Jumat, November 09, 2012

Kebanggaan dari Pucuk Bakau

Oleh FAKHRURRADZIE GADE

PERTENGAHAN 2007 lalu, telepon genggam milik Azhar Idris tiba-tiba berdering. Di layar muncul nama Zubeidah Nasution. Staf komunikasi World Wide Fund (WWF) Aceh Programe itu membawa kabar gembira: Azhar terpilih sebagai pembawa obor Olimpiade 2008. Kabar ini membuat Azhar kebingungan. “Saya sama sekali tidak percaya,” kata Azhar saat dijumpai akhir Maret lalu. “Saya bilang ke orang WWF, tidak mungkin petani dan tak berpendidikan seperti saya membawa obor Olimpiade.”

Azhar memang tidak sedang bermimpi. Pada 22 April lalu Azhar menjadi bagian dari 80 pembawa Obor Olimpiade di Jakarta. Lelaki asal Desa Lam Ujong, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, ini terpilih sebagai pembawa Obor Olimpiade Beijing karena kegigihannya melestarikan lingkungan di sekitar. Azhar Idris dipilih oleh WWF dan perusahaan minuman ringan Coca Cola Company, bersama Emil Salim (mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup), Nirina Zubir (duta WWF), Valerina Daniel (duta lingkungan), Tri Mumpuni (aktivis lingkungan), dan Nugie (artis).

Membawa Obor Olimpiade merupakan sebuah kebanggaan dan pengalaman berharga bagi pria berkulit legam ini. Apalagi, Obor Olimpiade baru tahun ini melintasi Indonesia. “Saya bangga sekali. Mungkin juga seluruh Aceh bangga. Ada putra Aceh yang bisa membawa obor Olimpiade setelah terkena musibah tsunami,” kata Azhar sambil memperlihatkan obor yang dibawanya di Gelora Bung Karno, Jakarta, 22 April silam.

Obor Olimpiade baru tahun ini pertama sekali singgah di Indonesia. Sebanyak 80 putra-putri Indonesia berkesempatan membawa obor mengelilingi Stadion Gelora Bung Karno Jakarta secara estafet. Azhar kebagian membawa sekitar 80 meter sebelum akhirnya menyerahkan api Olimpiade kepada peserta lain.

“Ini adalah kebanggan bagi masyarakat Aceh, karena saya bisa mengangkat harkat dan martabat Aceh di pentas nasional,” kata suami Nurbayani (34) ini.

Terpilihnya Azhar menjadi pembawa Obor Olimpiade bukan tanpa alasan. Saat seleksi, WWF mengajukan dua nama warga Aceh untuk dinominasikan sebagai pembawa obor Olimpiade. Menurut Zubeidah Nasution, staf komunikasi WWF, pihaknya mengajukan dua nominasi yaitu Azhar Idris dan seorang petani yang menaman pinus di atas lahan kritis seluas 30 hektar di Aceh Tengah.

“Pihak Coca Cola senang dengan Pak Azhar. Apalagi pascatsunami, susah mengampanyekan penghijauan kembali pesisir pantai yang rusak,” kata Zubaedah yang akrab disapa Ade ini.

Azhar memang pantas mewakili Aceh membawa api Olimpiade itu. Kegigihannya dalam merehabilitasi perkampungan yang hancur diamuk tsunami patut diacungi jempol. Azhar memilih menanam bakau untuk membangun kembali desa yang hancur dihumbalang gelombang gergasi. Saat korban tsunami lain sibuk mencari harta benda yang tersisa dari amukan tsunami, Azhar malah mencari biji bakau. Di antara puing-puing tsunami Azhar menyisir perkampungan, sembari berharap menemukan biji bakau.

Beruntung. Biji bakau itu disemai dan tumbuh besar. Azhar riang bukan kepalang. Bibit-bibit bakau itu kemudian ditanam di areal pertambakan yang mengelilingi desa. Mula-mula, hanya beberapa bakau saja yang ditanam Azhar. Namun secara perlahan, tanaman bakaunya tumbuh pesat di areal tambak warga seluas 35 hektar. Bakau yang ditanam Azhar pascatsunami sudah tumbuh besar. Ada yang sudah tingginya mencapai 2-3 meter. Ada juga yang usianya terhitung bulan, yang tingginya baru sekitar 20 sentimeter. Jika bertandang ke Desa Beuramoe melalui Lam Ujong, Anda akan disuguhi pemandangan ribuan bakau yang tertanam rapi di tengah-tengah tambak.

Tiga bulan pascatsunami, Azhar memutuskan untuk kembali ke kampung dari pengungsian di Desa Buengcala, Blang Bintang, Aceh Besar. Di perkampungan yang masih menyisakan kehancuran, Azhar memulai kehidupan baru. Hari-harinya diisi dengan mencari biji bakau dan melakukan pembibitan. Perlahan dia mengajak tetangganya untuk menanam tanaman yang bisa dijadikan benteng desa dari gempuran angin barat itu. Sayang, tak banyak yang tertarik dengan ajakan Azhar. Maklum, saat itu korban tsunami lebih tertarik dengan program cash for work yang didanai Mercy Corps untuk membersihkan desa dari puing tsunami.

“Kesempatan (kembali ke kampung) ini tidak saya sia-siakan. Saya langsung mencari biki bakau untuk disemai. Namun saya tidak punya uang,” ujarnya.

Ketiadaan dana tidak menyurutkan niatnya untuk membentengi kampung dengan tanaman mangrove itu. “Kesulitan dana saya utarakan kepada teman. Dia bersedia membantu bikin polibeg untuk penyemaian,” lanjutnya. Usaha Azhar tidak sia-sia. Dalam waktu dekat dia mampu menyemai hingga 30 ribu biji bakau.

Di tengah kesulitan modal itu, Azhar bertemu dengan Eko Budi Priyanto. Pekerja di Wet Lands International itu sedang mencari orang untuk diajak menanam bakau. Gayung bersambut, Azhar mengamini ajakan Wet Lands. Menurut Azhar, Eko sempat mengira dirinya mengalami guncangan jiwa pascabencana yang menghancurkan rumahnya.

Setelah deal dengan Wet Lands, Azhar mencari temannya yang mau diajak menanam bakau. Mereka lalu membentuk kelompok tani bakau. Syarat yang diberikan Wet Lands saat mengucurkan modal usaha terbilang ketat. Menurut Azhar, Wet Lands akan menarik kembali modal jika bakau yang mereka tanam mati. “Kalau bakaunya tumbuh, kami tidak harus mengembalikan modal,” kata dia. “Alhamdulillah, sekarang bakau saya sudah hidup sekitar 80 persen.”

Selain ditanam di areal pertambakan warga di Desa Lam Ujong, Azhar dan kelompoknya menjual bibit bakau ke sejumlah daerah, seperti Lhokseumawe, Meulaboh, Aceh Jaya, dan Aceh Timur. “Satu pohon harganya Rp 1.000. Harga itu sudah termasuk ongkos pengiriman,” kata dia.

Bagi Azhar bakau bukan dunia baru. Jauh sebelum tsunami, Azhar sudah berkutat dengan dunia bakau. Saban hari dia menyemai bakau, yang kemudian ditanam di pinggiran tambak. Keinginan Azhar menanam bakau dikarenakan desanya berdekatan dengan laut, selain dikelilingi sungai. Layaknya desa berdekatan dengan laut, angin di musim barat cukup membuat repot. “Pohon bakau ini bisa menghambat angin barat,” kata pria kelahiran 1 Juli, 43 tahun silam itu.

Tak hanya itu, bakau punya banyak kegunaan. Batang bisa digunakan sebagai material bangunan, ranting bisa jadi kayu bakar. Sementara daun yang berguguran bisa menjadi pupuk dan menjadi makanan ikan di tambak. Masih ada lagi. Akar yang kokoh tertancap di tanah bisa menghambat abrasi. “Pohon ini banyak manfaatnya,” sebutnya.

Pengalaman mengelola bakau pascatsunami membuat Azhar semakin matang. Azhar tak hanya dikenal sebagai petani bakau di Lam Ujong, tapi dia sudah malang-melintang di dunia bakau. Dia kerap menerima undangan untuk berbagi pengalaman menanam bakau. Awal Mei lalu saat ACEHKINI bertandang ke rumahnya, Azhar baru saja kembali dari Kembang Tanjung Pidie. “Saya disuruh membagi pengalaman bagi petani bakau di sana,” ujarnya ramah. “Tapi jangan suruh saya jadi pemateri, karena saya tidak bisa menyampaikan apa-apa. Saya hanya bisa di lapangan.”

Kini bakau sudah menjadi teman kesehariannya. Dan dari ujung bakau pula, Azhar mendunia: menjadi pembawa Obor Olimpiade. “Saya tidak pernah bermimpi bisa membawa obor ini, apalagi saya petani yang tidak berpendidikan,” katanya merendah. [a]

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting