Kamis, Desember 23, 2010

Ibu (yang) Tegar

SEPEKAN ini saya bergulat dengan wawancara dengan sejumlah orangtua yang kehilangan buah hati mereka dalam gelombang tsunami, enam tahun silam. Mewawancarai mereka menjadi berat bagi saya. Apalagi kalau bukan karena harus mengorek kepedihan yang mereka alami dalam gelombang gergasi mematikan itu.

Saya tak hendak membangkitkan memori mereka untuk kembali mengenang petaka Minggu pagi itu. Sama sekali tidak. Beruntung, ibu-ibu yang saya wawancarai adalah orang-orang tegar yang pernah saya temui. Bagaimana tidak, mereka mau membagi cerita pedih itu kepada kita, walaupun airmata harus kembali menetes. Mereka dengan sabar menceritakan petaka yang merenggut buah hati mereka, enam tahun silam.

Selamat Hari Ibu...!!!

----
NOTE: Saya akan mengunggah kisah ibu-ibu yang tegar ini pada 26 Desember 2010. Tulisan ini untuk mengenang enam tahun hancurnya kampung kita.

Selasa, Desember 21, 2010

Dan Hasilnya Adalah....

Oleh FAKHRURRADZIE GADE
(radzie@acehkini.co.id)

Tes DNA menunjukkan bahwa Tarmizi dan Suryani bukan orangtua Riko Anggara. Namun, Suryani bersikukuh. Mereka meminta tes DNA diulang.

SURYANI tak sabar menunggu hasil tes DNA. Berkali-kali dia menelepon Anwar Yusuf Ajad menanyakan hasil tes yang dilakukan pertengahan Juli lalu. Lagi-lagi, upaya yang ditempuh Suryani dan suaminya, Tarmizi, tak membuahkan hasil. Tes DNA yang dilakukan untuk menelusuri jati diri Riko Anggara –bocah yang melejit namanya melalui kontes Idola Cilik di RCTI, sejatinya sudah keluar hasilnya pada 8 Agustus silam.
Suryani dan Tarmizi galau. Mereka tak sabar mengetahui hasil akhir pencarian anak mereka yang hilang dalam bencana tsunami empat tahun silam. Berkali-kali pula, Suryani menghubungi Anwar dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Aceh. Tetap saja, Anwar tak kunjung memberitahu hasilnya. Hingga pada medio September lalu, Suryani dan Tarmizi menyambangi kantor KPAID di bilangan Nyak Makam Lambhuk. Nah, di markas KPAID inilah, Anwar akhirnya buka kartu.

Anwar menyodorkan tiga lembar hasil tes DNA yang ditandatangani Dr. Djaja Surya Atmadja, SpF., PhD., SH, DFM dari Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hasil tes DNA itu menyebutkan bahwa Tarmizi dan Suryani bukan orangtua biologis Riko Anggara. Selama ini, Tarmizi dan Suryani menganggap bahwa Riko merupakan Rahmat Yani, anak mereka yang hilang saat tsunami menghumbalang Aceh empat tahun silam.

Hasil tes itu tak serta merta membuat Tarmizi dan Suryani lega. “Saya masih yakin bahwa Riko itu anak saya,” kata Suryani kepada ACEHKINI usai mengetahui hasil tes DNA, medio September lalu.

Pemeriksaan kecocokan kode genetis ini adalah babak lanjutan dari upaya Tarmizi – Suryani untuk membuktikan siapa Riko sebenarnya. Sebelumnya, Mei silam, mereka bertemu Riko di studio RCTI.

Meski saat itu Riko mengaku bukan anak Aceh, pasangan suami istri asal Neuheun, Aceh Besar, ini menyakini bocah itu adalah anak mereka: Rahmat. Selain kemiripan wajah, tanda luka di tubuh Riko sama persis dengan Rahmat.

Namun, tes kecocokan kode genetis yang dilakukan pada medio Juli itu menunjukkan bahwa Suryani dan Tarmiz sama sekali bukan orangtua kandung Riko Anggara, bocah berusia 12 tahun. Dalam pemeriksaan DNA itu, Dr Djaja memeriksa 10 lokus (daerah) Short Tandem Repeats (STR) yang berbeda dalam DNA manusia. Jadi, baik Tarmizi, Suryani, maupun Riko Anggara diambil sampel darah dan lendir di mulut bagian dalam untuk dites DNA.

Tes terhadap DNA Tarmizi Abdurrahman dan Riko Anggara menunjukkan ada tiga lokus yang sama sekali berbeda atau negatif (eksklusi). Sementara tujuh lokus lagi sesuai. Tiga lokus yang tidak sesuai adalah FGA, vWA, dan D7S820. Sementara pada Suryani, yang diduga sebagai ibu Riko Anggara, menunjukkan ada tujuh lokus yang tidak sesuai. Hanya lokus vWA, D5S818, dan TPOX saja yang sesuai dengan lokus DNA-nya Riko Anggara.

Dr Djaja Surya Atmadja mengatakan, seorang pria benar ayah dari seorang anak jika pada setiap lokus DNA yang diperiksa ditemukan keadaan sesuai, yaitu keadaan di mana satu ZDNA anak sama (identik) dengan salah satu DNA pria tersebut. Namun, seorang pria yang bukan ayah biologis dari seorang anak jika ditemukan dua lokus DNA atau lebih dalam keadaan Ekskusi. Ekskusi adalah tidak ada satupun DNA anak yang identik dengan salah satu DNA sang ayah.

Begitu juga dengan hasil tes DNA Suryani. Dalam tes itu menunjukkan bahwa banyak lokus yang bersifat eksklusi. Hanya tiga saja lokus antara Suryani dan Riko yang sesuai. Karenanya, Dr Djaja menyimpulkan bahwa Tarmizi dan Suryani bukanlah orangtua biologis dari Riko Anggara.

Tentu saja hasil tes DNA ini mengecewakan Suryani dan Tarmizi. Bahkan, Suryani malah tidak mempercayai hasil itu. Bagi Suryani, Riko merupakan anak mereka yang hilang saat tsunami menghumbalang Aceh. Keyakinan Suryani dikarenakan ditemukan banyak kemiripan antara Rahmat Yani dengan Riko Anggara.

“Semua tanda khusus Rahmat ada sama Riko. Kami sudah membuktikannya,” kata Suryani, kecewa. “Demi Allah, Riko itu anak kami.”

Bukan hanya Suryani yang tak percaya hasil ini. Rizky, abang Rahmat, juga sulit memercayainya. Bagi anak pertama pasangan Tarmizi dan Suryani ini, Riko adalah adiknya. Selain pada kemiripan wajah dan tiga tanda yang ada pada Riko, Rizky ternyata masih mengenali satu tanda lagi. “Rahmat di jempolnya ada luka,” kata Suryani.

Suryani mengetahui bahwa Rahmat mempunyai luka di jempolnya setelah diberitahu Rizky. “Hanya Rizky yang tahu Rahmat ada luka di jempolnya,” kata Suryani. “Dia luka saat membelah kelapa. Saat luka itu, Rahmat malah minta abangnya untuk tidak menceritakan pada saya.”

Sebelumnya, Suryani menandai ada tiga luka di tubuh Rahmat yang ditemui pada Riko. Tiga luka itu ada di paha, di atas kening, dan lutut. Bahkan, kata Suryani, Riko saja tidak terlalu ingat lagi dengan luka yang ada di bagian tubuhnya. Misalnya saat Suryani menanyakan perihal luka yang ada di jempolnya. “Riko malah tanya, kenapa saya tahu ada luka di jempolnya,” kata Suryani.

Melihat banyak kesamaan dan kemiripan antara Riko dengan Rahmat, Suryani masih berniat untuk melakukan tes kode genetik lanjutan. “Sekarang kami memang pasrah pada Allah. Kalau memang itu anak kami, suatu saat dia akan cari keluarganya. Tapi, kalau nanti ada biaya, kami akan minta dites DNA ulang,” ujar Suryani. “Tanda-tanda itu yang membuat kami yakin bahwa Riko itu adalah Rahmat.” ***

Minggu, November 21, 2010

Rabu, November 10, 2010

Obama Speech University of Indonesia Jakarta Full Text ·

Thank you for this wonderful welcome. Thank you to the people of Jakarta. And thank you to the people of Indonesia.I am so glad that I made it to Indonesia, and that Michelle was able to join me. We had a couple of false starts this year, but I was determined to visit a country that has meant so much to me. Unfortunately, it’s a fairly quick visit, but I look forward to coming back a year from now, when Indonesia hosts the East Asia Summit.

Before I go any further, I want to say that our thoughts and prayers are with all of those Indonesians affected by the recent tsunami and volcanic eruptions - particularly those who have lost loved ones, and those who have been displaced. As always, the United States stands with Indonesia in responding to this natural disaster, and we are pleased to be able to help as needed. As neighbors help neighbors and families take in the displaced, I know that the strength and resilience of the Indonesian people will pull you through once more.

Let me begin with a simple statement: Indonesia is a part of me. I first came to this country when my mother married an Indonesian man named Lolo Soetoro. As a young boy, I was coming to a different world. But the people of Indonesia quickly made me feel at home.

Jakarta looked very different in those days. The city was filled with buildings that were no more than a few stories tall. The Hotel Indonesia was one of the few high rises, and there was just one brand new shopping center called Sarinah. Betchaks outnumbered automobiles in those days, and the highway quickly gave way to unpaved roads and kampongs.

We moved to Menteng Dalam, where we lived in a small house with a mango tree out front. I learned to love Indonesia while flying kites, running along paddy fields, catching dragonflies, and buying satay and baso from the street vendors. Most of all, I remember the people - the old men and women who welcomed us with smiles; the children who made a foreigner feel like a neighbor; and the teachers who helped me learn about the wider world.

Because Indonesia is made up of thousands of islands, hundreds of languages, and people from scores of regions and ethnic groups, my times here helped me appreciate the common humanity of all people. And while my stepfather, like most Indonesians, was raised a Muslim, he firmly believed that all religions were worthy of respect. In this way, he reflected the spirit of religious tolerance that is enshrined in Indonesia’s Constitution, and that remains one of this country’s defining and inspiring characteristics.

I stayed here for four years - a time that helped shape my childhood; a time that saw the birth of my wonderful sister, Maya; and a time that made such an impression on my mother that she kept returning to Indonesia over the next twenty years to live, work and travel - pursuing her passion of promoting opportunity in Indonesia’s villages, particularly for women and girls. For her entire life, my mother held this place and its people close to her heart.

So much has changed in the four decades since I boarded a plane to move back to Hawaii. If you asked me - or any of my schoolmates who knew me back then - I don’t think any of us could have anticipated that I would one day come back to Jakarta as President of the United States. And few could have anticipated the remarkable story of Indonesia over these last four decades.

The Jakarta that I once knew has grown to a teeming city of nearly ten million, with skyscrapers that dwarf the Hotel Indonesia, and thriving centers of culture and commerce. While my Indonesian friends and I used to run in fields with water buffalo and goats, a new generation of Indonesians is among the most wired in the world - connected through cell phones and social networks. And while Indonesia as a young nation focused inward, a growing Indonesia now plays a key role in the Asia Pacific and the global economy.

This change extends to politics. When my step-father was a boy, he watched his own father and older brother leave home to fight and die in the struggle for Indonesian independence. I’m happy to be here on Heroes Day to honor the memory of so many Indonesians who have sacrificed on behalf of this great country.

When I moved to Jakarta, it was 1967, a time that followed great suffering and conflict in parts of this country. Even though my step-father had served in the Army, the violence and killing during that time of political upheaval was largely unknown to me because it was unspoken by my Indonesian family and friends. In my household, like so many others across Indonesia, it was an invisible presence. Indonesians had their independence, but fear was not far away.

In the years since then, Indonesia has charted its own course through an extraordinary democratic transformation - from the rule of an iron fist to the rule of the people. In recent years, the world has watched with hope and admiration, as Indonesians embraced the peaceful transfer of power and the direct election of leaders. And just as your democracy is symbolized by your elected President and legislature, your democracy is sustained and fortified by its checks and balances: a dynamic civil society; political parties and unions; a vibrant media and engaged citizens who have ensured that - in Indonesia - there will be no turning back.

But even as this land of my youth has changed in so many ways, those things that I learned to love about Indonesia - that spirit of tolerance that is written into your Constitution; symbolized in your mosques and churches and temples; and embodied in your people - still lives on. Bhinneka Tunggal Ika - unity in diversity. This is the foundation of Indonesia’s example to the world, and this is why Indonesia will play such an important role in the 21st century.

So today, I return to Indonesia as a friend, but also as a President who seeks a deep and enduring partnership between our two countries. Because as vast and diverse countries; as neighbors on either side of the Pacific; and above all as democracies - the United States and Indonesia are bound together by shared interests and shared values.

Yesterday, President Yudhoyono and I announced a new, Comprehensive Partnership between the United States and Indonesia. We are increasing ties between our governments in many different areas, and - just as importantly - we are increasing ties among our people. This is a partnership of equals, grounded in mutual interests and mutual respect.

With the rest of my time today, I’d like to talk about why the story I just told - the story of Indonesia since the days when I lived here - is so important to the United States, and to the world. I will focus on three areas that are closely related, and fundamental to human progress - development, democracy, and religion.

First, the friendship between the United States and Indonesia can advance our mutual interest in development.

When I moved to Indonesia, it would have been hard to imagine a future in which the prosperity of families in Chicago and Jakarta would be connected. But our economies are now global, and Indonesians have experienced both the promise and perils of globalization: from the shock of the Asian financial crisis in the 1990s to the millions lifted out of poverty. What that means - and what we learned in the recent economic crisis - is that we have a stake in each other’s success.

America has a stake in an Indonesia that is growing, with prosperity that is broadly shared among the Indonesian people - because a rising middle class here means new markets for our goods, just as America is a market for yours. And so we are investing more in Indonesia, our exports have grown by nearly 50 percent, and we are opening doors for Americans and Indonesians to do business with one another.

America has a stake in an Indonesia that plays its rightful role in shaping the global economy. Gone are the days when seven or eight countries could come together to determine the direction of global markets. That is why the G-20 is now the center of international economic cooperation, so that emerging economies like Indonesia have a greater voice and bear greater responsibility. And through its leadership of the G-20’s anti-corruption group, Indonesia should lead on the world stage and by example in embracing transparency and accountability.

America has a stake in an Indonesia that pursues sustainable development, because the way we grow will determine the quality of our lives and the health of our planet. That is why we are developing clean energy technologies that can power industry and preserve Indonesia’s precious natural resources - and America welcomes your country’s strong leadership in the global effort to combat climate change.

Above all, America has a stake in the success of the Indonesian people. Underneath the headlines of the day, we must build bridges between our peoples, because our future security and prosperity is shared. That is exactly what we are doing - by increased collaboration among our scientists and researchers, and by working together to foster entrepreneurship. And I am especially pleased that we have committed to double the number of American and Indonesian students studying in our respective countries - we want more Indonesian students in our schools, and more American students to come study in this country, so that we can forge new ties that last well into this young century.

These are the issues that really matter in our daily lives. Development, after all, is not simply about growth rates and numbers on a balance sheet. It’s about whether a child can learn the skills they need to make it in a changing world. It’s about whether a good idea is allowed to grow into a business, and not be suffocated by corruption. It’s about whether those forces that have transformed the Jakarta that I once knew -technology and trade and the flow of people and goods - translate into a better life for human beings, a life marked by dignity and opportunity.

This kind of development is inseparable from the role of democracy.

Today, we sometimes hear that democracy stands in the way of economic progress. This is not a new argument. Particularly in times of change and economic uncertainty, some will say that it is easier to take a shortcut to development by trading away the rights of human beings for the power of the state. But that is not what I saw on my trip to India, and that is not what I see in Indonesia. Your achievements demonstrate that democracy and development reinforce one another.

Like any democracy, you have known setbacks along the way. America is no different. Our own Constitution spoke of the effort to forge a “more perfect union,” and that is a journey we have travelled ever since, enduring Civil War and struggles to extend rights to all of our citizens. But it is precisely this effort that has allowed us to become stronger and more prosperous, while also becoming a more just and free society.

Like other countries that emerged from colonial rule in the last century, Indonesia struggled and sacrificed for the right to determine your destiny. That is what Heroes Day is all about - an Indonesia that belongs to Indonesians. But you also ultimately decided that freedom cannot mean replacing the strong hand of a colonizer with a strongman of your own.

Of course, democracy is messy. Not everyone likes the results of every election. You go through ups and downs. But the journey is worthwhile, and it goes beyond casting a ballot. It takes strong institutions to check the concentration of power. It takes open markets that allow individuals to thrive. It takes a free press and an independent justice system to root out abuse and excess, and to insist upon accountability. It takes open society and active citizens to reject inequality and injustice.

These are the forces that will propel Indonesia forward. And it will require a refusal to tolerate the corruption that stands in the way of opportunity; a commitment to transparency that gives every Indonesian a stake in their government; and a belief that the freedom that Indonesians have fought for is what holds this great nation together.

That is the message of the Indonesians who have advanced this democratic story - from those who fought in the Battle of Surabaya 55 years ago today; to the students who marched peacefully for democracy in the 1990s, to leaders who have embraced the peaceful transition of power in this young century. Because ultimately, it will be the rights of citizens that will stitch together this remarkable Nusantara that stretches from Sabang to Merauke - an insistence that every child born in this country should be treated equally, whether they come from Java or Aceh; Bali or Papua.

That effort extends to the example that Indonesia sets abroad. Indonesia took the initiative to establish the Bali Democracy Forum, an open forum for countries to share their experiences and best practices in fostering democracy. Indonesia has also been at the forefront of pushing for more attention to human rights within ASEAN. The nations of Southeast Asia must have the right to determine their own destiny, and the United States will strongly support that right. But the people of Southeast Asia must have the right to determine their own destiny as well. That is why we condemned elections in Burma that were neither free nor fair. That is why we are supporting your vibrant civil society in working with counterparts across this region. Because there is no reason why respect for human rights should stop at the border of any country.

Hand in hand, that is what development and democracy are about - the notion that certain values are universal. Prosperity without freedom is just another form of poverty. Because there are aspirations that human beings share - the liberty of knowing that your leader is accountable to you, and that you won’t be locked up for disagreeing with them; the opportunity to get an education and to work with dignity; the freedom to practice your faith without fear or restriction.

Religion is the final topic that I want to address today, and - like democracy and development - it is fundamental to the Indonesian story.

Like the other Asian nations that I am visiting on this trip, Indonesia is steeped in spirituality - a place where people worship God in many different ways. Along with this rich diversity, it is also home to the world’s largest Muslim population - a truth that I came to know as a boy when I heard the call to prayer across Jakarta.

Just as individuals are not defined solely by their faith, Indonesia is defined by more than its Muslim population. But we also know that relations between the United States and Muslim communities have frayed over many years. As President, I have made it a priority to begin to repair these relations. As a part of that effort, I went to Cairo last June, and called for a new beginning between the United States and Muslims around the world - one that creates a path for us to move beyond our differences.

I said then, and I will repeat now, that no single speech can eradicate years of mistrust. But I believed then, and I believe today, that we have a choice. We can choose to be defined by our differences, and give in to a future of suspicion and mistrust. Or we can choose to do the hard work of forging common ground, and commit ourselves to the steady pursuit of progress. And I can promise you - no matter what setbacks may come, the United States is committed to human progress. That is who we are. That is what we have done. That is what we will do.

We know well the issues that have caused tensions for many years - issues that I addressed in Cairo. In the 17 months that have passed we have made some progress, but much more work remains to be done.

Innocent civilians in America, Indonesia, and across the world are still targeted by violent extremists. I have made it clear that America is not, and never will be, at war with Islam. Instead, all of us must defeat al Qaeda and its affiliates, who have no claim to be leaders of any religion - certainly not a great, world religion like Islam. But those who want to build must not cede ground to terrorists who seek to destroy. This is not a task for America alone. Indeed, here in Indonesia, you have made progress in rooting out terrorists and combating violent extremism.

In Afghanistan, we continue to work with a coalition of nations to build the capacity of the Afghan government to secure its future. Our shared interest is in building peace in a war-torn land - a peace that provides no safe-haven for violent extremists, and that provides hope for the Afghan people.

Meanwhile, we have made progress on one of our core commitments - our effort to end the war in Iraq. 100,000 American troops have left Iraq. Iraqis have taken full responsibility for their security. And we will continue to support Iraq as it forms an inclusive government and we bring all of our troops home.

In the Middle East, we have faced false starts and setbacks, but we have been persistent in our pursuit of peace. Israelis and Palestinians restarted direct talks, but enormous obstacles remain. There should be no illusions that peace and security will come easy. But let there be no doubt: we will spare no effort in working for the outcome that is just, and that is in the interest of all the parties involved: two states, Israel and Palestine, living side by side in peace and security.

The stakes are high in resolving these issues, and the others I have spoken about today. For our world has grown smaller and while those forces that connect us have unleashed opportunity, they also empower those who seek to derail progress. One bomb in a marketplace can obliterate the bustle of daily commerce. One whispered rumor can obscure the truth, and set off violence between communities that once lived in peace. In an age of rapid change and colliding cultures, what we share as human beings can be lost.

But I believe that the history of both America and Indonesia gives us hope. It’s a story written into our national mottos. E pluribus unum - out of many, one. Bhinneka Tunggal Ika - unity in diversity. We are two nations, which have travelled different paths. Yet our nations show that hundreds of millions who hold different beliefs can be united in freedom under one flag. And we are now building on that shared humanity - through the young people who will study in each other’s schools; through the entrepreneurs forging ties that can lead to prosperity; and through our embrace of fundamental democratic values and human aspirations..

Earlier today, I visited the Istiqlal mosque - a place of worship that was still under construction when I lived in Jakarta. I admired its soaring minaret, imposing dome, and welcoming space. But its name and history also speak to what makes Indonesia great. Istiqlal means independence, and its construction was in part a testament to the nation’s struggle for freedom. Moreover, this house of worship for many thousands of Muslims was designed by a Christian architect.

Such is Indonesia’s spirit. Such is the message of Indonesia’s inclusive philosophy, Pancasila. Across an archipelago that contains some of God’s most beautiful creations, islands rising above an ocean named for peace, people choose to worship God as they please. Islam flourishes, but so do other faiths. Development is strengthened by an emerging democracy. Ancient traditions endure, even as a rising power is on the move.

That is not to say that Indonesia is without imperfections. No country is. But here can be found the ability to bridge divides of race and region and religion - that ability to see yourself in all individuals. As a child of a different race coming from a distant country, I found this spirit in the greeting that I received upon moving here: Selamat Datang. As a Christian visiting a mosque on this visit, I found it in the words of a leader who was asked about my visit and said, “Muslims are also allowed in churches. We are all God’s followers.”

That spark of the divine lies within each of us. We cannot give in to doubt or cynicism or despair. The stories of Indonesia and America tell us that history is on the side of human progress; that unity is more powerful than division; and that the people of this world can live together in peace. May our two nations work together, with faith and determination, to share these truths with all mankind.

Rabu, Oktober 27, 2010

#prayforindonesia

HARI ini sebenarnya hari yang patut diperingati oleh para blogger dengan gegap gempita. Sebab, pada 2007 lalu, Menteri Komunikasi dan Informasi Muhammad Nuh mencanangkan tanggal 27 Oktober sebagai Hari Blogger Nasional. Namun tak elok jika hari ini dirayakan dengan pesta. Sebab, hari ini kita tengah berduka. Kita dibuat terperangah dengan gelombang tsunami yang menyapu enam desa di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Tak kurang dari 113 orang meninggal dunia, lebih dari 600 orang hilang disapu gelombang, dan lebih seratus rumah hilang. Bahkan, sebuah kampung yang berjarak 2 kilometer dari bibir pantai, lumat diterjang gelombang gergasi itu.

Belum lagi duka ini kita tangani dengan cepat, alam di Jogjakarta dan Jawa Tengah bergeliat. Merapi yang telah tidur empat tahun kembali bangun bererupsi, mengeluarkan awan panas (wedhus gembel) dan lava. Lebih dari 25 orang meninggal, termasuk si juru kunci Mbah Maridjan dan seorang wartawan Vivanews.com, Wahyu alias Wawan. Dua pekan lalu, air mata kita juga tumpah saat menyaksikan gelondongan dan bandang menyerbu Kabupaten Wasior, di timur Indonesia, di bumi Cenderawasih nan eksotis.

Tiga peristiwa ini tentu sudah cukup membuat kita bersedih. Tsunami Mentawai membuat kita kembali ingat pada saat laut menumpahkan amarahnya ke sepanjang pesisir Aceh, enam tahun silam. Lebih dari 150 ribu orang meninggal. Ini adalah duka terdahsyat yang dirasakan umat manusia di seantero jagat dalam 50 tahun terakhir.

Tsunami Aceh mengantarkan solidaritas. Tak mengenal warna kulit, ras, agama, dan perbedaan keyakinan. Semua satu suara: membantu untuk kemanusiaan. Gelombang solidaritas dunia itu, memulihkan kondisi Aceh lima tahun setelah itu. Aceh, kini sudah bisa berteriak girang kembali. Tak ada lagi nestapa, walau sejumlah korban memang tak tertangani dengan baik.

Gempa, tsunami, dan Merapi juga ikut menyita perhatian dunia. Hastag #prayforindonesia menjadi trending topic di Twitter bersama #Merapi dan #Mentawai. Justin Bieber, Kim Kadarsian, dan Tom Cruise ikut berbela sungkawa. Presiden Obama juga secara khusus menyampaikan duka mendalam untuk korban tsunami Mentawai.

Tom Cruise berkicau di Twitter dengan bahasa Indonesia.

Lalu, apakah kita, warga Aceh, akan berdiam diri melihat saudara-saudara kita di Mentawai, Wasior, dan Merapi menanggung beban penderitaan mahadahsyat akibat mala tak terperikan?

Tadi pagi, gelombang solidaritas saya lihat mulai digerakkan oleh mahasiswa. Di perempatan lampu merah Simpang Surabaya, saya melihat sejumlah mahasiswa berbaju almamater mulai menyodorkan kardus bekas kepada pengguna jalan, untuk menyisihkan beberapa rupiah untuk korban di Mentawai dan Merapi. Sebelumnya mereka juga berbuat serupa untuk Wasior.

Inisiatif kawan-kawan mahasiswa patut diacungi jempol dan didukung.

Bantuan kepada korban Mentawai bisa disalurkan via:

Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), Jl. Kampung Nias IV No. 21 Padang Telp 0751-35528

Aksi Cepat Tanggap (@actforhumanity). Tim rescue ACT saat ini sudah bergerak ke Merapi dan Mentawai. Jalur donasi yang ACT buka (termasuk Paypal – untuk luar negeri):

Rekening Peduli Merapi: BCA No. 676 030 3133, Mandiri No. 128 000 4723 620, BNI Syariah No. 009 611 0239 a/n Aksi Cepat Tanggap.

Rekening Peduli Mentawai: BCA No. 676 030 2021, Mandiri No. 101 000 563 4264, BSM No. 101 000 5557 a/n Aksi Cepat Tanggap.


Saya juga tengah menunggu kabar dari tim Yayasan Air Putih yang akan bergerak ke Mentawai.

Ingin tahu perkembangan Mentawai, bisa hubungi:

Bapak Peren, S.Sos dari Pusdalop Sumbar no Hp. 081363477373


Dari blog Ndoro Kakung, saya beroleh informasi berikut:

Jaringan Lintas (Jalin) Merapi:
• Tim Siaga Desa Tlogolele, Selo, Boyolali, Jawa Tengah: Sukarno (HP: 0818 04122218)\
• Tim Siaga Desa Jrakah, Selo, Boyolali, Jawa Tengah: Jumadi (HP: 0817 0630 375)
• Tim Siaga Desa Klakah, Selo, Boyolali, Jawa Tengah: Pomo (HP: 08191543 9447), Jumarno (HP: 0878 3412 3330)
• Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana Desa Krinjing, Dukun, Magelang, Jawa Tengah: Sartono (HP: 0819 0387 2562)
• Kepala Desa Sumber, Dukun, Magelang, Jawa Tengah: Maryono (HP: 0817 4109151)
• Kepala Desa Ngargomulyo, Dukun, Magelang, Jawa Tengah: Yatin (HP: 0857 29318157)
• Radio Komunitas Lintas Merapi, Desa Sidomulyo, Klaten: Sukiman (HP: 081578063198)
• Radio Komunitas Sor Sengon, Desa Wonogondang, Sleman: Bambang (HP: 08174114001)
• Radio Komunitas Suara Merapi, Desa Kemusuk, Boyolali: Boim (HP: 081227944912) Slam (085647116591)

Ini dulu kabar dari saya.

efmg

Selasa, Oktober 26, 2010

Catatan dari Pesta Blogger Aceh


JARUM jam menunjukkan angka 19.40 WIB. Ruangan dalam Tower Coffee belum ramai. Deretan kursi masih dibiarkan kosong melompong. Hanya beberapa anak muda yang terlihat bercakap-cakap di bagian depan, dekat panggung yang ditempeli backdrop besar: Pesta Blogger 2010. Di pintu masuk, tiga dara cantik sabar menanti tetamu undangan, yang mulai berdatangan.

Saya datang agak terlambat dari jadwal di undangan yang disebar di Facebook. Begitu tiba pada pukul delapan kurang lima belas menit, saya tak langsung masuk ke dalam. Saya memilih mengobrol bersama Maimun Saleh dan Riza Nasser, yang lebih duluan tiba. Maimun Saleh mengisi acara sebagai moderator. Sementara Riza Nasser, jurnalis muda berbakat, menjadi penguasa acara malam temu blogger Aceh itu.

Dari menara Baiturrahman, sayup-sayup kumandang adzan Isya terdengar. Belum ada tanda-tanda pesta kecil-kecilan ini bakal segera dimulai. Padahal, lebih dari 40 blogger dan komunitas telah berkumpul, mengisi deretan kursi di ruang berluas seperempat lapangan bola itu.

"Kita lagi menunggu tim dari Pesta Blogger pusat datang," kata Martha Andival, panitia penyelenggara, pada saya. "Mereka sedang otewe ke sini."

Sembari menunggu panitia pusat datang, saya bersama empat blogger Aceh mencari tempat duduk. Saya memilih agak depan, biar bisa memotret acara, dan mengirimkan "laporan" secara live via akun Twitter saya. Tak banyak yang saya kenal. Hanya beberapa, seperti Liza Fathia, Arief dari Detak, Baiquni, Muda Bentara, dan beberapa orang dari Komunitas Pengguna Linux Indonesia. Saya menyapa beberapa di antara mereka. Selebihnya, sama sekali tak saya kenal.

Tak sampai 10 menit kursi plastik merah saya duduki, Riza Nasser berkoar-koar melalui mic. Ia hendak memulai acara. Rupanya, panitia pusat sudah tiba. Saya melihat Enda Nasution, yang oleh media dijuluki sebagai Bapak Blogger Indonesia. Selebihnya, saya tak kenal. Enda pun saya hanya kenal wajahnya saja. Belum pernah ketemu. Paling ketemu secara daring via Facebook atau Twitter.

Mereka akhirnya memilih tempat duduk di meja deretan pertama. Pas berada di depan samping kanan saya. Ini kesempatan untuk mencuit Bapak Blogger, pikir saya. Benar saja, begitu pemusik dari Sanggar Seuni Seulaweuet membuka acara dengan irama seurune kale, saya langsung mengabadikan dan mencuit ke Twitter. Tak lupa saya mention Enda Nasution.

Sayang, performa Sanggar tidak memukau malam itu. Mereka tidak bersiap diri secara maksimal. Tak memakai baju kebesaran, dan terkesan asal tampil. Belum lagi, mikrofon yang disediakan tidak mendukung acara. Hanya mic wireless yang suaranya jempreng.

Sesi diskusi dimulai, begitu Sanggar menyudahi performannya. Maimun Saleh yang menjadi moderator diskusi membuka sesi. Prof Dr Mohammad Harun yang lebih dikenal dengan nama pena Harun Al Rasyid didapuk membahani diskusi "Menggali Kembali Penulisan Sejarah Aceh melalui Blogger".

Prof Harun merangsang para blogger Aceh untuk menulis sejarah panjang provinsi ini. Tema sejarah tak hanya bertumpu pada heroisme peperangañ, dan kedigdayaan masa lampau. Menurut Profesor, ada banyak sisi sejarah yang lebih humanis yang menarik untuk ditulis.

"Orang Aceh di kampung, selalu memakai kain sarung," kata Profesor di FKIP Universitas Syiah Kuala ini. "Kalau saya pulang kampung dan salat bercelana jeans, orang di kampung selalu tanya kain sarung."

Lantas apa yang menarik dari kain sarung? "Ini erat kaitan dengan penyebaran agama Hindu di Aceh," kata dia.

Apa hubungannya? Kain sarung berasal dari India. Budaya ini dibawa oleh imigran asal India --sebelum misionaris Islam dari Gujarat memperkenalkan Islam pada abad 7 Masehi.

Sebelum kedatangan Islam, warga Aceh merupakan pemeluk Hindu. Bisa dibilang, Kerajaan Lamuri di Indrapuri, Aceh Besar, merupakan salah satu kerajaan Hindu terbesar di Sumatera.

Bukti Hindu pernah jaya di Aceh bisa dilihat di Kecamatan Indrapuri. Di sini ada Pura (tempat ibadah umat Hindu) yang kemudian disulap menjadi masjid pada masa Kesultanan Iskandar Muda.

Lalu, sejarah makanan di Aceh juga dipengaruhi oleh India. Sebut saja misalnya mie goreng, kuah kari. Bahkan, di Pidie hingga kini masih ada warga keturunan India. Perawakan mereka tegap dan hitam. Mantan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan berketurunan India. Di Pidie, mereka tinggal di Kecamatan Simpang Tiga.

Mereka dipercayai sebagai keturunan India Kleng. Kleng artinya hitam.

Di akhir sesi, Prof Harun bilang, sejarah harus ditulis dengan bahasa yang sederhana, mudah dipahami.

"Mau pakai bahasa dengan EYD silakan. Mau nulis dengan bahasa gaul, lu-gue, juga silakan. Asal data dan faktanya benar," imbaunya.

Intinya, jangan sampai sejarah gemilang yang ada di Aceh berubah menjadi dongeng yang melegenda. "Budaya tulis di Aceh kalah dengan tradisi tutur lisan. Kalau terus mempertahankan tradisi lisan, sejarah akan punah seiring dengan matinya pelaku sejarah," wanti Prof Harun.

Lalu, bagaimana dengan budaya ngopi, sehingga warung kopi bertumbuhan bak cendawan di musim hujan?

Kata Prof Harun, pada masa Belanda menguasai Aceh, penduduknya sering mengonsumsi air yang belum dimasak. Akibatnya, penyakit acap menyergap warga. Nah, seorang gubernur militer Belanda, saya lupa nama yang disebutkan Prof Harun, memperkenalkan kopi.

Tentu, kopi yang hendak diminum harus dipanaskan dulu. Sejak itulah, minum kopi menjadi tradisi hingga sekarang ini.

Sayang, Prof Harun hanya membongkar sedikit sejarah minum kopi di Aceh. Saya akan mencoba bertanya pada orang tua yang mengerti sejarah ini di kemudian hari.

***

JELANG pukul 22.00 WIB, mini pesta blogger+ Aceh 2010 berakhir. Sekarang sesi foto bareng. Tak semua blogger mau berdiri di depan backdrop acara. Saya dan sejumlah blogger lain tak menyia-siakan kesempatan langka ini. Ini sesi yang tak perlu diceritakan.

Usai foto bareng, saya siap-siap pulang. Namun niat ini saya urungkan begitu melihat Chaideer Mahyuddin, pengelola blog foto Mata Kaki, berbual dengan Enda Nasution. Karena saya belum kenal, baiknya saya berkenalan dengan seorang blogger terkenal.

Berkenalan dengan Bang Enda lalu mengobrol panjang. Ada juga blogger senior di Aceh, Taufik Al Mubarak. Dia blogger pungo. Kami berempat berbicara berbagai tema: mulai dari isu perkembangan blog di Indonesia hingga Aceh, isu kebebasan berekspresi, hingga isu makanan, termasuk obrolan yang tidak penting.

Yang paling saya ingat adalah pertanyaan Bang Enda tentang pengaruh komumitas blogger di Aceh. Menurut Bang Enda, politisi di Jakarta mulai mendekati komunitas blogger untuk meraih dukungan. Bahkan, tak jarang, politisi mengklaim mendulang dukungan dari komunitas blogger.

"Kalau sudah begini sudah meresahkan," risau Enda.

Di Aceh, pendekatan terhadap komunitas blogger belum dilakukan politisi. Bisa saja menjelang Pemilukada akhir 2011 nanti, ada politisi yang bakal mendekati blogger. Selama ini, politisi baru sebatas bikin blog kampanye. Itu pun tidak diupdate.

Lalu, Bang Enda menanyakan soal censorship dari penguasa. Saya bilang, hingga saat ini memang belum ada upaya pengekangan. Namun potensi ke arah sana juga ada, yaitu keinginan DPR Aceh --bersama Komisi Penyiaran Indonesia Daerah-- menyusun Qanun Penyiaran Islam. Sebelum diprotes Aliansi Jurnalis Independen Banda Aceh, qanun ini bernama Pers dan Penyiaran Islami.

Qanun itu semangatnya untuk mengontrol lembaga penyiaran, termasuk menyensor konten berita/feature di televisi dan radio. AJI Banda Aceh menolak tegas kehadiran qanun ini.

Menurut Enda, ancaman kebebasan berekspresi di tingkat nasional dilakukan penguasa melalui Undang Undang Informasi dan Transanksi Elektronik.

"Kasus teranyar adalah yang menimpa Prita Mulyasari," kata Enda.

Ya, Prita diperkarakan oleh manajemen rumah sakit setelah berkeluh kesah soal pelayanan buruk rumah sakit di email. Pengadilan menyatakan Prita bersalah dan dijebloskan ke penjara. Belakangan ia dibebaskan setelah desakan massal dari blogger dan publik. Komunitas Blogger kemudian berinisiatif mengumpulkan koin dari masyarakat untuk Prita.

Pun ancaman berat, Enda tetap berpesan agar blogger terus menulis berbagai tema dan isu di blog, untuk memajukan dunia blogger Indonesia.

Bravo!!!

--
Fakhrurradzie Gade
Jl Teuku Umar No. 106 Seutui, Banda Aceh
Mobile: 081360554551
Published with Blogger-droid v1.6.3

Kamis, September 23, 2010

Ini Dia Tarif Parkir Resmi

PEKAN lalu, saya bersama sejumlah kawan bertandang ke Rumah Sakit Kesdam di Kuta Alam menggunakan mobil Isuzu Panther milik Bang Mukhtar, kolega saya di Aliansi Jurnalis Independen Kota Banda Aceh. Kunjungan ke rumah sakit tentara itu bukan untuk meliput, tapi hanya mengunjungi kolega kami, Salman Mardira, yang ayahnya dirawat di sana.

Tidak ada yang perlu diceritakan dalam kunjungan itu, sebelum dua malam lalu saya mendapati plang pengumuman yang dipasang Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Telekomunikasi di dean Kantor Kas Bank Central Asia di Jalan Mohammad Jam.

Kunjungan saya ke Anjungan Tunai Mandiri BCA lalu membuat saya ingin menulis cerita ini. Pada plang itu, jelas tertulis tarif parkir untuk kendaraan roda empat besarnya Rp1.000. Sementara untuk roda dua itu hanya 500 perak saja.

Itu adalah harga di atas kertas yang ditetapkan Dinas Perhubungan. Namun, setelah menetapan tarif itu, saya yakin petugas dari Dinas Transpotasi itu tidak pernah mengecek ke lapangan. Sebab, harga parkir di Banda Aceh dua kali lipat dengan tarif resmi.

Untuk sepeda motor tetap dipungut seribu perak. Dan mobil jadi dua ribu perak. (Tapi ada juga yang ndak protes kalau dikasih seribu.) Di beberapa tukang parkir memang masih memungut seribu rupiah untuk mobil.

Nah, di rumah sakit tentara yang kami kunjungi pekan lalu, tukang parkir yang bermodalkan peluit di mulutnya, ogah menerima sodoran uang kertas bergambar pahlawan dari Maluku, Pattimura, itu.

"Dua ribu, Bang," kata tukang parkir itu. Wajahnya datar. Tak ada raut senyum di wajah pria berbadan agak gelap itu.

Tarif berapapun sebenarnya tidak masalah jika dibarengi dengan pelayanan yang baik. Faktanya, banyak tukang parkir di Banda Aceh yang muncul hanya pas mobil atau motor hendak meninggalkan lokasi parkir. Atau, begitu uang sudah di tangan, tak jarang mereka meninggalkan kita yang harus berkelahi dengan laju kendaraan di jalanan yang padat.

Tak semua tukang parkir berperilaku buruk seperti itu. Banyak juga saya menjumpai petugas parkir yang ramah dan bertanggungjawab. Saya biasanya puas dengan kinerja mereka yang bertugas di Toserba Mizi yang berada di depan Masjid Baiturrahman atau mereka yang mengatur sepeda motor di depan Suzuya, Jalan Diponegoro.

Saya salut dengan mereka yang ramah dan bertanggungjawab atas parkir, sehingga jalanan tidak begitu semraut dengan parkir kendaraan yang suka-suka pengendara. [efmg]
Published with Blogger-droid v1.5.9

Rabu, September 22, 2010

Ini Dia Tarif Parkir Resmi

Published with Blogger-droid v1.5.9

Selasa, September 21, 2010

Serambi Ralat Iklan Pemerintah Aceh

Masih ingat postingan saya sebelumnya tentang iklan Pemerintah Aceh di Serambi Indonesia yang salah menulis jabatan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menjadi Kepala Dinas.

Berikut saya kirim screenshoot ralat iklan hari ini di Serambi.

Radzie
[On my green robot]
Published with Blogger-droid v1.5.9

Menunggu Jupiter Muncul


PAGI ini, usai menunaikan dua rakaat salat Subuh, saya tak lagi meneruskan keinginan untuk kembali ke pembaringan. Padahal, godaan itu cukup kuat sesaat sebelum membasuh muka. Tidur lagi menjadi keinginan kuat, karena dalam sepekan ini saya selalu memejamkan mata paling cepat pukul dua pagi.

Namun, godaan itu tak saya amini. Usai memanjatkan doa minimal, saya bergegas ke halaman rumah. Hari masih gelap. Langit hitam pekat. Pagi itu, satu-satunya yang putih adalah kucing yang menyambut saya begitu pintu saya buka. Ia merengek-rengek manja sembari membelai kaki saya.

Rengekan kucing tak cukup membendung niat saya untuk melangkahkan kaki menjangkau kerikil. Sembari refleksi kaki di bebatuan, mata saya mencari sesuatu di ufuk timur yang masih pekat. Mata saya hanya menemukan segumpulan awan hitam yang menyelimuti langit.

Saya tak menemukan yang saya cari. Mendung menyembunyikan keinginan saya untuk bisa melihat penampakan planet Jupiter.

Tempo Interaktif menulis "planet itu tidak akan tampak lebih besar atau lebih terang lagi sampai 2022. Jupiter akan melewati jarak 368.000.000 mil dari Bumi Senin (20/9) malam".

Penampakan Jupiter ini berlangsung sepekan lamanya. Tak hanya Jupiter, Uranus juga sedang dalam posisi dekat dengan Bumi dalam sepekan ini. Tapi, Uranus hanya bisa dilihat dengan bantuan teropong dan teleskop. Ia akan terlihat membentuk disk berwarna zamrud pada posisi satu derajat di dekat Jupiter.

Jupiter bisa dilihat pada tengah malam tepat di atas kepala Anda. Di kala senja, ia bisa ditemukan di bagian timur. Saat matahari terbit di ufuk timur, ia muncul di barat.

Nah, selain langit diselimuti mendung, saya tidak bisa menemukan Jupiter karena rupanya salah melihat posisi. Seharusnya, pagi tadi mata saya mencari-cari Jupiter di barat. Pantesan, di arah timur saya hanya bisa menemukan Jupiter MX teman saya yang diparkir dekat garasi.

Oalah!

Batoh, 21.09.2010
[onmygreenrobot]
Published with Blogger-droid v1.5.9

Senin, September 20, 2010

Gubernur Aceh jadi Kepala Dinas

Irwandi Yusuf yang masih menjabat sebagai gubernur Aceh "diturunkan" jabatannya menjadi Kepala Dinas. Dalam sebuah iklan ucapan selamat ulang tahun bagi Kota Subulussalam, jabatan Irwandi termaktub Kepala Dinas.

Iklan itu milik Pemerintah Aceh, sehingga ditandatangani bersama Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar dan Sekretaris Daerah Husni Bahri TOB.

Kesalahan ini sontak membuat ramai di situs pertemanan Facebook. Saya mendapati iklan ini justru dari akun Facebook seorang teman yang dekat dengan Irwandi. Lalu, saya ikut memotret iklan yang dimuat di halaman 8 Serambi Indonesia itu dan memposting ke Facebook.

"Bangai," kata Andi Firdaus, teman saya, mengomentari postingan itu.

Saya tidak tahu apakah ini kesalahan di bagian iklan koran terbesar di Aceh itu atau pihak Humas Pemerintah Aceh.

Kita tunggu saja Serambi edisi Selasa.

Berikut saya posting screenshoot iklan Serambi yang telah diralat hari ini.

Radzie
[On my green robot]
Published with Blogger-droid v1.5.9

Minggu, Juni 27, 2010

Berjudilah, Kau Kucambuk!

IMAM baru saja menyudahi salat Jumat. Sebagian jamaah melanjutkan salat sunat rawatib. Sejumlah lainnya kembali berdiri dan salat ghaib buat seorang warga Jantho. Sementara beberapa yang lain bergegas keluar dari masjid. Ada yang langsung kembali untuk melanjutkan aktivitas, ada pula yang menghampiri sebuah panggung dan tenda yang ada di sisi kanan masjid.

Beberapa pria terlihat tengah disibukkan dengan kabel gulung dan mic. Mereka menarik kabel listrik dari arah masjid ke tenda yang terpasang di lokasi yang telah dipagari dengan tali berbentuk persegi empat. Di bawah tenda, kursi plastik-hijau tertata rapi. Di depan tenda, berdiri sebuah panggung dibiarkan tanpa atap.

Orang-orang mulai berdatangan ke lokasi ini: mulai dari anak-anak, orang dewasa, hingga sejumlah pejabat teras di Kabupaten Aceh Besar. Puluhan orang dewasa berseragam serba hijau lumut berseliweran. Mereka hilir-mudik di sekitar tenda. Terlihat juga empat orang berpakaian coklat-muda. Mereka dari Kejaksaan Negeri Aceh Besar. Sementara orang dewasa berpakaian serba hijau-lumut merupakan anggota dari Polisi Syariah. Bahasa kerennya, Wilayatul Hisbah. Ini adalah lembaga yang dibentuk Pemerintah Aceh pada 2001 lalu. Tugas mereka menjaga tegaknya Qanun (peraturan daerah) yang berhubungan dengan syariat Islam.

Siang itu, Jumat (25/6/2010), petugas Wilayatul Hisbah Aceh Besar punya hajatan. Mereka akan melaksanakan uqubat (hukuman) cambuk bagi tiga warga Aceh Besar yang diputuskan bersalah oleh Mahkamah Syariah karena bermain judi joker. Pengadilan memvonis tujuh kali cambuk bagi tiga warga yang berasal dari Kecamatan Montasik ini.

Sebenarnya, pengadilan syariah memvonis cambuk bagi empat warga. Namun, hanya Mukhtar Rahmadi (29 tahun), Suherman (32), dan Hasbi bin Acek (45), saja yang dicambuk siang itu. Sedangkan Muhammad Yasin (41), tidak bisa dicambuk karena alasan kesehatan.

"Dokter meminta agar eksekusi cambuk bagi Yasin ditunda sampai kondisi kesehatannya memungkinkan," kata Jaksa Penuntut Umum Bendry Almy kepada saya.

Saat eksekusi tiba. Mukhtar Rahmadi menjadi pria pertama yang dicambuk dengan rotan. Dia dicambuk oleh seorang algojo yang berpakaian serba coklat. Wajahnya ditutupi, hanya memperlihatkan mata saja. Mirip Zorro berjubah!

Sabetan pertama mengenai punggung. Mukhtar meringis, menahan sakit. Puluhan orang bersorak. Algojo baru menghentikan cambuknya setelah kali ketujuh. Di kali terakhir, sorak-sorai pengunjung eksekusi cambuk itu terdengar semakin keras.

"Njan, na mangat (Rasakan, enak?)," celutuk orang-orang dari kejauhan.

"Peu mangat, peuna kumu'ok.. (Enak apa? Saya kan tidak berzina)," balas Rahmad sambil menuruni panggung.

Diapit dua petugas Wilayatul Hisbah, Rahmad digiring ke mobil ambulans yang parkir tak jauh dari panggung.

Kini, giliran Hasbi dan Suherman yang dicambuk. Nyaris sama dengan Rahmad, setiap kali cambuk rotan mengenai punggung, mereka menahan perih. Belum lagi, mereka harus menahan malu tatkala sorak-sorai penuh ejekan membahana.

Sebelum eksekusi dilaksanakan, Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Besar Teuku Hasbi berceramah. Dia mengingatkan warga yang hadir bahwa judi bisa mendatangkan kerugian bagi pemainnya. Ia meminta para pelaku segera bertaubat. "Kembalilah ke jalan yang benar," ujar Hasbi, bak penceramah di mimbar masjid.

Sayang, Hasbi sama sekali tak menyinggung tema pelanggaran syariat yang lain, yang lebih besar. Sebut saja misalnya korupsi, penggelapan pajak dan dana publik. Bisa jadi, Hasbi tak menyebut ini karena tema "ceramah" kali ini hanya bagi pelaku judi yang ditangkap pada pesta perkawinan di Montasik itu.

Hukuman cambuk dan syariat Islam di Aceh penuh kontroversi. Sejak diberlakukan pertama sekali pada 24 Juni 2005 di Bireuen, hukuman cambuk terus menuai kritikan. Sebab, hukuman cambuk hanya berani diterapkan bagi pelanggar syariat yang berasal dari masyarakat kecil. Hukuman cambuk dijatuhi bagi warga yang mengonsumsi minuman keras, berzina, berjudi.

Lihat saja kasus mesum (seks) yang menimpa seorang anggota DPR Kota Langsa, Lhokseumawe, dan Aceh Tamiang. Atau kasus perzinaan seorang anggota polisi syariat di Banda Aceh. Hingga kini, kasus itu menguap bak debu diterbangkan angin.

Syariat Islam di Aceh hanya diberlakukan secara parsial. Hanya sebatas pada busana: tidak boleh pakai celana jeans, harus pakai rok. Atau hanya pada soal laki-laki dan perempuan non-muhrim tidak boleh berdua-duaan di tempat sepi, tidak boleh minum alkohol, tidak boleh berjudi.

"Kalau mau menerapkan syariat Islam secara sempurna, perbaiki dulu moral para politisi dan pejabat. Jangan asik mengatur urusan cewek pakai celana legging," kata seorang teman saya. []

Sabtu, Juni 26, 2010

Sang Pemimpi pun Identik Ariel

TADI malam, Jumat (25/6), saya menyempatkan diri singgah di salah satu toko yang menjual cakram-padat-digital (DVD). Sudah dua malam saya berburu DVD, mencari sejumlah film yang saya rasa layak untuk ditonton. Malam sebelumnya, saya masuk ke toko yang berbeda dengan malam ini. Di sana, saya menemukan film "The A Team". Kata kawan saya, film ini layak ditonton. Jadilah saya membeli kepingan DVD bajakan ini. Sebenarnya, saya tidak mencari film ini.

Film buruan saya justru "Karate Kid", yang diperankan komedian gaek Jacky Chan. Saya pengagum berat film laga-kocak si Jacky. Promosi bertubi-tubi di layar kaca membuat saya penasaran. Saya juga terpesona dengan Jaden Smith, bocah kulit hitam yang tampil memukau. Ia mewarisi bakat akting dari sang ayah: Will Smith!

Malam itu, saya terpaksa menelan kecewa, karena kualitas DVD "Karate Kid" belum bagus. Maklum, hasil reproduksi film yang diputar di bioskop-bioskop. Sebelum memutuskan tidak mengambil Karate Kid, dua kali saya bertanya pada si penjual, seberapa parah "ketidakbagusan-kualitas" gambar film ini.

"Sangat parah," kata seorang dara, yang saya taksir berusia 20 tahun. "Masih gelap."

Saya membayar The A Team dengan hati kecewa, karena film yang saya taksir tak bisa dibawa pulang.

Tak hanya berburu di kedai DVD, saya juga rajin berselancar ke forum-forum yang menyediakan kanal Movie. Saya menyambangi Kaskus, Indofiles, hingga bertanya pada Paman Google. Semua situs itu bersepakat: kualitas gambar Karate Kid masih rendah! Hingga kemudian saya tidak jadi mengunduhnya.

Nah, saking tak sabarnya melahap film ini, tadi malam saya kembali menyambangi kedai yang menjual DVD di kawasan Peunayong. Ini sebenarnya kedai-DVD langganan saya. Mata saya menyapu setiap sudut rak yang memamerkan beragam film. Saya justru menemukan Kingdom of Heaven-nya Orlando Bloom: film yang bercerita perang salib tanpa mendiskreditkan Islam.

Di rak lain, saya menemukan Iron Man 2. Baiklah, saya mengambil si manusia besi ini. Saya terpikat dengan cerita-grafis-efek Iron Man edisi sebelumnya. Nyaris semua rak yang saya kunjungi, tak ada satu pun tulisan Karate Kid yang berhasil mencuri perhatian dua bola mata saya.

"Sudah habis," kata seorang penjaga.

Uh, saya kembali memendam kecewa, kendati malam tadi saya membawa pulang Iron Man 2.

Sembari menunggu Iron Man 2 diuji-coba di layar televisi 14 inci milik penjual, saya berkeliling mencari film Indonesia yang lumayan lama saya tunggu. Ini adalah skuel dari film yang diangkat dari novel best seller karya Andrea Hirata. Ya, Sang Pemimpin, yang meneruskan sukses Laskar Pelangi.

"Oh, film Ariel, Bang," kata penjual.

"Bukan karena Ariel-nya," kata saya.

"Iya, film sambungan Laskar Pelangi kan. Nah, di situ kan Ariel juga main."

Saya mengangguk.

Film mesum yang diduga "diperankan" Ariel, vokalis grup band Peterpan, bersama dua artis papan atas: Luna Maya dan Cut Tari, mendongkrak popularitas Ariel sebagai pemain film. Padahal, Sang Pemimpi merupakan debut pertama artis yang punya nama lengkap Nazril Irham ini. Tapi, ya itu tadi, dua film mesum yang diduga milik Ariel telah mendongkrak nama Ariel menjadi semakin terkenal.

Tapi, saya hakkul yakin, Sang Pemimpi-nya Mira Lesmana dan Riri Riza terkenal bukan karena Ariel, tapi karena kekuatan cerita dan akting para pemain. [efmg]

Selasa, Juni 22, 2010

Dari Remaja Hingga Pejabat
Video Mesum

VIDEO Lhoknga bukan film mesum pertama yang beredar luas ke khalayak. Sebelumnya, ada dua kasus video mesum lain yang telah ditonton banyak mata warga Aceh. Bahkan, ketiga video itu telah menyebar ke dunia maya. Sebelumnya, ramai diperbincangkan video yang berjudul Neusu.

Film biru produksi aneuk nanggroe itu diperankan seorang perempuan, YN, bersama ID, kekasihnya yang seorang anggota TNI berpangkat Prajurit Dua (Prada). Film berdurasi enam menit 43 detik itu diambil dengan menggunakan kamera telepon selular oleh pacar si perempuan. Mulanya, video itu hanya dimaksudkan untuk koleksi pribadi.

YN sendiri tidak mengetahui kenapa video berformat 3gp itu bisa beredar ke masyarakat luas. Kendati demikian, gadis asal Kecamatan Darul Kamal ini mengaku, telepon selular yang digunakan untuk merekam adegan suami-istri itu milik teman kekasihnya, yang kemudian dijual kepada orang lain.

Akibat film biru itu, YN dan ID sempat ditangkap dan diamankan di Markas Kepolisian Kota Besar Banda Aceh untuk dimintai keterangan. Setelah keduanya mengaku sebagai pemeran dalam film tersebut, polisi membebaskan keduanya. Belakangan, kedua kekasih ini dinikahkan di sebuah desa di Kecamatan Darul Kamal. Hingga kini, kedua mereka belum diproses sesuai dengan hukum syariat yang berlaku di Aceh.

Jauh sebelum video Neusu ramai dibicarakan, masyarakat Aceh juga sempat dihebohkan dengan peredaran 12 video yang berdurasi pendek dan 11 gambar mesum, yang diperankan DD (56) dengan seorang kekasihnya, ES (29).

Yang membuat video ini geger, DD merupakan seorang pejabat di Dinas Informasi, Komunikasi, Kebudayaan, dan Pariwisata Kabupaten Aceh Barat Daya. Lagi-lagi, video ini direkam dengan menggunakan kamera ponsel.

Aksi mesum dua pegawai ini dilakukan di dalam ruang kepala dinas. Gambar dan film yang tersebar luas tersebut direkam pada pukul 11.35 WIB, Sabtu, 4 November 2006, di dalam ruang kerja Nasruddin. 12 frame gambar dan 11 film cabul tersebut diabadikan secara bergantian oleh DD dan ES. Kini "aktor dan aktris" Skandal Abdya itu menghilang. Banyak kalangan mengatakan, keduanya lari untuk menghindari hukuman cambuk, yang kini berlaku bagi warga Aceh yang melakukan perbuatan cabul.

Pemerintah telah menjatuhkan sanksi kepada keduanya. DD dinonaktifkan dari jabatannya sebagai kepala Seksi Bagian Umum dan Perlengkapan pada kantor tersebut. Sementara ES kemungkinan akan dipecat juga. ES, menurut Kepala Dinas Informasi Nasruddin, adalah pegawai honorer pada kantor yang dipimpin DD. Sejak tiga tahun silam, ES telah ditinggal pergi oleh suaminya. Sementara DD telah menikah dan memiliki sejumlah anak.

Di Aceh memang sedang marak peredaran video skandal. acehkita.com memperoleh sebuah video berdurasi delapan menit 50 detik. “Pemain” film itu adalah seorang gadis Aceh dan anggota TNI, seperti terlihat dari pakaian dinas loreng yang digantung di jendela. Film ini “diproduksi” di Lhokseumawe, seperti terdengar perbincangan penyiar radio –yang suaranya terekam dalam video tersebut— menyebutkan kata Cunda, Muara Dua. Cunda merupakan sebuah kawasan yang terletak di Kota Lhokseumawe.

Banyak juga film syur yang beredar di publik yang disebut-sebut produksi Aceh. Seperti film sepasang remaja yang sedang memandu kasih di sebuah perkebunan sawit. Para penyebar memberi judul film ini “Saree Kampungku”. Ada lagi film yang berjudul “Nagan Raya”. Namun film ini masih belum bisa dipastikan produksi aneuk nanggroe.

Harus diakui, film biru buatan aneuk nanggroe memang laris manis. Di sebuah situs internet, video made in Aceh ini diminati ribuan pengunjung. "Penasaran aja pengen liat seperti apa sih video mesum dari daerah yang katanya menerapkan syariat Islam," tulis seorang pengunjung. Nah, lo! [fakhrurradzie gade]

Video Syur Aneuk Nanggroe

FAKHRURRADZIE GADE

Video indehoi yang diperankan putra-putri dari Aceh beredar luas di negeri ini. Mereka ada yang dipaksa beradegan, ada pula yang merekamnya dengan sukarela.

“KAMU wartawan ya?” Ibu itu menghardik tak ramah. Belum sempat pertanyaan itu dijawab, perempuan itu malah mulai mengusir reporter acehkita.com yang menyambangi kediaman EF, gadis yang mengalami pelecehan seksual di Lhoknga, Aceh Besar. Ayah korban, MF, juga terlihat syok berat. Namun, dia masih berusaha tegar dan mau berbagi cerita dengan reporter majalah ini. "Maaf ya, beliau (istrinya –red.) sangat tertekan," kata MF.

Keguncangan dalam keluarga ini bermula dari video pelecehan seksual yang beredar di Aceh. Video itu memperlihatkan sepasang remaja terlentang di atas pasir putih. Yang lelaki, sedang menggerayangi tubuh si perempuan yang, maaf, bertelanjang dada. Remaja putri itu adalah buah hati pasangan suami istri ini.

Sesungguhnya, perilaku pasangan remaja yang bukan muhrim itu bukanlah dengan suka rela. Mereka adalah korban dari tangan jahil sekelompok pria yang memergoki remaja ini sedang berpacaran di pantai Krung Brok, Lampu’u, Aceh Besar. Sekelompok pria berjumlah 15 orang yang memergoki mereka itu selanjutnya memaksa mereka berbuah seperti itu. Ancamannya jika menolak akan dihajar.

Nada paksaan dalam pembuatan film dengan kamera telepon selular itu jelas terdengar dalam rekaman. Simak saja misalnya, saat seorang pria dengan menggunakan bahasa Aceh memaksa si remaja lelaki –sekali lagi maaf—meremas payudara pasangannya. “Nye hana peugot lagei bunoe, kupoh (Kalau tidak peragakan kaya tadi, kupukul),” ancam pria itu.

Selain mengancam memukul, para pria bejat ini juga mengancam akan melaporkan tindakan kedua kekasih itu kepada salah satu media cetak di Banda Aceh. Tentu juga diancam lapor kepada kedua orang tua mereka.

Raut wajah gadis ini jelas ketakutan. Di akhir film, si gadis meminta agar tindakan mesum ini tidak dilaporkan kepada orangtua mereka. "Bang, jangan bilang ke orangtua saya, ya," pinta si gadis sambil bangkit dari posisi terlentangnya.

Video itu selesai di situ. Namun, efek yang ditimbulkan terhadap kedua kekasih remaja itu, sangat besar. Menurut MF, anaknya kini tidak bisa lagi hidup normal layaknya gadis remaja seusianya. Warga di kampungnya sudah mengucilkannya. "Kasian anak saya.." kata MF. "Hancur sudah masa depannya.”

Untuk ke sekolah saja, EF terpaksa didampingi sang paman, yang setiap hari mengantar dan menjemputnya. MF mengkhawatirkan anaknya diculik oleh para pelaku yang hingga kini belum tertangkap. Mujur, pihak sekolah tidak menghakimi EF. “Tidak ada yang berbeda. Kami berusaha semaksimal mungkin agar dia bisa belajar dengan nomal dan biasa,” kata AR, kepala sekolah, tempat korban menimba ilmu.

AR menyebutkan, EF bisa mengikuti ujian semester sama sebagaimana murid lainnya. Teman-teman sekolah juga tidak mengucilkannya. Mereka berusaha bersikap tidak pernah terjadi apa-apa. “Kami berusaha mencari jalan keluar yang baik atas kasus ini. Sejumlah teman-temannya bahkan memberi perhatian yang sangat baik dan memberikan dukungan moril yang kuat,” kata dia.

Pihak sekolah tidak pernah berencana mengeluarkan EF dari sekolah. Apalagi, “Harapan orangtuanya agar kami tidak mengeluarkan dia dari sekolah. Kami pun tidak berniat mengeluarkannya,” terang AR.

Namun, EF kadung malu. Setelah berkonsultasi dengan pihak kepolisian dan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang perempuan, EF memutuskan untuk pindah sekolah. Namun, belum diketahui ke mana EF akan bersekolah nantinya.

Di mata guru dan teman-temannya, EF yang masih duduk di bangku kelas dua itu adalah gadis pendiam dan cenderung tidak periang. “Dia tidak pernah bermasalah di sekolahnya. Di bidang prestasi, ya biasa-biasa saja,” kata AR.

Kasus EF menjadi pelajaran berharga bagi pihak sekolah. Menurut AR, pihaknya kini meningkatkan pengawasan terhaap anak didiknya. “Kita memang tidak bisa mengawasi mereka saat berada di luar jam sekolah, tapi saat dia ada di lingkungan sekolah kita selalu memberi ingatan dan himbauan,” jelasnya.

***

MF tidak habis pikir dengan upaya penegakan syariat Islam dewasa ini di bumi Serambi Mekkah ini. Anaknya hanya menjadi korban penegakan hukum syariat yang salah kaprah. Dia meyakini, sang anak tidak berbuat sejauh yang diperagakan dalam film reka ulang tersebut. "Dia hanya jadi korban," katanya.

MF mengaku pada awalnya tidak melaporkan kejadian itu kepada polisi. Namun setelah kasus itu dijadikan headline di sebuah media cetak di Aceh, MF memberanikan diri melaporkan kejadian tersebut kepada penegak hukum.

Orangtua EF sangat berharap kasus ini bisa diusut tuntas oleh pihak kepolisian. "Saya ingin pelaku yang memperlakukan anak saya seperti ditangkap dan dihukum seberat-beratnya," katanya.

Saat ditanya lebih lanjut soal kejadian ini, MF masih belum mau umbar keterangan. "Maaf, saat ini saya tidak bisa bicara banyak. Anda lihat sendiri kondisi istri saya yang begitu sedih," ujarnya sambil menahan sang isteri yang terus histeris mengusir acehkita.com dari kediaman mereka.

Tak henti-hentinya ibu korban mengeluarkan kata-kata makian, menumpahkan kekesalan terhadap pelaku bejat itu. "Kasian anak saya, dia sudah tidak punya masa depan lagi. Dia hanya jadi korban, anak saya tidak berbuat sejauh itu," kata MF. Matanya berkaca-kaca.

Saat hendak meninggalkan rumah MF, acehkita.com sempat berpas-pasan dengan EF. Gadis berusia 15 tahun ini langsung masuk ke dalam rumah yang sebagian masih berlantai tanah itu. "Itu anak saya yang jadi korban, dan dia tidak berbuat sejauh itu," tambah sang ayah.

Kehadiran EF di luar rumah membuat sang ibu kembali histeris. "Kenapa kamu keluar rumah?" bentak si ibu, yang masih saja tidak bisa menahan emosi.

Pihak kepolisian berjanji akan menuntaskan kasus memalukan di tengah upaya penegakan syariat Islam ini. Pada Jumat (6/7) lalu, polisi berhasil menangkap ISN, warga Keude Bieng, Kecamatan Lhoknga, yang menjadi salah seorang dari 13 “sutradara” video syur Lhoknga.

Polisi memperoleh identitas pelaku dari korban yang melaporkan kejadian itu kepada aparat kepolisian. Dari informasi awal itu, polisi kemudian menelusuri dan mengumpulkan informasi tentang komplotan pelaku. “Kita memperoleh tiga nama, salah satunya ISN ini,” kata Kapoltabes Komisaris Besar Zulkarnain Adinegara saat dihubungi acehkita.com.

Zulkarnain mengaku, polisi kesulitan dalam menangkap para pelaku yang telah melarikan diri. ISN sendiri sempat bersembunyi di Sabang. “Kelompok mereka sering meresahkan warga, makanya warga melaporkan ke polisi,” kata Zulkarnain. “Yang lain pada lari. Hingga sekarang kita belum mengetahui di mana mereka.”

Kapoltabes meminta mereka menyerahkan diri kepada aparat kepolisian. Sebab, polisi akan terus menguber mereka. ”Kalau lari terus, mereka serba tidak nyaman. Nanti ketangkap juga,” ujarnya.

Kendati sudah ditangkap polisi, ISN membantah terlibat dalam kasus pemaksaan sepasang kekasih berbuat mesum itu. Namun, berdasarkan informasi yang dikumpulkan polisi dari masyarakat dan korban, ISN termasuk salah seorang ”sutradara” film syur Lhoknga. ”Korban dan masyarakat menunjuk dia (pelakunya). Bahkan, dia yang membawa korban (setelah dipaksa mengulang adegan mesum) ke kepala desa di Lhoknga,” kata Zulkarnain.

Seorang warga Lhoknga, sebut saja namanya Muhammad, mengatakan, kejadian pemaksaan reka ulang itu terjadi sekitar empat bulan silam. Namun, video itu baru menyebar pada pertengahan Mei lalu. Lokasi "syuting" video yang bisa dikatagorikan pada kasus pelecehan seksual itu terjadi di krueng brok , sebuah lokasi wisata pantai dekat kuburan massal Lampu-uk.

Dia menyebutkan, sebenarnya kasus main hakim sendiri terhadap muda-mudi pelanggar syariat Islam sudah terjadi berulangkali di lokasi itu. Namun, baru kali ini modusnya dengan memaksa pengulangan adegan dan merekamnya. Sebelumnya, kata Muhammad, kekasih yang kepergok sedang memadu asmara dihukum. "Pernah dipukul sampai babak belur," kata Muhammad. "Ada juga yang disuruh berenang di kreung brok itu, sampai kapok," dia melanjutkan.

Kendati mengetahui lika-liku setiap kejadian main hakim sendiri itu, Muhammad mengaku tidak mengetahui siapa pelakunya. "Saya tidak tahu pasti. Tapi yang jelas, mereka memang sering mencari muda-mudi yang sedang pacaran," terangnya. "Biasanya kalau kedapatan, akan mereka hukum sendiri."

Muhammad sendiri sangat menyayangkan sikap main hakim sendiri para pemuda kampung tersebut. Seharusnya, kata dia, para muda-mudi yang diduga telah melakukan perbuatan mesum diserahkan kepada tetua kampung untuk diambil tindakan. "Atau, panggil orangtua mereka, suruh para orangtua yang menghukum," sebut pria ini. "Ini jelas-jelas memalukan."

Banyak pihak mengutuk kasus video pelecehan seksual itu. "Ini tindakan biadab. Kalau memang mereka bersalah, ya serahkan saja kepada pihak berwajib,” katanya. [a]

Laporan: Dara
Published on: ACEHKINI, August 2007

Minggu, Juni 13, 2010

Kontroversi Selembar Rok

Oleh FAKHRURRADZIE GADE

PEREMPUAN paruh baya itu terlibat adu mulut dengan seorang petugas Polisi Syariah (Wilayatul Hisbah/WH). Berkali-kali ia menolak mendengar omongan petugas WH. Ia juga menolak menyerahkan kartu identitas kepada petugas. "Saya bukan teroris," kata Ima, perempuan berusia 40 tahun, itu.

Ia berlalu menuju sepeda motor yang diparkir di dekat mobil patroli petugas. Sambil menyalakan mesin motornya, Ima kembali mengabaikan petugas WH yang menghampirinya untuk meminta Ima agar membubuhkan tandatangan di atas surat pernyataan.

"Saya tidak mau, saya bukan teroris," Ima kembali bersuara lantang. "Saya sudah mengenakan pakaian yang tidak menyerupai laki-laki," ia bersikeras.

Ima terjebak razia busana muslimah yang digelar petugas polisi syariah di Desa Drien Ramphak, Kecamatan Arongan Lambalek, kecamatan yang berada di perbatasan Kabupaten Aceh Barat dengan Aceh Jaya.

Ima dalam perjalanan dari Calang, Aceh Jaya, ke Meulaboh, ibukota Aceh Barat, untuk menjumpai kerabatnya. Siang itu (Selasa/25/5), Ima mengenakan baju panjang selutut berwarna merah muda. Di luarnya, ia masih mengenakan jaket bergaris-garis. Baju itu dipadukan dengan celana panjang hitam. Ujung kaki celana terlihat agak longgar.

Petugas tetap saja ngotot bahwa Ima melanggar Qanun 11/2002 tentang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam. "Baju yang ibu pakai ketat," kata Abdul Razal, komandan operasi Wilayatul Hisbah Aceh Barat.

"Saya tidak pakai baju ketat," Ima membela diri. "Saya kan tidak memakai baju yang memperlihatkan lekuk tubuh."

Abdul Razak terus menasehati Ima agar di kemudian hari memakai busana yang sesuai dengan syariat Islam.

Belakangan ini, petugas Wilayatul Hisbah menggencarkan razia busana muslimah menyusul kebijakan Bupati Aceh Barat yang melarang perempuan memakai celana ketat. Kebijakan itu diwacanakan Bupati Ramli Mansur sejak akhir 2009 lalu.

Pekan lalu, Pemerintah Aceh Barat telah melakukan uji publik terhadap peraturan gubernur tentang busana muslim bagi warga Aceh Barat ini. Bahkan, Bupati Ramli Mansur mengaku sudah mempersiapkan lebih dari seribu rok yang akan dibagi-bagikan kepada warga yang terjebak razia, yang mengenakan celana ketat.

Ima menilai kebijakan bupati ini nyeleneh. "Agama seseorang itu di sini, di hati, bukan di busana," kata Ima. "Bersihkan dulu hati, setelah hati suci, busana akan mudah diubah. Menegakkan aturan agama Islam yang lain juga akan gampang," lanjutnya.

Ima mengharapkan agar penerapan syariat Islam tidak parsial, tapi harus menyeluruh. "Jangan hanya pada busana. Kita tidak bisa menilai orang dari pakaian yang dipakai. Bisa saja orang memakai baju kurung setelah berbuat maksiat," kata dia.

Berbeda dengan Ima, Nur Hayati malah mendukung langkah bupati. "Celana bagi perempuan itu haram hukumnya," kata Nur Hayati. "Rok merupakan pakaian bagi kita, muslimah Aceh," kata Nur Hayati.

Pun begitu, ia juga mengharapkan agar pemerintah tidak hanya mengurus persoalan pakaian warganya. "Perkuat juga lembaga pendidikan agama, biar orang tidak korupsi dan menipu," ujarnya.

Kebijakan Bupati Ramli juga berdampak pada omset para penjual pakaian di Meulaboh, ibukota Aceh Barat. Kamaruzzaman, seorang pedagang di Meulaboh, menyebutkan bahwa permintaan celana jeans bagi perempuan menurun drastis, hingga 75 persen.

Kamaruzzaman mengaku lebih mudah memasarkan baju longgar atau semisal gamis, dan rok. "Permintaan banyak baju gamis," kata Kamaruzzaman.

Saat bertandang ke toko milik Kamaruzzaman, hanyaa terlihat beberapa potong celana jeans perempuan yang dipajang. "Ini untuk stok saja, siapa tahu ada yang minta nanti. Kan warga Meulaboh bukan semuanya beragama Islam. Ada juga non-muslim yang beretnis China," kata Kamaruzzaman.

Kamaruzzaman kini kesulitan dalam memasarkan stok celana jeans. Beberapa waktu lalu, ia terpaksa harus menjual celana panjang tersisa dengan harga miring. “Asal habis barang saja,” ujarnya.

Kamaruzzaman melihat ada sisi positif dari kebijakan Bupati ini. "Sebagai lelaki normal, saya kadang terganggu dan risih melihat perempuan mengenakan celana panjang ketat, apalagi pakai celana legging, yang bahannya sangat tipis," kata dia. []

Senin, Juni 07, 2010

Founder of Aceh's separatist rebel movement dies

By FAKHRURRADZIE GADE
Associated Press

BANDA ACEH, Indonesia – The founder of Aceh's separatist movement, Teungku Hasan Muhammad di Tiro, died Thursday at a hospital where he was being treated for a failing heart, leukemia, and a lung infection. He was 84.

Di Tiro died from multiple organ failure after 11 days at the Zainoel Abidin hospital in Aceh's provincial capital Banda Aceh, said Andalas, one of his doctors who goes by a single name. The former leader of the now-dissolved Free Aceh Movement passed away just one day after the government restored his Indonesian citizenship, which had been revoked because of his independence struggle in exile.

In Jakarta, President Susilo Bambang Yudhoyono offered his "deepest condolence" and pray to the family.

"Thank God, he is be buried in Indonesia as an Indonesian citizen," Yudhoyono told a news conference. "This marks the peaceful and dignified end of Aceh conflict."

Aceh, an oil-and-gas-rich province of 4 million people on the northern tip of Sumatra island, experienced almost constant warfare for more than 140 years, with at least 15,000 people killed in the last round of fighting.

Di Tiro left Aceh soon after civil war began in 1976. He returned in 2008, after leading the rebel movement from Sweden for three decades and becoming a Swedish national.

A memorial service was led by Aceh Governor Irwandi Yusuf in Mireue village, about 19 miles (30 kilometers) outside Banda Aceh.

About 1,000 supporters and former rebels prayed over his body, which was wrapped in white sheets. They chanted "Allah Akbar," or "God is great," as many cried.

Yusuf, a former rebel spokesman and military strategist of the group's armed wing, said di Tiro was proud of the peace Aceh now enjoys.

"He once told me that such peaceful condition was the ultimate goal of his struggle," he said.

Yusuf announced a week of mourning in the province, during which the national red-and-white flags will be flown at half-staff.

"He was a great fighter ... We are very proud of him," said former rebel Khairuddin, who like many Indonesians uses only one name.

Efforts to end the civil war gained momentum after a massive earthquake and tsunami struck on Dec. 26, 2004, which left at least 167,000 people dead or missing and a half million others homeless in the province.

As part of a 2005 peace deal, the rebels gave up their long-held demand for independence and handed over all of their weapons, while the government allowed them to participate in local politics.

Di Tiro is the grandson of resistance leader Cik di Tiro, a national hero killed in combat against occupying Dutch troops in 1891. He is survived by a son from his American wife.

Ailing rebel leader obtains Indonesian citizenship

By FAKHRURRADZIE GADE
Associated Press Writer

BANDA ACEH, Indonesia - Indonesia restored the citizenship of an ailing founder of Aceh's separatist rebel movement on Wednesday after three decades of exile and a civil war in which thousands died.

Hasan di Tiro, 84, who returned home in 2008, has been hospitalized since last month in Aceh's provincial capital, Banda Aceh, with a failing heart and a lung infection.Security Minister Djoko Suyanto visited the hospital Wednesday to announce the restoration and present a letter of citizenship to di Tiro's relatives.

"This is initiated by the government and the local figures of Aceh," Suyanto said, "We want to do the best for a well-loved figure of the Acehnese."

Supporters, local leaders and former rebels who had gathered at the hospital cheered the announcement.

Di Tiro's condition has deteriorated in recent days, hospital doctor Fachrul Jamal said.

The former rebel leader left Aceh soon after the 1976 civil war began and led the now-dissolved separatist group known as GAM from exile in Sweden. Indonesia revoked his citizenship and he became a Swedish national.

Aceh, an oil- and gas-rich province of 4 million people on Sumatra island's northern tip, had experienced almost constant warfare for more than 140 years, with at least 15,000 people killed in the last round of fighting.

Efforts to end the civil war gained momentum after a massive earthquake and tsunami struck on Dec. 26, 2004, leaving at least 156,000 of the province's people dead or missing and a half million others homeless.

As part of a 2005 peace deal, the rebels gave up their long-held demand for independence and handed over all of their weapons. In exchange, the government allowed them to participate in local politics.

Di Tiro is the grandson of resistance leader Cik di Tiro, a national hero who was killed in combat against occupying Dutch troops in 1891.

Sabtu, Mei 29, 2010

Jalan Mulus Qanun Jinayah

Oleh Fakhrurradzie Gade

RUANG sidang parlemen Aceh dipenuhi belasan aktivis perempuan. Mereka tekun mendengar anggota dewan yang sedang menyampaikan pandangan umum mengenai lima rancangan qanun yang sedang dibahas DPR Aceh. Kehadiran sejumlah aktivis perempuan ini bukan tak beralasan. Salah satu rancangan qanun yang sedang dibahas adalah Qanun Jinayah dan Qanun Acara Jinayah. Qanun inilah yang paling banyak mendapat sorotan dari aktivis sipil ini. Direktur Koalisi NGO HAM Aceh Evinarti Zain menyebutkan, dari lima rancangan qanun yang akan disahkan pada akhir periode masa jabatan anggota parlemen Aceh periode 2004-2009, Raqan Jinayah dan Raqan Acara Jinayah-lah yang paling buruk dalam penyusunannya.

“Terkesan dirancang asal jadi oleh DPR Aceh. Padahal secara eksistensi pelaksanaannya, Qanun ini yang paling punya akibat langsung terhadap siapa pun yang berada atau sedang berada di Aceh,” kata Evi Zain dalam siaran pers yang dikirim ke wartawan, Rabu (9/9).

Koalisi NGO HAM menilai rancangan qanun ini belum sepenuhnya disosialisasikan kepada masyarakat luas. “Patut diduga qanun ini sangat kering pendapat masyarakat dan muatan keilmuan Islam secara umum,” ujar Evi.

Dalam draf, Qanun Jinayah nantinya hanya mengatur perihal judi, minuman keras, khalwat, homoseksual, pelecehan seksual, menuduh berzina, dan lesbian. Tak ada aturan yang menyebutkan soal perampokan, korupsi, dan pembunuhan.

“Qanun ini hanya menyentuh rakyat lapisan bawah dengan dalih bahwa aturan yang tidak diatur dalam Qanun Jinayah maka akan berlaku KUHP,” ujar Evi. Karenanya, Koalisi mendesak pemerintah dan legislatif untuk membawa draf qanun ini dalam sebuah musyawarah ulama Aceh agar hasilnya lebih baik.

Qanun Jinayah yang rencananya akan disahkan pekan depan ini merupakan kompilasi dari Qanun No 12 tahun 2003 tentang Maisir (perjudian), Qanun No 13/2003 tentang Khamar (minuman keras), dan Qanun No 14/2004 tentang Khalwat (mesum). Ketiga qanun ini sudah diberlakukan di Aceh. Pemerintah dan Legislatif Aceh menilai bahwa tiga qanun itu tak cukup untuk menerapkan syariat Islam secara sempurna di daerah yang pernah dilanda konflik selama hampir 30 tahun ini.

Bahrom Rasjid, ketua Panitia Khusus XII DPR Aceh, menyebutkan, Rancangan Qanun Jinayah ini sudah lama dipersiapkan pihak eksekutif. Pengajuan Qanun ini untuk menyempurnakan tiga qanun yang selama ini menjadi pijakan daerah ini menjalankan syariat Islam.

"Ini awalnya menyempurnakan qanun soal judi, mesum, dan minuman. Lalu saat pembahasan di Pansus (Panitia Khusus), kami menambahkan soal pelecehan seksual, zina, lesbian, homoseksual, dan pemerkosaan," kata Bahrom.

Bahrom hampir merampungkan tugasnya sebagai ketua Pansus XII ini. Rencananya, parlemen akan mengetuk palu pengesahan rancangan qanun ini menjadi Qanun Hukum Jinayah pada Senin, 14 September.
Pembahasan qanun ini di parlemen dikebut. Apalagi, 69 anggota dewan periode 2004-2009 akan segera mengakhiri tugasnya. Parlemen baru akan didominasi kader Partai Aceh, partai yang dibentuk pentolan Gerakan Aceh Merdeka. Banyak pihak menilai, anggota parlemen hasil pemilihan 2009 bakal tak mengesahkan qanun jinayah ini, jika anggota parlemen sekarang tak segera merampungkan pembahasannya. Apalagi, Partai Aceh tak pernah berbicara soal implementasi syariat Islam di Aceh.

Bahkan, Evi Zain (Direktur Koalisi NGO HAM Aceh) menilai bahwa pembahasan Qanun Jinayah merupakan proyek kejar tayang anggota dewan periode 2004-2009.

Di parlemen, qanun ini bakal berjalan mulus. Dalam pandangan umum anggota dewan pada Kamis (10/9), sebanyak tujuh anggota DPRA dari berbagai fraksi memberikan penilaiannya soal Qanun Jinayah dan tiga qanun lain yang sedang dibahas dewan.

Dari tujuh pemberi pandangan itu, hanya Miryadi Amir dari Partai Demokrat yang tidak memberikan penilaiannya. Dia hanya memberikan pandangan seputar Rancangan Qanun Investasi dan Penanaman Modal, Rancangan Qanun Pemberdayaan Perempuan, dan Rancangan Qanun Wali Nanggroe.
Koleganya di Partai Demokrat, Jamaluddin Muku, menolak berkomentar. Ia menyebutkan bahwa pandangan akhir fraksi akan dikemukakan pada Senin pekan depan.

Sementara enam anggota dewan lain secara terang-terangan mengapresiasi kerja Pansus XII yang telah membahas Rancangan Qanun Jinayah dan Acara Jinayah. "Apa yang telah dirumuskan oleh Pansus XII sudah sesuai dengan harapan kita bersama untuk tegaknya pelaksanaan syariat Islam di Aceh, sesuai dengan amanat Undang Undang Pemerintahan Aceh," kata Moharriadi dari Partai Keadilan Sejahtera.

Hal senada dikemukakan Adriman dari Partai Golkar, Indra Azmi dari Partai Keadilan dan Persatuan Umat (PKPU), Zainal Arifin dari Partai Amanat Nasional.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Mawardi Ismail menilai Qanun Jinayah yang sedang dibahas di DPR Aceh sama sekali tidak melanggar Undang Undang yang berlaku secara nasional, dan juga tidak melanggar hak asasi manusia.

"Mengenai soal hak asasi manusia, semua yang masuk dalam rumusan HAM ketika dibawa ke ranah lokal, itu memerlukan penyesuaian. Dalam konteks jinayat sekarang ini juga telah disesuaikan sedemikian rupa, sehingga pelaksanaan ketentuan jinayat tidak akan melanggar HAM," kata Mawardi Ismail saat dihubungi Kamis (10/9) sore.

Dia menyebutkan, hukuman cambuk dan rajam menjadi dua hal yang sering dipermasalahkan banyak kalangan. Menurutnya, hukuman cambuk bukan hanya berlaku di Aceh, tapi juga di Singapura dan Malaysia. "Kenapa yang di sana tidak dipersoalkan?" tanya Mawardi.

Tidak melanggar prinsip universal HAM, sebut Mawardi, karena dalam qanun Jinayah ini ada diberikan alternatif hukuman. "Hakim bisa memilih apakah hukuman yang pantas (bagi pelanggar syariat). Apakah kurungan atau denda," kata dia.

"Qanun Jinayah ini juga tidak bertentangan dengan KUHP. Bahkan dalam UU Pemerintahan Aceh disebutkan, khusus qanun jinayah ini tidak perlu pertatikan ketentuan peraturan pada umumnya. Jadi itu diatur dalam UU. Jadi produk hukum ini (Qanun) setara dengan KUHP. Pemerintah dan DPR Aceh sudah mengusahakan sedemikian rupa, maka pelaksanaannya tidak akan melanggar HAM," ujar Mawardi. []

Jumat, Mei 28, 2010

Tight pants ban takes effect in Indonesia's Aceh

FAKHRURRADZIE GADE, Associated Press Writer

MEULABOH, Indonesia (AP) — Authorities in a devoutly Islamic district of Indonesia's Aceh province have distributed 20,000 long skirts and prohibited shops from selling tight dresses as a regulation banning Muslim women from wearing revealing clothing took effect Thursday. The long skirts are to be given to Muslim women caught violating the dress code during a two-month campaign to enforce the regulation, said Ramli Mansur, head of West Aceh district.

Islamic police will determine whether a woman's clothing violates the dress code, he said.

During raids Thursday, Islamic police caught 18 women traveling on motorbikes who were wearing traditional headscarves but were also dressed in jeans. Each woman was given a long skirt and her pants were confiscated. They were released from police custody after giving their identities and receiving advice from Islamic preachers.

"I am not wearing sexy outfits, but they caught me like a terrorist only because of my jeans," said Imma, a 40-year-old housewife who uses only one name. She argued that wearing jeans is more comfortable when she travels by motorbike.

Motorbikes are commonly used by both men and women in Indonesia.

"The rule applies only to Muslim residents in West Aceh," Mansur told The Associated Press. "We don't enforce it for non-Muslims, but are asking them to respect us."

He said any shopkeepers caught violating restrictions on selling short skirts and jeans would face a revocation of their business licenses.

No merchants have been seen displaying jeans or tight clothing in stores in West Aceh district in recent weeks.

The regulation is the latest effort to promote strict moral values in the world's most populous Muslim-majority nation, where most of the roughly 200 million Muslims practice a moderate form of the faith.

It does not set out a specific punishment for violators, but says "moral sanctions" will be imposed by local leaders.

Mansur said women caught violating the ban more than three times could face two weeks in detention.

Rights groups say the regulation violates international treaties and the Indonesian constitution.

Aceh, a semiautonomous region, made news last year when its provincial parliament passed an Islamic, or Shariah, law making adultery punishable by stoning to death. It also has imposed prison sentences and public lashings for homosexuals and pedophiles.

Islamic law is not enforced across the vast island nation. But bans on drinking alcohol, gambling and kissing in public, among other activities, have been enforced by some more conservative local governments in recent years.

Opinion polls show that a majority of Indonesians oppose the restrictions on dress and behavior, which are being pushed by hard-liners in the secular democracy.

Sabtu, Mei 08, 2010

Salahkah Kami?

BENAR. Dua Reporter saya memberikah dua informasi yang berbeda tentang satu kejadian. Dalam pekan ini, media yang saya asuh melansir foto seorang ibu yang terbaring lemas di rumahnya. Zuraida nama ibu penghuni kompleks Cinta Kasih Pante Riek, Lueng Bata. Zuraida mengaku tidak bisa menjalani operasi kanker payudara karena ketiadaan biaya. Namun dalam wawancara selanjutnya, Ida, anak Zuraida mengaku bahwa ibunya tidak ditolak oeh pihak Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin. pik dokter hanya meminta Zuraida menunggu karena sedang ada sekitar 25 pasien yang tengah antre.


Sampai di sini, saya melihat ada kejanggalan dari dua informasi ini. Saya berharap agar kami tidak salah mengutip keterangan narasumber.

Minggu, April 25, 2010

Lindu Guncang Banda Aceh

Gempa Guncang Banda Aceh

BANDA ACEH l ACEHKITA.COM -- Gempa kecil berkekuatan 4.8 pada skala Richter mengguncang Kota Banda Aceh, Ahad (25/4) pagi. Gempa dengan kedalaman 12 kilometer di laut ini tak membuat warga panik. Pusat gempa berada 75 kilometer arah barat daya Banda Aceh.

Di Banda Aceh, gempa dirasakan pada skala II - III MMI.

Awal bulan ini, gempa berkekutan 7,2 SR mengguncang Aceh. Gempa yang berpusat di perairan.Simeulue itu menyebabkan lebih dari 20 warga luka-luka. []

Jumat, April 23, 2010

Selamat Jalan, Pak Adityawarman

HARI ini, Adityawarman terakhir berkumpul bersama masyarakat dan pejabat Aceh. Setelah tak lagi menjabat sebagai Kepala Kepolisian Aceh, lelaki berpangkat Inspektur Jenderal itu akan kembali ke Jarkarta. Ia telah pensiun dari dinas kepolisian.

Ia berdinas di Aceh setahun lebih dua bulan. Ini ukuran durasi waktu yabg singkat. Saya.beruntung di akhir masa jabatannya bisa berkenalan dan berinteraksi dengan beliau. walaupun saya yakin, bahwa beliau tak ingat nama saya. tapi itu tidak penting.

Saya mengenal beliau saat terlibat dalam "proyek" penulisan buku biografi beliau. Banyak informasi yang saya peroleh mengenai internal kepolisian, terorisme, dan teror yang terjadi di Aceh.

Ia termasuk orang yang agak terbuka. Saya jadi ingat ketika Kamaruddin, warga yang tewas ditembak polisi dalam aksi pengepungan teroris di Jalin, Jantho.

Ini korban salah tembak. Namun ia mengakui kesalahan polisi dan meminta maaf. Walaupun tak cukup dengan meminta maaf, tapi setidaknya ada sebuah pengakuan dari polisi bahwa ini korban salah tembak.

Akhir tugasnya diisi dengan mengejar kelompok teroris yang menamakan diri Tandzim Al Qaeda Serambi Mekkah. Para teroris, umuknya ditangkap polisi lokal, bukan datasemen khusus AntiterorMabes Polri.

selamat jalan.,

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting