Jumat, November 09, 2012

Kebanggaan dari Pucuk Bakau

Oleh FAKHRURRADZIE GADE

PERTENGAHAN 2007 lalu, telepon genggam milik Azhar Idris tiba-tiba berdering. Di layar muncul nama Zubeidah Nasution. Staf komunikasi World Wide Fund (WWF) Aceh Programe itu membawa kabar gembira: Azhar terpilih sebagai pembawa obor Olimpiade 2008. Kabar ini membuat Azhar kebingungan. “Saya sama sekali tidak percaya,” kata Azhar saat dijumpai akhir Maret lalu. “Saya bilang ke orang WWF, tidak mungkin petani dan tak berpendidikan seperti saya membawa obor Olimpiade.”

Azhar memang tidak sedang bermimpi. Pada 22 April lalu Azhar menjadi bagian dari 80 pembawa Obor Olimpiade di Jakarta. Lelaki asal Desa Lam Ujong, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, ini terpilih sebagai pembawa Obor Olimpiade Beijing karena kegigihannya melestarikan lingkungan di sekitar. Azhar Idris dipilih oleh WWF dan perusahaan minuman ringan Coca Cola Company, bersama Emil Salim (mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup), Nirina Zubir (duta WWF), Valerina Daniel (duta lingkungan), Tri Mumpuni (aktivis lingkungan), dan Nugie (artis).

Membawa Obor Olimpiade merupakan sebuah kebanggaan dan pengalaman berharga bagi pria berkulit legam ini. Apalagi, Obor Olimpiade baru tahun ini melintasi Indonesia. “Saya bangga sekali. Mungkin juga seluruh Aceh bangga. Ada putra Aceh yang bisa membawa obor Olimpiade setelah terkena musibah tsunami,” kata Azhar sambil memperlihatkan obor yang dibawanya di Gelora Bung Karno, Jakarta, 22 April silam.

Obor Olimpiade baru tahun ini pertama sekali singgah di Indonesia. Sebanyak 80 putra-putri Indonesia berkesempatan membawa obor mengelilingi Stadion Gelora Bung Karno Jakarta secara estafet. Azhar kebagian membawa sekitar 80 meter sebelum akhirnya menyerahkan api Olimpiade kepada peserta lain.

“Ini adalah kebanggan bagi masyarakat Aceh, karena saya bisa mengangkat harkat dan martabat Aceh di pentas nasional,” kata suami Nurbayani (34) ini.

Terpilihnya Azhar menjadi pembawa Obor Olimpiade bukan tanpa alasan. Saat seleksi, WWF mengajukan dua nama warga Aceh untuk dinominasikan sebagai pembawa obor Olimpiade. Menurut Zubeidah Nasution, staf komunikasi WWF, pihaknya mengajukan dua nominasi yaitu Azhar Idris dan seorang petani yang menaman pinus di atas lahan kritis seluas 30 hektar di Aceh Tengah.

“Pihak Coca Cola senang dengan Pak Azhar. Apalagi pascatsunami, susah mengampanyekan penghijauan kembali pesisir pantai yang rusak,” kata Zubaedah yang akrab disapa Ade ini.

Azhar memang pantas mewakili Aceh membawa api Olimpiade itu. Kegigihannya dalam merehabilitasi perkampungan yang hancur diamuk tsunami patut diacungi jempol. Azhar memilih menanam bakau untuk membangun kembali desa yang hancur dihumbalang gelombang gergasi. Saat korban tsunami lain sibuk mencari harta benda yang tersisa dari amukan tsunami, Azhar malah mencari biji bakau. Di antara puing-puing tsunami Azhar menyisir perkampungan, sembari berharap menemukan biji bakau.

Beruntung. Biji bakau itu disemai dan tumbuh besar. Azhar riang bukan kepalang. Bibit-bibit bakau itu kemudian ditanam di areal pertambakan yang mengelilingi desa. Mula-mula, hanya beberapa bakau saja yang ditanam Azhar. Namun secara perlahan, tanaman bakaunya tumbuh pesat di areal tambak warga seluas 35 hektar. Bakau yang ditanam Azhar pascatsunami sudah tumbuh besar. Ada yang sudah tingginya mencapai 2-3 meter. Ada juga yang usianya terhitung bulan, yang tingginya baru sekitar 20 sentimeter. Jika bertandang ke Desa Beuramoe melalui Lam Ujong, Anda akan disuguhi pemandangan ribuan bakau yang tertanam rapi di tengah-tengah tambak.

Tiga bulan pascatsunami, Azhar memutuskan untuk kembali ke kampung dari pengungsian di Desa Buengcala, Blang Bintang, Aceh Besar. Di perkampungan yang masih menyisakan kehancuran, Azhar memulai kehidupan baru. Hari-harinya diisi dengan mencari biji bakau dan melakukan pembibitan. Perlahan dia mengajak tetangganya untuk menanam tanaman yang bisa dijadikan benteng desa dari gempuran angin barat itu. Sayang, tak banyak yang tertarik dengan ajakan Azhar. Maklum, saat itu korban tsunami lebih tertarik dengan program cash for work yang didanai Mercy Corps untuk membersihkan desa dari puing tsunami.

“Kesempatan (kembali ke kampung) ini tidak saya sia-siakan. Saya langsung mencari biki bakau untuk disemai. Namun saya tidak punya uang,” ujarnya.

Ketiadaan dana tidak menyurutkan niatnya untuk membentengi kampung dengan tanaman mangrove itu. “Kesulitan dana saya utarakan kepada teman. Dia bersedia membantu bikin polibeg untuk penyemaian,” lanjutnya. Usaha Azhar tidak sia-sia. Dalam waktu dekat dia mampu menyemai hingga 30 ribu biji bakau.

Di tengah kesulitan modal itu, Azhar bertemu dengan Eko Budi Priyanto. Pekerja di Wet Lands International itu sedang mencari orang untuk diajak menanam bakau. Gayung bersambut, Azhar mengamini ajakan Wet Lands. Menurut Azhar, Eko sempat mengira dirinya mengalami guncangan jiwa pascabencana yang menghancurkan rumahnya.

Setelah deal dengan Wet Lands, Azhar mencari temannya yang mau diajak menanam bakau. Mereka lalu membentuk kelompok tani bakau. Syarat yang diberikan Wet Lands saat mengucurkan modal usaha terbilang ketat. Menurut Azhar, Wet Lands akan menarik kembali modal jika bakau yang mereka tanam mati. “Kalau bakaunya tumbuh, kami tidak harus mengembalikan modal,” kata dia. “Alhamdulillah, sekarang bakau saya sudah hidup sekitar 80 persen.”

Selain ditanam di areal pertambakan warga di Desa Lam Ujong, Azhar dan kelompoknya menjual bibit bakau ke sejumlah daerah, seperti Lhokseumawe, Meulaboh, Aceh Jaya, dan Aceh Timur. “Satu pohon harganya Rp 1.000. Harga itu sudah termasuk ongkos pengiriman,” kata dia.

Bagi Azhar bakau bukan dunia baru. Jauh sebelum tsunami, Azhar sudah berkutat dengan dunia bakau. Saban hari dia menyemai bakau, yang kemudian ditanam di pinggiran tambak. Keinginan Azhar menanam bakau dikarenakan desanya berdekatan dengan laut, selain dikelilingi sungai. Layaknya desa berdekatan dengan laut, angin di musim barat cukup membuat repot. “Pohon bakau ini bisa menghambat angin barat,” kata pria kelahiran 1 Juli, 43 tahun silam itu.

Tak hanya itu, bakau punya banyak kegunaan. Batang bisa digunakan sebagai material bangunan, ranting bisa jadi kayu bakar. Sementara daun yang berguguran bisa menjadi pupuk dan menjadi makanan ikan di tambak. Masih ada lagi. Akar yang kokoh tertancap di tanah bisa menghambat abrasi. “Pohon ini banyak manfaatnya,” sebutnya.

Pengalaman mengelola bakau pascatsunami membuat Azhar semakin matang. Azhar tak hanya dikenal sebagai petani bakau di Lam Ujong, tapi dia sudah malang-melintang di dunia bakau. Dia kerap menerima undangan untuk berbagi pengalaman menanam bakau. Awal Mei lalu saat ACEHKINI bertandang ke rumahnya, Azhar baru saja kembali dari Kembang Tanjung Pidie. “Saya disuruh membagi pengalaman bagi petani bakau di sana,” ujarnya ramah. “Tapi jangan suruh saya jadi pemateri, karena saya tidak bisa menyampaikan apa-apa. Saya hanya bisa di lapangan.”

Kini bakau sudah menjadi teman kesehariannya. Dan dari ujung bakau pula, Azhar mendunia: menjadi pembawa Obor Olimpiade. “Saya tidak pernah bermimpi bisa membawa obor ini, apalagi saya petani yang tidak berpendidikan,” katanya merendah. [a]

Selasa, Oktober 30, 2012

Sejarah Penamaan Badai Sandy


BADAI Sandy menghantam sejumlah kota di Amerika Serikat. Badai ini menyebabkan 6,5 juta jiwa warga di Washington D.C. dan 13 negara bagian lainnya hidup dalam kegelapan. Banjir menyelimuti negara-negara bagian tersebut.


Banjir air laut di lokasi pembangunan Ground Zero, New York, Amerika Serikat, Senin (29/10). | FOTO: JOHN MINCHILLO/AP

Amerika Serikat menjadi negara langganan dihantam badai. Pada 2005 lalu, wilayah Florida, Mississipi, dan Alabama dihantam badai Katrina.

Badai-badai yang terjadi di AS mudah diingat, sebab dinamakan dengan nama yang enak didengar dan bagus. Lihat saja nama Katrina, Isaac, dan Sandy.

Bagaimana badai tersebut dinamai? Sejarah penamaan badai dimulai ketika masyarakat yang tinggal di Pantai Karibia dihantam badai. Situs geology.com menulis, saat dihantam badai masyarakat Karibia menamakan badai tersebut dengan nama-nama santa, seperti "Badai San Felipe".

Bahkan, ketika dua badai yang menghantam Karibia di tanggal yang sama tapi tahun yang berbeda, masyarakat di sana akan menamakan badai itu, mereka akan menamakan dengan "Badai San Felipe I" dan "Badai San Felipe II".

Badan Meteorologi Amerika Serikat kemudian juga memberi nama untuk badai yang menghantam negara tersebut. Penamaan didasarkan pada garis lintang dan garis bujur sumber terjadinya badai. Namun pola penamaan ini susah untuk diingat dan dikomunikasikan, sehingga sering terjadi kekeliruan.

Selama perang dunia kedua, ahli cuaca militer yang bekerja di Pasifik memulai penamaan badai dengan nama perempuan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan.

Pada 1953, pola penamaan ala ahli cuaca militer ini diadopsi oleh National Hurricane Center untuk menamakan badai yang bersumber di Samudera Atlantik. Sejak saat itu, penamaan badai pola ini menjadi lebih mudah dan mampu meningkatkan kepedulian publik terhadap ancaman badai.

Di tahun 1978, para ahli cuaca yang memantau badai di Timur Laut Pasifik mulai memberi nama badai dengan nama lelaki. Pada 1979, ahli cuaca menamakan badai di Samudera Atlantik dengan nama orang laki-laki.

Saban tahun ada 21 nama yang dipersiapkan untuk badai, yang dimulai dengan alfabet yang berurutan. Namun alfabet Q, U, X, Y, dan Z tidak digunakan.

Badai yang terjadi pada awal tahun diberi nama dengan huruf awalnya "A" dan yang kedua "B", begitu seterusnya.

World Meteorological Organization telah mempersiapkan enam daftar nama badai yang terjadi di Atlantik pada 2012-2018. Enam daftar ini berlaku lagi untuk enam tahun mendatang.

Badai Sandy yang terjadi di penghujung Oktober 2012 ini merupakan badai ke 18 yang terjadi akibat siklon tropis di Atlantik. Sebelumnya, badai yang telah terjadi di antaranya Alberto, Beryl, Debby, Ernesto, Oscar, Nadine, dan Rafael.

Tahun depan, World Meteorological Organization telah mempersiapkan nama Andrea, Barry, Chantal, Erin, Ingrid, Lorenzo, Melissa, Olga, Pablo, Rebekah, Wendy (serta beberapa lainnya) untuk badai yang diperkirakan akan terjadi di laut Atlantik.

"Badai tropis" yang diberi nama adalah yang kecepatan anginnya mencapai 39 mil per jam, misal "Tropical Storm Fran". Jika badai dengan kecepatan angin 74 mil per jam yang disebut dengan hurikan, maka namanya adalah "Hurricane Fran". [Fakhrurradzie Gade/geology.com]

Android 4,2, Si Jelly Bean yang Makin Manis


BADAI Sandy yang tengah melanda New York tak menyurutkan niat Google untuk meluncurkan sistem operasi Android terbaru. Bertempat di New York, pada Senin (29/10) Google memperkenalkan Android versi 4,2 yang masih dinamakan dengan Jelly Bean.

Pengenalan Android baru ini berbarengan dengan peluncuran smartphone Nexus 4 dan tablet Nexus 10. Kedua produk baru ini akan menggunakan sistem operasi Android 4,2. Nexus 4 merupakan telepon pintar kerjasama Google dengan vendor asal Korea Selatan, LG. Sedangkan Nexus 10 yang diproduksi Google bareng Samsung, merupakan suksesor Nexus 7 bikinan Asus.

Google mengklaim Android Jelly Bean 4,2 tampil lebih cepat, cantik, dan mudah. Sejumlah fitur baru telah dibenamkan untuk membuat Jelly Bean 4,2 bersaing dengan sistem operasi saingan mereka, semisal iOS 6 Apple dan Windows Mobile 8 Microsoft.

Di Android 4,2, Google menambah fitur Photo Sphere, yang memungkinkan kamera menjepret foto 360 derajat. "Jepret atas, bawah, dan sekeliling Anda," tulis Google di situs android.com.

Lihat video demo Photo Sphere di bawah ini yang dibuat oleh Director of Product Management Android Hugo Bara menggunakan Nexus 4.



Hasil jepretan Photo Sphere bisa diunggah langsung ke Google+ atau dishare dengan mudah ke surel, Twitter, Facebook, atau situs jejaring sosial lainnya. Nah, dengan Photo Sphere pula, Anda bisa membuat foto 360 derajat layaknya Street View di Google Maps.

Keyboard di Android 4,2 ini juga dibekali dengan "Gesture Typing" yang --menurut Google-- akan memudahkan dalam penulisan pesan. "Cukup gerakkan jari ke huruf yang ingin diketik dan angkat setelah setiap kata."

Sisi lain yang menarik adalah fitur multiple user. Jadi, kini Anda tidak perlu khawatir lagi berbagi penggunaan tablet dengan orang lain. Sebab, mereka bisa login dengan user tersendiri.

Setiap pengguna tablet, melalui fitur ini, mempunyai homescreen, widget, background, aplikasi, dan game tersendiri. Anda bisa memberikan setiap orang ruang mereka sendiri. Kemampuan multitasking juga semakin membaik melalui Android 4,2 ini.

Sebenarnya, fitur ini telah diperkenalkan Sony di Xperia Tablet S yang berjalan di Android 4,0 Ice Cream Sandwich.

Google menjanjikan Android 4,2 berjalan lebih cepat dan lembut dibandingkan dengan versi sebelumnya. Kemampuan grafis yang lebih bagus dan perpindahan antaraplikasi yang sangat cepat.

Lihat video demo berikut ini.



Android 4,2 Jelly Bean yang makin apik ini akan bisa dinikmati seiring dengan dijualkan Nexus 10 di pasar Amerika Serikat pada 13 November mendatang. []

Kamis, Agustus 30, 2012

Foto-foto Sony Xperia Tablet S

SONY secara resmi meluncurkan produk terbarunya pada Rabu, 29 Agustus 2012, di ajang IFA Berlin, Jerman. Sejumlah produk yang diperkenalkan adalah telepon pintar dengan brand Xperia T, Xperia V, dan Xperia J. Namun yang paling mencuri perhatian adalah anggota baru di keluarga Xperia, yaitu Xperia Tablet S. Ini merupakan tablet pertama Sony yang memakai brand Xperia. Sebelumnya, tahun lalu, Sony melempar dua varian tablet ke pasar, yaitu Sony Tablet S dan Sony Tablet P.

Xperia Tablet S merupakan suksesor Sony Tablet S. Jika sebelumnya diotaki oleh prosesor Nvidia Tegra 2 (dual-core/berotak ganda), Xperia Tablet S menggunakan Nvidia Tegra 3 Quad-core sebagai dapur pacunya. Sony mengklaim, dengan prosesor Tegra 3, Xperia Tablet mampu beroperasi lebih smooth dan lebih cepat.

Desain yang dipilih Sony terbilang ciamik. Bagian belakang-atas sabak ini lebih tebal dibandingkan dengan bagian bawah. Bayangkan seperti Anda menggulung lembaran majalah. Fungsinya, ketika meletakkan di atas meja, Anda tak perlu mencari pengganjal lain agar mata nyaman mengakses tablet ini. Fungsi lain, akan memudahkan ketika pengguna memegangnya.

Sony tampaknya tak main-main di lini smartphone dan tablet. Untuk tablet ini saja, Sony membekalinya dengan layar teknologi Bravia, yang selama ini telah digunakan di produk televisi, berukuran 9,4 inci (1.280 x 800). Dengan teknologi Bravia, layar lebih jernih dan nyaman dipandang mata. Di jajaran telepon pintar, Sony telah menggunakan teknologi ini di sejumlah produk, seperti Xperia S, Xperia P, Xperia Arc S, Xperia U, Xperia sola, dan Xperia go.

Teknologi Bravia ini membuat foto dan video yang diambil dengan kamera 8.0 Megapixel yang dibenamkan di tablet, makin ciamik saja. Tablet ini cocok bagi Anda yang suka bekerja di luar (outdoor) atau menjadi teman ketika Anda memasak di dapur. Sebab, layarnya tahan percikan air (splash).

Memindahkan foto dari kartu memori di kamera ke tablet, kini bukan lagi persoalan. Xperia Tablet menyediakan slot SD card agar memudahkan pemindahan file ke dalam tablet. Jadi, tak perlu lagi sibuk mencari konektor atau konverter.

Tak perlu khawatir file yang ada di tablet diakses oleh anak kecil atau orang lain, sehingga mengganggu privasi. Selain fasilitas akun utama (superadmin), tablet ini memungkinkan kita menambah akun tamu (guest account), sehingga orang lain yang meminjam tablet Anda bisa mengakses tablet melalui akun tersebut.

Teknologi suara? Jangan takut, Sony menghadirkan teknologi andalannya di Walkman. Di Xperia S produksi 2012, Sony membenamkan xLoud, yang mampu membuat suara/audio lebih keras, tapi tetap nyaman di telinga.

Android 4.0 atau Ice Cream Sandwich akan menjadi sistem operasi Xperia Tablet S. Sony berjanji akan meningkatkan sistem operasi ke Jelly Bean (Android 4.1). Sony mengklaim, sabak mereka yang baru ini bisa berjalan secara multitasking. Jadi, ketika asik menonton film kesayangan, Anda masih bisa mengakses surat elektornik atau menghitung uang melalui kalkulator. Teknologi ini dinamakan Small App.

Xperia Tablet S, meski baru diperkenalkan pada Rabu, 29 Agustus 2012, bisa diperoleh di pasar Amerika Serikat pada 9 September 2012. Belum ada kabar kapan tablet ini akan menggebrak pasar Indonesia. Soal harga, tergantung kapastitas ruang penyimpanan dan model koneksi. Tablet ini mulai dijual dengan harga USD400 atau sekira Rp3,8 juta, dengan kurs 9.500 per dollar.

Tertarik? Untuk memudahkan Anda dalam menilai produk baru Sony ini, kami mengunggah beberapa foto dan video di bawah ini.











Xperia Tablet S, Sabak Terbaru Sony


BANDA ACEH | ACEHKITA.COM -- Sony akhirnya mengumumkan secara resmi kehadiran tablet yang dinamakan dengan Sony Xperia Tablet S. Ini merupakan tablet (sabak) yang dipersenjatai dengan prosesor Tegra 3 dari NVIDIA. Tablet dijual mulai Rp3,8 juta.


DNP EMBARGO Sony Xperia Tablet S official Tegra 3, IR remote and Android 40, starts at $400Sony Xperia Tablet S yang diperkenalkan di Jepang hari ini (Rabu, 29 Agustus 2012) akan dipasarkan di Amerika Serikat mulai September nanti. Suksesor Tablet S ini akan diluncurkan dengan sistem operasi Ice Cream Sandwich alias Android 4.0. Namun Sony berjanji sistem operasinya bisa ditingkatkan menjadi Jelly Bean (Android 4.1).

Layar tablet baru Sony berukuran 9,4 inci (1.280 x 800) dengan teknologi Bravia. Resolusi layar mampu memutar video high definition (HD) 1080i. Kapasitas gudang penyimpanan 64 GB. Namun, Sony merilis tiga variasi kapasitas, yaitu 16, 32, dan 64 GB.

Baterai 6.000 mAh yang dipasang di Xperia Tablet S diklaim tahan 10 jam ketika layar dalam kondisi nyala terus.

Seperti Tablet S yang diperkenalkan tahun lalu, Sony masih mempertahankan infrared (IR) di perangkat Xperia Tablet S. Infrared ini bisa menjadikan tablet ini sebagai remote bagi televisi Anda.

Desain Xperia Tablet S terbilang ciamik dan tipis. Namun, Sony membuat di sisi atas tablet lebih tebal agar memudahkan pengguna ketika tablet diletakkan di atas meja.



Sony mulai akan memasarkan tablet ini di Amerika Serikat pada 7 September pekan depan. Bahkan, sejak hari ini, Sony telah membuka pre-order untuk pemesanan tablet yang dirilis dalam tiga varian gudang penyimpanan. Xperia Tablet S berkapasitas 16GB dijual seharga USD 400 (Rp3,8 juta, kurs 9.500/dollar). Kapasitas 32GB dijual USD 500, dan USD 600 bagi yang berkapasitas 64GB.

Selain itu, bagi Anda yang tertarik dengan aksesoris, Sony menyediakan keyboard yang mirip dengan kepunyaan tablet Surface milik Microsoft. Lalu ada dock untuk HDMI dan USB, dock speaker, dan lainnya. Bagaimana, Anda tertarik untuk memilik tablet teranyar dari Sony? []

Rabu, Agustus 29, 2012

Kisah Pengumpul Naskah yang Tercecer




JEJERAN kitab kuno tersusun rapi di atas meja di ruang tamu. Warnanya tak lagi utuh. Lembaran kitab kuno yang tadinya berwarna putih, kini kecoklatan, dimakan usia. Luffat al Tullab, nama salah satu kitab kuno itu. Kitab karangan Syeikh Zakaria Ansari ditulis pada abad 16 masehi. Sisi terluar kitab kuno itu sobek, dimakan rayap. Manuskrip kuno tulisan tangan Syeikh Zakaria itu berisikan pelbagai macam topik, mulai dari hukum Islam, cara berjihad, seni dan sastra, sejarah, hingga pengobatan.

Di sudut lain, agak tersembunyi dari ruang tamu, naskah kuno yang lain tersusun seadanya. Di sini, ada sekitar lima buku kuno. Ada Mir-at al Tullab karangan Syeikh Abdul Rauf Al Singkili atau yang tenar dengan nama Syiah Kuala. Kitab ini menjadi rujukan Syiah Kuala, hakim agung kerajaan, dalam memutuskan pelbagai perkara di Kesultanan Aceh Darussalam. Mir-at al Tullab digunakan pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin (1641-1675) hingga Ratu Kamalat Syah (1688-1699).

Radzie/ACEHKITA.COM
Tarmizi A. Hamid | Foto-foto: Radzie/ACEHKITA.COM

Jangan bayangkan naskah itu tersimpan di Museum Negeri Aceh. Bukan. Manuskrip kuno yang usianya hampir lima abad itu, tersimpan di rumah Tarmizi Abdul Hamid. Ia warga biasa. Hanya pegawai tingkat menengah di Balai Pengembangan Teknologi Pertanian Aceh. Sore itu, di ruang tamunya yang sempit, Tarmizi hanya “memamerkan” beberapa judul naskah kuno saja. Ia telah mengoleksi tak kurang dari 500 manuskrip kuno yang ditulis sepanjang abad 15 hingga 19 masehi.

Tarmizi berkenalan dengan naskah kuno usai lawatannya ke Singapura pada 1995 lalu. Itu pun secara tak sengaja. Pada tahun itu, Tarmizi mengunjungi negeri singa untuk sebuah urusan dinas kantornya. Saat mengunjungi salah satu museum di Singapura, Tarmizi melihat sejumlah koleksi naskah kuno yang ditulis oleh orang Aceh tempo dulu. Di Aceh, Tarmizi tak menjumpai naskah kuno ini.

“Mereka mengoleksi mahakarya orang hebat Aceh,” kata pria yang akrab disapa Cek Midi itu, Jumat (27/5).

Begitu pulang ke Aceh, Tarmizi bertekad untuk melestarikan peninggalan indatu-nya. Ia mulai berburu naskah kuno yang tercecer pada warga Aceh. Manuskrip pertama yang dia peroleh yaitu Sir al Salikin, karangan Syeikh Abdul Samad Palembani. Kitab ini diperoleh dari seorang warga di Kecamatan Jeunieb, Bireuen, pada pertengahan 1995. Ia juga berburu hingga ke Riau.

“Manuskrip yang saya simpan merupakan yang tercecer dari masyarakat di seluruh Aceh,” ujar Tarmizi.
Pelbagai macam cara digunakan untuk memperoleh literatur kuno yang sarat dengan ilmu pengetahuan itu. Kadangkala, ia menukar naskah dengan al-Quran cetakan masa kini. Di lain waktu, ia melakukan barter: naskah ditukar dengan beras atau padi.

“Kalau kita beli tidak sanggup, karena nggak ada standard harga. Kalau dipatok harganya pun, pasti tidak sanggup kita beli,” ujar suami Nurul Husna ini. “Saya cuma memberikan kompensasi pada mereka sebagai ucapan terimakasih.”

Pun begitu, tak terhitung lagi entah berapa ratus juta uang telah dikeluarkan Tarmizi. Terakhir, ia menjual enam petak tanah peninggalan orangtuanya di Pidie, untuk membiayai perawatan naskah yang telah dikoleksinya.

Usahanya melestarikan peninggalan masa lampau tak sia-sia. Hingga kini, di rumahnya, Tarmizi telah mengoleksi sekitar 500 naskah kuno. “Naskah-naskah itu gudang ilmu pengetahuan. Ada soal tasawuf (sufi), agama, astronomi, psikologi, sejarah, tauhid, hukum Islam (fiqh), termasuk ilmu perbintangan, ilmu falaq,” kata dia. “Tinggal Aceh, dan Indonesia saja yang harus memanfaatkannya.”

Naskah kuno koleksi Tarmizi A. Hamid.

Manuskrip itu beraksara Arab-Jawi. Tak semua orang pandai membaca aksara ini. Meski beraksara Arab-Jawoe, kebanyakan manuskrip koleksi Tarmizi berbahasa Melayu. Hanya sedikit saja yang ditulis dalam bahasa Aceh. Karena itu, kini Tarmizi punya tugas baru, agar koleksinya itu bisa dimanfaatkan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Aceh masa kini.

Pelan-pelan, ia mengajak kawannya yang peduli pada naskah kuno untuk mengalih-aksarakan naskah itu: dari Arab-Jawi ke latin. Baru dua kitab saja yang telah rampung dialih-aksarakan, yaitu Nazam Aceh (Syair Perempuan Tasawuf Aceh) karangan Pocut di Beutong dan Hujjah Baliqha Ala Jama Mukhashamah karya Jalaluddin bin Syekh Jamaluddin Ibnu Al Qadhi.

Sedangkan Mir-at Al Thullab, Tarjuman Multafiq (keduanya karangan Syiah Kuala); Durar Li Syarhi Al Aqaid karangan Syeikh Nuruddin Al Raniry; dan Tajjul Muluk, masih dalam proses alih-aksara. “Biar anak muda sekarang bisa belajar,” kata dia.

Usaha lain, ia mendigitalisasi naskah-naskah itu. Baru 20 judul naskah saja yang berhasil didigitalisasi. Selain kekurangan dana, Tarmizi juga terhambat di sumberdaya manusia. “Seharusnya ada gerakan yang masif untuk mendigitalkan naskah-naskah ini,” sebut Tarmizi.

Keuntungan digitalisasi, selain agar naskah ini punya salinan, “Saya punya cita-cita naskah ini juga bisa diakses siapa pun, dari mana pun juga. Jadi tidak mesti datang ke rumah saya,” katanya.

Jika kelak naskah itu diunggah ke perpustakaan di internet, Tarmizi berharap bisa menemukan naskah serupa di negara lain, sehingga bisa menyempurnakan bagian-bagian naskah yang hilang.

Lagi-lagi, keterbatasan dana menjadi penghambat upaya Tarmizi mengawetkan manuskrip ini. Pada tahun pertama usai tsunami, Tarmizi memperoleh bantuan dari Pemerintah Jepang untuk merestorasi naskah yang sobek atau dimakan rayap. Namun belum semua naskah berhasil direstorasi. “Harga kertasnya mahal, satu meter saja hingga Rp 23 juta. Tidak sembarang kertas,” ujarnya. Kertas untuk restorasi menyerupai kertas plastik berserat tipis. Warnanya putih.

Merawat ratusan naskah kuno perlu dana besar. Sebagai seorang pegawai tingkat menengah, jelas Tarmizi bakal kelimpungan. Jadilah, ia hanya merawat manuskrip-manuskrip itu dengan cara yang masih sangat tradisional. Ia membalut manuskrip itu dengan kain yang telah ditaburi kapur barus, lada hitam, lada putih, dan cengkeh. “Biar rayap tidak memakan buku-buku ini,” kata Tarmizi.

Beruntung, kertas buku, mushaf, al-Quran, dan kitab yang diproduksi negara-negara Eropa pada akhir abad 18 dan awal abad 19 cocok untuk suhu di Aceh. “Bisa bertahan ratusan tahun asal dipelihara dengan baik,” kata Dr. Annabel Gallop, peneliti dari The British Library.

Dr. Annabel Gallop dari The British Library

Sore itu, Annabel mengunjungi rumah Tarmizi di Kompleks Balai Pengkajian Teknologi Pertanian di Lampineung, Banda Aceh. Annabel terkagum-kagum dengan mushaf dan kitab Mir-at Al Tullab yang ditulis tangan. “Jumlah naskah tentang Islam dari Aceh sangat banyak, yang ditulis dalam bahasa Melayu untuk menyebarkan agama Islam,” kata perempuan yang fasih membaca tulisan Arab-Jawi.

Menurut Annabel, naskah karangan ulama Aceh pada abad 16 hingga 19 punya ciri khas tersendiri. Seni kaligrafi dan hiasan di sampul dan di pinggir setiap halaman, mempunyai nilai seni tinggi. “Mungkin ini identitas bangsa. Struktur yang digunakan juga sama, ada garis vertikal di setiap lukisan gambar di pinggir halaman. Tapi Aceh masih kalah dengan seni dari Pattani, Thailand Selatan,” ujar doktor asal Inggris ini.

Annabel menyayangkan jika Tarmizi dibiarkan seorang diri merawat ratusan naskah yang punya nilai tinggi ini.

Lantas, adakah perhatian dari pemerintah untuk merawat naskah ini? Menurut Tarmizi, ia pernah menerima tawaran untuk menyimpan ratusan naskah itu di Museum Negeri Aceh dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Perpustakaan Nasional pernah meminta Tarmizi menjual manuskrip itu. Namun ia menolak. Jika dijual, naskah-naskah itu akan diangkut ke Jakarta.

Ia juga mendapat tawaran Museum Aceh untuk menyimpan naskah itu di sana. Tapi tak jelas bagaimana mekanisme perawatan dan penyimpanan di museum, termasuk bagaimana kalau naskah itu hilang dan terbakar. Hal-hal teknis itulah yang kemudian mengurungkan niat Tarmizi untuk mengabaikan tawaran museum.

Menurut Tarmizi, jika pemerintah serius untuk melestarikan manuskrip yang menggambarkan kegelimangan Aceh di bidang pendidikan dan seni budaya pada masa lampau, ada baiknya membantu upaya yang tengah dilakukan sekarang ini, yaitu digitalisasi. Ia butuh banyak mikrofilm dan sumberdaya manusia.

Tarmizi menghabiskan separuh usia dan hartanya untuk melestarikan peninggalan indatu, agar generasi Aceh masa kini bisa mempelajari pelbagai pengetahuan yang telah diabadikan pendahulunya. “Saya bangga menyimpan naskah-naskah ini,” aku pria kelahiran Pidie, 45 tahun silam ini. [A, ACEHKITA.COM, 30 Mei 2011]

[ARSIP] Darimana Datangnya Amunisi GAM?


Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) mengumumkan seorang oknum aparat telah dibawa ke Polisi Militer karena kedapatan men-suplay amunisi kepada gerilayawan GAM.
“Jumlah pastinya saya tidak tahu, tetapi dari penjualan itu oknum itu mendapatkan uang Rp 35 juta rupiah,” kata Komandan Penerangan PDMD, Kolonel Ditya Sudarsono.

Informasi terlibatnya si prajurit tak lain karena pengakuan seorang anggota GAM yang tertangkap. Dari pengembangan itu-lah, sang prajurit digelandang ke markas polisi militer (PM). Dan ini hanya salah satu kasus yang terungkap dan diakui oleh pihak PDMD.

Ini cerita lama.

Sebelum ditandatangani perjanjian penghentian permusuhan (CoHA), 9 Desember 2002, tersebutlah Jacko, seorang gerilyawan GAM wilayah Tamiang yang bertubuh tinggi dan berkulit hitam. Sebagai gerilyawan, dia memiliki M-16 dengan tiga buah magazen.

Sebagaimana layaknya kombatan, M-16 menjadi benda yang paling berharga untuk Jacko. Ke mana-mana dia selalu menenteng senjata yang menjadi standar pasukan Amerika ketika berperang di Vietnam akhir tahun 1960-an itu.

“Saya memilih memakai M-16 karena bentuknya besar. Tidak cocok bila saya memakai AK-47 yang bentuknya lebih kecil,” jelasnya pada acehkita waktu itu, membandingkan M-16 nya dengan senjata desainan Khalasnikov.

Jacko mengenal M-16 miliknya seperti dia mengenal dirinya sendiri. Sesekali digosoknya dengan minyak goreng sehingga warnanya hitam berkilat-kilat. Kadang dia menambah amunisi di magazennya setelah terlibat baku tembak dengan pasukan pemerintah.

Rata-rata gerilyawan memilki tas pinggang yang terbuat dari kulit sebagai wadah puluhan butir peluru atau amunisi. Setiap sore, sehabis bertempur, Jacko dan teman-temannya selalu menemui sang komandan untuk meminta jatah tambahan amunisi.

Lalu darimana mereka mendapat amunisi?

Ditanya demikian, Jacko hanya tersenyum lebar memamerkan giginya yang agak kuning. “Ini sih urusan bos, tetapi gampang saja kok,” katanya.

Jacko kemudian bercerita sambil tertawa bahwa amunisi itu dibeli oleh sang komandan dari aparat TNI.

Lho?

“Iya, kami memang perang. Tetapi soal bisnis jalan terus,” katanya sembari terbahak.

Dia menebarkan seluruh amunisi dari tas pinggangnya ke tikar, menunjukkan tulisan di pangkal peluru. Benar saja. Di sana tertulis PINDAD (Pusat Industri Angkatan Darat).

“Benar kan?” katanya tertawa.

Menurut Jacko, gerilyawan di Aceh memang mengimpor amunisi dari bererapa negara—dia menolak menyebutkan negara mana— tetapi mereka juga membelinya dari pihak TNI.

“Khususnya untuk senjata jenis M-16 ini,” katanya.

“Bukannya peluru itu hasil rampasan?”

“Kalau hasil rampasan tentu tidak sebanyak ini. Kami juga tidak mungkin merampok pabrik amunisi,” katanya meyakinkan.

Pihak GAM sendiri disebut-sebut memperoleh pasokan senjata dan amunisi yang diselundupkan dari perairan Selat Malaka yang memiliki garis pantai yang panjang dan tak mudah terawasi. Bulan Desember 2003 lalu misalnya, Kepolisian Langkat, Sumatera Utara mengusut seorang warga Pangkalan Brandan bernama Ham (52) yang diduga sebagai pemasok M-16 dan AK-47 dari Thailand Selatan. Dalam operasinya, dia memanfaatkan perairan Langkat sebagai entry gate.

Kabupaten Langkat sendiri adalah perbatasan antara wilayah Sumatera Utara dan Kabupaten Aceh Tamiang sebagai pintu gerbangnya.

***

Lain di Tamiang, lain pula di wilayah Aceh Besar.

Meski memiliki amunisi sendiri yang juga dibeli dari luar negeri—sama seperti Jacko, semua menolak menyebutkan asal negara—para gerilyawan mengaku tetap mendapat “suply” dari musuh bebuyutan mereka sendiri.

“Harganya termasuk mahal, tetapi lebih gampang ketimbang memesan dari luar,” kata salah seorang petinggi GAM wilayah Aceh Besar.

Menurutnya, sebutir peluru made in PINDAD bisa dibeli dengan harga Rp 12.000 per butir. Memang, harga ini tiga kali lipat lebih mahal dari harga normal yang konon sekitar Rp 4.000 per butir.

Dengan harga semahal itu, masih menurut anggota GAM Aceh Besar tadi, para anggota TNI/Polri jelas mendapat untung besar. Jadi, menurut klaim mereka, terjadi perlombaan untuk menjual peluru kepada pihak gerilyawan. Para pelaku transaksi penjualan amunisi itu menurut mereka bukan melibatkan prajurit rendahan, melainkan di level perwira ke atas.

“Mungkin mereka lebih mendapatkan akses ke logistik ketimbang prajurit,” kata sang panglima sambil tersenyum. 

Maklum, dalam situasi normal di lapangan, prajurit mendapatkan jatah amunisi yang hanya sesuai kapasitas senjatanya dan itupun harus dilaporkan setiap penggunaannya.

Pihak TNI/Polri sendiri selalu membantah keras pihaknya terlibat dalam penjualan amunisi kepada musuh negara itu. Mereka menganggap peluru-peluru made in PINDAD itu bisa berpindah tangan karena dicuri para gerilyawan.

Lagipula, menurut versi TNI, pencurian amunisi itu selain strategis dalam peperangan juga punya motivasi taktis untuk mengkambinghitamkan pihak lawan.

“Kalau tertembak oleh GAM dengan peluru TNI, nanti dianggap TNI yang membunuh. Padahal pelurunya curian,” kata Ditya Sudarsono beberapa waktu lalu di awal Darurat Militer (DM).

Tapi setahun kemudian, tepatnya 4 Mei 2004, Ditya akhirnya mengumumkan satu kasus penjualan amunisi yang dilakukan oleh anggota pasukan TNI dan kini kasusnya tengah diproses di Polisi Militer. 

April 2003 lalu, gudang senjata dan amunisi milik Kodim 1702/Wamena, Papua dibobol “maling”. Para pembobol berhasil membawa lari 29 senjata api berbagai jenis —termasuk SS-1 dan M-16— setelah melakukan penyerangan dan perusakan.  Para petinggi militer langsung menuding Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai otak dan dalang di balik aksi yang tergolong sangat berani itu.

Namun tak lama kemudian, setidaknya 20 anggota TNI diperiksa dan dimintai keterangan Polisi Militer Trikora terkait dengan kasus tersebut.

“Kalau dari 20 anggota TNI ada yang terbukti terlibat, maka akan dibawa ke Jayapura untuk mendapat pemeriksaan dan proses hukum lebih lanjut,” kata Pangdam Trikora, Mayjen Nurdin Zaenal kepada wartawan (12 April 2003).

Dan benar saja. Dari pemeriksaan tersebut, setidaknya ada sembilan orang prajurit TNI yang menjadi tersangka karena terbukti terlibat dalam aksi pembobolan. Dua di antaranya bahkan diancam hukuman mati karena melakukan kegiatan mata-mata dan membantu persenjataan pihak musuh. Mereka yang terlibat tidak hanya prajurit, melainkan juga perwira berpangkat letnan satu.

Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra pada bulan Februari 2003 mengakui bahwa senjata yang kini digenggam gerilyawan GAM, berasal dari negerinya. Menurut Thaksin, senjata-senjata itu adalah milik Angkatan Bersenjata Thailand yang dicuri pihak lain untuk dijual kepada gerilyawan di Aceh melalui perbatasan Malaysia.

Thaksin secara tidak langsung telah mengarahkan telunjuk kepada pihak “pemberontak” di Thailand Selatan yang berbatasan kepada Malaysia sebagai biang aksi pencurian tersebut. Bulan Januari 2003 misalnya, sebuah depot senjata di Thailand Selatan dibobol “maling” yang berhasil membawa lari sedikitnya 100 pucuk M-16 buatan Amerika.

Sebelum Darurat Militer, pihak TNI menaksir jumlah pucuk senjata yang dikuasai GAM mencapai 2.100 dengan 5.200 kombatan. Namun menjelang berakhirnya Darurat Militer tahap II, dan disusul berkembangnya wacana pemberlakuan Darurat Sipil, Mayjen Endang Suwarya “meralat” jumlah kekuatan GAM (6/5). Menurutnya, jumlah personel GAM bukan 5.200 melainkan 8.500 orang. Ini berarti, TNI telah “salah hitung” dengan selisih sekitar 3.300 orang.

Yang tidak “salah hitung” adalah jumlah pucuk senjata dari klaim sekitar 2.100 menjadi 2.500. Dan setelah satu tahun Darurat Militer, kini senjata mereka tinggal 1.400 pucuk atau telah berkurang lebih dari separuhnya.

Apakah semua senjata itu dari Thailand? Mungkin terlalu jauh.

Tanggal 5 Juni 2003 lalu, puluhan polisi melakukan pengerebekan terhadap sejumlah outlet penjual senapan angin di kawasan Cipacing, sekitar 20 kilometer sebelah timur Kota Bandung. Mereka juga menggeledah bengkel-bengkel bubut milik warga di sana yang dicurigai sebagai tempat pembuatan senjata rakitan untuk memasok gerilyawan di Aceh.

Penggerebekan itu adalah bagian dari penerapan Operasi Rencong-Lodaya 2003 yang digelar sejak 18 Mei di bawah komando Polda Jawa Barat. Mereka—para polisi itu—percaya bahwa ada keterkaitan antara 5.000 warga asal Aceh di Bandung dengan terpasoknya senjata made in Cipacing ke Serambi Mekah.


Salah satu pelaku yang diciduk adalah Engkos (40) dan Tati Rosmaneti (31), pasangan suami istri pelaku penggandaan senjata api FN kaliber 9 milimeter. Tapi apa lacur? Di kamar tidur mereka, selain tiga pucuk FN rakitan, juga ditemukan sepucuk FN organik milik Korps Pasukan Khas TNI AU (Paskhas) yang digunakan para pelaku sebagai master.

Dengan FN milik Paskhas itulah, Engkos membuat jiplakan dan duplikatnya untuk dikirim ke Aceh. Sejauh pengakuannya kepada polisi, telah dikirim sedikitnya 15 pucuk FN rakitan ke Aceh melalui sejumlah kontak. Termasuk, dengan seseorang bernama Nendik Cahyono, anggota Komando Pemeliharaan Materiil TNI AU.

Masih di Jawa Barat, sepanjang tahun 2001 juga telah terjadi kasus pembobolan gudang senjata milik Brimob di kawasan Cikole, Lembang. Tidak hanya itu. Bahkan gudang senjata dan amunisi milik pasukan se-elit Kopassus pun tak kebal dari aksi pembobolan. Kali ini adalah depot senjata milik Grup III Batujajar yang kehilangan sebuah M-16, Revolver kaliber 38 dan ribuan amunisi kaliber 5,6 mm.

Di Ambon (Maluku), sejumlah jurnalis yang pernah melakukan liputan antara tahun 1999 hingga 2001 akan lancar mengisahkan kembali pengalaman mereka mewawancarai para pelaku konflik yang mengaku memperoleh butiran peluru dengan cara barter alias imbal dagang. Cukup dengan sebungkus Dji Sam Soe!

***

“Kalau hasil rampasan tentu tidak sebanyak ini. Kami juga tidak mungkin merampok pabrik amunisi,” kata Jacko, GAM wilayah Tamiang kepada acehkita, Desember 2002. [tamat/ACEHKITA.COM edisi  6 Mei 2004]

Saya lupa nama jurnalis acehkita.com penulis tulisan yang menarik ini. 

Selasa, Agustus 28, 2012

Hard-line Indonesian police shave punkers' mohawks


BANDA ACEH, Indonesia (AP) — Police in Indonesia's most conservative province raided a punk-rock concert and detained 65 fans, buzzing off their spiky mohawks and stripping away body piercings because of the perceived threat to Islamic values.

Dog-collar necklaces and chains also were taken from the youths before they were thrown in pools of water for "spiritual" cleansing, local police chief Iskandar Hasan said Wednesday.

After replacing their "disgusting" clothes, he handed each a toothbrush and barked "use it."

The crackdown marked the latest effort by authorities to promote strict moral values in Aceh, the only province in this secular but predominantly Muslim nation of 240 million to have imposed Islamic laws.

Here, adultery is punishable by stoning to death. Homosexuals have been thrown in jail or lashed in public with rattan canes. Women are forced to wear headscarves and told, please, no tight pants.

It's not clear why police decided to hone in on punks.

Though pierced and tattooed teens have complained for months about harassment, Saturday's roundup at a concert attended by more than 100 people was by far the biggest and most dramatic bust yet.

Baton-wielding police scattered fans, many of whom had traveled from other parts of the sprawling archipelagic nation to attend the show.

Hasan said 59 young men and five women were loaded into vans and brought to a police detention center 30 miles (60 kilometers) from the provincial capital, Banda Aceh.

They would spend 10 days getting rehabilitation, training in military-style discipline and religious classes, including Quran recitation, he said. Afterward, they'll be sent home.

Twenty-year-old punker, Fauzan, was mortified.

"Why? Why my hair?!" he said, pointing to his cleanly shaven head. "We didn't hurt anyone. This is how we've chosen to express ourselves. Why are they treating us like criminals?"

The women, some in tears, were given short, blunt bobs.

Hasan insisted he'd done nothing wrong.

"We're not torturing anyone," the police chief said. "We're not violating human rights. We're just trying to put them back on the right moral path."

However, Nur Kholis, a national human commissioner, deplored the detentions, saying police have to explain what kinds of criminal laws have been broken.

"Otherwise, they violated people's right of gathering and expression," Kholis said, promising to investigate.
Aceh — where Islam first arrived in Indonesia from Saudi Arabia centuries ago — enjoys semiautonomy from the central government.

That was part of a peace deal negotiated after the 2004 tsunami that killed 170,000 people in the province convinced both separatist rebels and the army to lay down their arms. Neither side wanted to add to people's suffering.

Some local governments in other parts of the country — which has seen tremendous changes with lighting-speed economic growth and modernization since the ouster of longtime dictator Suharto one decade ago — also have tried to ban "immoral" behavior, like drinking alcohol, gambling and kissing in public.

They've met with limited success, however, largely because most of the country's 200 million Muslims practice moderate forms of the faith. [The Associated Press]

Sumber: http://news.yahoo.com/hard-line-indonesian-police-shave-punkers-mohawks-093221992.html

Senin, Agustus 27, 2012

Tentang Jurnalis yang Terbunuh

KONFLIK merupakan wilayah yang acap disukai kalangan jurnalis. Banyak media mengirimkan jurnalisnya untuk meliput konflik atau peperangan di sebuah daerah atau negara. Kadang-kadang, liputan konflik/perang menempati kasta utama dalam sebuah wish-list liputan untuk mendongkrak pengalaman --dan juga karir.

Selain konflik dan perang, hot zone lain bagi jurnalis adalah liputan isu politik. Banyak wartawan yang menyukai liputan bertemakan ini. 

Isu konflik/perang dan politik inilah, yang kemudian menjadi bumerang bagi jurnalis itu sendiri. Committee to Protect Journalist, sebuah lembaga berkantor di New York, Amerika Serikat, mencatat, pada 2012, 50 persen kematian jurnalis diakibatkan meliput perang dan 53 persen mati karena liputan isu politik.

Kasus teranyar kematian jurnalis dalam liputan perang menimpa Mika Yamamoto, jurnalis Jepang. Ia tewas dibunuh oleh milisi Al-Asad di Suriah dalam sebuah liputan, pada 20 Agustus 2012.

Berikut adalah kultwit saya tentang petaka yang menimpa jurnalis di seluruh dunia, berdasarkan data dari Committee to Protect Journalist. Kultwitt ini saya lakukan melalui akun @efmg dengan tagar (hastag) #jurnalis #cpj dan #TahukahAnda. 

Selamat menikmati. .. (feel free to follow me at @efmg)

1. , 34  terbunuh sepanjang 2012 di seluruh dunia. 

2. , 929  terbunuh sejak 1992. Sementara 473 jurnalis hidup di pengasingan di seluruh dunia. 

3. Kasus teranyar kematian  saat bertugas dialami dari Japan Press. Ia tertembak saat meliput konflik Syiria. 

4. Pada 24 Mei 2012,  ditembak mati o/ 4 pria bersenjata di Mogadishu, Somalia. Ia  Shabelle Media Network. 

5.  ditembak mati di Galkayo, Somalia, pd 2-5-2012. Ia  Radio Daljir, Simba Radio.  

6. , Syiria merupakan negara paling berbahaya bg di thn 2012. Di sini, ada 18 kasus  killed. Gmn dg Indonesia?

7. Sepanjang 2012, 1  terbunuh di Indonesia, yaitu Leiron Kogoya, Papua Pos Nabire, Pasifik Pos Dail, pd 8-4-2012. 

8. Hari ini, saya akan kembali mentwit ttg kasus kematian  di dunia, base on data dari  Committee to Protect Journalist.

9. , sepanjang 2012, 6  terbunuh di Somalia.

10. , Somalia menjadi negara nomor 2 paling mengerikan bagi . Ini artinya setelah Suriah (16 tewas). 

11. , Brazil menjadi negara ketiga paling mengerikan bagi, setelah tiga wartawan di negara ini terbunuh. 

12. , di Indonesia,India,Nigeria,Pakistan,Ecuador,Banglades, Bahrain,Lebanon,&Thailand, msg2 satu  terbunuh di 2012.

13. 41%  tewas dlm kontak tembak, 9% liputan berbahaya, dan 47 persen akibat dibunuh. 

14. Pd 2011, 86  terbunuh saat jalankan tugas. Menurut , 47 motive confirmed, 34 motive unconfirmed. 5 lainnya pekerja media

15.  yg terbunuh pd 2011, 60% meliput isu politik, 21% kriminal, 19% liput perang, 17% isu korupsi, 15% isu HAM, & 6% isu budaya.

16. Lagi2,  yg tewas kala bertugas krn "dibunuh" (47%). Lalu krn "liputan berbahaya" 38%. Yg tewas dlm perang 15%. 

17. Pd 2011, Pakistan menjadi negara paling berbahaya bagi . Di sini, 7 jurnalis tewas. Lalu ada Irak dan Libya (msg-msg 3 tewas).

18. Mnrt CPJ, tiada  yg trbunuh di Indnesia pd 2011. Mexico,Brazil->3 org, Di Suriah,Mesir,Filipin,Afgan,Bahrain,Yaman,Somalia->2 org.

19. 34%  yang terbunuh itu berstatus Freelance. 

20. Pd 2011, pembunuhan terhadap  dilakukan oleh kelompok kriminal (32%). Pada 2012 berubah jadi "kelompok politik" (56%).

21. Sbnyk 179  dipenjara pd 2011. Iran (42 jurnalis), Eritrea (28), China (27), Burma (12), Suriah (8), Turki (8), Israel (7). 

22. "Tidak ada berita yang lebih berharga ketimbang nyawa". Closing soal petaka yg menimpa  di dunia. Thanks.

23. Thanks. Semoga kt terhindar dari bahaya kala bertugas sbg   

24. Resources, tips for journalists covering conventions

25. Jurnalis Jepang Tewas Dibunuh Milisi Pro-Assad 

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting