Senin, September 27, 2004

LAPORAN INVESTIGASI AJI
Intimidasi TNI, Polri dan GAM terhadap Pemilih Pemilu 5 April 2004 di Kabupaten Bireuen

Pengantar Redaksi:
Benarkah pemilihan umum (Pemilu) 5 April untuk memilih anggota legislatif berlangsung bebas dan aman di Aceh? Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Ryamizard Ryacudu mengklaim 94% rakyat Aceh mengikuti pemilu. Sehingga pemilu yang berlangsung di bawah status Darurat Militer itu dikatakan berhasil sekaligus membantah tudingan berbagai pihak sebelumnya.

Lalu benarkah, tingkat partisipasi yang tinggi itu berarti rakyat tidak mendapat ancaman dari pihak-pihak yang bertikai di Aceh untuk menggagalkan atau mengikuti Pemilu?

Berikut ini laporan hasil investigasi yang didanai oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melalui program beasiswa Investigasi Kecurangan Pemilu 2004 se-Indonesia yang diikuti oleh 14 finalis. Laporan ini terdiri dari lima bagian yaitu Teror Senjata di Hari Pemilu, Surat Intimidasi GAM yang Misterius, Pemaksaan dan Pemukulan di Hari Pemilu, Jalan Panjang Menuju Pemilu dan Rayonisasi atau Mobilisasi Massa?

Tulisan ini sudah dimuat di acehkita.com edisi 4 Agustus 2004. Laporan sebanyak 5 Bagian ini berjudul asli: “Intimidasi TNI, Polri dan GAM terhadap Pemilih Pemilu 5 April 2004 di Kabupaten Bireuen”.

Alasan Bireuen dipilih sebagai lokasi investigasi karena dianggap sebagai representasi dari wilayah Aceh, yang tingkat esklasi konfliknya masih sangat tinggi. Juga, tempat di mana konsentrasi pasukan GAM, TNI dan Polri di wilayah ini tergolong besar, setelah Aceh Utara.

Laporan ini dikemas dalam lima bagian:

Bagian I: Teror Senjata di Hari Pemilu
Bagian II: Surat Intimidasi GAM yang Misterius
Bagian III: Pemaksaan dan Pemukulan di Hari Pemilu
Bagian IV: Jalan Panjang Menuju Pemilu
Bagian V: Rayonisasi atau Mobilisasi Massa

Laporan ini diselesaikan secara tim oleh Murizal Hamzah (harian sore Sinar Harapan), Fakhrurradzie (Suara Merdeka CyberNews), dan Adi Warsidi (Tabloid LACAK). Wartawan senior Farid Gaban, menjadi mentor untuk penulisan yang digarap pada masa Darurat Militer ini.
Selamat membaca...

Bagian 5
Rayonisasi atau Mobilisasi Massa?

5 April 2004, pagi. Ribuan warga Desa Lamreung, Meunasah Papeun, Meunasah Lueng Ie, Rumpet dan Lamgeuleumpang, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar berbondong-bondong mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Desa Lamreung. Di lapangan desa yang berbatasan dengan Kampus Darussalam, Banda Aceh ini, memang menjadi tempat tujuan ribuan warga yang hendak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum legislatif di daerah yang saat itu masih berada dalam status darurat militer. Di lapangan Desa Lamreung, disediakan 15 TPS untuk melayani kebutuhan masyarakat lima desa. Penggabungan ini, menurut seorang anggota Panwaslu Aceh Besar, karena alasan keamanan. Di Kecamatan Ingin Jaya saja, katanya, terdapat dua rayon yang menggabungkan beberapa desa. "Ini hanya faktor keamanan," katanya.

Bukan hanya di Aceh Besar saja yang terjadi rayonisasi. Di kabupaten/kota lainnya di Aceh yang dianggap rawan gangguan keamanan, juga dilakukan rayonisasi. Di Kabupaten Bireuen terdapat 158 rayon. Padahal, kecamatan di Bireuen, hanya 10 kecamatan dengan 514 desa. Sementara TPS yang tersebar di kabupaten yang sangat tinggi eskalasi konflik ini, sebanyak 945 TPS.

Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari warga Di Bireuen, ada pemilih yang harus berjalan kaki tiga kilometer untuk memberikan hak suaranya. Di lain kali, ada masyarakat pemilih yang diangkut dengan truk-truk untuk menghadiri TPS. Bisa dikatakan ini adalah upaya memobilisasi masyarakat pemilih untuk menggunakan hak pilihnya pada Pemilu memilih legislatif 2004. Apakah ini akan terulang lagi pada Pemilu memilih Presiden dan Wakil Presiden 5 Juli 2004?

Rayonisasi TPS-TPS diberlakukan hanya di daerah-daerah yang dianggap rawan dari gangguan keamanan. Artinya, Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) sang pemilik ide rayonisasi, mengatakan rayon ini hanya dibuat di daerah yang masih abu-abu dan hitam.

'Rayonisasi artinya kalau di desa yang rawan itu tidak bisa dilaksanakan pemilu, maka bisa kita pindahkan ke desa lainnya yang terdekat dan sedikit aman,' ujar Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh di Banda Aceh pada 3 April 2004.

Namun, menurutnya, berdasarkan keterangan dari Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Aceh, pemilu tetap bisa dilangsungkan di daerah rawan tersebut, karena sudah mendapat jaminan keamanan. Untuk memastikannya, Puteh akan membicarakan masalah tersebut dengan Menko Polkam ad interim Hari Sabarno.
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPU) Nanggroe Aceh Darussalam, tidak begitu mempersoalkan adanya tidaknya rayonisasi dalam pelaksanaan pemilu lalu. Menurut Hasbullah Tjoetgam, Ketua KPU Aceh, dalam sebuah kesempatan mengatakan, rayonisasi bukan urusan KPU, melainkan urusan aparat keamanan. "Rayonisasi sudah ditetapkan di daerah-daerah yang rawan," katanya.

Bagi pihaknya, "Kita tidak membuat desa mana yang katagori hitam dan putih. Itu bukan urusan kita. Itu hanya istilah untuk (aparat) keamanan. Bagi KPU sama saja," kata Hasbullah.

Pada saat pemilihan presiden pun, rayonisasi masih berlaku. Di Kecamatan Krueng Barona Jaya ini, rayonisasi juga masih berlangsung. Kalau dalam Pemilu legislatif lokasinya di lapangan Desa Lamreung, kini dipindahkan ke kompleks Sekolah Dasar (SD) dan Taman Kanak-kanak T Nyak Arief, Desa Lamreung. Begitu halnya di beberapa tempat. Sebut saja misalnya di Kabupaten Aceh Timur. Bahkan di kabupaten yang intensitas konfliknya masih membara ini, masyarakat Seuneubok Aceh Kecamatan Idi Cut Kabupaten Aceh Timur harus menempuh perjalanan untuk melakukan pencoblosan sepanjang tak kurang darit tujuh kilometer. Ada juga, mereka yang dimobilisasi untuk datang ke TPS-TPS.

Lalu, adakah rayonisasi ini berbuah tekanan?

Tidak mudah untuk menjawab asumsi ini. Namun, yang jelas, menurut Lucky Djani, sebagaimana ditulisnya dengan baik dalam Modul Pemantau Dana Kampanye, dalam pemilu yang demokratis, para pemilih harus bebas menentukan sikap politiknya tanpa adanya tekanan, intimidasi, iming-iming pemberian hadiah tertentu yang akan mempengaruhi pilihan mereka.
Berdasarkan pantauan di hari pemilihan, pemilih yang menggunakan hak pilihnya di TPS-TPS yang termasuk dalam rayonisasi, kerahasiaan pilihannya tidak terjamin. Hal ini seperti terlihat di TPS yang ada di lapangan Lamreung. Di 15 TPS yang ada, terlihat bilik suara yang tidak ada tirai yang menutupi bilik suara untuk menjamin kerahasiaan. Padahal, pencoblosan yang rahasia adalah tujuan dari proses pelaksanaan pemilu. Masih menurut Lucky Djani, apa pun pilihan politik yang diambil oleh pemilih tidak boleh diketahui oleh pihak mana pun bahkan oleh panitia pemilihan. Kerahasian sebagai sebuah prinsip sangat terkait dengan kebebasan seseorang dalam memilih.

Bagian 4
Jalan Panjang Menuju Pemilu

CENTER for Electoral Reform (CETRO) pada Desember 2003 menegaskan, pelaksanaan Pemilu 2004 di Aceh dalam status Darurat Militer (DM) adalah cacat hukum. Bukan hanya CETRO saja yang mengeluarkan pendapat pesimistis Pemilu di bawah status DM bisa berjalan dengan asas langsung, bebas, rahasia (luber) dan jujur, adil (jurdil).

Indra Jaya Piliang, peneliti Center for Stategic and International Studies (CSIS) juga melontarkan pernyataan senada dengan CETRO. Menurut Indra Piliang, Pemilu di Aceh secara legal formal lemah.

Argumentasi yang dilontarkan CETRO berpijak pada landasan hukum pelaksanaan Pemilu dan pemberlakuan status keadaan bahaya. Menurut Smita Notosusanto, Direktur Eksekutif CETRO di Jakarta kepada penulis melalui email pada Mei 2004, banyak anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawas Pemilu yang tidak memahami Perpu No. 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya yang menjadi dasar hukum pelaksanaan DM di Aceh. Smita ingin mengatakan dua lembaga yang berkompeten dalam penyelenggaraan Pemilu, kurang menyadari adanya pembatasan hak-hak sipil akibat penerapan DM.

Smita memaparkan terjadi dualisme hukum dalam pelaksanaan Pemilu di Aceh. Satu sisi, merujuk pada UU No. 12 Tahun 2003, penyelenggaran Pemilu adalah hak sepenuhnya KPU. Sementara dalam Keppes No. 28 Tahun 2003 disebutkan segala pelaksanaan kegiatan ada pada otoritasi Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD). “Dualisme penerapan dua undang-undang yang saling bertentangan secara prinsip ini tidak akan kondusif terhadap penyelenggaraan Pemilu," tegasnya.

Senada dengan Smita, Indra J Piliang melihat pelaksanaan Pemilu legislatif di daerah yang berstatus DM (kemudian status ini berakhir dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 43 Tahun 2004 tentang penurunan keadaan bahaya dari tingkat DM menjadi Darurat Sipil (DS) pada 19 Mei 2004. Walaupun demikian, peraturan DM masih berlaku hingga enam bulan ke depan–red) mempunyai paradoksi undang-undang yang sangat kentara.

Pertentangan ini, ungkap Piliang, terjadi pada berlakunya dua undang-undang yang satu sama lain saling bertentangan. "Dari sisi undang-undang saja, itu kita tidak bisa mengsinkronisasikan antara UU No.12 Tahun 2003 tentang pemilihan umum dengan Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2003 tentang pernyataan darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Menurut UU No.12 Tahun 2003, penyelenggara Pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum. Komisi Pemilu adalah pengambil keputusan tertinggi atas persoalan-persoalan yang menyangkut tahapan-tahapan kampanye, menyangkut masalah pelanggaran pemilu dan lain-lain di seluruh daerah di Indonesia,” kata Piliang seperti dikutip Radio Nederland Siaran Indonesia, edisi 5 November 2003.

Apa yang dikhawatirkan Smita, Piliang dan aktivis pro-demokrasi lainnya wajar adanya. Dalam pelaksanaan Pemilu legislatif 2004, antara KPU, Pemda Aceh dan PDMD Aceh tergambar kurang koordinasi.

Baiklah, sejenak kita ulang kaji kontroversial pelaksanaan Pemilu di propinsi paling ujung barat dari Pulau Sumatera ini. Simak saja penuturan Hasbullah Tjutgam, Ketua KPU Aceh ini mengaku tidak diundang dalam rapat evaluasi akhir pelaksanaan Pemilu di Markas Komando Daerah Militer (Makodam) Iskandar Muda pada Kamis, 1 April 2004. Rapat di Makodam Iskandar Muda itu selain dihadiri unsur Muspida Aceh, juga dihadiri Menteri Dalam Negeri yang juga Menteri Koordinator Politik dan Keamanan ad interim Hari Sabarno, Kepala Kejaksaan Agung MA Rahman, Kapolri Da’i Bachtiar. “Kami tidak disampaikan undangan untuk bertemu Menkopolkam. Kami hanya dapat undangan untuk bertemu para wartawan dari Jakarta di Aula Dinas Infokom. Itu pun tidak jadi,” kata Hasballah Tjutgam.

Padahal dalam rapat evaluasi itu, Menko Polkam mengeluarkan pernyataan keras mengenai 25 desa yang diperkirakan tidak bisa mengikuti prosesi pesta demokrasi sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan KPU Pusat. Menurut Sabarno, berdasarkan laporan sampai April 2004 masih ada 25 desa di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam – Aceh memiliki 5.947 desa 228 kecamatan dan 21 kabupaten/kota - yang belum bisa digelar Pemilu pada 5 April 2004. Menurut Sabarno karena masih ada gangguan keamanan dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Ada beberapa desa yang memang tidak memungkinkan diadakannya Pemilu (5 April 2004–red). Sehingga nanti mungkin akan diadakan pemilihan di TPS-TPS terdekat,” kata Sabarno di Banda Aceh.

Desa-desa yang tidak bisa diadakan Pemilu serentak itu tersebar di empat kabupaten, yaitu di Kabupaten Pidie, Aceh Utara, Aceh Barat, dan Aceh Timur. Sabarno tidak merincikan desa mana saja yang ada gangguan Pemilu. Gubernur Aceh Puteh menandaskan desa yang masih rawan gangguan GAM 52 desa. “Bukan 25 desa, tapi 52 desa yang rawan diadakan Pemilu pada 5 April nanti. Terbanyak di Pidie,” kata Puteh.

Walaupun demikian, kata Puteh tidak ada kendala yang berarti dalam perhelatan Pemilu di Aceh. “Menurut PDMD tidak ada masalah, karena dibuat rayonisasi. Artinya kalau tidak bisa di desa sendiri, maka bisa di desa lainnya,” lanjut Puteh.

Atas pernyataan Hari Sabarno dan Abdullah Puteh ini, Hasbullah menyangkalnya. Menurut data dari KPU Kabupaten/Kota, sampai menjelang Pemilu, semua desa bisa melaksanakan Pemilu tanpa ada kendala. “Kami masih optimis kok, pelaksanaan Pemilu berlangsung sesuai jadwal. Dari segi logistik, kita sudah siap. Tinggal tergantung situasi keamanan di lapangan,” lanjutnya.

Hasbullah mengatakan bahwa pihaknya belum menerima laporan sama sekali dari daerah tentang adanya desa yang tidak bisa ikut pemilu. “Itu mungkin data awal, yang dulunya mungkin ada 52 desa, sekarang tinggal 25 desa. Tapi, saya tidak tahu,” ujar Hasballah. Dia mengatakan di 25 desa itu, KPU juga akan mengadakan pemilu. “25 desa itu tetap ikut Pemilu. Mana yang terancam, saya tidak tahu,” kata dia.

Hasbullah menerangkan, KPU tidak mengenal daerah hitam, abu-abu atau putih. “Kita tidak membuat katagori desa hitam, abu-abu atau putih. Itu bukan urusan kita. Itu kan hanya istilah untuk keamanan. Bagi KPU, itu sama saja,” kata Hasballah.

Sampai di sini, semakin jelas bahwa telah terjadi dualisme pandangan dalam proses pelaksanaan pemilu legislatif di Aceh.

Puteh menyebutkan, partisipasi masyarakat di Aceh dalam menyukseskan Pemilu 2004 menjadi barometer kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu, dalam pertemuan dengan bupati se Aceh pada 10 Januari 2004 di Banda Aceh, Puteh pinta semua komponen eksekutif di setiap jenjang dan lini, mendukung terlaksananya Pemilu di Provinsi NAD mengingat suara sebagai pemilih ikut menentukan perjalanan bangsa ini. Puteh dan jajarannya, jauh-jauh hari sudah menyatakan rasa optimismenya Pemilu legislatif bisa berjalan tanpa kendala walau Aceh dalam paying DM yang ditentang oleh kalangan aktivis pro demokrasi. "Saya optimistis Pemilu 2004 di Aceh, berjalan lancar karena selama sebulan pelaksanaan operasi terpadu telah terlihat hasilnya, dimana masyarakat sudah mulai berani," katanya.

Sementara itu, PDMD Aceh mengatakan tidak melakukan intervensi terhadap proses Pemilu. Intervensi yang dimaksud adalah untuk memenangkan salah satu kontestan Pemilu. "Yang diragukan PDMD dengan segala kewenangannya akan melakukan intervensi dan sebagainya untuk menggolkan salah satu partai atau menekan salah satu partai. Itu tidak akan pernah terjadi," tegas Endang ketika menyampaikan sambutan pada acara penandatanganan kesepakatan bersama peserta Pemilu 2004, Rabu, 18 Februari 2004 di depan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Endang ingin mengatakan bahwa TNI berusaha keras untuk bersikap netral.

Untuk menyukseskan Pemilu, PDMD mengerahkan 8.450 anggota Polri, sekitar 13.000 pasukan TNI dan sekitar 60.000 anggota Perlindungan Masyarakat (Linmas) untuk mengamankan 11.045 TPS. Malah Pangdam menduga, tidak suksesnya Pemilu bukan disebabkan karena adanya gangguan keamanan dari kelompok GAM. Tapi, karena banyak pemilih yang tidak mengerti tata cara pencoblosan. "Sudah capek-capek kita amankan, ternyata hasil Pemilu ditandai banyaknya suara yang rusak. Ini yang kita ragukan," katanya.

***

Secara umum, pelaksanaan Pemilu di Aceh berjalan tanpa kendala berarti. Memang, ada beberapa insiden yang mewarnai jalan panjang pemilu legislatif yang mengantarkan Partai Golongan Karya sebagai pemenang. Selain beberapa insiden yang telah disebutkan di muka, insiden bersenjata lainnya yang terjadi pada hari pemilihan juga terjadi di Desa Teupin Panah, Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat. Di desa ini sekitar 70 warga, gagal memberikan hak suaranya karena kontak senjata antara TNI dengan GAM di desanya. “Mereka tidak bisa memberikan suaranya pada hari pemungutan suara karena kontak senjata,” kata Zuhri Hasibuan, Ketua Panitia Pengawas Pemilu Aceh. Ini bukan pelanggaran Pemilu tambah Zuhri tenang.

Di Desa Blang Rheum, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen, Abu Bakar (30), warga sipil, mengalami luka tembak peluru nyasar ketika aparat TNI yang berposko di desa itu membalas serangan yang diduga dilakukan GAM.

Forum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aceh menyatakan, GAM –yang oleh pemerintah acapkali disebut-sebut berusaha menggagalkan pemilu, juga mengancam warga yang mengikuti pemilu. Menurut TAF Haikal, Direktur Eksekutif Forum LSM, ancaman yang ditebar GAM terhadap warga masyarakat lima desa di Kabupaten Aceh Jaya adalah denda uang tunai Rp 1 juta per orang. "Warga mendapat ancaman dari GAM, jika ikut mencoblos, maka akan didenda Rp 1 juta per orang," jelas Haikal kepada penulis, Sabtu, 3 April 2004. "Warga yang tidak mau ikut lari dengan GAM didenda Rp 1 juta per orang. Warga yang mencoblos dan tidak ikut lari bersama GAM didenda Rp 2 juta per orang," ungkap Haikal.

Lalu bagaimana GAM mengetahui warga yang ikut Pemilu? Ada bekas tinta pada jari. "Jika ada bekas tinta di jari, itu tanda mencoblos, maka jari tangan dipotong," jelasnya.

Laporan yang diterima Forum LSM Aceh itu masing-masing ditandatangani oleh Kepala Desa Sarah Jaya, Alue Jang, Ceuracee, Alue Punti dan Bintah berdasarkan warganya.

Ancaman melalui selembar halaman yang disebarluaskan oleh GAM dalam kenyataan tidak terbukti. Hingga Pemilu 5 April 2004, tidak ada jari pemilih yang dipotong. Justru, pemilih di seluruh Aceh mengikuti Pemilu mencapai 100 persen. Seorang anggota TNI di Keude Geurebak Kecamatan Peureulak Kabupaten Aceh Timur- daerah basis GAM dan bertetangga dengan lokasi pembebasan kameraman RCTI Ferry Santoro – kepada penulis pada 18 Mei 2004 menyatakan sekitar 3.000 pemilih semua hadir ke TPS. “Ada warga yang memilih Partai Mardeka. Yang menang Partai Bintang Reformasi karena ada caleg dari daerah ini,” ungkap seorang anggota Koramil kepada penulis yang tidak mau namanya ditulis.

Berdasarkan pemaparan di atas, pemilih di Aceh mendapat ancaman secara langsung bahkan fisik dari pihak-pihak yang bertikai di Serambi Mekkah. Ada ancaman non fisik lain yang lebih bersifat psikologis. Kisah Syamsuar (21) –nama samaran-- warga Kecamatan Sawang Aceh Utara yang juga dikatagorikan kecamatan hitam sehingga camat dijabat oleh TNI, kepada penulis pada 5 April 2004 dia mengakui memilih karena tidak mau mengambil risiko.

Pasalnya, di desanya banyak anggota TNI. Pemuda lajang itu membenarkan, dirinya dan penduduk sama sekali tidak mendapat ancaman untuk mengikuti Pemilu. Namun warga sudah mafhum, tanpa ada perintah atau ancaman pun warga sudah mengerti. “Tidak ikut Pemilu dianggap GAM. Hanya GAM yang tidak ikut Pemilu,” sebutnya meniru ucapan petinggi TNI di Aceh.
Last but not least, secara kasat mata, Pemilu 5April 2004 sudah berlalu. Ada warga yang memilih pada Pemilu yakni memilih keselamatan hidup. Ketakutan merasuk jiwa bila memilih berdiam di bilik kamar rumah pada hari pencoblosan dari TNI atau Polri hingga memilih pada bilik suara pada 5 April 2004 dari GAM.

Bagian 1
Teror Senjata di Hari Pemilu

MATAHARI menyengat di Blang Rheum, desa terpencil di pedalaman Aceh. Empat kilometer dari Kabupaten Bireuen atau 220 kilometer dari arah barat laut kota Banda Aceh, desa itu terletak di seberang sebuah bukit kecil nan senyap. Tidak ada perumahan penduduk di sekitar bukit tersebut. Hanya rumpun bambu dan semak-semak lainnya yang banyak menghiasi sekitar bukit. Ketika bukit terlewati, dan ini hampir memasuki pekampungan Blang Rheum, sebuah grafiti terpampang. Mencuri perhatian siapa saja yang melintasinya. Grafiti besar itu berada persis di tengah-tengah bukit.

“Hancurkan Separatis GAM Demi Tegaknya NKRI”. Begitulah bunyi tulisan di situ.

Grafiti, baliho, pamplet dan spanduk dengan pesan serupa sebenarnya bisa ditemukan hampir di semua desa, kecamatan dan kabupaten di Aceh. Tapi, kehadirannya di Bireuen agak istimewa. Kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara ini merupakan salah satu wilayah tempat lahir banyak tokoh penting Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang oleh Pemerintah Indonesia di Jakarta dijuluki sebagai “gerakan separatis”. Kehadiran grafiti di tempat terpencil seperti itu menunjukkan betapa kekuasaan pemerintah pusat sebenarnya cukup luas merasuk.

Hampir seluruh di Aceh, semua nampaknya sepakat kekuatan “separatis” harus ditumpas demi kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Itu juga merupakan bentuk pernyataan mendukung pelaksanaan operasi terpadu dengan status Darurat Militer (DM) di Aceh.

Status DM inilah yang banyak diperdebatkan dalam kaitan pemilihan umum (Pemilu) legislatif 5 April lalu. Bisakah pemilihan umum dilakukan di bawah DM? Bisakah dijamin adanya Pemilu yang demokratis, adil, jujur dan rahasia?

Pertanyaan seperti itu mengemuka. Dan salah satu jawabannya bisa ditemukan di Blang Rheum, tempat hari Pemilu itu diwarnai kontak tembak antara pasukan TNI dengan anggota GAM.

Tidak mudah memperoleh informasi dari masyarakat Blang Rheum. Apalagi, tipologi masyarakat yang tertutup yang tidak mudah memberi informasi kepada pendatang. Hal ini seperti diketahui dari keterangan yang diberikan Nasir. Pemandu lokal yang menemani itu mengatakan, masyarakat desa ini, tidak gampang dalam memberikan informasi apa pun kepada pendatang.

Di sebuah pos kamling, masyarakat desa itu memberi petunjuk untuk sampai di rumah Kepala Desa Blang Rheum. Tak jauh lagi dari situ. Tepatnya di sebuah warung kopi yang berjarak sekitar 100 meter.

Tidak banyak orang yang ada di warung di hari itu. Hanya beberapa anak kecil dan seorang wanita paruh baya, yang belakangan diketahui merupakan isteri Adam Ismail, Kepala Desa Blang Rheum.

Sayang, Adam tidak di rumah di pagi itu. Menurut keterangan Aminah, isteri Adam, sang suami sedang mengerjakan sawah yang tak jauh dari rumahnya. Dalam perbincangan sembari menunggu Adam pulang dari tempat kerjanya, Aminah menceritakan perihal kontak tembak antara pasukan TNI dengan GAM pada hari Pemilu.

Menurut Aminah, akibat kontak senjata di pagi buta itu, menyebabkan Abu Bakar warga sipil di desanya menjadi korban peluru nyasar. Abu Bakar mengalami luka tembak di bagian bahu dan lengannya. Kontak senjata, kata Aminah, diduga terjadi setelah adanya usaha GAM untuk menggagalkan jalannya Pemilu. GAM, katanya, berusaha menyerang pasukan TNI yang ada di Tempat Pemungutan Suara (TPS), sebuah lapangan desa yang tidak jauh dari warungnya.

Menurutnya, kejadian sekitar pukul 05:30 WIB, pada hari H Pemilu 2004 melukai dua warga setempat. Abu Bakar, ketika pagi itu, baru saja kena giliran ronda malam. Sementara seorang lainnya, M Nasir adalah seorang petugas Pam Linmas yang bertugas mengamankan TPS-TPS.

“Abu Bakar tertembak di sini, ketika sedang merunduk,” kata Aminah dalam bahasa Aceh yang kental, sambil menunjuk ke lantai warungnya.

Namun, katanya, kontak senjata di desanya pada pagi itu, tidak membuat proses pelaksanaan Pemilu terhambat.

Lalu, adakah ancaman dari GAM dan TNI bagi warga Blang Rheum pada Pemilu lalu?

Aminah mengaku ada ancaman yang dituai warga. Ancaman itu, katanya, ditebar oleh GAM melalui selebaran yang melarang warga ikut dalam pesta demokrasi lima tahunan itu. Menurutnya, bukan hanya Desa Blang Rheum yang menerima ancaman. Beberapa desa yang bertetangga dengan Desa Blang Rheum juga mengalami nasib yang sama.

Aha, GAM menebar teror melalui selebaran? Namun, ketika ditanyakan adakah bukti yang menguatkan keterangan yang diberikannya itu, Aminah buru-buru menambahkan. “Tapi tidak ada keuchik yang berani menyimpan selebaran itu,” katanya.

“Ada risiko.” Namun ia tidak memerinci, resiko apa yang bakal didapat jika menyimpan selebaran itu. Juga, resiko bagi yang tidak mengindahkan ancaman GAM.

Memang, tidak mudah untuk mendapatkan bukti adanya selebaran yang menebar teror untuk tidak ikut Pemilu pada 5 April lalu itu. Satu-satunya bukti yang menguatkan dugaan adanya ancaman yang ditebar GAM justeru didapat di Kabupaten Aceh Jaya. Di kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat itu, enam kepala desa membuat pernyataan bersama. Dalam pernyataan itu, mereka mengaku mendapat ancaman dari kelompok yang hendak memisahkan diri dari Indonesia itu. GAM, kata mereka, akan memotong jari warga yang ikut Pemilu. Juga, lanjut pernyataan itu, GAM akan mendenda warga sebesar Rp. 2 juta. (Baca: Surat Intimidasi GAM yang Misterius).

Lain istri, lain lagi suami. Begitulah M Adam Ismail (51), Kepala Desa Blang Rheum membantah apa yang dipaparkan oleh sang isteri. Pria yang bertubuh ceking ini mengaku tidak ada ancaman apa pun pada hari Pemilu. Apalagi, ancaman melalui selebaran yang dikeluarkan GAM seperti pengakuan isterinya, beberapa jam lalu.

Namun, ia membenarkan adanya usaha menggagalkan Pemilu yang dilakukan GAM pada hari H. Menurutnya, pada hari Pemilu, sempat terjadi kontak senjata antara pasukan TNI dengan anggota GAM yang menggunakan beberapa pucuk senjata campuran. Kontak senjata di pagi buta itu katanya, menyebabkan dua warga desanya menjadi korban.

Abu Bakar, seperti telah disebutkan di muka, mengalami luka-luka setelah timah panas menembus bahu sebelah kanannya. Sementara M Nasir, anggota Pam Linmas, hanya menderita luka ringan setelah serpihan timah panas mengena samping perutnya. “Tidak ada korban dari pihak TNI di Pos. Yang kena malah petugas TPS di lapangan, M Nasir,” jelas M Adam Ismail.

Adam mengatakan, peluru yang melukai Abu Bakar bukan dari letupan senjata GAM.

***

Bukan hanya di Desa Blang Rheum kontak senjata terjadi pada hari H. Di Desa Rambong Payong Kecamatan Peusangan Kabupaten Bireuen juga terjadi hal serupa. Desa Rambong Payong, terletak sekitar 16 km arah tenggara Kota Bireuen. Kondisi geografis desa itu terdiri dari perbukitan dan persawahan penduduk.

Desa Rambong Payong pada Pemilu 5 April 2004, masuk dalam rayonisasi yang diadakan di Desa Lueng Daneuen, yang berjarak hanya sekitar satu kilometer. Warga desa itu, melakukan pencoblosan di rayon yang telah ditentukan.

Keuchik Desa Lueng Daneun Rusli mengakui adanya kontak senjata selama beberapa menit di Desa Rambong Payong. Menurutnya, kontak senjata itu merupakan upaya GAM melakukan teror kepada masyarakat pemilih.

Namun, Rusli mengaku, kontak senjata itu, tidak mempengaruhi jalannya pesta demokrasi di desa pedalaman itu. Hanya saja, katanya, banyak warga yang terlambat tiba di lokasi rayon pemilihan yang berjarak satu kilometer, yang dikonsentrasikan di SD Lueng Daneun.

Adanya gangguan terhadap jalannya Pemilu di Desa Rambong Payong juga diakui Serka Sukarsyah, Wakil Komandan Koramil Peusangan Kabupaten Bireuen. Dalam keterangannya, Sukarsyah mengatakan, insiden itu terjadi akibat adanya serangan yang dilancarkan GAM terhadap pasukan TNI yang mengamankan prosesi Pemilu. “Ya, itu insiden menjelang Pemilu dan pasukan TNI terdekat bisa mengamankan warga di sana,” kata Sukarsyah.
Akibatnya, proses pelaksanaan Pemilu di Desa Rambong Payong mengalami keterlambatan karena warga tidak berani keluar rumah usai gangguan bersenjata itu.

Bagian 2
Surat Intimidasi GAM yang Misterius

SEBUAH siaran pers dikeluarkan aktivis Forum LSM Aceh--salah satu lembaga yang melakukan pemantauan Pemilu di Aceh. Dalam siaran pers itu, Forum mensinyalir telah terjadi ancaman terhadap masyarakat pemilih. Ancaman itu, kata siaran pers tadi, dilakukan oleh GAM terhadap para kepala desa dan masyarakat pemilih yang ada di wilayah kabupaten Aceh Jaya. Ancaman potong jari ditujukan bagi pemilih yang mempunyai tinta hitam di jempolnya. Selain itu, GAM mengancam akan memberikan tindakan tegas bagi kepala desa.

Kasus dugaan adanya ancaman GAM terhadap masyarakat pemilih, merebak menyusul adanya surat dari enam kepala desa di sejumlah kecamatan yang ada di kabupaten Aceh Jaya. Para kepala desa itu, dalam pernyataan bersama, mengatakan, ancaman itu ditebar melalui selebaran-selebaran yang berkop Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF), nama lain bagi kelompok GAM.

Lalu, benarkah GAM menebar teror bagi masyarakat Aceh yang ikut Pemilu? Lantas, benarkah selebaran itu berasal dari GAM? Selain di Aceh Jaya, apakah kabupaten, seperti Bireuen, juga menuai teror?

Tidak mudah memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Sejauh ini, GAM tidak mengeluarkan statemen resminya mengenai ancaman ini.

Baiklah, sebuah penelusuran dicoba lakukan di Kabupaten Bireuen, apakah GAM juga mengancam pemilih di kabupaten yang dulunya berinduk ke Aceh Utara itu.

Di kabupaten yang intensitas konfliknya tinggi ini ternyata ada masyarakat yang mengalami intimidasi dan pemaksaan pada hari pemilihan. Beberapa kepala desa yang ditanyai mengaku mendapat larangan untuk mengikuti Pemilu. Hal ini juga dibenarkan beberapa warga yang dimintai keterangannya.

Rusli, Keuchik Lueng Daneun, Kecamatan Peusangan, mengakui pernah mendengar adanya surat ancaman yang dikeluarkan GAM yang melarang warga ikut Pemilu. Namun, ia sendiri tidak menerimanya. Bahkan, katanya, beberapa koleganya yang mendapatkan selebaran itu, mengaku tidak berani menyimpan, karena takut. “Ada keuchik-keuchik yang menerima selebaran jangan ikut Pemilu. Tapi keuchik mana yang berani menyampaikan kepada masyarakat, karena keuchik sama takutnya kepada kedua belah pihak, ke sana takut, ke sini takut,” sebut Rusli. Sampai di sini, Rusli ingin mengatakan bahwa, mereka serba salah. Takut pada GAM, juga TNI.

Menurut pengakuannya, hal itu terjadi di beberapa desa di pedalaman. Dia memberikan contoh di Desa Rambong Payong, Alue Kupula, Cot Batee, Alue Iet dan beberapa desa lainnya, masih di Kecamatan Peusangan.

“Itu saya dengar, belum tentu pasti kan, kita dengar kan lain,” sebutnya kemudian. Tetapi dia sendiri mengatakan tak pernah mendapatkannya.

Informasi yang diberikan Rusli sangat membantu. Beberapa desa yang disebutkan itu kami datangi untuk melakukan verifikasi.

***

Desa Alue Iet yang oleh Rusli disebut sebagai salah satu desa yang menerima ancaman, berjarak 20 km arah tenggara Kota Bireuen. Di desa itu, terdapat pos TNI dari Yon TNI kesatuan Kostrad yang bermarkas tak jauh dari SD Alue Iet.

Pada Pemilu 5 April silam, warga desa tersebut melakukan pencoblosan bersama-sama dengan warga dari lima desa lainnya. Artinya, TPS-TPS di Alue Iet, Alue Glumpang, Mamprei, Buket Sudan, Pante Karya dan Kreueng Meuh, dirayonkan. Rayonisasi adalah menggabungkan beberapa desa untuk melakukan pencoblosan di TPS-TPS yang dikumpulkan di sebuah tanah lapang.

Desa Krueng Meuh yang berbatasan dengan Aceh Tengah adalah desa yang masih sangat pedalaman. Desa ini dikelilingi hutan belantara. Warga desa ini pada hari pemilihan, terpaksa harus menggunakan hak pilihnya di desa Alue Iet, yang berjarak sekitar 7 km. Desa ini termasuk basis GAM di wilayah Bireuen.

Amri, anak Keuchik Alue Iet, mengatakan, menjelang pemilihan di Mamperi yang berdekatan dengan desanya terdengar suara dentuman layaknya suara letupan bom sebanyak tiga kali. Yunus (54), Keuchik Alue Iet, sosok pendiam dan sedikit hati-hati dalam memberikan keterangan kelihatan gugup dalam menjawab beberapa pertanyaan yang kami ajukan dalam bahasa Aceh. Memang kadang kala warga jika ditanyai dalam bahasa Aceh dijawab dengan lancar tanpa beban. Sebaliknya ditanya dalam bahasa Indonesia, mungkin saja jawaban tersebut singkat atau berbeda yang diberikan dalam bahasa Aceh.

Menurut Yunus, tidak ada intimidasi dari para pihak yang bertikai selama Pemilu. Dia juga mengaku tidak pernah mendapat surat ancaman dari GAM. Sehingga, ia dan warganya, tidak perlu khawatir. “Tidak ada kendala, pasukan pengaman ada disini semua kok, ada TNI, Brimob juga,” katanya.

Hanya saja, katanya, perhitungan suara di TPS yang ada di desanya, hanya sampai dengan jam 17:00 WIB. Sebelum perhitungan suara usai, kotak suara dan kartu suara yang sudah dicoblos dibawa ke kantor camat untuk pehitungan suara lanjutan. “Besoknya beres terus semua,” lanjutnya kemudian.

Tidak mudah menemukan bukti surat yang mengancam warga itu. Hanya beberapa kepala desa saja yang mengaku pernah mendapat surat semacam itu. Itu pun, para mereka mengaku tidak berani menyimpannya. Hal ini sebagaimana dikatakan Ramli, kepala desa Rambong Payong. Ramli, mengaku pernah menerima surat ancaman dari GAM itu. Namun ia tidak menyimpan terlalu lama surat tersebut di tangannya. “Saya bakar karena takut,” kata Ramli.

Mawardi, Sekretaris Desa Pante Baro mengaku tidak pernah menerima surat ancaman dari GAM. Tapi, Mawardi mengaku pernah mendengar adanya ancaman bagi para perangkat desa dan warga, yang ikut menyukseskan Pemilu 2004. Ancaman itu, sebut Mawardi, bersifat lisan. Tapi ia tidak bisa memastikan kebenarannya.

Hal senada juga dikemukakan Fakri SE, Sekretaris Front Perlawanan Separatis GAM (FPSG) wilayah Bireuen. Menurutnya ancaman dalam bentuk lisan terjadi hampir di semua daerah pedalaman Bireuen. “Sampai hari ini di pedalaman itu sebagian besar masih dikuasai oleh GAM,” ujar Fakri.

Fakri juga mengatakan, ketika mengancam, GAM langsung mendatangi rumah kepala desa, anggota Pam Pemilu Linmas. Ancaman GAM, kata Fakri, berbentuk dengan menyuruh kepala desa dan anggota Pam Pemilu Linmas untuk mengungsi.

Sementara itu, Drs A Madjid, Camat Kecamatan Peusangan mengaku beberapa desa mendapat ancaman dari GAM. Bahkan, Madjid mengaku pernah “memegang” surat itu, yang diberikan oleh seorang kepala desa yang ada di kecamatan yang dipimpinnya.

“Surat itu memang ada,” kata Madjid ketika dihubungi di kantornya, Rabu, (12/5). Namun, katanya, pihaknya tidak tahu pengirim surat misterius itu. “Para keuchik yang umumnya di daerah pedalaman atau sekitar basis GAM mendapatkan surat itu di bawah pintu, yang ditaruh pada malam harinya,” kata Madjid, yang mengaku meneruskan surat ancaman itu kepada pihak aparat keamanan. “Saya kasih ke aparat keamanan, dalam hal ini Koramil Peusangan,” sebutnya.

Ketika hal ini dikonfirmasi kepada komandan koramil Peusangan, Lettu inf Doraji mengaku tidak pernah menerima surat ancaman itu. Pernyataan Doraji sangat kontras dengan pengakuan Madjid yang mengaku menerima dan menyerahkannya kepada koramil. “Tidak ada sama kami, kalau isu itu ada. GAM mungkin tidak sempat menyebarkan surat itu ke warga, karena kami ada di tiap daerah pedalaman,” sebut Wadanramil Serka Sukarsyah.

Agaknya, keberadaan surat misterius itu, memang sangat sulit diendus. Namun, kami berhasil memperoleh surat ancaman GAM yang ditujukan kepada kepala desa dan warga di Aceh Jaya.
Berdasarkan analisa atas surat itu, ada beberapa kejanggalan yang patut dipertanyakan lebih jauh. Hal ini terlihat dari penggunaan kata intimidasi. Padahal, masyarakat perkampungan, sangat jarang menggunakan kata-kata ini. Juga, sangat sistematisnya pengakuan surat itu. Tapi, di sini kami tidak berpretensi untuk membenarkan dan menyalahkan keberadaan surat itu.

Bagian 3
Pemaksaan dan Pemukulan di Hari Pemilu

“IKUT Pemilu bukti cinta kepada NKRI.” Demikian isi sebuah spanduk terbentang di sudut Kota Caleue Kecamatan Indrajaya, sekitar 5 km dari Kota Sigli, Kabupaten Pidie. Bukan hanya di Caleue saja, spanduk yang berbunyi seperti itu, dipampang di setiap sudut kota. Di Banda Aceh pun, spanduk bernada senada, juga banyak menghiasi kantor-kantor pemerintahan dan persimpangan jalan kota.

Aneh memang jika melihat dari substansi Pemilu. Dalam undang-undang dinyatakan, ikut Pemilu merupakan hak warga negara. Namun, di Aceh serasa ikut Pemilu merupakan sebuah kewajiban, yang apabila tidak ditunaikan, akan mendapat dosa-dosa politik. Alasan ini terasa klise! Tapi, itu adalah kenyataan yang berkembang di Aceh, sejak berada dalam status darurat militer.

Lalu, bagaimana jika masyarakat calon pemilih tidak menggunakan hak suaranya? Lantas, bagaimana peran serta TNI-Polri dalam prosesi pesta demokrasi lima tahunan itu?

Itu adalah beberapa pertanyaan yang pantas untuk diajukan untuk mengkritisi pelaksanaan pencoblosan Pemilu 5 April lalu di Aceh.

Nasir Zalba, Kepala Humas Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mengatakan, warga yang tidak menggunakan hak pilihnya, bukanlah warga negara yang baik. Nasir ingin mengatakan, sah-sah saja warga tidak menggunakan hak pilihnya, namun ia bukan warga negara yang baik dan taat karena tidak ingin menentukan arah perbaikan negara.

Ungkapan yang dilontarkan Nasir selaras dengan bunyi spanduk yang banyak menghiasi Aceh, ketika menjelang pelaksanaan pesta demokrasi ini. Ungkapan ini, sadar atau tidak, telah menyebabkan ketakutan dan kegelisahan di kalangan masyarakat.

Hal ini bukan mengada-ada. Di Desa Lamreung, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, seorang pria paruh baya yang baru saja mencoblos pilihannya, terpaksa kembali lagi ke arena pencoblosan. Kembalinya pria itu bukan bermaksud mencoblos untuk kedua kalinya. Jarinya tidak ditandai dengan tinta hitam seperti jamaknya pemilih lainnya usai pencoblosan. Ya, pria yang berprofesi sebagai petani itu kembali ke TPS tadi hanya untuk mencelupkan jari kelingking kirinya ke dalam botol tinta hitam.

Lalu kenapa pria itu, kembali lagi hanya sekedar untuk memberi tinta hitam di salah satu jarinya.

Ardi, warga Lamreung yang juga kawan petani itu mengingatkan, adanya “isu” yang mengatakan akan bermasalah jika tidak ada tinta hitam di jari. Tinta di jari, dimaksudkan sebagai pertanda sudah ikut Pemilu.

Wajar saja jika kekhawatiran diperlihatkan petani itu. Pasalnya, berembus kabar, aparat TNI akan melakukan razia. Jika kedapatan, aparat keamanan akan memberikan sanksi kepada warga yang tidak memiliki tinta hitam di jarinya. Sampai di sini, isu itu tidak berbuah kenyataan.

Kekhawatiran-kekhawatiran semacam itu timbul setelah adanya spanduk-spanduk yang berbunyi seperti di awal pembuka tulisan tadi: ikut Pemilu adalah bukti cinta NKRI. Pun, ada amaran dari jajaran pemerintah daerah dan Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) untuk menyukseskan Pemilu. Tragisnya, ada yang menerjemahkan, tidak ikut Pemilu berarti anggota dan simpatisan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Simaklah pernyataaan tegas Komandan Korem-001/Lilawangsa Kolonel Inf H AY Nasution di Lhokseumawe Kabupaten Aceh Utara. Dia menegaskan, selama ini yang tidak mendukung NKRI adalah pemberontak GAM. Jadi siapa saja yang yang tidak mendukung momen pemungutan suara, berarti termasuk pemberontak GAM.” Pernyataan ini dimuat di Harian lokal terbitan Banda Aceh, Serambi Indonesia, 6 April 2004 di halaman depan.

Simak saja apa yang dilontarkan Bupati Bireuen, Mustafa Geulanggang yang mengeluarkan pernyataan bernada ancaman bagi warga. Dalam kunjungan ke salah satu kampung, mantan anggota Komisi A DPRD Aceh ini menggolongkan desa rawan dan basis GAM dengan kerusakan suara. Menurut politisi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini, jika salah satu desa mengalami kerusakan suara mencapai 50 persen, maka desa itu digolongkan daerah rawan gangguan GAM. Ironisnya, salah satu TPS di asrama polisi di Bireuen, kerusakan kertas suara, mencapai 50 persen.

Adanya ketakutan untuk untuk tidak menggunakan hak suaranya dalam Pemilu, juga dibenarkan Tri Hartati, aktivis Forum LSM Aceh yang bertugas di Bireuen ini mengatakan, ada ketakukan warga untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau golongan putih alias golput. Karena, “Dalam imbauan itu juga ada disebutkan kalau ada suara rusak sekitar 50%, akan dikategorikan daerah rawan,” sebut Tri Hartati.

Masyarakat, kata Hartati, datang ke TPS-TPS untuk mencoblos, bukan didasari kesadaran politiknya. Namun, menurut Hartati, keikutsertaan itu, wujud dari tekanan dan ketakutan saja. Hartati mengungkapkan jika masyarakat pemilih diberikan pilihan antara memilih dengan tidak memilih, maka masyarakat akan banyak yang memilih tidak menggunakan hak suaranya pada hari pemilihan. “Tidak, kalau mereka boleh memilih, mungkin mereka akan memilih golput dan tidak akan ikut memilih. Mungkin warga merasa ketakutan kalau tidak pergi ke TPS untuk memilih. Karena mereka semua di data melalui kartu keluarga,” sebut Tri Hartatai.

Apa yang dikemukakan Hartati, juga dibenarkan Laina, relawan pemantau pemilu dari LSM Sahara Bireuen. Menurut amantannya di Desa Teupin Siron, Gandapura, Bireuen, warga pemilih pada umumnya diliputi rasa cemas dan kekhawatiran.

Menurutnya, dua hari menjelang Pemilu, Orang Tak Dikenal (OTK) masuk ke Desa Siron dan mengancam warga desa. Ancamannya, “Kalau paginya ada suara tembakan jangan pergi Pemilu,” sebut Laina menirukan ancaman tersebut.

Ancaman itu, menimbulkan rasa takut dan traumatis yang mendalam di benak warga. Pun begitu, warga tetap saja pergi ke TPS-TPS yang telah disediakan. Namun, praktis kondisi Desa Siron, lengang ditinggal penghuni. Warga juga membawa serta anak-anak kecil ke tempat pemilihan. “Masyarakat mungkin takut dan kampung sepi, tidak ada yang tinggal, bahkan anak-anak kecil pun dibawa serta,” sebutnya kemudian.

Lalu, bagaimana pengamanan di hari pemilihan di Kabupaten Bireuen. Adakah ancaman juga diterima warga dari pelaksana keamanan itu.

Wadanramil Peusangan Serka Sukarsyah mengaku menjaga ketat pelaksanaan pemilu di wilayahnya. Menurutnya, pasukan TNI dikerahkan di titik-titik TPS. Namun, katanya, pasukan TNI disiagakan dalam radius 500 meter dari TPS. Ia juga melanjutkan, dalam hal ini TNI tidak pernah memaksa warga untuk mengikuti Pemilu.

Pasukan TNI, kata Sukarsyah, selain diperbantukan aparat dari kepolisian, juga diperbantukan oleh anggota Front Perlawanan Separatis Gerakan Aceh Merdeka (FPSG). Pihak “relawan” FPSG, bahkan dua hari menjelang Pemilu melakukan penyisiran dan pengejaran terhadap anggota gerilyawan GAM. Menurut Fakri SE, dari FPSG, tindakan ini diambil pihaknya untuk mengantisipasi ketakutan warga terhadap imbauan GAM yang melarang masyarakat mengikuti Pemilu.

"Begitu kita adakan penyisiran, masyarakat timbul keberanian lagi, yang tadinya udah ketakutan diancam. Begitu kita turun bersama dengan masyarakat, masyarakat juga menganggap masih banyak yang membela kita, membela NKRI. Makanya waktu hari H, menurut pengamatan kami, di Bireuen itu 100% sukses,” sebut Fakri SE.

“Kesuksesan” mengamankan pelaksanaan Pemilu diakui Hasan Adamy, Ketua Panitia Pengawas Pemilu Bireuen. Dalam perannya TNI/Polri perlu diberikan nilai plus dalam pengamanan Pemilu di Bireuen. Hal itu dikatakan oleh Drs. Hasan Adamy, selaku ketua Panwaslu Kabupaten Bireun. “Kita juga berterimakasih kepada TNI/Polri yang telah mendukung kesuksesan pemilu di Bireuen, sehingga berjalan sukses,” sebutnya. Sementara dengan adanya beberapa insiden yang melibatkan TNI/Polri maupun GAM, dia mengatakan itu hanyalah hal yang kecil.

“Kesuksesan” itu, dinodai oleh adanya beberapa insiden yang bisa dikatagorikan ancaman terhadap pelaksanaan Pemilu. Sebut saja kejadian yang dilakukan TNI-Polri di Desa Krueng Meuh. Di desa ini, kata Munandar, Anggota Linmas Desa Pante Baro Glesiblah, aparat TNI-Polri memaksa masyarakat Pante Baro untuk mengikuti pemilihan di tempat yang telah dirayonisasi. “Mereka menyuruh warga untuk mengikuti Pemilu yang dirayonkan di Desa Alue Iet,” katanya.

Bukan hanya pemaksaan untuk melakukan pemilihan saja yang dilakukan aparat keamanan. Di Desa Tingkeum Manyang, Kecamatan Gandapura, Bireuen, Zakaria Ibrahim, kepala desa, mengalami perlakuan kasar dari aparat Brimob pengamanan Pemilu.

M. Yasin, tokoh masyarakat desa tersebut, membenarkan kejadian yang menimpa kepala desa Tingkeum Manyang itu. Namun, ia tidak mengetahui persis apa penyebab yang melatari pemukulan itu. Yasin mengaku, mengetahui insiden pemukulan yang menimpa Zakaria Ibrahim, dari keterangan yang diberikan warga. Yasin menduga, pemukulan itu terjadi karena keterlambatan perhitungan suara di TPS yang ada di desa itu.

Masih menurut Yasin, pemukulan itu disebabkan karena biaya pengamanan pemilu yang tidak sesuai. Padahal, kata Yasin, Zakaria sudah “membayar” biaya pengamanan kepada aparat kepolisian dari kesatuan Brimob tersebut.

“Sebagian warga juga mengatakan kalau Brimob tersebut meminta uang jatah pengamanan kepada keuchik, tetapi karena keuchik merasa telah memberikan, maka terjadilah pemukulan itu,” sebut Yasin.

Zakaria Ibrahim ketika dihubungi Selasa (13/4) membenarkan kejadian yang menimpanya pada hari pemilihan itu. Ketika ditemui, Zakaria masih tertatih-tatih ketika berjalan. Pemukulan oleh oknum aparat kepolisian yang dialami pada 5 April lalu itu, masih meninggalkan luka dalam tubuhnya. Menurut hasil rontgen di salah satu rumah sakit di Medan, Sumatera Utara, pemukulan itu, menyebabkan limpa Zakaria membengkak.

Zakaria pun berkisah. Kejadian itu terjadi pada pukul 20:30 WIB, pada saat perhitungan suara masih dilakukan. Namun, entah kenapa, tiba-tiba aparat yang menjaga perhitungan suara tiba-tiba menyiksanya. Akibatnya, Zakaria sempat dirawat inap selama empat hari di Rumah Sakit Umum Cut Meutia, Lhokseumawe, sebelum akhirnya dirujuk ke salah satu rumah sakit di Medan.

Kejadian ini, menyebabkan Zakaria sering mengalami kesakitan di rusuknya.

Namun, Zakaria berharap, insiden pemukulan dirinya itu, tidak diperpanjang lagi. Bahkan, ia buru-buru mengatakan sudah memaafkan tindakan yang dilakukan oknum Brimob itu. “Saya mohon jangan diperpanjang lagi, karena hal ini telah ditempuh jalan damai dan Kapolres Bireuen (AKBP. Handono Warih –red.) telah turun tangan,” katanya.

Bukan hanya Zakaria seorang diri yang menuai kekerasan di hari pesta demokrasi itu. Salah seorang warga Desa Lhok Bengkuang, Aceh Selatan, juga mengalami perlakuan hampir serupa.

Menurut data yang dikeluarkan Forum LSM Aceh, pada Minggu (4/4) pukul 23:00 WIB, korban dikasari oleh aparat yang tergabung dalam Satuan Gabungan Intelijen (SGI). Pemukulan ini, dilakukan karena korban memiliki selebaran politisi busuk. Pada Senin, korban dilepaskan. Namun, saat menjadi saksi untuk Partai Bulan Bintang (PBB), aparat dari SGI kembali menjemput paksa korban. Masih menurut informasi yang diperoleh dari Forum LSM Aceh, di pos SGI itu, korban kembali menerima siksaan dan pemukulan.
Namun, sayang informasi yang dikeluarkan Forum LSM Aceh ini, tidak disebutkan nama korban dan saksi pelapor. Alasannya, demi keselamatan korban dan saksi.

Minggu, September 05, 2004

Pekerja Anak

Baiturrahman Posted by Hello

Do Ku Do Da I Di

SABTU (4/9) malam. Saya dan tiga kawan datang ke Taman Ismail Marzuki (TIM). Ada Festival Budaya Jakarta 2004 di sana. Ada berbagai atraksi dan bazaar. Banyak muda-mudi hadir. Malam itu, ada pementasan lenong Betawi. Saya ikut menonton sebentar. Tapi, segera kemudian bergegas ke sebuah pojok. Pondok Serambi, nama sebuah pondok berbentuk semacam kios.

Di sana, dijual Mie, Martabak dan Bu gureng Aceh. Saya rindu mencicipi itu semua, sejak meninggalkan Aceh, tiga minggu silam. Usai makan, kami ngobrol. Dari obrolan bertemakan kampung halaman, hingga persoalan budaya. Saya tidak paham banyak dengan budaya. Saya memilih diam saja.

Seorang kawan dari Aceh lalu berkata.

"Ureung Aceh nah, awai lahe paleh ngen badan. Sigohlom lahe, syit ka dipreh le paleh, (Orang Aceh, sudah ditunggui oleh paleh sebelum dia lahir)," kata orang Aceh, yang baru malam itu kukenal.

"Kasyi kalon, watei ban lahe, langsong geu peu ayon deungon lantunan Do ku do da i di," sebut dia.

Do ku do da I di, do ku do da I dang
Geulayang blang ka putoh taloe
Beurayeeuk rijang banta seudang
Jak bantu prang bela nanggroe

Do ku do da i di tak lain adalah, sebuah lafal syair perjuangan orang Aceh dalam mempertahankan agama dan bangsa dari penjajahan Belanda. Dalam syair itu, terbersit amanah sang Bunda, jika nanti si buah hatinya besar, maka dia akan berada di medan perang membela bangsa, agama dan nanggroe. Sang bunda akan sangat senang jika anaknya berada di medan perang dan syahid. Syair do ku do da i di adalah cita-cita semua perempuan Aceh.

Mungkin, karena sejak kecil terpatri dengan amanah ini, banyak orang Aceh yang berwatak keras. Bahkan, Ureung Aceh jak meuprang, Ureung Padang duk di kanto, nyang meuato syit ureung Jawa (Orang Aceh pergi berperang, orang Padang kerja di kantor dan orang Jawa yang memerintah).

Itu sebuah ungkapan yang sering juga didengar orang Aceh.

Jika merunut sejarah keberadaan Aceh, hampir tidak ada sejengkal sejarahpun yang tidak digoreskan kata perang. Cut Nyak Dhein, Cut Mutia, Teuku Umar, Teungku Chik di Tiro adalah beberapa pahlawan Aceh yang membuat Belanda kalang kabut.

Indonesia merdeka, muncul nama Muhammad Daud Beureu-eh dan Hasan di Tiro, mengobarkan perang melawan Indonesia. "Perang" yang dikobarkan Tiro, sampai sekarang masih tersisa.

Lalu, pertanyaannya, sampai kapan Aceh akan menganut paham perangnya? Tidakkah rindu akan damai?

"Saya membayangkan Aceh kelak Aceh yang aman dan damai," kata kawan saya yang masih muda.

Ya, semua generasi Aceh menginginkan kedamaian. Tidak ada alasan untuk menolak damai hadir dan bersemanyam di Aceh.

Namun, "Kalau terus dikasari, saya bisa juga..," katanya.

Ta djak prang musoh beuruntuoh dumsitreë nabi
Yang meu uëngki keu Rabbi keu po yang Esa
Meunjoë hanteem prang tjiet malang tjeulaka tuboh rugoe roh
Syuruga han roh reugoe roh balah Neuraka

Itu sepenggal syair hikayat Prang Sabi yang sering diperdengarkan sang bunda kepada anaknya yang masih di buaian.

Rabu, September 01, 2004

Belajar dari yang Kecil

SELASA (31/8). Di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bermarkas di Jalan Juanda Jakarta, beberapa unsur pimpinan DPRD Nanggroe Aceh Darussalam, diundang untuk dimintai keterangannya, perihal pengadaan helikopter Mi-2 buatan Rusia. Heli itu, dibeli Gubernur Abdullah Puteh seharga Rp 12,6 miliar.

Sebenarnya, tidak ada masalah dengan heli itu. Namun, setelah diselidiki, ternyata tidak laik terbang. Sudah begitu, mahal lagi. Jika TNI AU membeli seharga Rp 9 miliar, maka Pemda NAD, membeli seharga disebutkan di atas. Proyek ini, patungan dengan Pemda Tingkat II. Nah, berarti, ada penggelembungan harga sebesar Rp. 4 miliar. Wow! Angka yang sangat fantastis.

Akibatnya, KPK akhirnya menetapkan Abdullah Puteh, sebagai tersangka. Nah, kehadiran para pimpinan DPRD ini, untuk diminta keterangannya sebagai saksi. Pasalnya, anggota DPRD mengetahui rencana pembelian heli ini. Mereka dimintai keterangan.

***

Lalu, di hari yang sama, juga masih di kantor KPK, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) datang mengklarifikasi jumlah harta kekayaannya.

Pada tahun 2001, calon presiden dari Partai Demokrat ini, memiliki harta kekayaan "hanya" Rp 3,4 miliar. Nah, pada 2004, harta SBY naik, menjadi Rp 4,5 miliar. Kata SBY, ada kenaikan "hanya" Rp 1,1 miliar. Itu tentu hak SBY. Tidak ada yang harus digugat, selama dia mencarinya dengan baik.

***

Tinggalkan dua peristiwa itu sejenak.

Semalam sebelum SBY melapor kekayaannya, sepulang dari makan malam di sebuah warteg, di sebuah pojok Jakarta yang glamour ini, saya mendapati seorang ibu dan suaminya, yang tidur di atas gerobak sampah. Gerobak kecil itu, mereka jadikan "rumah".

Tidak ada rumah, kata kawan saya.

Tiap malam, mereka tidur di sana.

Dinginnya hembusan angin malam, tidak mereka hiraukan. Mereka hanya terus mempertahankan hidupnya, walau hembusan angin malam bisa menyebabkan penyakitan. Tapi, di atas gerobak yang tanpa tempat berlindung itu, mereka menyiapkan energinya untuk bisa bekerja keesokan harinya.

Ini perjuangan hidup, lanjut kawan tadi.

Saya tidak bisa membayangkan. Jika itu adalah saya. Bagaimana saya bisa mempertahankan hidup saya melawan dinginnya hembusan angin malam, tanpa tirai pengahalang. Ini sangat berisiko. Bisa kena rematik, minimalnya. Tapi, terlihat mereka masih kuat. Entahlah!

Semoga saja Tuhan tidak menimpakan penyakit dan musibah lainnya kepada mereka dan orang-orang kecil lainnya, batin saya.

Saya teringat sajak-sajak yang dituliskan Faiz (Abdurrahman). Anak Helvi Tiana Rosa ini, masih berusia 8 tahun. Dalam sebuah sajak, ia menceritakan kawannya yang tiada berumah. Kata Faiz, mereka terus mencoba bertahan hidup. Kawannya itu, tidak bisa mengenyam sekolah

Nama kawannya, Udin dan Siti. Kata Faiz, Udin dan Siti, bila malam tiba, tidur di kolong jembatan. Rumah mereka, dibangun dari tripleks dan kardus. Hanya nyamuk dan suara bentakan preman yang menemani mereka.

Faiz yang masih 8 tahun itu, akhirnya berdoa, semoga Udin dan Siti, kelak bisa sekolah dan punya rumah berjendela. Semoga saja!

Saya juga mencoba berdoa, ibu dan suaminya yang menjadikan gerobak sampah sebagai rumah, juga semoga kelak, rumah bagi anak-anaknya berjendela. Juga, sang buah hati bisa sekolah.

Tuhan, dengarkan doa ini!

Saya masih mengutip Faiz. Ia mengajak Presiden untuk sesekali pergi ke perkampungan penduduk, dengan menyamar.

Siapa tahu, ada rakyat yang susah dan kelaparan, tulis Faiz dalam suratnya kepada Ibu Negara Megawati.

Faiz, tidak membolehkan Presiden membawa pengawal.

Anjuran Faiz, saya pikir, menarik untuk direnungkan.

Akhirnya, saya berpesan, mari belajar dari yang kecil....

Jakarta, 1 September 2004

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting