Sabtu, Maret 08, 2008

Bisnis Mantan Kombatan GAM

Oleh FAKHRURRADZIE GADE
Acehkita Writer

SEBUAH truk colt warna kuning tiba-tiba berhenti di sebuah toko berlantai dua di kawasan Kota Mini, Kecamatan Mutiara Timur, Pidie. Di badan truk itu tertulis H.M.R, dengan stiker warna hijau nyala. Truk itu berlepotan dengan pasir. Pertanda, baru saja menurunkan muatannya. Tak berapa lama, truk kembali melaju ke arah barat Kota Mini.H.M.R yang tertera di badan truk itu adalah singkatan dari Halimon Meugah Raya. Ini merupakan sebuah perusahaan yang didirikan oleh bekas kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Pidie. Toko yang disinggahi tadi merupakan kantor perusahaan tersebut.

Tidak banyak yang mengetahui kalau di toko itu GAM mengelola sebuah perusahaan yang baru didirikan pada awal Mei 2006 itu. Pasalnya, lantai dasar digunakan sebagai toko buku. Sedangkan PT HMR berkantor di lantai dua.

Jangan menduga perusahaan ini dipadati pegawai yang sedang sibuk bekerja. Atau berbagai kesibukan lain laiknya sebuah perusahaan. Tidak ada kesibukan berarti. Di lantai dua, tempat perusahaan itu bermarkas, hanya ada enam meja rapat dan sejumlah kursi plastik warna hijau. Tidak ada yang namanya ruangan untuk direktur atau pemegang saham. Atau meja komputer untuk pegawainya. Hanya ada satu ruangan kosong yang difungsikan sebagai tempat istirahat dan ibadah.

Meja komputer, hanya ada di lantai bawah, tempat yang selama ini dijadikan sebagai toko buku. Di situ, hanya ada dua komputer dan satu unit printer. Selebihnya, lemari ukuran besar yang tidak terisi. Hanya rak paling bawah yang ada isinya, berupa beberapa bundel dokumen. Salah satu dokumen adalah akta pendirian perusahaan tersebut.

Dalam akta itu tertulis nama Sardjani Abdullah, Anwar Husen, Aiyub Abbas, Sayed Rizal Fahlevi, Abubakar Usman, dan Mahdalena. Mereka adalah para pentolah GAM di Pidie. Dua nama yang disebutkan pertama adalah petinggi GAM wilayah Pidie.

Menurut Muhammad Bardan, 41 tahun, wakil kepala pengangkutan, PT Halimon Meugah Raya sudah didaftarkan ke notaris, Gabungan Pengusaha Konstruksi Nasional (Gapeknas) Pidie, dan juga sudah mendapatkan Surat Izin Usaha Perusahaan (SIUP). “Secara legal sudah ada semua,” kata Muhammad Bardan saat ditemui Aceh Magazine di kantor HMR, medio Juni lalu, sambil memperlihatkan segepok dokumen.

Perusahaan yang dipimpin Said Rizal Fahmi ini didirikan dengan modal dari dana reintegrasi bagi bekas pasukan GAM. Saat itu, Badan Reintegrasi Damai Aceh telah menyalurkan bantuan 113 bekas kombatan itu. Besaran dana yang disalurkan adalah Rp 12,5 juta per orang. Uang itu lalu dikumpulkan dan dijadikan sebagai modal mendirikan perusahaan.

Pendirian perusahaan ini, menurut Muhammad Bardan, telah disetujui semua bekas kombatan GAM wilayah Pidie. Pasalnya, ide pendirian ini telah dimusyawarahkan dengan semua gerilyawan yang ada di kawasan tersebut.

“Modal pendirian perusahaan ini murni dari dana reintegrasi. Penggunaan dana itu atas persetujuan KPA (Komite Peralihan Aceh) Pidie. Semua pasukan juga menyetujuinya, karena sudah ada musyawarah,” ujar bekas panglima muda daerah tiga Caleue ini.

Lantas, kenapa dana reintegrasi yang seharusnya dibagikan kepada para bekas kombatan dijadikan modal untuk mendirikan perusahaan? Bardan punya jawabnya. Menurut pria berkumis lebat ini, jika uang sebesar Rp 1,4 miliar itu dibagikan kepada semua bekas kombatan, maka uang itu tidak akan merata. “Jadi kami bentuk badan usaha untuk kesejahteraan bekas TNA. Badan usaha ini nantinya akan kita kembangkan. Nah, keuntungannya nanti kita bagi kepada semuanya,” jelasnya pria yang mengaku pernah mendapatkan pendidikan militer di Libya itu.

Berbekal dana Rp 1.412.500.000 (113x12.500.000 –-red.) itulah, mereka mengurus perizinan, menyewa kantor, dan membeli peralatan. Terakhir, perusahaan ini membeli lima unit truk Mitsubishi Colt Diesel HD 120 Ps. Truk ini menjadi tulang punggung perusahaan.

Perusahaan bergerak dalam bidang pengangkutan pasir, walaupun di plang nama tertulis sejumlah bidang usaha lainnya, semisal kontraktor, laveransir, ekspor, dan impor. “Sekarang baru di bidang pengangkutan,” ujar Bardan, pria berbadan tegap itu.

Walaupun didirikan dengan meuripee (patungan) antarbekas kombatan GAM, tidak semua pekerja di sana mempunyai latar belakang sebagai anggota di organisasi tersebut. Untuk lima orang sopir, misalnya, semua direkrut dari warga biasa yang sudah berpengalaman di bidang itu. “Pertama kita minta dari anggota GAM. Kalau tidak ada, kita berikan kepada siapa saja yang bersedia,” terang Bardan.

Lima sopir yang dipekerjakan di perusahaan yang baru seumuran jagung itu, digaji berdasarkan persenan. “Sopir kami gaji 30 persen dari pendapatan total seharian,” sebutnya.

Halimon Meugah Raya bukanlah unit bisnis pertama yang didirikan bekas gerilyawan penuntut kemerdekaan Aceh itu. Sebelumnya, Muzakkir Manaf, bekas panglima TNA, telah mendirikan PT Pulau Gadeng. Perusahaan ini bergerak di bidang ekspor-impor hasil bumi dari dan ke Aceh.

Perusahaan ini didirikan tidak terlepas dari kerjasama yang dilakukan Aceh World Trade Center (AWTC) Holding Sdn. Bhd dengan perusahaan pelayaran ASDP Malaysia. AWTC adalah perusahaan yang berkedudukan di Malaysia dan sahamnya dimiliki oleh sejumlah petinggi GAM di sana. Dalam nota kesepakatan dengan ASDP pada Minggu, 15 Januari lalu, AWTC akan membuka jalur angkutan laut dari Penang (Malaysia) ke pelabuhan umum Krueng Geukueh, Aceh Utara.

Dalam pelayaran perdana pada 27 Januari lalu, perusahaan ini mengimpor berbagai hasil bumi di Aceh, seperti pinang, ke Malaysia. Selain itu, perusahaan yang dipimpin Muzakkir Manaf ini juga mengimpor gula dan bawang putih dari negara di semenanjung Malaya itu.

Ternyata, langkah Muzakkir Manaf ini diikuti para bawahannya. Bukan hanya bekas kombatan di wilayah Pidie yang mengikuti jejak sang petinggi. Sejumlah bekas pasukan GAM di Pasee (Aceh Utara) juga ada yang bergerak dalam bisnis, kendati tidak melibatkan GAM sebagai institusi.

Di Aceh Utara, Komite Peralihan Aceh memperoleh hak pengelolaan tata usaha tandan buah segar kelapa sawit yang diolah PT Perkebunan Nusantara 1 Cot Girek. Dalam sebuah pertemuan yang melibatkan KPA, PTPN-1, dan Penjabat Bupati Aceh Utara Teuku Pribadi, disepakati bahwa KPA mendapat hak 40 persen dan Puskobun 60 persen hak tata usaha tersebut. Setelah mendapatkan persenan ini, KPA nantinya akan menjadi rekanan PTPN-1 dan bisa membeli kelapa sawit.

KPA Blang Pidie juga mendirikan unit usaha dengan bermodalkan dana reintegrasi. Menurut Juru Bicara KPA Teungku Zainal Cot, dari 112 personel GAM, baru 37 orang saja yang memperoleh dana yang dijanjikan pemerintah tersebut. “Itu pun baru dapat setengah dari bantuan. Jadi per orang baru dapat Rp 12,5 juta,” kata Zainal kepada acehkita.com, pertengahan Oktober lalu, saat ditemui di Blang Pidie.

Dana reintegrasi yang telah diterima anggota GAM, kata Zainal, berjumlah Rp 462.500.000. Kini, dana tersebut dikelola oleh KPA dan digunakan untuk membuka usaha. “Usaha rental beco dan pengangkutan material bangunan, seperti tanah dan pasir,” ujar Zainal yang diamini bekas Juru Penerang GAM Blang Pidie, Teungku Kamaluddin alias Teungku Young.

“Kalau dibagi untuk semua anggota GAM, satu orang paling hanya dapat Rp 500 ribu saja,” lanjut Teungku Young, yang kini bekerja sebagai petani.

Cerita di atas adalah cerita tentang mereka yang telah memperoleh dana reintegrasi. Namun, simak apa yang dikemukakan Ketua KPA Lhoong Juli Muliadi.

Menurut Juli, KPA sudah mengajukan nama-nama anggota yang berhak memperoleh dana reintegrasi itu. Namun, belum satu pun yang cair. Dia juga mengatakan, kini anggotanya masih hidup luntang lantung. Dari 47 anggota GAM baru 10 yang mempunyai pekerjaan.

“Itu pun kerja serabutan. Kami berharap dana yang telah dijanjikan bisa dicairkan dan digunakan untuk modal usaha,” ujar Juli.

Terkait banyaknya anggota GAM yang belum memperoleh dana reintegrasi, Sekretaris Badan Reintegrasi Damai Aceh, dr. Haniff Asmara, mengatakan, pemerintah akan menuntaskan penyaluran dana itu pada akhir November ini. Apalagi, pihak GAM telah menyerahkan daftar 3.000 nama anggotanya yang berhak mendapatkan dana tersebut.

"Pada 10 November lalu GAM menyerahkan daftar nama anggotanya. Kita sudah mengklarifikasi untuk 3.000 orang. Sebagian besar sudah lengkap dengan nama dan alamat jelas. Pekan ini (maksudnya pekan depan --red.) selesai," kata Haniff kepada wartawan beberapa waktu lalu. [dzie]

(Jamaluddin menyumbang bahan untuk laporan ini dan dipublikasikan di situs berita acehkita.com dan majalah Aceh Magazine)

Police investigate deadly attack on ex-rebels in Aceh

By FAKHRURRADZIE GADE, The Associated Press Writer

Banda Aceh, Aceh | Mon, 03/03/2008 8:04 PM | National

Former rebels in Aceh warned of fresh conflict Monday after a 100-strong mob torched one of their offices, killing six people and underscoring tensions in the region since a 2005 peace deal.

It was unclear whether the attackers burned the victims alive or hacked them to death before setting the building alight, officials said.

The attack happened early Sunday in Aceh's central highlands.

Ibrahim Syamsuddin, a spokesman for the former rebels, said the incident was related to a dispute between the ex-fighters and a local union over control of revenues from a local bus station.

Syamsuddin also alleged some of the attackers were former members of a pro-Jakarta militia blamed for attacks on separatists and civilian sympathizers during the conflict. Their relationship with the union members was not immediately clear.

Many ex-rebels and militia members turned to gang warfare since the war ended. Bus stations and other transport hubs in Indonesia are often targeted by criminal gangs seeking illegal levies.

Syamsuddin demanded police "uncover the truth" behind the incident.

"If they do not, a new conflict will erupt in Aceh," he said, giving no more details.

Local police chief Agus Budi Kawedar declined to speculate on a motive for the attack, but pledged to "get to the bottom of this."

The Free Aceh Movement signed a peace agreement with the Indonesian government in August 2005 to end 29 years of fighting that killed more than 15,000 people. A former rebel leader is now governor of the province, which under the deal was granted greater autonomy.

Violence between the two sides has ended, though analysts have warned political tensions and financial disagreements between former rebels risk undermining the deal unless they are resolved.

There have been sporadic clashes among ex-combatants since the deal, but Sunday's attack was the deadliest.

The agreement was forged in the aftermath of the 2004 Asian tsunami, which killed more than 160,000 people in Aceh. (Published in The Jakarta Post, International Herald Tribune)

Police investigate deadly attack on ex-rebels in Aceh

By FAKHRURRADZIE GADE, The Associated Press Writer

Banda Aceh, Aceh | Mon, 03/03/2008 8:04 PM | National

Former rebels in Aceh warned of fresh conflict Monday after a 100-strong mob torched one of their offices, killing six people and underscoring tensions in the region since a 2005 peace deal.

It was unclear whether the attackers burned the victims alive or hacked them to death before setting the building alight, officials said.

The attack happened early Sunday in Aceh's central highlands.

Ibrahim Syamsuddin, a spokesman for the former rebels, said the incident was related to a dispute between the ex-fighters and a local union over control of revenues from a local bus station.

Syamsuddin also alleged some of the attackers were former members of a pro-Jakarta militia blamed for attacks on separatists and civilian sympathizers during the conflict. Their relationship with the union members was not immediately clear.

Many ex-rebels and militia members turned to gang warfare since the war ended. Bus stations and other transport hubs in Indonesia are often targeted by criminal gangs seeking illegal levies.

Syamsuddin demanded police "uncover the truth" behind the incident.

"If they do not, a new conflict will erupt in Aceh," he said, giving no more details.

Local police chief Agus Budi Kawedar declined to speculate on a motive for the attack, but pledged to "get to the bottom of this."

The Free Aceh Movement signed a peace agreement with the Indonesian government in August 2005 to end 29 years of fighting that killed more than 15,000 people. A former rebel leader is now governor of the province, which under the deal was granted greater autonomy.

Violence between the two sides has ended, though analysts have warned political tensions and financial disagreements between former rebels risk undermining the deal unless they are resolved.

There have been sporadic clashes among ex-combatants since the deal, but Sunday's attack was the deadliest.

The agreement was forged in the aftermath of the 2004 Asian tsunami, which killed more than 160,000 people in Aceh. (Published in The Jakarta Post, International Herald Tribune)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting