Minggu, Agustus 13, 2006

SETAHUN PERDAMAIAN
Riasan Kerikil di Usia Muda

SETAHUN PERDAMAIAN
Riasan Kerikil di Usia Muda
Reporter : Fakhrurradzie

DUA pria duduk di trotoar depan markas besar Aceh Monitoring Mission (AMM) yang terletak di kompleks kampus Universitas Syiah Kuala Banda Aceh di siang Senin, 7 Agustus lalu. Dua lembar karton manila warna putih dijadikan sebagai tempat berlindung dari sinar matahari yang menyengat. Di samping mereka, duduk puluhan perempuan paruh baya dan tua –beberapa di antaranya menggendong anak yang masih berusia balita. Mata mereka menerawang, sembari beristirahat setelah melakukan perjalanan panjang nan melelahkan. Kecapaian terpancar dari wajah polos mereka.

Mereka merupakan warga sipil yang datang dari Kecamatan Mane, sebuah daerah pedalaman yang terpaut kira-kira 100 kikometer arah selatan Kabupaten Pidie. Kedatangn mereka ke markas AMM untuk menyampaikan aspirasi: menolak pembangunan markas Kompi E 113/Jaya Sakti di sana.

Agussalim, koordinator aksi, menyebutkan, kedatangan mereka ke Banda Aceh untuk mendesak pemerintah supaya membatalkan pembangunan Batalyon TNI Kompi E 113/Jaya Sakti yang dibangun di atas tanah milik warga Kecamatan Mane. “Kami menuntu supaya pemerintah mengembalikan tanah kami seluas 150 hektar yang dibangun kompi tersebut,” katanya saat menyampaikan aspirasinya kepada pihak AMM, Senin, awal Agustus lalu.

Dalam poster yang mereka usung, warga menyebutkan, pembangunan instalasi militer di Mane tidak diperlukan lagi. Apalagi, kondisi Aceh yang sudah stabil, aman, dan damai. “Tidak ada musuh di kampung kami,” tulis warga di karton manila beragam warna itu.

Bukan hanya warga Mane yang memprotes pembangunan instalasi militer di masa perdamaian ini. Awal Juli lalu, 500-an warga Kemukiman Lamteuba, Kecamatan Seulimuem, Aceh Besar, juga berunjukrasa ke markas AMM. Lagi-lagi, mereka memprotes rencana militer membangun markasnya di kawasan pedalaman Aceh Besar itu.

Edi Miswar, koordinator warga, menyebutkan, pembangunan markas TNI tersebut telah menyebabkan warga tidak leluasa dalam mencari nafkah, mengembala kerbau dan sapi, serta tidak berani pergi ke kebun dan ladang. TNI di sana juga sering bertindak arogan terhadap warga dan menutup jalan menuju ke perkebunan.

“Kami menuntut supaya pos TNI dipindahkan dari Lamteuba. Warga di sini tidak bisa lagi mencari rezeki karena jalan menuju ke kebun ditutup sama mereka,” kata Miswar kepada wartawan.

Miswar menyebutkan, keberatan warga terhadap pembangunan markas baru militer telah dilaporkan kepada unsur musyawarah kecamatan (Muspika). Namun, hingga kini belum ada respons sama sekali. Bahkan, Camat, Koramil, dan Kepala Polsek anteng-anteng saja dan terkesan tidak menghiraukan aduan warga tersebut. “Kalau TNI tetap tidak ditarik dari kampung, kami tidak bertanggungjawab jika ada warga yang akan melakukan aksi ke pos TNI tersebut,” ujar Miswar, setengah mengancam.

Kepala Penerangan Kodam Iskandar Muda, Mayor Dudi Zulfadli, mengakui adanya pembangunan markas TNI di Lamteuba. “Di Lamteuba rencananya akan dibangun Kompi E 112. Itu pasukan organik, pindahan dari Japakeh, Mata Ie,” kata Dudi kepada acehkita.com, sembari menyebutkan, pembangunan Kompi E tersebut telah direstui pemerintah dan mengambil dana dari pos anggaran 2006.

Permasalahan TNI memang menjadi isu krusial di masa perdamaian ini. Dalam Undang Undang No 11 tentang Pemerintahan Aceh, pasukan TNI bertanggungjawab menyelenggarakan pertahanan negara dan tugas lain di Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan. “Tugas lain” inilah yang dipermasalahkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), karena dinilai bertentangan dengan Nota Kesepakatan Helsinki. GAM menilai, tugas dan fungsi TNI di Aceh pasca-kesepakatan Helsinki, tak ubahnya seperti tugas-tugas yang diemban sebelum tercapainya kesepakatan untuk mengakhiri konflik yang menewaskan tak kurang dari 15.000 orang sejak 1976.

“Tugas lain” yang dimaksud dalam Pasal 202 UU No 11 tentang Pemerintahan Aceh tersebut meliputi penanggulangan bencana alam, pembangunan sarana dan prasarana perhubungan, serta tugas-tugas kemanusiaan lain dilakukan setelah berkonsultasi dengan Gubernur Aceh.

***

Itu satu kasus yang menjadi kerikil di masa perdamaian ini. Jauh-jauh hari sebelum gelombang protes terhadap pembangunan instalasi militer di Lamteuba dan Mane, pembangunan Kompi E 111 di Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara, menelan korban seorang bekas militer GAM. Muslem namanya. Selain menewaskan seorang eks-TNA, satu warga sipil dan satu polisi pengawal tim Aceh Monitoring Mission (AMM) ikut menderita luka-luka. Sedangkan lubang tembakan menghiasi dinding mobil yang ditumpangi bekas Ketua AMM Aceh Utara Jorma Gardameister.

Insiden Paya Bakong bermula dari penangkapan Umar, seorang eks-TNA yang sedang melintasi lokasi pembangunan Kompi Paya Bakong tersebut. Umar yang menjadi penjual durian setelah perdamaian bersemi di Aceh, dikasari sejumlah oknum militer di sana. Rekan Umar yang melihat aksi tersebut, melaporkan insiden itu kepada warga. Tak terima, warga kemudian berbondong-bondong mendatangi markas baru tersebut untuk meminta supaya Umar segera dilepaskan. AMM ikut turun ke lokasi kejadian. Namun, sesampai tim AMM ke sana, entah dari mana, senjata menyalak. Letupan senjata itu membuat warga kocar-kacir. Tidak diketahui dari mana asal dan arah tembakan yang menyebabkan satu meninggal tersebut.

Kini, kasus Insiden Paya Bakong sedang diusut oleh Pemerintah Indonesia dan tim AMM. Investigasi itu mengalami kendala karena keluarga korban menolak jenazah Muslem diotopsi. TNI menyebutkan, penolakan otopsi ini bisa menghambat proses penyidikan di lapangan.

Salak senjata di Paya Bakong, bukan yang pertama. Sebelumnya pada bulan Oktober 2005 dan Maret 2006, senjata menyalak di Peudawa, Aceh Timur. Kasus pertama, seorang anggota GAM, Abubakar, ditembak pasukan TNI saat usia perdamaian baru dua bulan. Kasus ini menyebabkan AMM memvonis TNI telah melanggar Kesepakatan Helsinki.

Sedangkan kasus kedua yang terjadi pada Maret 2006, seorang warga, Agussalim, tewas ditembak polisi saat terjaring razia lalulintas. Keluarga meminta kasus ini diusut tuntas. Hingga kini, kasus Peudawa yang merenggut nyawa warga sipil tersebut tidak jelas juntrungannya. Seorang TNA juga menjadi korban penembakan di Nagan Raya. Polisi menyebutkan, penembakan dilakukan karena yang bersangkutan merampas satu unit mobil. Namun, GAM membantah tudingan polisi ini. Sama halnya dengan Peudawa, tidak jelas ujung-ujung kasus ini.

Selain salak senjata dan pembangunan markas TNI, penyaluran dana reintegrasi bagi anggota GAM bisa menjadi bom waktu, yang bisa meledak suatu waktu di masa mendatang. Pasalnya, ada anggota GAM yang beroleh dana reintegrasi dan tidak sedikit anggota GAM yang tidak mendapatkannya sama sekali. Selain itu, penyaluran dana kompensasi bagi warga korban konflik juga menuai masalah. Kedatangan ratusan warga Kecamatan Mane ke Banda Aceh untuk menuntut dana kompensasi menjadi bukti bahwa penyaluran dana ini menyisakan masalah.

Itu sejumlah permasalahan yang muncul di lapangan. Di ranah politik, UU No 11 tentang Pemerintahan Aceh juga masih menyisakan masalah. Kendati menerima UU Pemerintahan Aceh, GAM menolak sejumlah pasal yang bertentangan dengan MoU Helsinki. Pasal-pasal yang ditolak di antaranya, Pasal 8, Pasal 11, dan Pasal 202.

Pasal 8 dinilai telah memangkas kewenangan dan fungsi legislatif Aceh. Di pasal itu hanya disebutkan bahwa segala rencana persetujuan internasional dan rencana pembentukan UU oleh DPR yang berkaitan langsung dengan Aceh harus dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA. Yang diprotes GAM adalah kata “pertimbangan”, karena tidak sesuai dengan yang tertulis dalam MoU Helsinki, yaitu “persetujuan”.

Itu satu soal. Hal lain yang ditolak oleh GAM adalah Pasal 11 yang dinilai membatasi kewenangan Pemerintahan Aceh. Dalam Pasal 11 disebutkan bahwa “Pemerintah menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasanterhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota”. GAM mengibaratkan pasal ini dengan ungkapan “peulheuh ulee cupet iku/lepas kepala pegang ekor”.

Senior Representatif GAM di AMM Irwandi Yusuf, mengatakan, Pasal 11 ikut mempengaruhi sejumlah pasal lain, seperti Pasal 124 ayat (3), Pasal 142 ayat (1), 147, dan Pasal 249. “Padahal dalam MoU telah jelas pemisahan wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh,” ujarnya.

Pembatasan kewenangan Aceh melalui Pasal 11 ini, sebut Irwandi, menyebabkan perlunya lisensi dari Pusat dalam semua hal. “Misalnya ada pengusaha yang bergerak di bidang perikanan, dia harus mendapatkan izin dari Pusat,” ujar Irwandi. “Ini apa bedanya dengan sebelum adanya UU Pemerintahan Aceh dan MoU Helsinki?”

“Pasal 228 ayat (1) tentang Pengadilan HAM juga sangat mengecewakan, karena hanya untuk mengadili pelanggaran HAM yang terjadi setelah UU PA disahkan. Padahal dalam MoU tidak disebutkan adanya pembatasan waktu,” ujarnya. “UU PA gagal menciptakan produk hukum yang berpihak pada masyarakat korban konflik.”

Nur Djuli, seorang petinggi GAM yang bermukim di Malaysia, menyebutkan, jika berbagai permasalahan yang masih abu-abu di UU Pemerintahan Aceh tidak bisa diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia, dikhawatirkan akan muncul 'GAM-GAM' baru, 10 atau 20 tahun mendatang.

Karena itu, GAM menuntut Pemerintah Indonesia untuk segera merevisi pasal-pasal tersebut. “Kita tolak semua pasal yang tidak sesuai dengan MoU, karena itu pemerintah harus segera merevisinya,” lanjut Irwandi. “Kita akan membawanya ke mekanisme dispute settlement AMM,” lanjutnya.

Jika di AMM tidak bisa diselesaikan, GAM juga berencana melaporkan perkara ini ke Crisis Management Initiative (CMI), lembaga yang memfasilitasi dan memediasi perundingan antara Pemerintah Indonesia dan GAM.

Rapat Commission on Security Arrangement (CoSA) yang akan digelar pada 14 Agustus ini di Banda Aceh, rencananya dihadiri bos CMI, Martti Ahtisaari. Di sinilah, para pihak akan mendiskusikan permasalahan yang timbul dalam UU Pemerintahan Aceh. Rapat ini diharapkan bisa menyelesaikan berbagai kerikil yang bisa menjadi sandungan dalam jalan perdamaian Aceh. Ahtisaari dan CoSA memang tidak bisa menuntaskan segala permasalahannya. Karena itu dibutuhkan kearifan para pihak untuk sama-sama menjaga perdamaian yang telah membawa perubahan bagi Aceh ini. [dzie]

SETAHUN PERDAMAIAN
Riasan Kerikil di Usia Muda

  Posted by Picasa Riasan Kerikil di Usia Muda
Penulis: Fakhrurradzie

DUA pria duduk di trotoar depan markas besar Aceh Monitoring Mission (AMM) yang terletak di kompleks kampus Universitas Syiah Kuala Banda Aceh di siang Senin, 7 Agustus lalu. Dua lembar karton manila warna putih dijadikan sebagai tempat berlindung dari sinar matahari yang menyengat. Di samping mereka, duduk puluhan perempuan paruh baya dan tua –beberapa di antaranya menggendong anak yang masih berusia balita. Mata mereka menerawang, sembari beristirahat setelah melakukan perjalanan panjang nan melelahkan. Kecapaian terpancar dari wajah polos mereka.

Mereka merupakan warga sipil yang datang dari Kecamatan Mane, sebuah daerah pedalaman yang terpaut kira-kira 100 kikometer arah selatan Kabupaten Pidie. Kedatangn mereka ke markas AMM untuk menyampaikan aspirasi: menolak pembangunan markas Kompi E 113/Jaya Sakti di sana.

Agussalim, koordinator aksi, menyebutkan, kedatangan mereka ke Banda Aceh untuk mendesak pemerintah supaya membatalkan pembangunan Batalyon TNI Kompi E 113/Jaya Sakti yang dibangun di atas tanah milik warga Kecamatan Mane. “Kami menuntu supaya pemerintah mengembalikan tanah kami seluas 150 hektar yang dibangun kompi tersebut,” katanya saat menyampaikan aspirasinya kepada pihak AMM, Senin, awal Agustus lalu.

Dalam poster yang mereka usung, warga menyebutkan, pembangunan instalasi militer di Mane tidak diperlukan lagi. Apalagi, kondisi Aceh yang sudah stabil, aman, dan damai. “Tidak ada musuh di kampung kami,” tulis warga di karton manila beragam warna itu.

Bukan hanya warga Mane yang memprotes pembangunan instalasi militer di masa perdamaian ini. Awal Juli lalu, 500-an warga Kemukiman Lamteuba, Kecamatan Seulimuem, Aceh Besar, juga berunjukrasa ke markas AMM. Lagi-lagi, mereka memprotes rencana militer membangun markasnya di kawasan pedalaman Aceh Besar itu.

Edi Miswar, koordinator warga, menyebutkan, pembangunan markas TNI tersebut telah menyebabkan warga tidak leluasa dalam mencari nafkah, mengembala kerbau dan sapi, serta tidak berani pergi ke kebun dan ladang. TNI di sana juga sering bertindak arogan terhadap warga dan menutup jalan menuju ke perkebunan.

“Kami menuntut supaya pos TNI dipindahkan dari Lamteuba. Warga di sini tidak bisa lagi mencari rezeki karena jalan menuju ke kebun ditutup sama mereka,” kata Miswar kepada wartawan.

Miswar menyebutkan, keberatan warga terhadap pembangunan markas baru militer telah dilaporkan kepada unsur musyawarah kecamatan (Muspika). Namun, hingga kini belum ada respons sama sekali. Bahkan, Camat, Koramil, dan Kepala Polsek anteng-anteng saja dan terkesan tidak menghiraukan aduan warga tersebut. “Kalau TNI tetap tidak ditarik dari kampung, kami tidak bertanggungjawab jika ada warga yang akan melakukan aksi ke pos TNI tersebut,” ujar Miswar, setengah mengancam.

Kepala Penerangan Kodam Iskandar Muda, Mayor Dudi Zulfadli, mengakui adanya pembangunan markas TNI di Lamteuba. “Di Lamteuba rencananya akan dibangun Kompi E 112. Itu pasukan organik, pindahan dari Japakeh, Mata Ie,” kata Dudi kepada acehkita.com, sembari menyebutkan, pembangunan Kompi E tersebut telah direstui pemerintah dan mengambil dana dari pos anggaran 2006.

Permasalahan TNI memang menjadi isu krusial di masa perdamaian ini. Dalam Undang Undang No 11 tentang Pemerintahan Aceh, pasukan TNI bertanggungjawab menyelenggarakan pertahanan negara dan tugas lain di Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan. “Tugas lain” inilah yang dipermasalahkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), karena dinilai bertentangan dengan Nota Kesepakatan Helsinki. GAM menilai, tugas dan fungsi TNI di Aceh pasca-kesepakatan Helsinki, tak ubahnya seperti tugas-tugas yang diemban sebelum tercapainya kesepakatan untuk mengakhiri konflik yang menewaskan tak kurang dari 15.000 orang sejak 1976.

“Tugas lain” yang dimaksud dalam Pasal 202 UU No 11 tentang Pemerintahan Aceh tersebut meliputi penanggulangan bencana alam, pembangunan sarana dan prasarana perhubungan, serta tugas-tugas kemanusiaan lain dilakukan setelah berkonsultasi dengan Gubernur Aceh.

***

Itu satu kasus yang menjadi kerikil di masa perdamaian ini. Jauh-jauh hari sebelum gelombang protes terhadap pembangunan instalasi militer di Lamteuba dan Mane, pembangunan Kompi E 111 di Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara, menelan korban seorang bekas militer GAM. Muslem namanya. Selain menewaskan seorang eks-TNA, satu warga sipil dan satu polisi pengawal tim Aceh Monitoring Mission (AMM) ikut menderita luka-luka. Sedangkan lubang tembakan menghiasi dinding mobil yang ditumpangi bekas Ketua AMM Aceh Utara Jorma Gardameister.

Insiden Paya Bakong bermula dari penangkapan Umar, seorang eks-TNA yang sedang melintasi lokasi pembangunan Kompi Paya Bakong tersebut. Umar yang menjadi penjual durian setelah perdamaian bersemi di Aceh, dikasari sejumlah oknum militer di sana. Rekan Umar yang melihat aksi tersebut, melaporkan insiden itu kepada warga. Tak terima, warga kemudian berbondong-bondong mendatangi markas baru tersebut untuk meminta supaya Umar segera dilepaskan. AMM ikut turun ke lokasi kejadian. Namun, sesampai tim AMM ke sana, entah dari mana, senjata menyalak. Letupan senjata itu membuat warga kocar-kacir. Tidak diketahui dari mana asal dan arah tembakan yang menyebabkan satu meninggal tersebut.

Kini, kasus Insiden Paya Bakong sedang diusut oleh Pemerintah Indonesia dan tim AMM. Investigasi itu mengalami kendala karena keluarga korban menolak jenazah Muslem diotopsi. TNI menyebutkan, penolakan otopsi ini bisa menghambat proses penyidikan di lapangan.

Salak senjata di Paya Bakong, bukan yang pertama. Sebelumnya pada bulan Oktober 2005 dan Maret 2006, senjata menyalak di Peudawa, Aceh Timur. Kasus pertama, seorang anggota GAM, Abubakar, ditembak pasukan TNI saat usia perdamaian baru dua bulan. Kasus ini menyebabkan AMM memvonis TNI telah melanggar Kesepakatan Helsinki.

Sedangkan kasus kedua yang terjadi pada Maret 2006, seorang warga, Agussalim, tewas ditembak polisi saat terjaring razia lalulintas. Keluarga meminta kasus ini diusut tuntas. Hingga kini, kasus Peudawa yang merenggut nyawa warga sipil tersebut tidak jelas juntrungannya. Seorang TNA juga menjadi korban penembakan di Nagan Raya. Polisi menyebutkan, penembakan dilakukan karena yang bersangkutan merampas satu unit mobil. Namun, GAM membantah tudingan polisi ini. Sama halnya dengan Peudawa, tidak jelas ujung-ujung kasus ini.

Selain salak senjata dan pembangunan markas TNI, penyaluran dana reintegrasi bagi anggota GAM bisa menjadi bom waktu, yang bisa meledak suatu waktu di masa mendatang. Pasalnya, ada anggota GAM yang beroleh dana reintegrasi dan tidak sedikit anggota GAM yang tidak mendapatkannya sama sekali. Selain itu, penyaluran dana kompensasi bagi warga korban konflik juga menuai masalah. Kedatangan ratusan warga Kecamatan Mane ke Banda Aceh untuk menuntut dana kompensasi menjadi bukti bahwa penyaluran dana ini menyisakan masalah.

Itu sejumlah permasalahan yang muncul di lapangan. Di ranah politik, UU No 11 tentang Pemerintahan Aceh juga masih menyisakan masalah. Kendati menerima UU Pemerintahan Aceh, GAM menolak sejumlah pasal yang bertentangan dengan MoU Helsinki. Pasal-pasal yang ditolak di antaranya, Pasal 8, Pasal 11, dan Pasal 202.

Pasal 8 dinilai telah memangkas kewenangan dan fungsi legislatif Aceh. Di pasal itu hanya disebutkan bahwa segala rencana persetujuan internasional dan rencana pembentukan UU oleh DPR yang berkaitan langsung dengan Aceh harus dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA. Yang diprotes GAM adalah kata “pertimbangan”, karena tidak sesuai dengan yang tertulis dalam MoU Helsinki, yaitu “persetujuan”.

Itu satu soal. Hal lain yang ditolak oleh GAM adalah Pasal 11 yang dinilai membatasi kewenangan Pemerintahan Aceh. Dalam Pasal 11 disebutkan bahwa “Pemerintah menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasanterhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota”. GAM mengibaratkan pasal ini dengan ungkapan “peulheuh ulee cupet iku/lepas kepala pegang ekor”.

Senior Representatif GAM di AMM Irwandi Yusuf, mengatakan, Pasal 11 ikut mempengaruhi sejumlah pasal lain, seperti Pasal 124 ayat (3), Pasal 142 ayat (1), 147, dan Pasal 249. “Padahal dalam MoU telah jelas pemisahan wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh,” ujarnya.

Pembatasan kewenangan Aceh melalui Pasal 11 ini, sebut Irwandi, menyebabkan perlunya lisensi dari Pusat dalam semua hal. “Misalnya ada pengusaha yang bergerak di bidang perikanan, dia harus mendapatkan izin dari Pusat,” ujar Irwandi. “Ini apa bedanya dengan sebelum adanya UU Pemerintahan Aceh dan MoU Helsinki?”

“Pasal 228 ayat (1) tentang Pengadilan HAM juga sangat mengecewakan, karena hanya untuk mengadili pelanggaran HAM yang terjadi setelah UU PA disahkan. Padahal dalam MoU tidak disebutkan adanya pembatasan waktu,” ujarnya. “UU PA gagal menciptakan produk hukum yang berpihak pada masyarakat korban konflik.”

Nur Djuli, seorang petinggi GAM yang bermukim di Malaysia, menyebutkan, jika berbagai permasalahan yang masih abu-abu di UU Pemerintahan Aceh tidak bisa diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia, dikhawatirkan akan muncul 'GAM-GAM' baru, 10 atau 20 tahun mendatang.

Karena itu, GAM menuntut Pemerintah Indonesia untuk segera merevisi pasal-pasal tersebut. “Kita tolak semua pasal yang tidak sesuai dengan MoU, karena itu pemerintah harus segera merevisinya,” lanjut Irwandi. “Kita akan membawanya ke mekanisme dispute settlement AMM,” lanjutnya.

Jika di AMM tidak bisa diselesaikan, GAM juga berencana melaporkan perkara ini ke Crisis Management Initiative (CMI), lembaga yang memfasilitasi dan memediasi perundingan antara Pemerintah Indonesia dan GAM.

Rapat Commission on Security Arrangement (CoSA) yang akan digelar pada 14 Agustus ini di Banda Aceh, rencananya dihadiri bos CMI, Martti Ahtisaari. Di sinilah, para pihak akan mendiskusikan permasalahan yang timbul dalam UU Pemerintahan Aceh. Rapat ini diharapkan bisa menyelesaikan berbagai kerikil yang bisa menjadi sandungan dalam jalan perdamaian Aceh. Ahtisaari dan CoSA memang tidak bisa menuntaskan segala permasalahannya. Karena itu dibutuhkan kearifan para pihak untuk sama-sama menjaga perdamaian yang telah membawa perubahan bagi Aceh ini. [dzie]

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting