Minggu, September 05, 2004

Do Ku Do Da I Di

SABTU (4/9) malam. Saya dan tiga kawan datang ke Taman Ismail Marzuki (TIM). Ada Festival Budaya Jakarta 2004 di sana. Ada berbagai atraksi dan bazaar. Banyak muda-mudi hadir. Malam itu, ada pementasan lenong Betawi. Saya ikut menonton sebentar. Tapi, segera kemudian bergegas ke sebuah pojok. Pondok Serambi, nama sebuah pondok berbentuk semacam kios.

Di sana, dijual Mie, Martabak dan Bu gureng Aceh. Saya rindu mencicipi itu semua, sejak meninggalkan Aceh, tiga minggu silam. Usai makan, kami ngobrol. Dari obrolan bertemakan kampung halaman, hingga persoalan budaya. Saya tidak paham banyak dengan budaya. Saya memilih diam saja.

Seorang kawan dari Aceh lalu berkata.

"Ureung Aceh nah, awai lahe paleh ngen badan. Sigohlom lahe, syit ka dipreh le paleh, (Orang Aceh, sudah ditunggui oleh paleh sebelum dia lahir)," kata orang Aceh, yang baru malam itu kukenal.

"Kasyi kalon, watei ban lahe, langsong geu peu ayon deungon lantunan Do ku do da i di," sebut dia.

Do ku do da I di, do ku do da I dang
Geulayang blang ka putoh taloe
Beurayeeuk rijang banta seudang
Jak bantu prang bela nanggroe

Do ku do da i di tak lain adalah, sebuah lafal syair perjuangan orang Aceh dalam mempertahankan agama dan bangsa dari penjajahan Belanda. Dalam syair itu, terbersit amanah sang Bunda, jika nanti si buah hatinya besar, maka dia akan berada di medan perang membela bangsa, agama dan nanggroe. Sang bunda akan sangat senang jika anaknya berada di medan perang dan syahid. Syair do ku do da i di adalah cita-cita semua perempuan Aceh.

Mungkin, karena sejak kecil terpatri dengan amanah ini, banyak orang Aceh yang berwatak keras. Bahkan, Ureung Aceh jak meuprang, Ureung Padang duk di kanto, nyang meuato syit ureung Jawa (Orang Aceh pergi berperang, orang Padang kerja di kantor dan orang Jawa yang memerintah).

Itu sebuah ungkapan yang sering juga didengar orang Aceh.

Jika merunut sejarah keberadaan Aceh, hampir tidak ada sejengkal sejarahpun yang tidak digoreskan kata perang. Cut Nyak Dhein, Cut Mutia, Teuku Umar, Teungku Chik di Tiro adalah beberapa pahlawan Aceh yang membuat Belanda kalang kabut.

Indonesia merdeka, muncul nama Muhammad Daud Beureu-eh dan Hasan di Tiro, mengobarkan perang melawan Indonesia. "Perang" yang dikobarkan Tiro, sampai sekarang masih tersisa.

Lalu, pertanyaannya, sampai kapan Aceh akan menganut paham perangnya? Tidakkah rindu akan damai?

"Saya membayangkan Aceh kelak Aceh yang aman dan damai," kata kawan saya yang masih muda.

Ya, semua generasi Aceh menginginkan kedamaian. Tidak ada alasan untuk menolak damai hadir dan bersemanyam di Aceh.

Namun, "Kalau terus dikasari, saya bisa juga..," katanya.

Ta djak prang musoh beuruntuoh dumsitreë nabi
Yang meu uëngki keu Rabbi keu po yang Esa
Meunjoë hanteem prang tjiet malang tjeulaka tuboh rugoe roh
Syuruga han roh reugoe roh balah Neuraka

Itu sepenggal syair hikayat Prang Sabi yang sering diperdengarkan sang bunda kepada anaknya yang masih di buaian.

1 comments:

Anonim mengatakan...

Seumangat that bang, Ka neukalon peungunjung blog tanyoe aceh dit nyang kunjong? nyan peungaroh pendidikan nyang golom sempurna. Adakna yang meuphom IT hana dituri syahra sibangsa. kadang ileume dipeusom. nyoe na web free lon peuget untuk ta publish Nanggroe. http://www.jeumpa.tk

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting