberapa bulan terakhir ini petani pala di kampungnya tidak lagi leluasa dalam mengurus kebun pala di gunung.

Apalagi, "Kalau pergi ke gunung, kita harus melapor ke pos tentara di kampung."

Mereka juga, kata Nasri, diharuskan meninggalkan kartu tanda pengenal (KTP) di pos tentara. Jika ini tidak dipatuhi oleh petani dan petani pala, bisa-bisa mereka akan dituduh sebagai pemasok logistik bagi pasukan gerilyawan. Setelah selesai mengurus tanaman pala, para petani pala pun diwajibkan melapor jumlah timbangan biji pala yang mereka peroleh hari itu.

"KTP yang ditinggal itu, nanti ketika pulang dari gunung ambil lagi," katanya.

Mereka juga ditanyai seputar tujuan mereka di kebun. Juga, mereka diberi batas waktu berkebun.

"Jika batas itu dilanggar, katanya mereka tidak mau bertanggung jawab," ujar Nasri, tanpa memerinci maksudnya.

****

KISAH miris itu terus berlanjut dengan episode lainnya. Yang tragisnya, kata Nasri, petani pala mesti memberi upeti untuk setiap kilo dan jumlah bambu biji pala yang dibawa pulang. Upeti atau komisi itu, pada mulanya diperkenalkan oleh pasukan gerilyawan.

Nasri tidak mau mengada-ada. Di suatu hari di tahun 2001, ia pernah diminta upeti oleh pasukan gerilyawan. Upeti itu berupa komisi dari harga jual pala.

"Mereka meminta setiap kilo pala, sebesar Rp 500," katanya.

Jika tidak memberi upeti, mereka juga diharuskan menjual biji pala kepada agen yang telah ditentukan mereka.

"Harga pala di agen itu, lebih murah jika dibanding pada agen lainnya," Nasri menuturkan.

Pada tahun 2001 itu, harga biji pala basah per kilogram mencapai Rp 7.500 sampai Rp 8.000. Upeti yang harus disisihkan kepada gerilyawan, sebesar Rp 400. Sementara Rp 100 adalah keuntungan yang diambil oleh para agen. Dalam sehari, biasanya petani pala bisa membawa hasilnya sekitar 30 sampai 50 kilogram biji pala basah.

Ia pernah berusaha menolak pemintaan upeti ini. Ceritanya, usai dari gunung, ia membawa pulang biji pala sekitar 30 kilogram. Namun, ia tidak mau memberitahu kepada awak nanggroe itu. Namun, upaya sembunyi Nasri akhirnya diketahui juga oleh anggota gerilyawan. Tak pelak, mereka mendatangi rumah Nasri dan meminta jatah upeti itu.

"Saya tetap bersikeras tidak mau memberikan upeti itu," kenangnya. Atas sikapnya ini, ia diancam akan dihabisi.

"Mereka mengancam, kalau saya tidak kasih komisi ke mereka, saya akan ditembak," ujar Nasri, dengan suara agak gemetar, menahan kegeramannya ketika mengingat kisah ini.

Nasri terus bertahan dengan pendiriannya. Ketika itu, kisahnya, ia tidak lagi mendengar omongan para gerilyawan itu dan langsung beranjak keluar dari rumahnya.

Di luar dugaannya, ternyata sang ayah akhirnya memenuhi pemintaan pasukan gerilyawan.

"Mungkin ayah takut saya diapa-apakan, lalu ayah memberi apa yang mereka minta," kata Nasri, sambil meneguk segelas kopi di sebuah warung di pinggiran kota Banda Aceh.

Sesaat Nasri terdiam. Ia meneguk kopi aceh yang ada di gelasnya. Itu adalah tegukan terakhir. Sembari menerawang, ia menyulut rokok kesayangannya.

Sejak awal tahun 2003, keadaan di kampungnya berubah. Jika dulu gerilyawan yang berkuasa, kini pasukan pemerintah yang memegang peranan. Mereka juga meminta imbalan dari penghasilan para petani pala. Nasri tidak habis pikir. Menurutnya, seharusnya aparat keamanan itu bisa memberikan jaminan keamanan dan pengayoman kepada masyarakat yang kini sangat terjepit itu.

Namun, "Ternyata mereka juga meneruskan perilaku gerilyawan," katanya, sambil tersenyum getir.

Kini, kata Nasri, pihak tentara juga meminta jatah dari petani pala yang ada di daerah itu. Jatah komisi yang harus dibayar petani, juga masih berkisar antara Rp 400 sampai Rp 500 per kilogram atau are biji pala basah.

Modus operandi yang dilakonkan pasukan berseragam ini, dengan menginstruksikan kepada petani pala untuk menjual pala kepada agen yang telah ditentukan. Nanti, agenlah yang akan menyetor uang persenan kepada aparat. Ini adalah bentuk lain dari monopoli pembelian pala.

Salah seorang petani pala di Blang Pidie menuturkan, sejak adanya monopoli pembelian pala, pendapatan petani pala otomatis berkurang. Betapa tidak, mereka harus menyetor sejumlah Rp 400 kepada aparat keamanan. Komisi ini, kata petani itu, diambil dengan alasan uang pengamanan.

Para petani pala di Abdya menyebutnya dengan Undang-Undang (UU)!

"UU" ini keluar setelah digelar musyawarah para petua kampung untuk menanggung beban bersama. Jika para petani pala tidak bersedia membayar komisi ini, aparat itu akan mengambil komisi dari agen atau toke. Praktis, kondisi ini juga akan membuat anjloknya harga beli biji pala. Atas dasar itu, mereka sepakat untuk "rela" dipajaki.

"Sebab jika tidak dibebabkan kepada petani pala, nanti yang menjadi korban ya toke pala," kata salah seorang petua masyarakat di Blang Pidie.

Keputusan bersama ini diambil setelah diadakannya musyawarah antara petani pala dengan toke atau agen yang menampung hasil pala dari petani.

"Ini dilakukan untuk menghilangkan beban yang terlalu besar kepada toke pala. Kami harus memotong dari hasil penjualan pala penduduk agar pihak toke tidak begitu berat beban," ujarnya.

Terasa terdengar wajar apa yang dikemukakan petua masyarakat itu. Hal ini juga disebabkan oleh adanya pajak dua arah.

"Tahu sendirilah kami harus juga membayar untuk si A dan juga si B," katanya, lagi.

Lalu, bagaimana cara mereka bisa menentukan untuk menarik komisi?

Simak apa yang dikemukakan salah seorang agen pala berikut ini.

Menurut toke yang enggan disebutkan namanya ini, pihaknya selalu membeli pala berdasarkan aturan tidak tertulis yang telah digariskan. Artinya, setiap proses transaksi jual-beli pala ini, harus dicatat. Toke memberi sedikit catatan transaksi kepada si penjual atau petani pala. Lalu, petani pala menyerahkan kertas catatan itu kepada tentara ketika akan mengambi KTP yang dititipkan di pos tentara, pada saat akan ke gunung. Nah, berdasarkan catatan itu, si tentara akan mengambil retribusi atau komisi dari agen.

Akibat adanya pemungutan komisi tidak resmi ini, tak pelak memberi uang ekstra kepada aparat yang bertugas di daerah itu. Seorang penduduk Blang Pidie mengemukakan, ia memprediksi per hari, aparat keamanan berhasil meraup untung mencapai Rp 2 juta sampai Rp 3,5 juta.

"Kami telah dijadikan sapi perah mereka," tutur lelaki paruh baya ini.

Kondisi ini, telah berlangsung lama, sejak September 2003 hingga sekarang.

"Kami sangat tersiksa dengan perilaku ini. Ke mana kami harus mengadu?" katanya.

Tentu kondisi ini membuat masyarakat petani pala tidak bisa bekerja secara leluasa. Juga, mereka mengakui dengan adanya setoran ini, jadi malas ke gunung. Bahkan, mereka juga kadangkala dilarang ke gunung untuk jangka waktu tertentu. Praktis kondisi ini, bisa menciptakan banyak pengangguran di daerah penghasil pala terbesar di Aceh itu.

"Sekarang banyak dari kami yang sudah menjadi pengangguran," kata seorang pemuda.

Ia lalu mengumpamakan dengan pepatah orang tua dulu.

"Buya krueng teudong-dong, buya tameung meuraseuki (Buaya darat tidak dapat apa-apa, sementara buaya (pendatang) banyak dapat rezekinya)," kata pemuda itu mengumpamakan.

Ia berharap, kondisi ini tidak berlangsung lama lagi. Menurutnya, masyarakat sudah tidak bisa menahan lagi ketersiksaan yang sudah sangat besar ini.

"Kami sudah sangat tersiksa di sini sejak pemberlakuan darurat militer," lanjutnya.

****

SUDAH jatuh tertimpa tangga. Itulah perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan kondisi petani pala di Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya selama ini. Musibah alam berupa kumbang Bathocera Sp menyebabkan banyak tanaman pala yang tidak berproduksi secara maksimal. Lalu, ditambah dengan pemalakan tanpa henti yang dialami petani pala. Pala yang bisa dibuat menjadi minyak pala, sirup dan manisan itu, pun terancam kelestariannya. [r]

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting