Sabtu, Oktober 02, 2004

5 TAHUN TEWASNYA SANDERS THOENES
Fery Santoro Kisahkan Cerita Unik Selama Bersama GAM

JUM'AT (1/10) malam di ruang Rasamala Hotel Mandarin Oriental Jakarta, pukul 19.05 WIB. Belum ada tetamu yang hadir. Baru sekitar pukul 19.20 WIB, beberapa tamu mulai berdatangan. Mereka tak langsung masuk ke ruang pertemuan. Melainkan memilih ngobrol di pintu masuk. Terlihat sekitar 20 orang dari berbagai negara, asyik ngobrol, sembari menyeduh teh dan kopi hangat. Sesekali terlihat juga beberapa dari mereka mengambil sandwich. Beberapa lainnya, masih terus bercakap sesama mereka, akrab. Tamu terus berdatangan satu per satu.

Mereka adalah koresponden media asing yang bertugas di Jakarta. Malam itu, sekitar 40-an jurnalis asing dan utusan kedutaan besar berkumpul di Hotel Mandarin Oriental untuk memperingati 5 tahun kematian wartawan Belanda, Sander Thoenes di Timor Timur pasca-jajak pendapat yang dimenangkan kubu pro kemerdekaan.

Sebuah film dokumenter yang menelusuri kematian Thoenes, diputar. Film itu dibuat tahun 2002 lalu yang merupakan hasil reportase Stephani Vaessen, Kepala Biro Television The Netherlands di Jakarta.

Dalam film itu ditampilkan beberapa saksi mata yang melihat Sander Thoenes sebelum kematiannya. Beberapa saksi mata dengan jelas mengatakan, wartawan yang bekerja untuk Financial Times itu dibunuh oleh pasukan TNI Batalyon 745.

Namun ini dibantah oleh Jacob, sang Komandan Batalyon. “TNI tidak terlibat sama sekali,” bantah Jacob yang kini bertugas di Bali.

Sander Thoenes terbunuh di wilayah Becora, Dili pada 21 September 1999 lalu saat ia membonceng sebuah sepeda motor. Pengendara motor bersaksi bahwa tembakan terdengar setelah ia dan Thoenes melihat tentara dari Batalyon 745. Roda sepeda motor terkena dan Thoenes terjatuh.

Saksi lain mengatakan, para prajurit tersebut berdiri di atas tubuh Thoenes dan terdengar suara tembakan. Sementara motor yang dikendarai Thoenes dinaikkan ke atas truk dan dibawa pergi. Batalyon itu sedang ditarik menyusul kalahnya Indonesia dalam jajak pendapat. Menurut warga, di sepanjang jalan, serdadu yang frustasi itu menembaki apa saja secara membabi buta.

Semua serius menyimak pemutaran film itu. Apalagi pada bagian ketika perempuan Timor dalam bahasa Tetun merapati kematian suaminya yang ditembak pasukan pemerintah tanpa alasan yang jelas. Selain jurnalis asing, hadir pula beberapa perwakilan negara asing seperti dari Belanda, India dan Afrika Selatan.

Beberapa saat sebelum film diputar, seorang pria jangkung yang mengenakan jeans dan jaket kulit hitam bertuliskan RCTI News, langsung duduk di samping Dandhy Dwi Laksono, Pemimpin Redaksi acehkita. Pria itu adalah Fery Santoro, kamerawan RCTI yang ditahan Ishak Daud selama 325 hari di hutan Peureulak, Aceh Timur.

Di tangannya, tergenggam dua eksemplar majalah acehkita. Selama duduk, sambil berbincang-bincang dengan Dandhy, ia terus membolak-balik lembar demi lembar majalah yang khusus memberitakan konflik Aceh itu.

Matanya terhenti, pada halaman yang memuat foto Ishak Daud bersama istri dan kedua anaknya, hasil jepretan wartawati The Jakarta Post, Nani Afrida.

“Ini foto ketika dia membebaskan saya,” katanya.

Ia terus memandangi foto Ishak Daud yang menggendong anak lelakinya, Ambiya (3), dengan AK-47 di tangan kanannya. Sementara Cut Rostina, menggendong si bungsu di depan mobil ICRC (International Comission for Red Cross).

“Mana foto jenazah Ishak Daud?” dia menunjuk-nunjuk foto sang Panglima GAM itu, “saya lihat di situsnya ada. Tapi apa benar?”

“Ibunya sudah confirm,” kata Dandhy, menjelaskan.

Matanya kali ini tertuju pada dua bocah kecil yang ada di gendongan Ishak Daud dan Cut Rostina.

“Ini, si Ambiya, anaknya keras,” kata Fery. Terlihat kesedihan memancar dari raut wajahnya.

Pembicaraan terputus, setelah Shoep Kagda, salah seorang koordinator Jakarta Foreign Correspondent Club (JFCC) berbicara di mikrofon. “Maaf, acara terpaksa terlambat. Pak Bambang masih terjebak macet,” katanya menjelaskan.

Pak Bambang yang dimaksud adalah Bambang Harymurti. Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO ini menjadi salah satu pembicara bersama Fery Santoro dan Dandhy yang juga diundang dalam kapasitas sebagai mantan produser Liputan 6 SCTV.

Fery kembali membolak-balik lembar demi lembar majalah acehkita. Ketika dia melihat foto warga sipil yang tewas dalam konflik Aceh semasa darurat militer, dia menggeleng-geleng kepala.

Saat BHM datang, acarapun segera dimulai. Shoeb dan Stephanie menyatakan, saat ini banyak wartawan yang bertugas di Indonesia yang telah menjadi korban. Selain Sander Thoenes, juga ada Agus Mulyawan, wartawan Asia Press yang juga meninggal di Timor Timur. Lalu ada Ersa Siregar di Aceh dan Muhammad Fuad Syarifuddin atau yang lebih dikenal dengan Udin di Yogyakarta. Menurut Shoep, rangkaian kejadian ini adalah wujud dari pengekangan terhadap kemerdekaan pers.

***

BHM yang didaulat pertama untuk berbicara, menceritakan kondisi pers Indonesia sejak masa kemerdekaan hingga kini. Dia menyebut beberapa contoh kasus yang menjadi momok menakutkan bagi kemerdekaan pers di Indonesia.

Pada masa Soekarno memimpin, kata BHM, Muchtar Lubis dan Indonesia Raya yang dipimpinnya merupakan salah satu pihak yang kritis terhadap berbagai kebijakan yang ditelurkan pemerintah. Akhirnya, “Muchtar Lubis ditahan dan korannya dibreidel,” kata BHM.

Di masa pemerintahan Orde Baru, dia juga mengatakan kontrol penguasa terhadap pers semakin besar. Mulai Muchtar Lubis dan Indonesia Raya hingga ke kasus TEMPO, Trust, Rakyat Merdeka, Bernas, dan beberapa koran lokal di daerah seperti di Gorontalo dan Medan.

Monyet di Hutan “pro-GAM”
Fery Santoro yang berbicara pada sesi kedua, memaparkan pengalamannya ketika menjadi sandera GAM di bawah Ishak Daud. Beberapa kali nada bicaranya agak gemetaran, ketika menceritakan ulang peristiwa itu. “Lebih enak di penjara ketimbang menjadi sandera,” kata Fery sesaat sebelum tampil sebagai pembicara.

“Saya ditahan ketika baru saja pulang dari lokasi pengungsian di Desa Bayeun, Aceh Timur. Ketika menuju ke arah Lhokseumawe, saya dicegat beberapa orang bersenjata,” kata Fery memulai kisahnya.

Fery Santoro disandera bersama Sori Ersa Siregar (reporter senior RCTI), Soraya, Safrida (kakak beradik ini adalah istri perwira TNI), dan Rachmatsyah, sopir. Penahanan itu, kata pihak GAM ketika itu, dikarenakan ada anggota militer yang menyusup menjadi wartawan.

Selama dalam penahanan, mereka terus berpindah dari satu gunung ke gunung yang lain. Mereka pun, tidur dan makan seadanya. Menurutnya, pernah selama empat hari dia tidak makan apa pun untuk mengganjal perutnya. Hanya air yang mengisi kekosongan perut.

“Itu pun bukan air putih bening. Air berkeruh, kuning,” katanya.

Setiap dua minggu sekali, pasukan GAM yang menjadi pengawal Fery, Ersa dan tiga tahanan lainnya, dirotasi. Di situlah, rasa stress Fery kembali muncul. “Pengawal baru ini selalu interogasi dengan membentak-bentak,” katanya.

Pun begitu, katanya, dia dan Ersa diperlakukan sangat baik oleh Ishak Daud.

Malam itu Fery menceritakan pengalaman menarik yang membuatnya kadang tak percaya. Menurutnya, hewan-hewan yang ada di dalam hutan seperti berpihak ke GAM. Dia sering menjumpai monyet-monyet hutan yang bersuara gaduh ketika ada patroli TNI yang lewat. Seperti hendak memberi tanda.

“Tapi kalau yang lewat itu GAM, monyet-monyet itu diam saja,” kata Fery tersenyum yang disambut tawa hadirin.

Kejadian aneh lainnya yang dialami Fery adalah ketika ia tidur di kandang macan kumbang. Saat itu Fery tidak tahu bila tempat tersebut merupakan “ranjang” sang macan. Saat mata hampir terpejam, sang pemilik “ranjang” kembali, ingin beristirahat.

Namun sang macan menemukan Fery di dalam kandangnya. Tentu saja Fery takut bukan kepalang. “Tenang, Bang. Abang tidak akan diapa-apakan,” kata salah seorang anggota GAM yang mengawal Fery. Fery akhirnya beranjak tidur, kendati dia tidak tenang. Di dalam gelap, ia melihat sang macan kumbang akhirnya tidur hanya dalam jarak 10 meter dari tempatnya.

“Macan itu tidur sekitar 10 meter dari tempat saya. Saya tidak diapa-apakan,” kenangnya.

Selama menjadi sandera GAM, Fery mengaku selalu dihinggapi rasa takut. Apalagi jika pasukan GAM berpapasan dengan pasukan TNI. Satu ketika, sekitar pukul 02.00 dini hari, pasukan GAM dan TNI berada dalam radius yang sangat dekat. Jaraknya hanya 10 meter! Fery dan sandera lainnya dihinggapi ketakutan. Namun anehnya, kedua belah pihak ini tidak saling menyerang.

“Mereka saling menghindar,” tandasnya.

Di sana pun, ia belajar banyak. Misalnya saja, ketika terdengar suara letupan senjata. “Anggota GAM sangat peka dengan apa yang sedang terjadi. Misalnya, kalau ada suara tembakan, mereka tahu radiusnya berapa dan pakai senjata apa. Saya sempat diajari mereka untuk peka terhadap masalah ini,” dia memaparkan.

Pernahkah Fery sakit selama hidup di alam liar?

“Saya kena diare selama dua minggu. Tidak ada obat-obatan yang bisa saya konsumsi. Untuk mengobatinya, saya makan apa saja yang ada, supaya penyakit sembuh,” lanjutnya.

Pada 29 Desember 2003, Fery kehilangan Ersa Siregar yang tewas akibat peluru aparat TNI. Saat itu, kata Fery, mereka sedang beristirahat di sebuah gubuk. Hanya ada tujuh anggota GAM dengan empat pucuk senjata yang mengawal mereka. Tidak ada tanda-tanda akan ada pasukan TNI yang akan mengendus keberadaan mereka.

Lima anggota GAM akhirnya keluar gubuk, entah ke mana. Senjata mereka tinggal di rumah panggung yang mereka tempati. Hanya Fery, Ersa dan dua anggota GAM yang tertinggal. Dua orang ini bahkan tengah memasak. Mereka santai. Rumah panggung itu, terletak di ketinggian. Sedangkan posisi TNI, berada agak di bawah. Selebihnya, rumah itu dikepung rawa-rawa liar.

Tak berapa lama, suara tembakan terdengar. Ternyata datangnya dari pasukan TNI yang hanya berjarak sekitar 50 meter. Semua panik. Satu anggota GAM yang sedang memasak, tewas seketika. Fery dan Ersa meloncat ke samping.

“Saya lompat ke arah kiri dan Bang Ersa ke arah kanan,” ujar Fery, “kita berusaha menyelamatkan diri masing-masing.”

Ketika sudah terpisah itu, ia tidak tahu apakah Ersa tertembak atau tidak. Fery tidak berani beranjak ke arah lompatan Ersa. Tembakan begitu beruntun.

“Kalau saya kembali, saya pasti tertembak. Ketika saya angkat (pindahkan) kaki saya, langsung peluru menyambar tempat kaki saya sebelumnya berpijak,” ujarnya.

Juga, ketika ia menghindar sejauh 10 meter dari lokasi pertama dia melompat, maka, “Ketika saya bangun, peluru melesat di atas kepala saya. Saya langsung tiarap,” katanya lagi.

Ia lalu memutuskan untuk melompat ke rawa-rawa. Akhirnya, bersama seorang anggota GAM yang selamat, ia merangkak menyusuri rawa-rawa, menyelamatkan diri. Menurut Fery, badannya berdarah akibat duri selama mengarungi rawa-rawa itu.

“Kalau saya datang ke TNI, mereka pasti tidak mengenal saya. Karena wajah dan badan saya penuh lumpur,” katanya.

Fery belum mengetahui jika Ersa terkena tembakan aparat TNI. Baru keesokan harinya, dia diberitahu Panglima Operasi GAM wilayah Peureulak Ishak Daud. “Saya sangat shock dan stres. Saya sempat pingsan beberapa hari,” katanya.

***

Ternyata tak semua koresponden asing mengetahui kondisi riil peperangan di Aceh. Hal ini terlihat ketika Dandhy tampil sebagai pembicara. Dandhy mengatakan, perang Aceh tidak mendapat tempat yang memadai dalam setiap pemberitaan media nasional. Dia membantah Corporate Secretary RCTI, Yanto Soegiarto yang di forum itu menyatakan pemberitaan Aceh tak dapat mendongkrak rating, sehingga tak banyak media yang mau memberitakan.

“Tayangan Debat Minggu Ini tentang Aceh ratingnya bisa 2,9 asal gambarnya bagus, ada kesaksian, ada rekonstruksi, dan tidak hanya pernyataan militer. Bahkan, program tentang Aceh saat itu hanya kalah oleh Inul yang ratingnya 5,” kata Dandhy.

Puluhan koresponden asing tertawa.

Dandhy lalu diminta menceritakan perkembangan kasus sengketanya melawan SCTV yang saat ini tengah memasuki babakan baru di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Didampingi LBH Pers dan AJI, kontributor Radio ABC Australia ini memperkarakan putusan tak adil pihak Depnaker/P4P.

Foto-foto hasil jepretan para fotografer dan koresponden acehkita kemudian dipaparkannya dalam slide show. Beberapa koresponden asing terdengar memekik pendek saat melihat foto-foto tentang warga sipil yang terkena tembakan. Sebelah kepalanya hilang, remuk dengan otak yang terburai.

“Kalau Anda pernah meliput perang, ini adalah jenis luka yang diakibatkan oleh tembakan jarak dekat. Sangat dekat. Yang terjadi bukan hanya berlubang, tapi pecah!” katanya dalam bahasa Inggris yang tak sefasih BHM.

Mira Woldberg dari Kedutaan Besar Belanda yang duduk tak jauh dari saya, tak kuasa memandang. Ia memilih untuk melemparkan pandangan ke sudut ruangan lainnya. Seorang koresponden asing lainnya, juga bersikap sama. Fery Santoro yang duduk di samping saya, menggeleng-gelengkan kepala. BHM juga terlihat memicingkan mata, dahinya berkerut.

Di akhir acara, sesi tanya jawab beralih menjadi ajang perdebatan. Yanto Soegiarto dari RCTI mengatakan, pihaknya masih terus memberitakan konflik di Aceh. Namun karena alasan rating, RCTI akhirnya tidak terlalu intens lagi memberitakan konflik Aceh. Selani itu, menurutnya, biaya liputan di daerah konflik juga tinggi.

BHM mendukung Yanto. “Untuk mengirim seorang wartawan ke lokasi memerlukan waktu dua hari dan biaya yang besar,” kata BHM yang baru saja divonis satu tahun penjara karena pemberitaan TEMPO tentang Tomy Winata.

“Buktinya, kita juga memberitakan anak umur 14 tahun yang ditembak TNI Yonif 320 hanya karena pakai celana loreng,” tandasnya. (Siapa Berbohong di Maheng? [1] & Siapa Berbohong di Maheng? [2])

Fery Santoro memilih tak ikut berdebat. Kepada Dandhy dan BHM, Fery berjanji akan menerbitkan bukunya dalam waktu dekat. “Gak gampang nulis buku. 11 bulan itu banyak sekali yang harus saya ingat lagi dan tuliskan,” ujarnya.

Acara usai jam hampir jam 24.00 WIB. Tak terasa, para wartawan asing dan lokal itu telah berbagi pengalaman meliput. Mereka pernah keluar masuk Timor Timur di masanya. Satu kesimpulan yang tak terucapkan adalah, bahwa di mata wartawan yang hadir malam itu, Aceh adalah Timor Timur jilid II.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting