Jumat, Desember 19, 2008

Mari Lempar Sepatu: Sebuah Permainan

Muntadhar el-Zaidi mendadak terkenal setelah melempar sepatu ke Presiden Amerika Serika George Walker Bush Junior dalam sebuah konferensi pers bersama Perdana Menteri Irak di Bagdad. Aksi wartawan televisi al Baghdadiya ini heboh. Tak ada yang menyangka akan ada pemberani yang melemparkan Bush, dengan sepatu lagi.

Di dunia Arab, melempar sepatu merupakan tindakan amarah dan menghina. Tidak ada penghinaan yang lebih besar selain melempar sepatu atau mengarahkan sepatu ke orang yang dibenci. Aksi ini bisa dipahami, karena Bush berubah menjadi monster di wajah jutaan warga Irak yang menderita akibat perang menggulingkan Saddam Hussein.

Sekitar 5 juta anak-anak dan istri kehilangan ayah dan suami akibat invasi militer yang dilakukan Bush. Aksi Bush itu tanpa ada restu dari Badan Perserikatan Bangsa-bangsa, yang memang impoten dalam menghadapi Amerika Serikat. Alih-alih ingin membebaskan warga Irak dari kediktatoran Saddam Hussein, aksi Bush malah berubah menjadi pendudukan, yang kemudian warga Irak lebih suka menilai aksi Amerika itu sebagai bentuk penjajahan. Ini adalah penjajahan yang dilakukan Amerika terhadap Negeri 1001 Malam itu.

Makanya, aksi Munthadar el Zaidi itu disambut suka cita oleh warga Irak. Ini menjadi representasi kemarahan warga Irak terhadap Bush, yang telah menghancurkan negeri mereka. Aksi pemberani Zaidi memang harus dibayar mahal. Pelaku harus berhadapan dengan pengadilan. Dia ditahan dan diinterogasi berjam-jam oleh militer Irak dan Amerika. Bahkan, el Zaidi harus mengalami patah tangah dan rusuk, akibat dikasari oleh militer Amerika dan Irak.

Tapi, Zaidi tak menyesali perbuatannya. Ini adalah bentuk perlawanan dia terhadap penjajahan Amerika Serikat. Di dunia maya, para pembuat permainan di Internet, memanfaatkan momentum aksi pelemparan sepatu ini dengan menciptakan mainan baru, yang unik. Sehingga, Muntadhar el Zaidi tak seorang diri melempar Bush.

Game yang bisa Anda main di http://play.sockandawe.com/ ini ingin mengajak semua kita melemparkan sepatu ke arah Bush. Ini adalah bentuk kebencian kolektif yang dicoba kembangkan. Tapi, ini adalah kebencian secara lucu-lucuan, hanya sekadar untuk menghilangkan kepenatan.

Kamis, Desember 04, 2008

Koran Merah: Tak Mendidik


Pagi ini, saya terhenyak, karena seorang kawan yang lagi baca koran Metro Aceh protes. "Dasar wartawan," kata seorang kawan. Saya yang lagi buka laptop, terhenyak. Apa gerangan nih.Kok "profesi" yang katanya mulia ini dikecam. Saya lalu nanya dan dia memperlihatkan sebuah berita yang dimuat di Harian Metro Aceh. Judulnya besar-besar. Warna merah. "Darah Perawan di Sprei Jadi Bukti, Digrebek Mahasiswi Zina di Hotel".

"Ini kayak kita baca Pos Kota saja," timpal teman yang lain.

"Seharusnya tidak dimuat seperti ini. Gak cocok dengan masyarakat kita," timpal kawan yang pertama protes.

Saya hanya bisa membela diri. "Itu wartawan yang nulis berita lagi nafsu."

Di Serambi Indonesia kemarin, saya juga mendapati berita ini. Tapi tak sevulgar yang di Metro Aceh. Di Serambi hanya disebutkan kata bercak darah di sprei dalam beritanya. Seingat saya diulang dua kali. Ini mungkin si wartawannya untuk make sure bahwa data ini penting. Pertanyaannya, apakah data ini penting sehingga harus diulang untuk kedua kalinya?

Yang di Serambi memang tak terlalu jadi persoalan, bagi saya. Tapi di Metro Aceh, kok ndak diperhalus sedikit judulnya. Apalagi di judul besar, "DIGREBEK! MAHASISWI ZINA DI HOTEL". Emang bisa yakkk, seorang dikatakan berzina, seorang diri. Ke mana pelaku zina satu lagi. BUkankah ada satu lagi si LELAKI yang juga terlibat indehoi di hotel itu?

"Masa kalau yang jelek-jelek perempuan yang ditonjolkan. Kami protes," kata teman saya, yang cewek, langsung membuang koran itu ke tong sampah.

"Kenapa yang lakinya gak dibikin di judul?" serapah dia lagi.

Saya tak bisa berkomentar. Hanya bisa senyam-senyum saja. Buat apa saya bela berita semacam itu, pikir saya. "Protes aja ke korannya. Bilang, suruh training wartawan agar nulis yang berimbang," saya lagi-lagi membela diri.

Benar-benar saya tidak bisa berkutik dengan dua teman yang kritis dalam membaca berita di media. Andai ada banyak pembaca kritis, saya yakin, media ini tak tumbuh subur. Tapi memang, segmentasi media tetap ada dan media itu akan tetap terjaga kelangsungan hidupnya.

Semoga, protes teman saya ini dibaca oleh si pembuat berita ini dan media Metro Aceh. Semoga juga, ke depan sedikit ada perubahan. Mengharapkan perubahan drastis dari media itu, memang mustahil. Karena platform media ini memang dibangun mengarah pada seks dan kriminalitas. Di manakah peran media ini untuk mencerdaskan anak bangsa?

Rabu, Desember 03, 2008

Sepucuk Surat Jadul


Kemarin, saya menerima sepucuk surat dari salah seorang pekerja media. Posisinya di bagian iklan. Nah, surat yang dikirimin ke saya, dalam sepucuk kertas yang ditulis tangan. Di bawahnya, dia membubuhi tandatangan dan nomor telepon selular. Sudah lama sekali saya tidak menerima surat. Ya surat tulisan tangan. Pasalnya, sekarang kan era digital. Sarana komunikasi pun sudah canggih. Ada telepon selular, telepon fixed line (telpon rumah). Ada fasilitas email. Bahkan chatting. Tapi yang bekerja di media ini, eh malah mau konsultasi soal iklan dengan surat.

Benar-benar di luar perkiraan saya. Padahal, kalau dia mau konsultasi, ya tinggal pencet nomor ponsel saya. Ponsel tak pernah saya matikan, kecuali kalau sedang dalam kondisi habis batre. Malam pun, posisi ponsel saya dalam keadaan standby. Saya juga bisa dihubungi melalui YM, Google Talk, Windows Live Messanger. Atau, saya juga bisa dihubungi melalui sejumlah alamat email. Ada yang @yahoo.com, @gmail.com, @live.com atau @hotmail.com.

Kenapa harus melalui surat dan disampaikan melalui orang lain? Ini kayak orang pacaran saja. Saya jadi teringat waktu masih mahasiswa, enam tahun silam. Saat itu, saya belum punya telepon. Jadi, mau hubungi orangtua di kampung untuk bertukar kabar dan meminta dikirimin duit, ya harus melalui surat, yang saya titipkan di bus milik orang kampung saya.

Kalau mau pake email, orangtua saya gak punya email, gak ngerti komputer dan gak ngerti internet. Wajar, karena di zaman mereka memang belum ada internet. Tapi ini, di zaman serba canggih, internet adalah kebutuhan. Jadi, saat menerima sepucuk surat itu, saya jadi tertawa geli... Apakah ini kita kembali ke zaman dulu?

Sabtu, November 22, 2008

AJI Banda Aceh Dirikan Sekolah Jurnalistik

Oleh FAKHRURRADZIE GADE

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh mendirikan sekolah jurnalistik pertama di Aceh yang dinamakan Muharram Journalism College (MJC). Muharram College membuka tiga kelas, yaitu media cetak, radio, dan televisi. Sebanyak 60 mahasiswa telah dinyatakan lulus untuk mengikuti ketiga program pendidikan itu.Muharram College diresmikan, Sabtu (22/11), oleh Debra Bucher, perwakilan Development and Peace (D&P), sebuah organisasi non-pemerintah asal Kanada yang terlibat dalam memulihkan kembali Aceh pascatsunami, bersama Hj Nur Asiah, ibunda (alm) Muharram M. Nur, mantan ketua AJI Banda Aceh periode 2002-2004.
Rektor Muharram College Maimun Saleh mengatakan, sekolah ini lahir sebagai bentuk kepedulian AJI Kota Banda Aceh terhadap peningkatan mutu jurnalis di Aceh. Apalagi, selama tiga tahun terakhir ini AJI berkonsentrasi dalam pengembangan kapasitas jurnalis dan pekerja pers kampus.
“Sekolah ini hanyalah upaya untuk mensentralkan dan mengintensifkan metode pembelajaran. Peserta tak hanya dibahani dengan teori, tapi juga akan dimaksimalkan dengan praktik lapangan,” kata Maimun Saleh yang juga Sekretaris AJI.
Muharram College membuka tiga jurusan, yaitu Jurnalisme Cetak, Jurnalisme Radio, dan Jurnalisme Televisi. Bagi mahasiswa kelas cetak, Muharram College menyediakan fasilitas laboratorium. Di sini mereka bisa belajar bagaimana menulis dan mengolah berita, dan bagaimana mengelola newsroom. Sementara untuk kelas radio dan televisi, Muharram College menyediakan fasilitas studio.
“Jadi, setelah mereka memperoleh teori dari ruang belajar, mereka bisa langsung praktik bagaimana sesungguhnya news gathering dan mengelola media. Ini adalah upaya regenerasi yang dilakukan AJI,” ujar wartawan Majalah ACEHKINI itu.
Ketua AJI Kota Banda Aceh Muhammad Hamzah mengatakan, Muharram College bertujuan untuk mendidik jurnalis muda yang professional dan bertanggungjawab. Sehingga berita-berita yang disajikan oleh media massa kepada publik menjadi semakin berkualitas. Apalagi selama ini dirasakan adanya kesulitan regenerasi, terutama di level penulis dan redaktur.
Dia menambahkan, Muharram College terbuka bagi siapa saja. Sebanyak 60 mahasiswa yang telah dinyatakan lulus seleksi terdiri atas mahasiswa di berbagai perguruan tinggi, pegiat pers kampus, dan jurnalis pemula. “Kita berharap setelah mereka belajar selama enam bulan di sini, bisa menyajikan informasi yang benar, akurat, dan jujur kepada publik,” kata Muhammad Hamzah.
Muharram College berasal dari nama mantan Ketua AJI Banda Aceh yang menjadi korban dalam musibah tsunami akhir 2004 silam, yaitu Muharram M. Nur. Yang bersangkutan, usai gempa menggoyang Aceh pada 26 Desember 2004 berusaha mengabadikan penjara Kajhu yang hancur. Tak berapa lama usai gempa, tsunami menerjang Aceh dan merenggut jiwa ratusan ribu warga. Muharram salah satu dari 27 jurnalis yang menjadi korban ganasnya gelombang gergasi di pagi Ahad itu.
Semasa hidupnya, Muharram yang bekerja untuk Tabloid Kontras, dikenal sebagai jurnalis handal, profesional, berani, dan bertanggungjawab. “Hari ini, Aliansi Jurnalis Independen mengabadikan nama beliau menjadi nama kampus, guna meneruskan perjuangannya dalam menggapai cita-cita untuk mencetak para jurnalis bermutu dan profesional,” ujar Hamzah.
Sementara itu, Koordinator Tsunami Response Development and Peace Debra Bucher, menekankan pentingnya peran jurnalis saat Aceh masih dalam masa transisi ini. Menurutnya, media memainkan peran besar dalam menjaga perdamaian yang berkelanjutan, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, dan persamaan gender di Aceh.
“Media akan memberikan kekuatan yang besar untuk membentuk cara kita berpikir dan masalah yang kita pikirkan. Untuk alasan ini, media mempunya peran penting bagi Aceh masa kini,” kata Debra.
Karena itu, kata Debra, saat AJI Banda Aceh menyatakan rencana pembentukan sekolah untuk mengkader jurnalis bermutu di Aceh, D&P langsung menyatakan kesetujuannya. “Sekolah ini akan memberikan kepada wartawan dan mahasiswa untuk memperkuat pengertian mereka dan kapasitasnya dalam mendukung perdamaian abadi, pengormatan terhadap HAM, dan persamaan gender. AJI percaya bahwa ketiga hal itu memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai potensi yang mereka miliki,” ujarnya.
Debra menambahkan, banyak jurnalis di Aceh yang tidak memiliki akses untuk pendidikan secara formal dalam meningkatkan kapasitas dan profesionalitas jurnalistiknya. Kesulitan akses ini berimplikasi pada mutu jurnalis dan kesulitan regenerasi. “Ini mengakibatkan perdamaian abadi, penghormatan terhadap HAM, dan persamaan gender seolah-olah terlupakan oleh media di Aceh,” kata dia.
Anggota Dewan Pers Bekti Nugroh0 dalam sambutannya mengatakan, AJI Banda Aceh telah mendahului Dewan Pers dalam mendirikan sekolah jurnalistik. “Sebenarnya, Dewan Pers sejak setahun lalu berencana mendirikan sekolah jurnalistik, namun terkendala dengan dana. Tapi AJI Banda Aceh telah mendahuluinya,” kata Bekti. Dia berharap, sekolah ini bisa meningkatkan kapasitas dan profesionalisme jurnalis di Aceh. [dzie]

Rabu, November 19, 2008

Crowded


Pagi ini, saya ngeteh di kawasan Simpang Surabaya. Saya memang jarang nongkrong di warung kopi. Tapi pagi ini, entah kenapa saya pingin sekali duduk di warung sebelum ngantor.

Ternyata, lalulintas jalan raya di Banda Aceh sangat padat. Udah lama gak lihat pemandangan ini. Soalnya, setiap ngantor saya tak harus terjebak kepadatan lalulintas. Banda Aceh semakin crowded.

Sent from my phone using trutap


Selasa, November 18, 2008

Wartawan Ikut Pelatihan "Ngeblog"

Oleh HARI TEGUH PATRIA
Serambi Indonesia

Sejumlah wartawan mengikuti pelatihan blogging gratis. Kegiatan itu diselenggarakan di Laboraturium Komputer Fakultas Ekonomi (FE) Unsyiah, Darussalam, Sabtu (15/11).Pelatihan ini difasilitasi Information Technology Community (ITC) FE Unsyiah, dengan pemateri Kusnandar Z, pegiat IT di Banda Aceh.
Dalam pelatihan tersebut, para wartawan diperkenalkan membuat blog atau website pribadi. Selain itu dituntun cara mengelola blog dengan baik.
Alaidin Ikrami, wartawan lepas di Banda Aceh mengatakan, pelatihan ini membantu meningkatkan wawasan wartawan di bidang media digital. "Saya menjadi lebih mahir dalam mendesain dan mengelola blog, agar dapat menarik minat pengunjung untuk membaca tulisan yang disiarkan. Keterampilan ini membangkitkan semangat dan meningkatkan kemampuan saya dalam menulis," kata pria tambun yang akrab dipanggil Didin ini.
Ditambahkan, dirinya membuat blog pribadi karena ingin menceritakan suatu peristiwa dengan pendekatan lebih personal. Kadang, tulisan itu tidak dapat dimuat lewat media main stream. "Yah, bisa dibilang behind the scene dari suatu peristiwa lah," katanya.
Selain wartawan, ITC FE juga memberikan pelatihan gratis bagi pengurus OSIS dari 5 SMA di Banda Aceh. Kegiatan itu dilaksanakan setiap Minggu. Dengan pelatihan ini, diharapkan OSIS dapat memberikan informasi informasi berkaitan kegiatan sekolah yang dilakukan.
"Sebenarnya sudah 15 SMA di Banda Aceh yang kami undang mengikuti pelatihan ini. Namun, hanya lima SMA yang mengkonfirmasi keikutsertaannya. Perkembangan mereka akan terus dimonitor. Yang teraktif akan kami berikan nama domain dan hosting gratis selama setahun," kata Iskandarsyah Madjid Phd, Kepala Lab Komputer FE Unsyiah, didampingi Kusnadar. Menurut dia, pelatihan pelatihan seperti ini merupakan komitmen ITC FE untuk memajukan bidang TI di Aceh.

Sementara itu, pelatihan sejenis juga dilangsungkan Aceh Blogger. Komunitas ini memanfaatkan momentum Aceh Blogger Day untuk mengelar workshop blogging gratis bagi pelajar SMA. Kegiatan itu dilaksanakan di Laboratorium komputer Kandatel Telkom Aceh, Banda Aceh, Sabtu Minggu (15 16/11) lalu.
Fadli Hasan selaku ketua pelaksana mengatakan, workshop blogging
gratis se SMU Banda Aceh menggunakan tema 'Education for Tomorrow'. Para pelajar diperkenalkan blog, membuat akun blog hingga mengelola blog.(tri)

Kamera, Bulu Babi, dan Kencing [Tamat]

Beruntung, kawan yang yang kena bulu babi cepat mendapat pertolongan. Kami berempat berenang sambil foto-foto dengan kamera bawah laut. Eh, saat bergaya di depan kamera dalam air, kawan saya itu menginjak bulu babi.

"Kakeunong lon," kata kawan itu sambil memperlihatkan kakinya yang ditusuki binatang berwarna hitam itu. Ia berwujud duri. Enam tusukan membekas di dekat tumitnya.

Segera saja, dia merapat ke darat. Saya menyusul di belakangnya. Uh, betapa saya ngeri melihat dia tertusuk bulu babi. Saya jadi ngeri. Pasalnya, waktu kecil saya melihat ada orang yang terkena bulu babi dan kutuka (berbentuk daun) dan mengeluarkan banyak darah. Makanya, begitu sampai di darat, saya langsung mencari pertolongan pertama.

Nah, sebelum menceburkan diri ke laut. Saya sempat ngobrol-ngobrol dengan Rozak. Dia warga Sabang. Kulitnya hitam legam. Rambutnya nyaris keriting. Intonasi bicaranya, mirip bule. Saya teringat gaya bicara orang Ambon atau Papua, mendengar gaya bicara Rozak.

Dia suka menyelam. Sejak dua bulan lalu, dia bergabung dengan Dodent, melestarikan terumbu karang di perairan Iboih dan Pulau Rubiah. Ini aktivitas barunya. Dan dia menikmati aktivitas itu.

Kata Rozak, kalau kena bulu babi, "harus dipipi..."

"Dipipi?" tanya seorang kawan.

"Iya."

"Pipis maksudnya."

"Iya." Ekspresinya datar.

Dia lalu ngobrol banyak, dengan logatnya yang kebarat-baratan. Informasi yang diberikan Rozak, sangat berguna. Makanya, ketika kawan terkena bulu babi, saya buru-buru menenggak Aqua. Tujuannya, apalagi kalau bukan agar sesak pipis.

Cihaaaaa... Di tempurung kelapa pipis ditampung. Sedikit cuma, tapi cukup lah untuk merendam kaki kawan yang terkena bulu babi. “Rendam di bagian yang kena bulu babi,” kata Bukhari. Pria ini sudah berumur. Sehari-hari, dia menyewakan alat-alat snorkling kepada turis yang ingin berenang dan menikmati bawah laut Iboih. Tepatnya di Teupin Srukuy.

“Setelah direndam, kakinya jangan kena air dulu, sekitar setengah jam,” kata Bukhari.

Setengah jam lebih, kaki kawan itu direndam di tempurung berisi kencing. Syukur, mujarab. Seketika tusukan bulu babi tak terasa lagi.

Sebenarnya, kalau saja Rozak ngasih informasi tambahan, tak perlu harus dikencingi. Cukup siram atau rendam pakai cuka saja. Lebih aman, hehe... [tamat]

Kamis, November 13, 2008

Good nite


Malam di Iboih menyenangkan. Kota Sabang terlihat ibarat kota di tengah lautan. Kilauan cahaya lampu membentuk garis indah di lautan.

Temaram cahaya bulan memantul di lautan, diombang-ambing riak. Ditambah lg bulan purnama yg hanya memantulkan sedikit cahaya sembari bersembunyi di awan hitam.

Tentu, pemandangan ini kami manfaatkan unt foto-foto. Agak narsis siy. Tp tak apa, yg penting bisa jadi kenangan indah.

Jelang tengah malam, cuaca semakin dingin. Angin malam makin kencang sehingga laut yg tadinya tenang, berubah jadi ribut. Riak menampar pasir pantai yg telah abrasi.

Saya, tak kuasa menahan kantuk. Baiklah, saya beranjak tidur dulu menyusul dua teman yg telah lebih dulu ke peraduan.

Good nite Iboih.

Sent from my phone using trutap


Kamera, Bulu Babi, dan Kencing


Ke Pantai Iboih tak lengkap kalau tidak snorkling. Sejak pagi, saya bersama empat kawan langsung ke tempat penyewaan alat snorkle.

Mulanya, Maimun yg terjun ke air tanpa peralatan. Tak puas, dia lalu menyewa alat snorkle pd Bukhari. Harganya per alat 15.000. Dia menyewa kacamata, jaket, dan sepatu diving.

Bak penyelam profesional, dia memakai peralatan dan mengapungkan diri di laut.

Kata dia, pemandangan bawah laut indah. Ada beragam ikan hias berwarna-warni. Sayang, terumbu karang rusak sudah. Tsunami 2004 menyebabkan banyak biota laut rusak.

Ucok dan saya yg tadinya hanya berdiri di pantai berpasir putih, tergiur.

Ucok lantas menyewa peralatan dan menceburkan diri ke laut. Sekitar 15 menit kemudian, ikut serta. Jadilah kami bertiga menikmati pemandangan bawah laut.

Memang, pemandangan underwater di laut Teupin Seureukuy bagus. Ada ikan warna-warni beragam ukuran, bintang laut, gurita, neemo. Yg paling banyak adalah bulu babi, warnanya hitam.

Nah, saya paling takut sama makhluk satu ini. Kalau tertusuk, bisa berabe. Sakit minta ampun.

Konon, kalau pertolongannya telat, racunnya bisa menjalar ke seluruh tubuh.

To be continued.

Sent from my phone using trutap


Good Evening Iboih


Malam di Iboih menyenangkan. Kota Sabang terlihat ibarat kota di tengah lautan. Kilauan cahaya lampu membentuk garis indah di lautan.

Temaram cahaya bulan memantul di lautan, diombang-ambing riak. Ditambah lg bulan purnama yg hanya memantulkan sedikit cahaya sembari bersembunyi di awan hitam.

Tentu, pemandangan ini kami manfaatkan unt foto-foto. Agak narsis siy. Tp tak apa, yg penting bisa jadi kenangan indah.

Jelang tengah malam, cuaca semakin dingin. Angin malam makin kencang sehingga laut yg tadinya tenang, berubah jadi ribut. Riak menampar pasir pantai yg telah abrasi.

Saya, tak kuasa menahan kantuk. Baiklah, saya beranjak tidur dulu menyusul dua teman yg telah lebih dulu ke peraduan.

Good nite Iboih.

Sent from my phone using trutap


Rabu, November 12, 2008

Mengenang Seratur Hari Sang Sahabat


Malam ini, tepat 100 hari kepergian sahabat kami, Ridwan H. Mukhtar. Kawan2 di Partai Rakyat Aceh, kolega RHM, bikin acara khusus 100 hari, di Episentrum Ule Kareng. Saya berencana hadir, tp sayang, saya harus liputan ke Sabang.

Risman A. Rahman, kolega RHM, mengirimi puisi mengenang almarhum. Berikut puisinya.

"Kala mata tertuju langit, aku ingat akan senyum manismu. Kala tangan menyentuh bumi aku ingat akan kata bijakmu. Kala kaki ku gerak kan kau sapa aku dengan candamu. Disini, kala seratus hari kepergian mu, aku merinduimu teman. Tidur lah dengan nyenyak krn kala kau terjaga pasti kita kan bersua, dihamparan padang tuhan. (puisi unt sahabat ridwan) risman"

Selamat jalan sahabat.

Sabang, Rabu malam, 12 Nov.

Sent from my phone using trutap


Nite in Iboih, Sabang


Malam baru saja mengepung saat kami tiba di Pantai Iboih, Sabang. Gelap menguasai kawasan wisata itu, ditambah lagi listrik tak menyala. Jadilah kita gelap-gelapan.

Perjalanan dari Kota Sabang ke Iboih memakan waktu sejam dg bis L300. Jalanan lumayan payah. Dari kota, agak bagus. Aspal mulus. Beberapa alat berat masih ada di pinggir jalan.

Sekitar 4 km dari kota, jalan beraspal mulai hilang. Kini, hanya jalan berlubang menyambut kami. Uh, benar-benar tidak nyaman. Mana jalan penuh tanjakan. Benar-benar melelahkan.

Tapi, keletihan itu benar2 ilang setelah disuguhi pemandangan yg indah. Amazing!

Malam di Iboih, kami bermalam di bungalow. Kak Lina, pemilik bungalow, menyiapkan tempat istirahat yg lumayan luas. Cukup unt kami berempat.

Tempatnya asyik. Ada teras di dpn kamar yg mengarah ke laut. Lampu terang bak kunang-kunang malam. Itu adalah lampu yg menerangi Kota Sabang. Eksotis.

Laut malam ini begitu tenang. Riak kecil menyapu pantai, mengeluarkan suara khas. Cahaya bulan memendar-mendar melukis cahaya di atas laut Iboih.

Malam di Iboih benar-benar mengasyikkan. Saya masih harus menunggu keindahan lain yg disajikan Iboih saat matahari mengusir malam.

Sent from my phone using trutap


ACEHKINI Goes to Sabang


Sore ini, serombongan wartawan ACEHKINI bertolak ke Sabang. Pagi tadi, sempat ketinggalan kapal cepat dan lambat.

Ke Sabang, selain liburan, juga ada agenda unt liputan sejumlah objek unt edisi Desember.

Well, saya udah lama sekali tdk menginjakkan kaki di pulau terluar Indonesia itu.

Sent from my phone using trutap


Selasa, November 11, 2008

Monumen Tsunami di Desa Lambung


Tsunami 2004 lalu menyebabkan 1.230 warga Desa Lambung, Kec. Meuraxa, Banda Aceh meninggal dunia.

Hari ini, secara nasional pemerintah membunyikan alarm tsunami pd pkl 12 nanti.

Sent from my phone using trutap


My W910i is back


Tengkiyu Sony Ericsson. Ponsel saya tipe Walkman 910i yg sering saya jadikan modem koneksi HSDPA dan teman mendengar musik saat bersepeda di akhir pekan, telah kembali.

Sejak empat bulan lalu, tepatnya usai bersepeda menelusuri rute Blang Padang - Lampeuneurut - Pegunungan Mata Ie - Lhoknga - Lueng Bata, ponsel saya rusak.

My black shake, nama ponsel itu, tiba-tiba padam. Sebelumnya, ia panas bukan main di bagian batre dan mesin. Jadilah saya tdk bisa mengeksplorasi dunia maya in my fingertips lagi.

Padahal, perangkat ini sangat penting bagi saya. Selain menerima dan berkirim email, saya juga menjadikan W910i sebagai perangkat kerja unt mengunggah berita ke acehkita.com. Tentu, selain chatting dg teman2.

Kini, W910i telah kembali, mendukung akses mobile saya.

Oya, ponsel saya yg rusak mesin dan ada lecet2 di frame dan casing, kini telah baru. Sony Ericsson Indonesia menggantinya dg ponsel baru. Thank Sony Ericsson.

Sent from my phone using trutap


Selasa, November 04, 2008

Finally...


Finally, majalah ACEHKINI terbit tepat waktu. Nantikan kehadiran edisi November pada Jumat nanti. Mengupas tuntas kepulangan Hasan M. di Tiro, bulan lalu.

Sent from my phone using trutap


Illegal Logging


Selama sepekan berada di kampung, Keumala, saya jadi sering disuguhi pemandangan para penebang liar menurunkan kayu. Miris!

Satu hari, saya melihat ada enam kali becak membawa kayu liar. Umumnya telah diolah jadi papan dan balok. Mereka membawa hasil penebangan liar secara terang2an. Warga juga cuek. Penebangan liar itu terjadi di pegunungan Tangse dan Keumala Dalam.

Membawa hasil tebangan liar melalu jalan kampung saya, memang aman. Tak ada polisi. Kalau via jalan hitam, pasti berurusan sama polisi.

Sent from my phone using trutap


Senin, November 03, 2008

Its Done!


Alhamdulillah, doa tujuh hari unt almarhum Abi terlaksana sudah. Terimakasih atas solidaritas, doa, dan bantuan yg telah kawan2 curahkan, terutama kawan2 jurnalis, BRR staf, dan kawan2 lain yg tak mungkin disebut satu demi satu. Tengkiyu sahabat.

Bantuan, doa, dan solidaritas jg diberikan oleh seluruh warga Desa Cot Nuran, Keumala, yg sejak jenazah tiba dari rumah sakit telah memperhatikan kami. Hari2 selama kami berkabung, mereka bahu membahu membantu keluarga kami. Para pelayat jg telah menghibur, sehingga kami tak larut dalam duka.

Ya Allah, kami tak sanggup membalas jasa mereka. Mohon catat jasa, solidaritas, doa, dan bantuan mereka sebagai amal baik mereka. Permudah segala urusan saudara kami itu ya Rabb.

Jabat erat,
Kami yg berduka,
Keluarga Besar Nyak Gade Manaf

Sent from my phone using trutap


Lam Kutang


Frasa ini tak ada kaitan dengan pakaian dalam wanita. Ia hanya akronim dari calon distrik baru di Aceh, yaitu Lamlo, Keumala, Tangse, Geumpang.

Lam Kutang, its begin from Tanjong Bungong to Gunong Aneuk Manyak. Tanjong Bungong sebuah dusun di Desa Mali Cot Lamlo. Ia merupakan tanah kelahiran Hasan Muhammad di Tiro, pendiri Aceh Merdeka, yg di akhir 70-an memperkenalkan kembali nasionalisme Aceh.

Sementara Gunong Aneuk Manyak adalah sebuah pegunungan di Geumpang, yg berbatasan langsung dengan Aceh Barat. Itu merupakan kawasan kaya hutan.

Ide pemisahan Lam Kutang dg Pidie terus mencuat. Ide ini kan terus diperjuangkan.

Sent from my phone using trutap


Minggu, November 02, 2008

Thank for INDOSAT


Sinyal Kuat INDOSAT memang dapat diandalkan. Selalu membuat saya terhubung dengan Internet, dengan harga super MURAH. Thank Sinyal Kuat INDOSAT.

Sent from my phone using trutap


Rabu, Oktober 29, 2008

Dokter Sialan


Salah penanganan dan diagnosa, bisa berakibat fatal. Orang kena sakit Steven Jhonson Syndrome didiagnosa Febris. Jadilah pasien salah dikasih obat.

Ini adalah pengalaman pahit nan menyakitkan. Abi, yang semula hanya alergi obat, malah harus koma, yg berakibat meninggal. Ini akan kuingat sepanjang masa.

Saat diperiksa dokter di RSU Sigli, aku sempat bilang Abi alergi sama Amoxilin, Asam Metamat, Paracetamol dan yg sebangsa dgnya. Dokter cuma mengangguk. Dokter hanya periksa sebentar dan bilang tdk apa-apa. Secepat kilat dokter sialan itu beralih ke pasien lain, padahal Abi belum selesai bilang semua keluhan yg dideritanya. Besoknya, sakitnya tambah parah hingga kritis. Sialnya, pertolongan paramedis tak didapat. Lantas, kami minta pulang dan membawa Abi ke Fakinah dan dirawat di ICU hingga ajalnya.

Sent from my phone using trutap


Sabtu, Oktober 25, 2008

Masa Sulit


Tak pernah sesulit dan sesedih ini in the whole of my life. Sejak tiga hari lalu, Abi sakit. Steven jhonson syndrome alias keracunan obat. Ini kali kedua Abi sakit spt ini, setelah thn 2006 silam. Aku hanya bisa berdoa: semoga lekas sembuh.

Sedikit kecewa sih ama pelayanan rumah sakit, terutama dokter.

Sent from my phone using trutap


Kentang Gaul


Ini cerita ttg kekonyolan. Suatu Malam di bulan Mei silam, saya dan seorang kawan plus supir, mutar2 di Kota Lhokseumawe. Kami heran mendapati antrean puluhan orang di sebuah gerobak jajanan. Kentang gaul, judul jajanan itu. Bagi kami, ini menu baru. Maklum, belum pernah dengar.

"Kayanya menarik untuk dicoba," kata Icut pada saya.

Saya pikir, kenapa tak dicoba. Saya akhirnya memesan tiga porsi dg rasa berbeda.

Setelah menunggu skitar 30 menit, pesanan selesai. Kami mencicipi. O ow, hanya satu kali saja makan, kami tak bernafsu. Jadilah 3 porsi kentang gaul itu sia-sia. Atau jangan-jangan, saya, icut, dan bang ahmad (driver kami) yang tak gaul. Entahlah.

Sent from my phone using trutap


Jumat, Oktober 24, 2008

Bangsal Rumah Sakit


Gaduh, pesing, bau anyir, kotor. Laksana pasar ikan. Pasien, bisa tambah sakit. Kasian.

Sent from my phone using trutap


Minggu, Oktober 12, 2008

Enaknya Jadi Wartawan Bule

Oleh FAKHRURRADZIE GADE
[radzie@acehkita.com]

Sejumlah wartawan lokal sempat dilarang memasuki halaman Pendopo Gubernur Aceh. Tidak ada alasan yang jelas kenapa mereka dilarang masuk. Namun, wartawan yang bertampang bule dengan mudah bisa menerobos barikade penjagaan.

Banda Aceh, acehkita.com. Pengamanan kedatangan Hasan Tiro terbilang cukup ketat. Penjagaan dari anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) berlapis. Akibatnya, wartawan yang ingin meliput kepulangan Hasan Tiro pun tak leluasa. Bahkan, banyak wartawan yang harus kehilangan momentum. Ada juga yang dikasari anggota KPA.

Pengamanan super ketat itu mulai dirasakan wartawan saat mau mengurus badge khusus meliput Hasan Tiro di KPA. Pada awalnya, pengurusan badge bagi wartawan dipusatkan di kantor Partai Aceh di bilangan Jalan Sultan Mahmudsyah. Namun belakangan, pengurusan badge dipindahkan ke markas KPA di kawasan Lampaseh.

Saat mengurus badge, selain harus menyerahkan fotokopi kartu pers dan pasfoto, wartawan juga diharuskan menyerahkan satu lembar fotokopi kartu penduduk. Seorang wartawan senior di Banda Aceh menyebutkan, pengurusan badge peliputan yang diterapkan KPA sangat berbeda dengan pengalaman mengurus izin peliputan kedatangan presiden, baik presiden Indonesia maupun presiden/perdana menteri dari negara lain, yang tidak membutuhkan KTP.

Nah, saat hari H kedatangan Hasan Tiro, pengamanan ekstra ketat memang benar-benar terjadi. Mengantongi kartu peliputan yang dikeluarkan secara resmi oleh KPA tidak banyak membantu. Reporter AFP yang hendak meliput di Bandara Sultan Iskandar Muda hampir saja tidak diizinkan masuk. “Semula saya tidak dikasih masuk dulu. Tapi untung saya menenami kawan yang wartawan bule,” katanya, kesal.

Bahkan, seorang reporter media lokal sempat diminta untuk menunjukkan kartu tanda penduduk. Padahal, reporter media itu telah menunjukkan kartu pengenal yang dikeluarkan KPA dan kartu pers. Lagi-lagi, para penjaga pintu masuk meminta sang reporter menunjukkan KTP.

Belum lagi ada perlakuan yang berbeda antara wartawan lokal, nasional, dan internasional. Sejumlah wartawan lokal sempat dilarang memasuki halaman Pendopo Gubernur Aceh. Tidak ada alasan yang jelas kenapa mereka dilarang masuk. Namun, wartawan yang bertampang bule dengan mudah bisa menerobos barikade penjagaan. Bahkan, ada wartawan asing yang malah tak bertanda pengenal yang dikeluarkan KPA.

“Besok, kita jadi bule saja, biar gampang akses,” celetuk seorang fotografer ketika tertahan di pintu masuk.

Tak hanya susah mengakses area liputan, wartawan juga tak leluasa mengabadikan momen kepulangan Hasan Tiro karena banyaknya anggota pengamanan yang wara-wiri di depan kamera para wartawan. Akibatnya, seorang fotografer yang berusaha menerobos barikade pengamanan itu mengalami tindak kekerasan.

Pewarta foto itu pada mulanya hendak mengabadikan detik-detik Hasan Tiro keluar dari badan pesawat yang membawanya pulang ke Aceh. Namun, tiba-tiba ada petugas pengamanan yang berdiri di depannya. Terang saja dia mencari lokasi lain, dengan jongkok di celah-celah barikade. Namun entah kenapa, tiba-tiba ada yang menendang wajah fotografer.

“Saya awalnya berusaha menghargai mereka, tapi saat pesawat wali datang, mereka sudah tidak menghargai saya lagi dengan berdiri di depan kamera. Makanya saya terobos,” kata sang fotografer yang tak mau disebutkan namanya itu.

Perlakuan tidak mengenakkan juga dilakukan massa yang berusaha melihat dari dekat Hasan Tiro di halaman Masjid Raya Baiturrahman. “Saya kena lemparan kursi patah. Ada juga yang kena batu,” kata seorang wartawan media lokal. [dzie]

Sabtu, Oktober 11, 2008

Former rebel leader returns to Indonesia's Aceh

By FAKHRURRADZIE GADE, Associated Press Writer AP - Saturday, October 11

BANDA ACEH, Indonesia - Thousands of people greeted the founder of Aceh's separatist rebel movement Saturday upon his return to the Indonesian province following three decades in exile and a civil war that left thousands dead.

Hasan di Tiro's homecoming came a day after former Finnish President Martti Ahtisaari won the 2008 Nobel Peace Prize in part for helping negotiate an end to fighting between the Indonesian government and Free Aceh Movement rebels.

Supporters cheered and waved as the 83-year-old di Tiro arrived from Sweden and was taken by motorcade to the heart of the provincial capital, where he was to meet the governor and former rebels before traveling to his home village.

"Di Tiro's visit will add to our commitment to building peace and developing our province," said Aceh Vice Governor Muhamad Nazar.

The former rebel leader left Aceh soon after the 1976 war began and led the now-dissolved separatist group, known as GAM, from exile in Sweden, where he now holds citizenship. He is to return to Sweden next week.

Aceh, an oil- and gas-rich province of 4 million people on Sumatra island's northern tip, had experienced almost constant warfare for more than 140 years, with at least 15,000 people killed in the last round of fighting.

Many of those who died were civilians caught up in army sweeps of remote villages.

Efforts to end the fighting gained momentum after a massive earthquake and tsunami struck on Dec. 26, 2004, leaving at least 156,000 of the province's people dead or missing and a half million others homeless.

As part of the 2005 peace deal, the rebels gave up their long-held demand for independence and handed over all of their weapons. In exchange, the government allowed them to participate in local politics.

Neither side wanted to add to the suffering of the tsunami.

Di Tiro is the grandson of resistance leader Cik di Tiro, a national hero who was killed in combat against occupying Dutch troops in 1891.

Selasa, Oktober 07, 2008

Mendadak Batal


Kawan saya kirim sandek: "HT mendadak batalkan wawancara dg RCTI. Padahal tim sudah ada di lobbi hotel. Ada apa ya?"

Tentu pertanyaan ini sulit unt dijawab. Sebab saya tak kenal dg HT. Oya, HT adalah Hasan Tiro, presiden Aceh Sumatra National Liberation Front. Dalam bahasa sehari-hari disebut GAM.

Bagi saya, HT batalkan wawancara itu bukan berita baru. Jamak diketahui, HT memang jarang mau diinterview. Namun ini istimewa karena dia mau pulang ke Aceh, setelah 30 tahun menetap di pengasingan usai mendeklarasikan kemerdekaan Aceh pada 1976.

Tapi beruntung, media saya, ACEHKINI edisi Oktober, dapat wawancara dg HT. Saat di Malaysia kemarin, kawan saya juga sempat diterima oleh HT. Ini surprise. Ingin tau ceritanya? Simak laporan Yuswardi A. Suud langsung dari Kuala Lumpur pada edisi November nanti.

Sent from my phone using trutap


Minggu, Oktober 05, 2008

Hasan Tiro: Semua Ingin Seperti Aceh


Hasan Tiro: Semua ingin seperti aceh

By: yuswardi a. suud

Deklarator gerakan aceh merdeka hasan tiro terharu saat ditanya tentang pesan khusus kepada rakyat aceh. Suasana itu tergambar saat acehkita.com/acehkini bersama dua wartawan dari aceh menemuinya di selangor, darul ehsan, malaysia, minggu (5/10) sore.

"rakyat aceh mesti tahu sejarah,"ujar hasan tiro dengan suara terbata-bata. Sebab, menurutnya, tanpa itu aceh tidak mungkin menjalin hubungan dengan dunia luar.

Selengkapnya silakan kunjungi www.acehkita.com

Sent from my phone using trutap


Wali pulang


Sudah di malaysia

Sent from my phone using trutap


Sabtu, September 27, 2008

Upin dan Ipin





And here is the rest of it.

Kamis, September 25, 2008

ACEHKINI | 30 Menit Bersama Hasan Tiro


Salam,

Kawan-kawan yang baik, minta izin memposting email promosi majalah ACEHKINI edisi Oktober 2008. Edisi kali ini menampilkan laporan eksklusif kontributor Acehkini di Swedia yang berhasil menemui Hasan Tiro, pemimpin tertinggi GAM. Kepada kontributor ACEHKINI, Hasan Tiro yang dikenal sebagai Wali Nanggroe menyatakan kerinduannya terhadap kampung halaman yang sudah lama ditinggalkan. "I'll be back next month," kata Hasan Tiro saat itu. Selain laporan eksklusif 30 menit bersama Hasan Tiro, Acehkini juga menurunkan laporan soal upaya Pansus DPRA yang pergi ke Swedia dan Belanda untuk menjaring pendapat soal Qanun Wali Nanggroe. Kenapa mereka menyebutnya, Wali Nanggroe Hanya Ada di Kamus Tua??

Di balik cerita pengepungan kelompok kriminal bersenjata di Aceh Utara dikupas tuntas, termasuk jejaring kelompok kriminal yang selama ini meresahkan masyarakat Aceh di masa damai.

Cerita masih berlanjut, saat anak muda yang maju dalam pemilihan umum 2009 nanti (dari Partai Lokal) yang terjangkit Demam Obama. Mereka menjadikan situs jejaring sosial Facebook untuk menjaring aspirasi dan calon dukungan. Apa kiat mereka meraup dukungan massa melalui dunia maya?

Kami tak hanya menyajikan laporan politik semata. Ada oase yang kami suguhkan, biar Anda tak hanya berkutat dengan isu politik. Simak laporan ringan kami, seperti melancong di negeri seribu sungai, esai foto yang menceritakan cara suku Dayak di Kalimantan bersyukur pada Tuhan.

Berbagai laporan menarik ini kami suguhkan untuk Anda, pembaca setia kami... ACEHKINI akan beredar pada Senin nanti. Itung-itung oleh-oleh di saat Anda berkumpul bersama keluarga merayakan lebaran nan fitri ini.

"Hari raye dah dekat," kata Upin.

"Betol, betol, betol," balas Ipin.

Jajaran redaksi ACEHKINI mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1429 H. Mohon maaf lahir dan batin.

Salam,
Fakhrurradzie Gade

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Kamis, September 18, 2008

Grenade Hits Office Of Former Indonesian Rebels

BANDA ACEH, INDONESIA: Unidentified assailants threw a grenade at the office of a political party set up by former rebels in Aceh province, shattering windows and destroying computers but causing no injuries, police said Wednesday (17 Sept).The pre-dawn blast in Bireun, a remote town 1,100 miles (1,800 kilometers) from the capital Jakarta, was the latest in a string of politically charged attacks ahead of next year's parliamentary and provincial elections.

Aceh has been relatively quiet since the government signed a peace deal with separatists in 2005, ending a 29-year rebellion that left more than 15,000 people dead.

But tensions are building between the military, which is worried ex-rebels will win control of local legislatures and challenge Jakarta's authority, and the former separatists who are afraid the government will try to intervene in the election process.

Police spokesman Lt. Colonel Ahmad Saleh said a witness told authorities two motorcycles stopped outside the Aceh Party office shortly before Wednesday's explosion, but that the investigation was still ongoing.

Another of the party's offices was torched Tuesday (16 Sept) and the residence of a party official was struck by a grenade last month, said Adnan Beuransah, a spokesman for the party, calling it "part of efforts to sabotage the upcoming polls." (AP/Fakhrurradzie Gade, The Associated Press stringer in Banda Aceh contributed to this report.)

Minggu, September 14, 2008

Nakhoda dari Lahti

Oleh FAKHRURRADZIE GADE dan NURDIN HASAN


TANGGAL 26 Juni 2003, awal babak baru dalam kehidupan Juha Christensen. Di sebuah hotel Kota Stockholm, Swedia, Juha menyiapkan presentasi di hadapan sejumlah petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Yang hadir: Malik Mahmud Al Haytar (perdana menteri), Zaini Abdullah (menteri kesehatan merangkap menteri luar negeri), dan Bakhtiar Abdullah (jurubicara), Muzakkir Abdul Hamid. Setidaknya ada delapan tokoh GAM yang hadir dalam pertemuan di musim panas (summer) itu.Di hadapan petinggi GAM, bekas dosen Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, menyampaikan presentasi. “Saya siapkan presentasi siapa saya, apa hubungan saya dengan Indonesia, dan apa posisi saya,” kata Juha dalam satu wawancara khusus dengan ACEHKINI, akhir Juni lalu. Karena kesibukannya yang sering bolak-balik Indonesia dan sejumlah negara Eropa, wawancara berlangsung di samping kolam renang Hotel Sheraton, Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten, saat Juha sedang transit.

Juha lega. Pertemuan 3,5 jam itu lancar. Itulah awal Juha bertemu pihak GAM untuk merintis perdamaian dengan Pemerintah Indonesia. Kedua pihak telah berulangkali duduk di meja perundingan dan melakukan gencatan senjata. Ujung-ujungnya, perdamaian gagal di tengah jalan. Sebulan sebelum Juha bertemu petinggi GAM di Stockholm, pemerintah baru saja memberlakukan Darurat Militer akibat gagalnya perjanjian penghentian permusuhan (CoHA) pada 18 Mei 2003.

Gagalnya perundingan yang difasilitasi Hendry Dunant Centre, sebuah lembaga swadaya masyarakat bermarkas di Jenewa, Swiss, membuat Juha tergerak untuk membawa dua musuh ini kembali ke meja perundingan. Aceh tak asing lagi bagi Juha. Sejak awal 2000, Juha sibuk meneliti Aceh. Berbagai bahan mengenai Aceh yang diunduh via internet, seminar, makalah, koran, dilahapnya. Kunjungan pertamanya ke daerah perang Aceh terjadi pada Oktober 2002. Dia malah ikut konferensi pers yang digelar HDC, fasilitator perundingan, di Hotel Kuala Tripa, Banda Aceh.

Berbekal pengetahuan tentang Aceh, dia memberanikan diri menawarkan konsep perdamaian kepada pihak GAM. Sebenarnya, sejak berakhir CoHA, Juha telah berupaya mendekati tokoh GAM yang tinggal di negeri Skandinavia. Nah, saat koran Helsingin Sanomain, edisi 1 Juni 2003, menurunkan artikel tentang kondisi Aceh yang sedang berdarah-darah, Juha tak buang waktu. Dia langsung menghubungi editor koran besar Finlandia itu dan menanyakan nomor kontak Jurubicara GAM, Bakhtiar Abdullah. Berbekal nomor kontak itu, Juha menghubungi Bakhtiar.

“Dia bilang ok dan mereka mau memberi jawaban empat hari kemudian. Saya kemudian dipersilakan datang ke Stockholm dan kita bertemu selama 3,5 jam,” ujar Juha.

Usai pertemuan, Juha tak langsung balik ke Helsinki. Ia terlebih dulu terbang ke Copenhagen Belanda untuk menghadiri satu konferensi medis. Kala itu, Juha memang sedang menggeluti bisnisnya di bidang medis. Dari Copenhagen, Juha kembali lagi ke Stockholm. “Kita ketemu lagi. Dari situ mulai (ada keinginan untuk berunding) lagi,” sebut Juha.

Lagi-lagi, Juha presentasi. Memperkenalkan diri dan konsep perundingan. “Saya bilang, saya dari sektor swasta dan tidak ada yang menyuruh saya bertemu tokoh GAM. Ini inisiatif saya,” ujarnya.

Kepada petinggi GAM di pengasingan, Juha menyampaikan siap memfasilitasi perundingan dengan Pemerintah Indonesia. Tak mudah meyakinkan GAM kembali ke meja perundingan. Pasalnya, saat itu baru sebulan Presiden Megawati Sukarnoputri mengakhiri proses damai, dan mengirim pasukan perang ke Aceh pada 19 Mei 2003, menyusul gagalnya pertemuan Tokyo yang direncanakan pada 1 Juni 2003.

Para jururunding GAM di Aceh ditangkap saat baru keluar dari Hotel Kuala Tripa, hendak ke Bandara Sultan Iskandarmuda, Blang Bintang, untuk menghadiri pertemuan tersebut. Mereka – Sofyan Ibrahim Tiba, Teungku Muhammad Usman Lampoh Awe, Teuku Kamaruzzaman, Nashiruddin bin Ahmed, dan Amni bin Ahmad Marzuki-- diboyong ke Markas Polisi Daerah Aceh. Akhirnya, kelima orang itu divonis di atas 10 tahun penjara oleh pengadilan.

“Saya bilang saya percaya dialog harus kita lanjutkan. Tentu ini sangat sulit, karena tensi tinggi pendapat petinggi GAM terhadap Pemerintah Indonesia,” sebut Juha.

Proses untuk meyakinkan petinggi GAM berlangsung hingga enam bulan. Sepanjang kurun waktu Juni hingga Desember 2003, ada tujuh kali pertemuan antara Juha dan GAM. Hampir saban pekan, Juha berkomunikasi dengan Bakhtiar dan Zaini. Kadang-kadang melalui telepon atau berkirim surat elektronik. “Saya tanya apakah ada berita dari Aceh atau berita dunia lain yang penting. Kita bikin komunikasi,” kata dia.

Setelah terbangun komunikasi dengan GAM, Juha memutuskan untuk mendekati pemerintah. Desember 2003, Juha ke Jakarta. Indonesia tak asing baginya. Sejak 1985, dia menjadi dosen luar biasa di Universitas Hasanuddin Makassar dan tinggal di sana. Juha berteman baik dengan Ahmad Fauzi Gani, duta besar Indonesia untuk Finlandia. Kepada Fauzi Gani, Juha meminta agar difasilitasi bertemu Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Jusuf Kalla.

Tapi, Juha tak terbuka pada Fauzi Gani soal keinginannya bertemu Kalla. Juha hanya bilang mau berbisnis speed boat dengan Kalla, yang memang dikenal sebagai pengusaha sukses asal Makassar. “Kedatangannya agak dirahasiakan dan tidak terbuka untuk banyak orang,” kata Fauzi Gani pada ACEHKINI yang menemuinya di kawasan Bintaro, Jakarta, akhir Juni lalu. “Sama saya pun dia tidak terbuka. Dia hanya bilang mau jual kapal untuk Pak Jusuf Kalla.”

Fauzi Gani pun tak tahu banyak apa yang dibicarakan dalam pertemuan antara Juha dengan Kalla. “Mungkin juga bicarakan soal perdamaian Aceh dan Indonesia, karena Pak Jusuf Kalla kan dikenal sudah menyelesaikan konflik Poso dan Ambon,” kata dia.

Pertemuan dengan Kalla berlangsung di Kantor Menko Kesra di bilangan Medan Merdeka Barat Jakarta, medio Desember 2003. Sebelumnya, dia bertemu Farid Husain, saat itu deputi Menko Kesra, yang juga berasal dari Makassar. Juha mempresentasi tentang kapal teknologi tinggi produksi terbaru Finlandia, yang memiliki kecepatan lebih 50 knot atau 100 kilometer perjam. Menurut Juha, Indonesia yang merupakan negara kepulauan butuh kapal cepat untuk mengatasi “masalah illegal logging dan black market.”

Bisnis perkapalan bukan tujuan utama Juha. “Kita bicara soal kapal hanya 25 menit,” katanya seraya menyatakan bahwa pertemuannya dengan Farid diperantarai oleh seorang kenalannya di PT PAL, yang juga dari Makassar. Apalagi Farid terkesan tak tertarik dengan presentasi tentang bisnis kapal. “Itu hanya undercover untuk bertemu Jusuf Kalla,” kata Juha, tertawa.

Di akhir pertemuan yang berlangsung antara tanggal 9 dan 16 Desember 2003, Juha akhirnya buka-bukaan soal kedatangannya ke Indonesia. Gayung bersambut. Farid juga punya “tugas khusus” dari Kalla untuk mendekati GAM agar mau kembali ke meja perundingan.

“Saya bilang ke Farid bahwa saya banyak kenal pimpinan GAM. Dia terkejut dan langsung lihat bahwa ini serius, karena saya tahu semua,” kata managing director sebuah perusahaan farmasi di Finlandia. “Dia mengerti bahwa saya tak ada agenda lain. Ini untuk kemanusiaan.”



***



GEMPA yang meluluhlantakkan Bam, Iran, pada awal Februari 2004, membuat Farid harus terbang ke negeri Persia. Setelah menyelesaikan misi kemanusiaan di Bam, Farid singgah di Helsinki dan bertemu Juha. Saat itu, Juha mengajak Farid bertemu tokoh GAM di Stockholm. Tapi gagal.

Menurut Juha, pimpinan GAM tak mau menemui wakil pemerintah, apalagi pejabat setingkat deputi menteri. “Belum waktunya, belum bisa,” kata Juha, meniru ucapan seorang petinggi GAM yang menolak bertemu Farid Husain.

Farid jengkel bukan kepalang karena tak bisa bertemu petinggi GAM Swedia. Dia dan tokoh-tokoh GAM hanya saling pandang di lobi hotel. Usai pertemuan Juha dan pemimpin GAM, Farid menggebrak meja. Dia memarahi Juha. Padahal, pertemuan itu sangat diharapkan Farid. Sudah dua kali ia coba bertemu petinggi GAM. Tapi selalu gagal. “Dia tidak mau memanggil saya (hadir dalam pertemuan),” kata Farid pada ACEHKINI, awal Juli lalu di Jakarta. “Saya marahi Juha. Saya gebrak mejanya,” ungkap Farid mengenang saat-saat dia ditolak bertemu GAM.

Kemarahan Farid sempat membuat Juha gusar. Padahal, dia telah berencana mempertemukan bekas Presiden Finlandia Martti Ahtisaari dengan Pemerintah Indonesia, Februari 2004. Tapi, itu belum dikatakan baik kepada pemerintah maupun pihak GAM. Juha punya keinginan agar perundingan kali ini dimediasi Ahtisaari yang sudah dikenal mampu menyelesaikan sejumlah konflik di berbagai belahan dunia.

“Wah.. apa yang saya buat sekarang sudah membuat dia kecewa. Dia marah. Dia marah pada saya, dan marah pada situasi. Dia pukul meja,” ujar Juha. Tetapi, kemarahan Farid akhirnya bisa diredam setelah Juha mengeluarkan kartu terakhir, yaitu dia akan mempertemukan Farid dengan Presiden Ahtisaari.

Juha menelpon Tapani Ruokanen, pemimpin redaksi Suomen Kuvalehti, majalah berpengaruh di Finlandia. Ia punya hubungan dekat dengan Ahtisaari. Kepada Tapani, Juha mengutarakan bahwa dia sudah maju untuk mempertemukan dua musuh bebuyutan ini di meja perundingan dan meminta Ahtisaari memediasi perundingan ini.

“Juha bagus sekali. Kapan saja Anda perlu, saya akan bantu Anda,” timpal Tapani, seperti ditirukan Juha.

Pada hari Minggu, 15 Februari 2004, Tapani mempertemukan Juha dan Farid Husain dengan Presiden Ahtisaari. Ini tak lazim sebab Ahtisaari tidak pernah menerima tamu pada hari libur. Tapi waktu memang ada hari itu karena esoknya dia harus bertolak ke New York untuk satu urusan penting di kantor PBB. Farid melaporkan kondisi pertemuan Ahad di Helsinki itu pada Kalla. Akhir Februari, Kalla dan Farid menghubungi Juha dan meminta pendapatannya soal Martti Ahtisaari.

Pertemuan antara Kalla dan Juha di Jakarta berlangsung hampir dua jam. Ini pertemuan yang cukup lama dirasakan Juha. “Saya rasakan sendiri meskipun saya orang yang banyak bicara. Saya menyampaikan argumentasi mengapa menurut saya begini, begini, dan begini,” kata warga Lahti, Finlandia, ini.

Awal Desember 2004, Juha kembali ke Jakarta untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan proses perundingan. Jalan semakin terbuka. Apalagi, Jusuf Kalla sudah jadi wakil presiden. Sebelum ke Jakarta, Juha bertemu pimpinan GAM di Stockholm. Untuk menguji keseriusan pemerintah ingin berunding lagi, ada satu permintaan khusus dari mereka pada Juha, yaitu dia diizinkan bertemu perunding GAM yang ditahan di Penjara Suka Miskin, Jawa Barat.

Juha memberitahu Hamid Awaludin, yang telah jadi menteri hukum dan hak asasi manusia, dan Farid Husain. “Kaget semua pimpinan dan staf Suka Miskin. Kenapa tiba-tiba ada bule datang. Siapa orang ini, dari mana. Dan ada perintah: ‘harus sediakan kamar, tidak boleh ada rekam, tidak boleh ada orang lain, jangan mengganggu.’ Satu jam setengah dengan tiga orang ini,” kata Juha, tentang pertemuannya dengan Tgk Muhammad Usman Lampoh Awe, Teuku Kamaruzzaman dan Amni bin Ahmad Marzuki. Esoknya, dia bertemu Muhammad Nazar (sekarang wakil gubernur) di Penjara Malang.

Saat itu, GAM belum tahu siapa yang bakal memediasi perundingan dengan Indonesia. Juha sama sekali belum memberikan nama mediator kepada mereka. Juha baru menyebut nama Ahtisaari pada pihak GAM tanggal 24 Desember, melalui selembar surat yang difax ke Malik Mahmud dan Zaini Abdullah. Pasalnya, Ahtisaari baru menyatakan kesediaannya menjadi mediator perundingan RI-GAM pada 23 Desember.

Menurut Juha, perundingan harus dilakukan pada Januari 2005 karena Ahtisaari tidak punya cukup waktu. Banyak tugas lain yang harus diselesaikannya. Tsunami yang meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004, mempercepat proses perundingan. Kedua pihak yang bertikai akhirnya sepakat untuk memulai dialog damai pada Januari di Helsinki, ibukota Finlandia.

“Sekarang kita punya kesempatan untuk meningkatkan pendidikan dan ekonomi,” kata Juha. Yang lebih penting, tambahnya, orang Aceh kembali memperoleh kebanggaannya. “Orang Aceh punya akar sejarah panjang. Kini, akar sejarah itu dapat dirajut kembali,” ujar Juha, yang menjadi tangan kanan Ahtisaari selama proses perundingan berlangsung.

Saat implemetasi butir-butir perjanjian Helsinki, Juha ikut berperan aktif di Aceh Monitoring Mission (AMM). Lalu, apa yang membuatnya mau terlibat dalam upaya penyelesaian konflik Aceh? Kepada ACEHKINI, Juha buka rahasia: “Saya mungkin punya otak untuk matematika dan bisnis. Dalam hati, untuk kemanusiaan. Ada orang suka main golf atau hobi lain. Jadi itu seperti hobi, tetapi akhirnya menjadi tugas.” [a]

Minggu, September 07, 2008

Kopi vs Tarawih


Ramadan memasuki hari kedelapan. Syiar agama di bulan suci banyak dikumandangkan. Orang-orang dengan untaian sajadah dan peci beragam corak di kepalanya, berlomba-lomba mendatangi masjid unt bermunajat, beribadah kepada Allah, rabb semesta alam.

Setiap masjid di berbagai penjuru menggelar prosesi salat isya dan tarawih. Ada yang salat dengan 8 rakaat ditambah 3 rakaat witir. Banyak juga yang menunaikan 23 rakaat. Tapi itu tak jadi soal. Karena, perbedaan rakaat hanya pada persoalan keyakinan akan dalil yang dipegangnya.

Di masyarakat kita, perbedaan itu memancing masalah. Kita asyik mempersalahkam mereka yang salat 8 rakaat, atau sebaliknya. Tapi kita selalu abai untuk mengajak mereka yang sama sekali tidak berniat untuk menunaikan ibadah sunnah itu.

Kedai kopi justru lebih ramai, ketimbang masjid. Tadarusan usai tarawih hanya dilakoni orang-orang itu juga. Tapi kedai kopi, yakinlah bahwa yang datang dari bermacam kelas, beragam wajah dan selalu orangnya berganti-ganti serta ramai. Tak di satu kedai, di kedai kopi lain begitu juga adanya.

Sent from my phone using trutap


Sabtu, September 06, 2008

Tes Trutap


Salam,
Ini posting coba-coba menggunakan software Trutap yang saya install ke ponsel kesayangan saya, si bandel SE K800i.
Semoga perangkat lunak Trutap yang bisa diunduh gratisan ini semakin membuat saya sering mengunjungi rumah maya saya ini.
Salam,
Radzie
Connected by sinyal kuat INDOSAT

Sent from my phone using trutap


Selasa, Agustus 26, 2008

Yang (Masih) Terhempas Perang

Oleh FAKHRURRADZIE GADE
ACEHKINI Writer

“Saya tak mau urus lagi proposal bantuan. Ngapain, yang ada capek dan habis uang saja. Bantuan tidak cair juga,” kata Rasyidin, pasrah. Pria berusia 18 tahun itu merupakan korban perang yang belum memperoleh bantuan dari pemerintah. Sudah empat tahun ini, dia hidup dengan satu tangan.

Rasyidin hanya bisa pasrah. Warga Desa Paya Lipah, Kecamatan Peureulak, Aceh Timur, ini bukannya tak mencoba mengurus bantuan. Ia sempat beberapa kali coba peruntungan dengan mengirim proposal ke Badan Reintegrasi-Damai Aceh (BRA), lembaga yang mengurusi korban perang, tapi – itu tadi — bantuan tak kunjung cair.

Mei lalu, Rasyidin sedikit punya harapan, saat pamannya, Muhammad Jafar, meminta dia menyiapkan surat keterangan rumah sakit, surat keterangan korban konflik dari kepala desa setempat, dan surat dari sebuah lembaga hak asasi manusia di Aceh Timur.

Jafar lalu membawa proposal keponakannya ke kantor BRA pusat di Banda Aceh. Tunggu punya tunggu, bantuan tak juga cair. BRA malah minta Rasyidin mengantar proposalnya ke BRA Aceh Timur. Ia menyanggupinya.

“Katanya dana akan cair akhir Juli atau awal Agustus ini,” kata Muhammad Jafar, paman Rasyidin, kepada ACEHKINI, pertengahan Juni silam.

Tak cukup mengadu ke BRA, Jafar juga membawa nasib keponakannya ke Gubernur Irwandi Yusuf. Tapi, gubernur hasil pilihan rakyat pada 11 Desember 2006 silam, tak bisa berbuat banyak juga. “Responnya, saya disuruh tunggu bantuan dari BRA dulu. Kalau juga tak dapat, nanti gubernur janji akan mau bantu,” jelas Jafar.

Tak muluk-muluk sebenarnya bantuan yang diharapkan Rasyidin. “Saya hanya butuh modal untuk bisa bekerja, biar tidak mengharap belas kasih orang lain,” katanya saat majalah ini kembali mewawancarainya pada Juni lalu di rumahnya yang lebih mirip gubuk: berdinding papan bolong, beratap rumbia, dan lantai tanah.

Awal September tahun lalu, ACEHKINI menurunkan laporan soal nasib mereka yang terhempas perang. Rasyidin, bocah bertangan satu, menjadi seorang narasumber kami yang belum memperoleh bantuan dana dari pemerintah. Setahun berlalu, di saat damai sudah berusia tiga tahun, majalah ini kembali menurunkan cerita Rasyidin.

Semula, kami berharap kehidupan baru akan ditulis, yaitu cerita Rasyidin yang telah memperoleh bantuan. Tapi apa lacur, nasibnya masih sama seperti tahun sebelumnya. Bahkan lebih parah setelah ayahnya, Ali Basyah, meninggal dunia, akhir 2007.

Sepeninggal ayahnya, kondisi keluarga Rasyidin semakin memprihatinkan. Bersama abang dan adiknya, dia hanya bisa berharap pada ibunya yang menjadi pedagang kaki lima di Pasar Peureulak.

“Saya mau mandiri. Sekarang yang saya butuhkan hanya modal agar bisa bekerja,” kata Rasyidin. Suaranya tersendat-sendat. Matanya berkaca-kaca. “Kondisi satu tangan membuat saya menderita, tidak bisa bekerja apa-apa. Coba kalau saya punya dua tangan, utuh...”

Perang jahanam memang selalu menyisakan lara, bahkan untuk mereka yang tak tahu arti perang. Perang itu pulalah yang telah merenggut tangan kanan Rasyidin pada suatu pagi menjelang siang, 5 April 2004. Saat itu, desa di pesisir Timur Aceh itu sedang sepi. Para orang dewasa, laki-laki dan perempuan, sedang berkumpul di lokasi tempat pemungutan suara untuk pencoblosan di desa tetangga, berjarak sekitar dua kilometer dari Paya Lipah.

Saat itulah, Rasydin menemukan sebuah benda hijau seperti senter tergeletak di pinggir sawah, tempat tank Marinir terperosok sehari sebelumnya. Rasyidin juga menemukan 10 butir selongsong peluru dan dua peluru tank aktif di sana. Menurut warga, TNI meninggalkan tanknya di sana dan melanjutkan patroli berjalan kaki.

Rasyidin kemudian membawa pulang benda itu dan memamerkan kepada sejumlah temannya. Layaknya anak-anak, mereka pun bermain-main dengan benda tersebut di pekarangan rumah Zulkarnain Hasan, sepelemparan batu dari rumah Rasyidin.

Entah siapa yang mulai, mereka lalu mengorek sambil memutar bagian bawah benda berbentuk senter itu. Karena tidak terbuka, benda – yang tak mereka ketahui berbahaya itu— dihantam ke bangku panjang tempat mereka duduk. Ledakan keras membahana.

Akibatnya, delapan bocah tergeletak bersimbah darah. Memang, tak semua anak-anak imenderita luka parah. Yang paling parah adalah Rasyidin dan Marlinda, bayi berusia dua tahun. Selain tangan kanannya harus diamputasi hingga ujung bahu, Rasyidin juga menderita luka di sekujur tubuh dan kakinya. Sedangkan Marlinda, ususnya harus dipotong karena tertembus serpihan tabung pelontar.

Perang telah membuyarkan semua cita-cita Rasyidin. Padahal, bocah berkulit hitam ini berharap bisa mengeyam pendidikan tinggi, agar kelak bisa membahagiakan kedua orangtuanya. Tapi semua itu kini tinggal kenangan. Ia tak berani berangan-angan lagi. “Saya tidak berani sekolah lagi, malu. Ada kawan-kawan yang mengejek saya tangan buntung... Saya benar-benar tidak sanggup mendengarnya,” kata dia.

Rasyidin tak mau terus menerus jadi tanggungan ibunya. “Meudeh aneuk bi bu mak, njoe mak bi bu aneuk. Meunye mantong ubit laen (Seharusnya anak kasih makan orangtua, bukan sebaliknya. Kecuali kalau saya masih kecil),” ujar Rasyidin. Ia tak sanggup menahan kucuran airmatanya. “Kalau ada modal sendiri, saya mau buka usaha sama abang.”

Rasyidin hanya bisa menunggu penuh harap adanya secuil bantuan dari pemerintah. Entah sampai kapan penantiannya berakhir. [a]

Published on ACEHKINI, August 2008.

Sabtu, Agustus 23, 2008

Kado

Oleh FAKHRURRADZIE GADE
ACEHKINI Writer

Meski tak merayakan dengan pesta, layaknya ulang tahun, kami memperoleh kado teramat istimewa di usia merangkak ini. Rekan kami, Daspriani Y. Zamzami, menjadi finalis Mochtar Lubis Award. Dia menulis “Mencari Angka dalam Jerami” pada edisi Januari 2008. Laporannya bercerita soal nasib uang para korban tsunami yang tertahan di rekening bank.

Kabar itu membuat kami bangga. Bagi media besar dan sudah lama, penghargaan ini mungkin tak berarti apa-apa. Tapi bagi kami –sebuah media daerah dan baru setahun meramaikan dunia media— penghargaan ini menjadi alat pemicu agar kami lebih giat lagi, lebih menjaga kualitas, dan tentunya lebih patuh pada jadwal terbit yang telah kami susun.

Ajang Mochtar Lubis Award baru pertama diadakan tahun ini. Penyelenggaranya Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Jakarta. Ada yang bilang, ajang MLA ini mirip-mirip penghargaan Pulitzer bagi jurnalis di Amerika Serikat. Tapi, kami tentu tak berharap setinggi itu. Kami hanya berharap, tulisan yang disajikan dalam majalah ini berkelas, berkualitas, dan mendapat tempat di hati khalayak. Hanya itu.

Menjadi finalis MLA ini membuat kami cukup bangga. Apalagi kami bisa bersebahu dengan media besar dan terkenal sekelas Kompas, Majalah Gatra, dan Pikiran Rakyat. Yang membuat kami lebih bangga, tulisan “Mencari Angka dalam Jerami” membuat para dewan juri berdebat sengit. Dua juri bilang tulisan ini layak menjadi pemenang. Tapi kami akui, masih banyak kekurangan yang menghiasi laporan yang dipersiapkan buru-buru tersebut. Karenanya, kami tak ambil pusing saat para juri memantapkan hatinya pada laporan yang diturunkan Gatra untuk kategori pelayanan publik MLA tersebut.

“Kita tak ada target menang, masuk final saja sudah cukup,” kata Yuswardi Ali Suud, pemimpin redaksi majalah ini.

Kami tak ingin hanya menerima kado. Bulan Agustus ini, kami ingin memberi kado istimewa bagi seluruh rakyat Aceh. Sejak dua bulan lalu, kami telah mempersiapkan hadiah bagi peringatan tiga tahun perdamaian. Kado itu berupa majalah edisi khusus tiga tahun damai Aceh. Dalam laporan ini, kami mengangkat banyak sisi.

Ada cerita Farid Husain, Juha Christensen, dan Mahyuddin yang jadi pelaku lapangan untuk merintis upaya perdamaian antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Tiga orang ini –tanpa mengurangi upaya yang dilakukan pihak lain—sejak gagalnya perundingan CoHA pada 18 Mei 2003 menyusul diberlakukannya darurat militer di Aceh, mulai melanglang buana untuk menjajaki kembali perundingan antara GAM dan RI yang bertikai selama hampir tiga dekade.

Tak hanya cerita makcomblang perdamaian, edisi kali ini juga mengupas soal janji yang terbayar dan terutang. Kita tahu, tak semua butir-butir kesepakatan yang ada dalam Pakta Damai Helsinki telah diimplementasi. Undang Undang Pemerintah Aceh sebagai jabaran MoU Helsinki, juga belum sepenuhnya diimplementasikan. Banyak utang belum tertagih, yang masih menjadi aral di usia tiga tahun damai ini. Belum lagi soal persoalan reintegrasi yang tak kunjung selesai. Ada juga berbagai insiden kekerasan yang terjadi selama tiga tahun terakhir.

Kami juga meminta tulisan dari orang yang terlibat langsung dalam perundingan Helsinki. Ada tulisan penasihat politik GAM Damiens Kingsbury, Farid Husain dari Indonesia, Mukhtaruddin Yacob (jurnalis peliput perang), M. Nur Djuli (negosiator GAM). Sejatinya, pimpinan GAM lain menulis beberapa kolom. Kami meminta dari Bakhtiar Abdullah dan Munawarliza. Kami juga meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menulis artikel khusus. Tetapi, mereka belum sempat menulisnya karena kesibukan masing-masing. Munawarliza punya masalah: tulisannya hilang akibat flashdisknya rusak.

Walaupun kami menamakannya edisi khusus perdamaian, tetapi kami tak melupakan laporan lain. Ada lifestyle soal SPA yang mulai digandrungi perempuan Aceh, ada komunitas sepeda Ontel serta laporan-laporan menarik lainnya. Beragam cerita yang kami suguhkan agar Anda, tak bosan pada majalah yang cerdas mengulas ini. [a]

Published on Saleuem, ACEHKINI, August 2008.

Kado

Oleh FAKHRURRADZIE GADE
ACEHKINI Writer

Meski tak merayakan dengan pesta, layaknya ulang tahun, kami memperoleh kado teramat istimewa di usia merangkak ini. Rekan kami, Daspriani Y. Zamzami, menjadi finalis Mochtar Lubis Award. Dia menulis “Mencari Angka dalam Jerami” pada edisi Januari 2008. Laporannya bercerita soal nasib uang para korban tsunami yang tertahan di rekening bank.

Kabar itu membuat kami bangga. Bagi media besar dan sudah lama, penghargaan ini mungkin tak berarti apa-apa. Tapi bagi kami –sebuah media daerah dan baru setahun meramaikan dunia media— penghargaan ini menjadi alat pemicu agar kami lebih giat lagi, lebih menjaga kualitas, dan tentunya lebih patuh pada jadwal terbit yang telah kami susun.

Ajang Mochtar Lubis Award baru pertama diadakan tahun ini. Penyelenggaranya Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Jakarta. Ada yang bilang, ajang MLA ini mirip-mirip penghargaan Pulitzer bagi jurnalis di Amerika Serikat. Tapi, kami tentu tak berharap setinggi itu. Kami hanya berharap, tulisan yang disajikan dalam majalah ini berkelas, berkualitas, dan mendapat tempat di hati khalayak. Hanya itu.

Menjadi finalis MLA ini membuat kami cukup bangga. Apalagi kami bisa bersebahu dengan media besar dan terkenal sekelas Kompas, Majalah Gatra, dan Pikiran Rakyat. Yang membuat kami lebih bangga, tulisan “Mencari Angka dalam Jerami” membuat para dewan juri berdebat sengit. Dua juri bilang tulisan ini layak menjadi pemenang. Tapi kami akui, masih banyak kekurangan yang menghiasi laporan yang dipersiapkan buru-buru tersebut. Karenanya, kami tak ambil pusing saat para juri memantapkan hatinya pada laporan yang diturunkan Gatra untuk kategori pelayanan publik MLA tersebut.

“Kita tak ada target menang, masuk final saja sudah cukup,” kata Yuswardi Ali Suud, pemimpin redaksi majalah ini.

Kami tak ingin hanya menerima kado. Bulan Agustus ini, kami ingin memberi kado istimewa bagi seluruh rakyat Aceh. Sejak dua bulan lalu, kami telah mempersiapkan hadiah bagi peringatan tiga tahun perdamaian. Kado itu berupa majalah edisi khusus tiga tahun damai Aceh. Dalam laporan ini, kami mengangkat banyak sisi.

Ada cerita Farid Husain, Juha Christensen, dan Mahyuddin yang jadi pelaku lapangan untuk merintis upaya perdamaian antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Tiga orang ini –tanpa mengurangi upaya yang dilakukan pihak lain—sejak gagalnya perundingan CoHA pada 18 Mei 2003 menyusul diberlakukannya darurat militer di Aceh, mulai melanglang buana untuk menjajaki kembali perundingan antara GAM dan RI yang bertikai selama hampir tiga dekade.

Tak hanya cerita makcomblang perdamaian, edisi kali ini juga mengupas soal janji yang terbayar dan terutang. Kita tahu, tak semua butir-butir kesepakatan yang ada dalam Pakta Damai Helsinki telah diimplementasi. Undang Undang Pemerintah Aceh sebagai jabaran MoU Helsinki, juga belum sepenuhnya diimplementasikan. Banyak utang belum tertagih, yang masih menjadi aral di usia tiga tahun damai ini. Belum lagi soal persoalan reintegrasi yang tak kunjung selesai. Ada juga berbagai insiden kekerasan yang terjadi selama tiga tahun terakhir.

Kami juga meminta tulisan dari orang yang terlibat langsung dalam perundingan Helsinki. Ada tulisan penasihat politik GAM Damiens Kingsbury, Farid Husain dari Indonesia, Mukhtaruddin Yacob (jurnalis peliput perang), M. Nur Djuli (negosiator GAM). Sejatinya, pimpinan GAM lain menulis beberapa kolom. Kami meminta dari Bakhtiar Abdullah dan Munawarliza. Kami juga meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menulis artikel khusus. Tetapi, mereka belum sempat menulisnya karena kesibukan masing-masing. Munawarliza punya masalah: tulisannya hilang akibat flashdisknya rusak.

Walaupun kami menamakannya edisi khusus perdamaian, tetapi kami tak melupakan laporan lain. Ada lifestyle soal SPA yang mulai digandrungi perempuan Aceh, ada komunitas sepeda Ontel serta laporan-laporan menarik lainnya. Beragam cerita yang kami suguhkan agar Anda, tak bosan pada majalah yang cerdas mengulas ini. [a]

Published on Saleuem, ACEHKINI, August 2008.

Usai Jamuan di Sebuah Jambo

Oleh FAKHRURRADZIE GADE
ACEHKINI Writer

MAHYUDDIN baru saja tiba di Jakarta dari Kuala Lumpur saat Wakil Presiden Jusuf Kalla menghubunginya melalui telepon selular. Di ujung telepon, Kalla memberinya tugas khusus. “Mahyuddin, kamu harus meyakinkan orang lapangan agar mereka setuju dengan perdamaian,” pesan Kalla.

Tak buang waktu, Mahyuddin mencari tiket pesawat tujuan Medan. Bersamanya ikut Farid Husain, negosiator Indonesia di perundingan Helsinki. Dari Bandara Sukarno-Hatta Cengkareng, Tangerang, Banten, Mahyuddin dan Farid naik pesawat Garuda Indonesia penerbangan pertama. Kepergian mereka, tanggal 10 Agustus 2005 itu, ke Aceh, sangat rahasia. Mahyuddin tak memberitahu siapapun tujuan keberangkatan mereka kali ini. Begitu juga Farid, termasuk pada istrinya.


Sesampai di Bandara Polonia Medan, Mahyuddin dan Farid ketemu banyak tokoh Aceh. Tapi keduanya bungkam. Dari Medan, mereka naik penerbangan khusus milik ExxonMobil, perusahaan minyak raksasa asal Amerika Serikat (AS) – yang menguras isi perut bumi Aceh sejak awal 1970-an, dan mendarat di bandara Desa Nibong, Aceh Utara.


Dua kolega Mahyuddin telah menunggu dengan Kijang Innova. Mahyuddin dan Farid dibawa ke Masjid Nibong, tak jauh dari bandara milik Exxon. Satu truk yang biasanya digunakan untuk mengangkut batu dan pasir sudah siaga. Dengan truk inilah mereka akan menempuh perjalanan sepanjang 50 kilometer untuk bertemu Jurubicara Militer Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Sofyan Dawood.


Siang itu, Mahyuddin dan Farid bertemu Sofyan Dawood di Pante Bahagia, sebuah bukti di pedalaman Aceh Utara. Agendanya, melaksanakan tugas Jusuf Kalla untuk meyakinkan GAM lapangan, menerima keputusan pimpinan mereka di Swedia yang akan berdamai dengan Indonesia. “Kalau orang lapangan tidak setuju perdamaian, ini bakalan repot,” ujar Kalla kepada Mahyuddin.


Perjalanan ke Pante Bahagia melintasi medan berat: jalanan berbatu dan berbukit. Perasaan was-was menyelimuti kedua “pelobi” ini. Apalagi, sepanjang perjalanan, mereka menemukan puluhan pos TNI, Brimob, dan polisi. Mereka harus menempuh jalan tikus berliku, untuk menghindari pasukan pemerintah yang berjibun jumlahnya. Beruntung, selama perjalanan mereka tidak dihentikan aparat. Menurut Farid, setiap kali bertemu pos aparat, sang supir langsung mengangkat tangan dan memberi salam.


***


DUA tahun sebelum perjalanan ke Pante Bahagia, Mahyuddin sudah mulai terlibat dalam menjajaki upaya perundingan kembali antara GAM dan Indonesia. Suatu hari, dia dipertemukan dengan Farid oleh Sutejo Juwono, sekretaris menteri koodinator bidang kesejahteraan rakyat (Menko Kesra). Perkenalan antara Mahyuddin dan Farid berlangsung di Hotel Sahid Makassar. Mereka menghabiskan malam sambil bersantap ikan bakar.


Esok hari, keduanya menuju rumah Jusuf Kalla di Jalan Haji Bau, Makassar. Kalla saat itu menjabat Menko Kesra. Usai pertemuan itu, Mahyuddin dan Farid memulai “gerilya” mulai dari Aceh hingga Malaysia, Belanda dan Swedia untuk bertemu tokoh GAM. Mereka juga membangun jaringan dengan tokoh-tokoh di Aceh, termasuk para panglima GAM dan aktivis gerakan sipil.


Dari sekian banyak orang Aceh harus mereka temui, ada seorang yang tetap dikenang Mahyuddin sampai sekarang yakni Teungku Idi. Ia seorang lanjut usai yang menetap di Desa Tungkop, Darussalam, Aceh Besar. “Beliau pernah bilang kepada saya dan Farid saat kami bertemu tahun 2003 bahwa suatu hari nanti, Aceh pasti damai asalkan tidak ada pihak yang berkhianat,” ujar Mahyuddin, yang ditemui ACEHKINI di Plaza Senayan, Jakarta, akhir Juni lalu.


“Teungku Idi ialah orang yang diberi kelebihan oleh Allah untuk melihat masa depan. Atas permintaan Farid, beliau pernah meramal bahwa Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla akan jadi presiden dan wakil presiden Indonesia jauh sebelum pemilu 2004 digelar,” jelas Mahyuddin, sambil memperlihatkan “dokumen ramalan” tersebut.


Pria asal Pidie ini mengaku, dia selalu berharap agar Teungku Idi bisa melihat damai di Aceh. “Namun, ternyata Allah berkehendak lain. Pada hari Jumat, sebulan sebelum MoU Helsinki ditandatangani, Teungku Idi dipanggil oleh Yang Maha Kuasa,” tutur Mahyuddin.


Menurut Farid, perkenalannya dengan Mahyuddin semakin membuka jalan mendekati para tokoh GAM baik dalam maupun luar negeri. Memang tak diragukan hubungan Mahyuddin dengan tokoh GAM. Sampai-sampai Jusuf Kalla berujar pada Farid: “Dia itu bukan GAM, tetapi dia lebih GAM daripada GAM.” Namun kepada ACEHKINI, Mahyuddin menegaskan bahwa dirinya bukan anggota GAM.


***


KEMBALI ke kisah perjalanan Mahyuddin dan Farid untuk bertemu Sofyan Dawood. Sebelum mengirim “utusan khusus”, Jusuf Kalla mengontak Sofyan. Dia menanyakan apakah GAM lapangan mendukung keputusan pemimpin mereka di Swedia yang mau berdamai dengan pemerintah. Apalagi dalam putaran terakhir perundingan Helsinki, kedua pihak telah sepakat untuk meneken Pakta Damai.


Sofyan menjawab, pihaknya pasti akan mendukung apapun keputusan yang diambil petinggi GAM di Swedia. Untuk menguji komitmen Sofyan, Wapres mengirim Farid dan Mahyuddin bertemu muka dengan jurubicara militer yang juga Panglima GAM Wilayah Pasee. Selama ini, antara mereka telah terjalin komunikasi melalui telepon.


Kepada Kalla, Sofyan memberi jaminan keselamatan Mahyuddin dan Farid mulai dari bandara Exxon hingga bertemu dengannya dan sampai mereka kembali ke bandara. “Makanya, saya kerahkan pasukan di sepanjang perjalanan yang mereka lewati. Saya juga perintahkan pada pasukan GAM bila ada kejadian tak diinginkan, keselamatan Pak Farid dan Pak Mahyuddin harus diutamakan,” kata Sofyan.


Malah tanpa sepengetahuan Mahyuddin dan Farid, supir truk yang membawa mereka juga gerilyawan GAM, lengkap dengan senjata. “Saya pesan kepadanya dan pasukan yang mengamankan perjalanan bahwa keselamatan kedua orang itu adalah prioritas utama,” kata Sofyan kepada ACEHKINI, awal Agustus lalu.


Untuk mengelabui pasukan keamanan, Farid dan Mahyuddin menyamar sebagai toke pasir atau orang biasa sehingga aparat tak curiga. Itu pula alasannya, kendaraan yang membawa mereka ke tempat penantian Sofyan menggunakan truk pasir. “Jika mereka pakai Innova, pasti curiga aparat,” kata Sofyan Dawood.


Sesuai perjanjian, ungkap Mahyuddin, perjalanan baru mendekati “tempat penantian” Sofyan, setelah mereka bertemu orang bersepeda motor membawa jerigen. Benar saja, usai bertemu pembawa jerigen, mereka tiba di lokasi pertemuan dengan Sofyan. Dua tamu dari Jakarta itu disambut dan dipeluk Sofyan. Benar-benar penuh keakraban, layaknya teman dekat yang sudah lama tak bersua.


Sofyan mengaku telah mengenal Mahyuddin sejak tahun 2001. Tapi perkenalan hanya sebatas komunikasi melalui telepon dan tak pernah bertemu muka. Jadi, pertemuan di bukit Pante Bahagia dengan hembusan angin sepoi-sepoi adalah yang pertama mereka bertatap muka.


Pengamanan di lokasi berlapis. Mahyuddin memperkirakan, ada dua ratusan pasukan GAM mengamankan kawasan berbukit itu. Ada bersenjata lengkap. Ada berpakaian loreng, tak sedikit pula yang berpakaian preman. Mahyuddin pernah bertanya pada Sofyan soal pengamanan. “Kalau diserang, apa akan tembus ke sini?” tanyanya. “Tidak,” jawab Sofyan pasti.


Jawaban Sofyan membuat Mahyuddin dan Farid bernafas lega. Belakangan, Sofyan baru membongkar strategi pertemuan itu. Dalam bukunya, Farid menulis, Sofyan telah menyiapkan strategi evakuasi jika pasukan TNI menyerang. Bahkan ia mengaku “menyesal” menyiapkan pertemuan di sebuah ladang yang harus dicapai dengan mendaki. Apalagi untuk menuju tempat pertemuan, Sofyan dan pasukannya harus menempuh perjalanan selama tiga hari-tiga malam.


“Saya tidak sadari ternyata Pak Farid orangnya besar dan gemuk. Jadi, ketika saya melihat Pak Farid berjalan dan berusaha menggapai sesuatu di jalan mendaki, saya langsung memberikan tangan untuk menolongnya. Saya juga segera kontak teman yang berbadan lebih besar, sebab, kalau ada apa-apa, saya tidak bisa membawa lari Pak Farid yang berbadan besar. Tidak kuat,” kata Sofyan.


Di ladang berbukit itulah, Mahyuddin, Farid, dan Sofyan membahas soal perdamaian antara GAM dan Indonesia. “Saya tanya pada Sofyan, apa GAM lapangan mau menerima perdamaian?” ungkap Mahyuddin. Jawaban Sofyan sama seperti diberikan pada Kalla bahwa pasukan GAM mendukung keputusan pimpinan mereka di Swedia.


Untuk meyakinkan Mahyuddin dan Farid bahwa pasukan GAM lapangan menerima perdamaian, Sofyan langsung menghubungi Panglima GAM, Muzakkir Manaf. Kabar gembira ini juga disampaikan Farid kepada Jusuf Kalla. “Sofyan dan Pak Jusuf Kalla ngobrol di telepon. Lalu Sofyan menghubungi Muzakkir (Manaf) dan menyerahkan telepon pada Farid,” ujar Mahyuddin, yang masih terlihat gagah meski sudah berusia 63 tahun.


Pertemuan di sebuah bukit berlangsung akrab. Sofyan dan Farid terlibat perbincangan hangat. Sofyan menyuguhi mereka bersantap ketan kuning, ayam panggang, durian, rambutan, dan langsat, di sebuah jambo. Farid mengaku makanannya ckup lezat dan tanpa malu-malu, dia menyantap sampai kenyang.


Usai bertemu Sofyan, Mahyuddin dan Farid kembali ke Desa Nibong, melalui rute dan truk yang sama. Perasaan mereka lega. Tetapi, ketegangan masih tampak di wajah kedua pria ini. Sesampai di Masjid Nibong, Mahyuddin mengajak Farid merasakan kelezatan rujak khas Aceh, sembari menunggu pesawat tiba di Bandara ExxonMobil. Agak lama mereka menunggu pesawat, sehingga Mahyuddin kembali mengajak Farid makan di Lhoksukon, ibukota Aceh Utara.


Di sebuah warung nasi, ungkap Mahyuddin, Farid terlihat mondar-mandir. Ia gelisah, sampai-sampai, Farid tak mau makan. “Saya was-was juga, tapi bagaimana pun, ini kan kampung saya,” kata Mahyuddin.

“Ketegangan” sampai membuat Farid salah tingkah. Dia hampir saja memberi kartu nama pejabat negara pada seorang polisi yang menegurnya. Untung saja, Mahyuddin melihat dan mencegahnya. Ketegangan itu membuat Mahyuddin menitip pesan pada Ali Jauhari, teman yang menemaninya. “Kalau saya meninggal di sini, tolong bawa pulang jenazah saya ke Sigli,” pesan Mahyuddin. “Tolong juga kasih kabar kepada keluarga saya di Jakarta.” [a]

Nurdin Hasan and Yuswardi Ali Suud contributed to this report. Published on ACEHKINI, Agustus 2008.

Selasa, Agustus 05, 2008

Tradisi Mengenang Para Raja

Oleh FAKHRURRADZIE GADE dan CHAIDEER
ACEHKINI Writer

PAKAIANNYA serba hitam. Di kepa­lanya dililit kain kuning. Senampan nasi putih diletakkan di tengah-tengah balai yang sudah dipenuhi para tamu undang­an. Saat acara mulai, pria itu mengambil nasi dan menyuapi pria berbaju hitam yang me­ngenakan kupiah Meukeutop. Pria itu adalah Teuku Saifullah bin Teuku Hasymi el Hakimi, keturunan ke-13 raja Daya.


Saban tanggal 10 Dzulhijjah atau hari pertama lebaran Idul Adha, keturunan Kerajaan Daya menggelar upacara Seumeuleung. Upacara tahunan itu dipusatkan di makam Raja Alaiddin Riayatsyah di Gle Jong Desa Kuala Daya, Lamno, Kecamatan Jaya. Pada upacara tahun ini, Wakil Bupati Aceh Jaya Teungku Zamzami A. Rani menjadi tamu. Tetua adat Seumeuleung juga menyuapi mantan juru bicara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Meureuhom Daya itu.

Inilah tradisi yang dipelihara turun terumurun, dari tahun ke tahun. Tiap hari pertama Idul Adha, warga Lamno tumpah ruah di makam Po Teumeureuhom untuk menggelar upacara Seumeuleung. Biasanya, usai upacara dilanjutkan kenduri dengan menyembelih sapi atau kerbau.

Seumeuleung diperingati untuk me­ngenang para raja di Kerajaan Daya. Menurut Teuku Saifullah bin TH el Hakimi, upacara Seumeuleung diadakan tiap tanggal 10 Dzulhijjah pada pukul 10.00 WIB. “Ini untuk memperingati berdirinya Kerajaan Daya,” kata Saifullah kepada ACEHKINI.

Dia mengisahkan, Sultan Aceh mengutus Sultan Alaiddin Riayatsyah ke negeri Daya untuk mengatasi berbagai kemelut yang sedang dihadapi empat kerajaan kecil di sana, yaitu Kerajaan Kluang, Lamno, Kuala Unga, dan Kerajaan Kuala Daya. Tak lama setelah sampai di negeri Daya, Alaiddin Riayatsyah mengumpulkan keempat raja ini di Kerajaan Kuala Daya.

Di hadapan para raja, Alaiddin Riayatsyah berpidato dan mendeklarasikan berdi­rinya Kerajaan Daya. “Saudara-saudara, para raja. Hari ini, hari pertama Idul Adha, pukul 10, kita memperingati hari berdirinya negeri Daya. Semua masalah yang ada di negeri Daya harus diselesaikan dengan hukum Allah dan hukum adat. Kalau tidak bisa diselesaikan maka akan diserahkan kepada Kerajaan Aceh Darussalam,” kata Alaiddin seperti dikisahkan Saifullah.

Setelah mendeklarasikan Kerajaan Daya, Sultan Alaiddin Riayatsyah diangkat menjadi raja pertama. “Setelah itulah, Sultan Alaiddin Riayatsyah atau Po Teumeureuhom di-seuleung,” ujar Saifullah.

Syafrizal, seorang guru sekolah mene­ngah di Lamno, yang pernah meneliti tradisi Seumeuleung saat mengambil gelar Sarjana Pendidikan di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Perguruan Tinggi Serambi Mekkah Banda Aceh mengatakan, Seumeuleung pertama sekali digelar pada saat Sultan Umar bin Abbas dikukuhkan sebagai sultan di Kerajaan Daya. Dia kemudian bergelar Sultan Alaiddin Riayatsyah.

Masih menurut Syafrizal, dulu raja di­suapi kakeknya. Sedangkan kini dilakukan dua orang pengasuh (khadam/meungpeutimang po) yang berpakaian ala syaikh dari Arab. “Upacara Seumeuleung sebenarnya untuk menghormati pengangkatan Alaiddin Riayatsyah menjadi Sultan di negeri Daya,” kata Syafrizal.

Upacara seumeuleung selain diha­diri keluarga kerajaan dan rakyat, juga diha­diri sejumlah tamu penting dari negara lain. Seperti diketahui, Kerajaan Daya saat itu sudah menjalin hubungan bilateral dan multilateral dengan sejumlah negara, se­perti Amerika Serikat, Inggris, dan Portugis. Para raja dan tamu negara dijamu di sebuah balai (jambo).

Sebelum prosesi puncak seumeuleung, upacara dimulai dengan membagi-bagikan sirih (ranub gapu) kepada delapan meunaro (petugas di ruangan majelis). Para meunaro inilah yang meneruskan untuk membagikan sirih kepada anggota majelis. Disusul kemudian raja menyampaikan amanat tahunan yang berisikan nasehat tentang persatuan dan tertib hukum serta adat-istiadat. “Nah, di akhir upacara baru raja disuapi (seuleung) dengan nasi ketan,” kata Syafrizal.

Syafrizal menyebutkan, salah satu tradisi seumeuleung yang menarik adalah perebutan japan atau sisa-sisa hidangan. Ada kepercayaan japan berkaitan dengan nasib rezeki mereka. Bila mereka tidak berhasil mendapatkan japan, maka rezeki me­reka akan mampet selama 44 hari. Menurut Hasan Ibrahim, “Nasi japan ini dipercaya bisa menjadi obat bagi anak-anak.”

Bahkan, pada malam sebelum upacara seumeuleung dimulai, penjaga makam Po Teumeureuhom menyalakan tujuh lampu teplok yang terbuat dari tanah liat dan berbahan bakar minyak goreng. “Jika ketujuh lampu itu menyala dengan baik mereka percaya rezeki tahun ini akan berlimpah,” kata Syafrizal.

Lampu teplok itu diletakkan di tujuh segi. Mereka yakin, lampu itu sebagai pe­nanda rezeki mereka untuk masa depan. “Kalau misalnya nyala lampu yang diletakkan di sebelah laut terang benderang, maka dipercaya akan banyak hasil laut,” kata Saifullah, bapak beranak dua ini.

Versi berbeda dikemukakan Panglima Sultan Hasan Ibrahim, seorang keturunan Sultan Alaiddin Riayatsyah. “Pada awalnya upacara ini digelar sebagai pertanda bahwa agama Islam sudah tersebar ke seantero Kesultanan Daya dan Kesultanan Aceh,” kata Hasan Ibrahim saat ditemui ACEHKINI di Lamno, 26 Desember 2007.

Menurut Hasan Ibrahim, saat itu Sultan Alaiddin Riayatsyah menginstruksikan kepada empat pengawal kerajaan untuk me­ngenakan pakaian adat kerajaan yang serba hitam. Dua pria didandani menyerupai pengantin pria dan wanita (linto baro dan dara baro). Sementara dua lainnya bertugas sebagai dayang bagi para pengantin. Saat keduanya bersanding, sang istri mengambil sesuap nasi dari idang dan menyuapi suaminya. Setelah selesai, giliran suami menyuapi istrinya. “Begitulah awalnya tradisi seumeuleung dilakukan,” kata Hasan Ibrahim. Setelah prosesi “perkawinan” itu selesai, kata Hasan Ibrahim, raja beserta rakyat yang hadir di upacara itu makan bersama (kenduri).

Itu adalah cikal bakal lahirnya budaya seumeuleung di Kerajaan Daya. Masih menurut Hasan, pada awalnya upacara itu dilakukan oleh para pengawal kerajaan. Namun belakangan, setelah Po Teumeureuhom meninggal, prosesi itu diteruskan secara turun temurun oleh keturunan kerajaan. “Seumeuleung menjadi tradisi keluarga kerajaan dan diwariskan secara turun temurun. Tidak boleh oleh keluarga yang lain, kecuali keturunan raja sudah tidak ada lagi,” kata pria berusia 72 tahun itu.

Saat prosesi seumeuleung keluarga kerajaan mengenakan pakaian serba hitam. Hanya saja, orang laki-laki mengenakan kain sarung dan surban warna kuning. Sedangkan perempuan mengenakan busana yang menutup seluruh auratnya. “Baju hitam itu baju adat. Dulu semua tentara Kerajaan mengenakan baju hitam. Dan semua keluarga Po Teumeureuhom juga mengenakan pakaian hitam di lingkup kerajaan (dinas),” lanjutnya.

Sebelum prosesi seumeuleung dimulai, terlebih dahulu panglima (pemimpin acara) membacakan salawat dan ayat-ayat al-Quran. Setelah semua prosesi berakhir, dilanjutkan dengan kenduri dan doa bersama. “Kita mendoakan semoga Islam tetap maju di negeri Daya dan Aceh,” kata Hasan.

Tsunami yang melanda Aceh tiga tahun silam juga merembes pada pelaksanaan tradisi seumeuleung. Jika dulu panglima seumeuleung dan (keturunan) raja me­ngenakan jubah hitam yang dipadu dengan surban putih, kini atribut itu tak ada lagi. Perlengkapan seperti jubah hitam, pedang dan dalĂ´ng yang sering digunakan dalam ritual juga musnah dihanyutkan gelombang raksasa. Balai tempat prosesi ritual juga tak luput dari ganasnya gelombang gergasi.

Kendati Seumeuleung sudah menjadi tradisi di Lamno, tidak semua warga paham seluk beluk tradisi ini. Abdullah, misalnya. Dia mengaku tak terlalu paham makna seumeuleung. Bagi dia, seumeuleung hanya­lah cara mereka mengenang para raja. “Ini adalah cara kami mengenang raja,” kata Abdullah. Tapi, bagi Saifullah yang keturunan raja, seumeulueng punya makna lain. “Kalau tidak diperingati, kami takut akan kena ganjaran dari pendahulu kami.” [a]

Rabu, Juli 30, 2008

Merawat Tradisi Berat di Ongkos.

OLEH FAKHRURADZIE GADE DAN DEDEK
ACEHKINI Writer

Di teras itu mereka duduk berjejer, bersila di lantai yang setengah bersih. Di depannya, sejumlah rapai kecil tergeletak di lantai. Di hadapan mereka, sang instruktur, seorang lelaki, memberi aba-aba. Para anak muda itupun mulai menepuk tangan di dada: kiri dan kanan, silih berganti dalam gerak lambat. Tak berapa lama tubuh mereka meliuk-liuk, menari. Oops, instruktur menghentikan gerakan mereka, karena tidak kompak. Gerakanpun diulang.

Suatu sore di pengujung Mei lalu, Auditorium Ali Hasjmy IAIN Ar-Raniry Banda Aceh menjadi saksi keuletan dan kegigihan para penari berlatih. Di sudut lain, tiga pria duduk bersila dengan gendang di tangan. Di belakangnya, berdiri tegak seorang perempuan. Sementara lima lainnya bersiap-siap menarikan tarian Kreasi Baru “Syukran”. Gerakan tubuh mereka mengikuti irama gendang dan lantunan syair yang dibacakan syekh. Beberapa gerakan seperti orang main karate atawa silat.

“Tarian ini yang banyak disukai,” kata Imam Juwaini, mantan ketua Sanggar Seni Seulaweut IAIN Ar-Raniry, sore itu.

Begitulah suasana latihan anggota Sanggar Seni Seulaweut. Dalam sepekan, mereka berlatih tiga hari. Latihan ini untuk terus mengasah keterampilan dalam memainkan berbagai tarian saat tampil di berbagai acara. Dua bulan terakhir, semangat berlatih kian menyala. Maklum, sanggar ini diundang secara resmi oleh Pemerintah Cina untuk tampil saat pesta pembukaan Olimpiade Beijing 2008 Agustus nanti. Pemerintah Cina rupanya kepincut saat mereka mentas di depan publik internasional yang berkumpul di Qing Dao, Beijing, Cina, akhir Oktober 2007 lalu.

Sayangnya, hingga kini belum ada kepastian keberangkatan. Ketua Sanggar Dedy Saputra mendapat kabar mereka terancam gagal ke ajang olimpiade. “Karena waktu berangkat ke Cina tahun lalu, entah kenapa, ada tersisa utang antara Dinas dengan pihak ketiga,” ujarnya.

Ceritanya, keberangkatan mereka ke Beijing tahun lalu difasilitasi Dinas Pariwisata dan Budaya Aceh. Di sana, mereka berhasil ‘membius’ para diplomat yang hadir pada perheletan yang menghadirkan utusan 45 negara. Panitia menyediakan satu pentas khusus bagi mereka untuk memperkenalkan seni dan budaya Aceh. Entah bagaimana ceritanya, keberangkatan mereka ke sana, rupanya melibatkan pihak ketiga. “Pihak ketiga inilah yang tersangkut utang piutang dengan dinas,” ujar Dedi.

Padahal, Dedi sudah berencana kembali membius publik Cina dan negara peserta Olimpiade dengan gerakan tari Saman yang dinamis. Ia ingat benar, saat tampil di Beijing tahun lalu, tepuk tangan seakan tak pernah berhenti. Mereka memberi applause kendati tak paham dengan syair dan lirik yang dilafalkan syekh. “Mereka sangat antusias. Tapi itu tadi, ini beneran lagee Cina nonton Seudati,” kata Dedi, tersenyum.

Selain ke Olimpiade Beijing, sanggar ini juga telah mengantongi undangan untuk mentas di festival budaya tradisional di Turki. Sayangnya, ongkos ke sana juga belum ada. Lagi-lagi, rencana ke Turki terancam gagal. “Kita hanya butuh tiket pesawat. Sedangkan akomodasi ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah Turki,” ujar Imam Juwaini, seorang pengurus sanggar yang juga pimpinan grup musik Saleum itu.

Lahir 12 tahun silam, Sanggar Seni Seulaweut adalah salah satu unit kegiatan mahasiswa di IAIN Ar-Raniry. Sempat terseok-seok di awal, Sanggar itu berhasil berkibar dan melejit ke pentas seni mancanegara. Pada September 2005, mereka tampil live di stasiun TV3 Malaysia. Itulah pertama kalinya mereka tampil di di ajang intenasional. Saat itu, mereka menggoyang publik Malaysia dengan Rapai Geleng dan Likok Pulo.

Usai tampil di TV3, Sanggar diminta tampil pada malam amal seni budaya Aceh di Kampong Baru, Kuala Lumpur. Tak berhenti sampai di situ, TV3 kembali meminta mereka tampil dalam film dokumenter Jejak Rasul akhir 2006 lalu.

Bagi Imam Juwaini, penampilan di Malaysia menjadi kenangan manis. Betapa tidak, modal mereka berangkat hanya Rp 150 ribu. “Saat itu hampir tidak ada dukungan dari siapa pun. Namun dengan tekad membara, kami berangkat dan disambut hangat di sana,” kata Imam yang pernah memimpin Sanggar selama lima tahun.

Malaysia adalah batu loncatan mere¬ka tampil di panggung internasional. Di peng¬hujung tahun 2005 komunitas seni anak muda ini kembali mendapat un¬dangan mentas di Universitas Kebangsaan Malaysia dalam muhibah seni dan budaya Aceh-Melayu antarkampus. Kini, Sanggar Seulaweut telah mengoleksi lebih dari 50 piagam penghargaan. Ada penghargaan tingkat lokal, nasional, bahkan internasional.

Komunitas ini tak hanya berkutat pada pentas live di depan publik. Tahun lalu, me¬reka memproduksi cakram padat (VCD) yang berisi tarian tradisional dan lagu yang mereka bawakan. Sejumlah senior di sanggar itu bahkan telah merambah industri musik Aceh dengan membentuk Saleum Group. Menurut Imam Juwaini, pimpinan Saleum Group, produksi tari dan syair dalam cakram padat untuk menyasar audien yang lebih luas. Pasalnya, pentas langsung mereka sangat terbatas. “Dengan media VCD kita harap masyarakat bisa belajar syair dan tari tradisional Aceh,” kata dia.

Dengan deretan prestasi itu, Dedy yakin akan mengharumkan nama Aceh jika jadi tampil di Beijing. Itu sebabnya, ia berharap ada donatur yang bersedia mensponsori keberangkatan ke sana.

Bagi anak-anak muda yang ingin meng¬ukir prestasi sembari merawat dan mempromosikan budaya peninggalan leluhur ini, penampilan di pesta pembukaan Olimpiade Beijing merupakan sebuah impian. “Sayang saja, kalau gara-gara utang, momen untuk memperkenalkan budaya Aceh ke masyarakat dunia batal,” ujar Imam. [a]

Setelah Tanda Luka Terungkap

OLEH FAKHRURRADZIE GADE DAN NURDIN HASAN
ACEHKINI Writer

“Anakku,” teriak Suryani histeris sambil mendekap Riko Anggara. Bulir air mata seketika membasahi pipi perempuan 30 tahun itu. Saat pelukan terlepas, dia memelototi sekujur tubuh Riko. Hanya sekejap, ia kembali mendekap. Tak hanya memeluk, Suryani juga mencium dan menyapu wajah hitam manis bocah 11 tahun itu.

“Kamu mirip sekali dengan anak saya,” kata Suryani. Riko hanya mematung. Sesekali dia mengangguk. Raut wajahnya datar, tanpa ekspresi. “Sabar ya bu. Semoga ibu bisa bertemu kembali dengan anak ibu,” ujar Riko. Suryani kian erat memeluk dan menciumi tubuh mungil siswa Sekolah Dasar Negeri 4 Kelapa Dua, Jakarta.

Drama itu berlangsung di ruang pertemuan RCTI Jakarta, awal Mei lalu. Ini bukan reality show, tapi pencarian seorang ibu yang kehilangan anak. Seisi ruangan mematung. Rasa haru-biru menyeruak. Nenek, kakek dan paman Riko hanya menyak¬sikan drama itu. Tarmizi, suami Suryani, juga terpaku melihat Riko, yang mirip Rahmat, anaknya yang hilang dalam bencana tsunami tiga setengah tahun silam.

“Ayo, giliran bapak,” kata Deni Reksa, news manager RCTI, kepada Tarmizi yang masih terpaku. Tarmizi yang memakai kaos motif bergaris hijau tua-putih langsung mendekap Riko. Raut kesedihan terpancar dari wajah warga Desa Neuheun, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar, ini. Untuk mencairkan suasana, news manager RCTI Deni Reksa, mempersilakan keluarga Riko dan Tarmizi duduk semeja. Riko duduk persis di samping Suryani yang tak henti menatapnya.

Semua berawal dari pentas Idola Cilik, ajang pencarian bakat menyanyi di RCTI. Suatu hari, tanpa sengaja Suryani melihat Riko sedang menyanyi di tivi. Dadanya bergetar. Matanya tak berkejap. Batinnya berkata, yang sedang mengolah vokal adalah anaknya. Ia bertambah yakin ketika suami dan para tetangga mendukung pendapatnya. Sejak itu, ia memendam tekad: bertemu Riko.

Berbagai upaya ditempuh. Menelepon redaksi RCTI di Jakarta, mencari perwakilan di Banda Aceh, hingga mencari siapa yang bersedia memfasilitasi keberangkatannya. Maklum, Suryani dan Tarmizi hanya pedagang kecil berpenghasilan terbatas. Di telepon, ia sempat berbicara dengan Riko. Namun, waktu itu, Riko mengaku bukan asal Aceh, melainkan Palembang. Suryani tak yakin. “Semua yang ada pada Riko persis anak saya, Rahmat,” ujarnya.

Difasilitasi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh – Nias, Suryani dan suaminya terbang ke Jakarta. Di ruang pertemuan RCTI, melihat Riko dari dekat, keyakinan Suryani bertambah. Menurutnya, banyak kemiripan antara Riko dengan Rahmat: cara jalan, senyum, potongan rambut, hingga raut wajah. Ditambah lagi, beberapa tanda khusus Rahmat juga dimiliki Riko. Sebut saja misalnya, luka di atas kening, di paha, dan lutut.

“Riko, luka di atas kening kamu itu kenapa?” tanya Tarmizi seketika.

“Kena kawat waktu jatuh dari sepeda,” jawab Riko.

Jawaban Riko membuat Tarmizi dan Suryani terhenyak.Tapi mereka berusaha menguasai diri. Tarmizi berusaha tersenyum. “Kok bisa sama ya. Rahmat juga punya bekas luka di atas kening,” kata dia.

Sontak saja seisi ruangan terpana. Kakek Riko mengatakan ikut prihatin dengan apa yang menimpa keluarga Tarmizi. “Saya ikut prihatin. Kalau ibu benar-benar rindu dengan anak ibu, saya juga persilakan ibu melepaskan kerinduan dengan cucu saya ini,” kata sang kakek tak meneruskan ucapannya.

Kesempatan ini benar-benar dipergunakan Tarmizi dan Suryani untuk menelisik kemiripan Rahmat dengan Riko.Tiga luka di tubuh Rahmat dimiliki Riko. Anehnya, luka-luka itu berada pada bagian tubuh yang sama, seperti luka di betis, paha, dan di atas kening. Hanya saja, tahi lalat yang ada di kepala Rahmat, tidak ditemukan pada diri Riko. “Tahi lalat di kepala anak saya kecil,” kata Suryani usai menyibak rambut lurus Riko.

***

Tarmizi dan Suryani ingat benar tragedi yang merampas buah ha¬tinya. Saat gempa 8,9 pada skala Richter menggoyang Aceh pagi Minggu, 26 Desember 2004, mereka masih di rumahnya di kawasan Dusun Mon Singet, Desa Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar.

Usai gempa, Tarmizi membawa dagang¬annya ke Pasar Aceh, sekitar 10 kilometer dari rumah. Rahmat, anak kedua pasangan ini, meminta ikut sang ayah. Namun permintaan itu ditolak Tarmizi. Dia meminta Rahmat menyusul dengan ibunya, Suryani.

Bersama Rahmat, Suryani menggendong Fitrah—saat itu berusia sembilan bulan—menyusul sang ayah dengan menumpang angkutan kota. Beranjak satu kilometer, ia dikejutkan gelombang warga berlarian dengan wajah ketakutan ke arah berlawanan. Ia masih bingung apa yang terjadi.

“Air laut naik,” Suryani heran mendengar teriakan warga. Jalanan berubah menjadi lautan manusia. Turun dari labi-labi, ia berlari menghindar air bah. Sial, bajunya tersangkut kawat. Berkali-kali dia berusaha menarik bajunya, tapi gagal. Rahmat, anaknya, telah di depan. Namun melihat ibu dan adiknya tersangkut, dia berusaha membantu menarik baju ibunya. Berhasil.

Bebas dari kawat duri, tak berarti Suryani terbebas dari ancaman air. Saat berlarian, Suryani kembali terjatuh—bersama bayi mungilnya. Lagi-lagi, Rahmat berusaha menolong ibu dan adik kecilnya. “Padahal, saya suruh Rahmat lari menyelamatkan diri. Tapi dia tidak mau dan membantu saya,” ujar perempuan kelahiran Singkil itu.

Entah bagaimana, Suryani terpisah dengan buah hatinya. Ia sendiri sempat digulung gelombang air laut yang murka. Setelah air surut, Suryani memutuskan mencari anak-anaknya. Tiga anaknya berhasil ditemukan. Tapi Rahmat, hilang.

Sehari setelah tsunami, Suryani dan Tarmizi kembali ke kampung. Berhari-hari mereka mencari jejak Rahmat. Semua jenazah yang dijumpainya diperhatikan seksama. Tak ada jasad kaku Rahmat. Malah, pencarian dilakukan sampai ke Sumatera Utara. Lelah mencari, mereka mengikhlaskan kepergian Rahmat, kendati tidak yakin tsunami telah merenggut anaknya.

***

Tiga setengah tahun telah lewat. Suatu siang di bulan Maret, di rumah barunya di Kompleks Cinta Kasih Budha Tzu Chi, Desa Neuheun, Aceh Besar, mata Suryani terpacak pada sosok bocah kecil di televisi. Sosok itu tak asing baginya. “Dia mirip sekali dengan anak saya,” katanya.

Dia lantas memanggil suaminya. Suryani malah langsung bilang bahwa itu adalah Rahmat, anak mereka yang hilang dalam gelombang tsunami. Tapi, Tarmizi tak percaya begitu saja. Dia berusaha meyakinkan istrinya bahwa Riko yang tampil di Idola Cilik RCTI itu hanya mirip anak mereka. Tapi, para tetangga yakin Riko adalah Rahmat, anak mereka yang hilang.

Suami-istri ini lalu mencari nomor telepon stasiun RCTI. Berkali-kali mereka mendatangi stasiun transmisi RCTI di Mata Ie. Sejumlah nomor telepon yang diberikan petugas transmisi gagal tersambung. Kecewa, Tarmizi sempat membanting telepon genggang kesayangannya.

Tak kehilangan akal, mereka mendatangi tempat nongkrong jurnalis di Banda Aceh. Di sana, mereka bercerita kemiripan anaknya dengan Riko Anggara. Bahkan, mereka mengatakan bahwa Riko adalah anak mereka. Keyakinan itu tak berubah setelah mereka bertemu Riko.

“Saya yakin itu anak saya,” kata Suryani usai bertemu Riko. Keyakinannya bertambah karena keterangan keluarga Riko selalu berubah-ubah. Kadang kala, ibunya dibilang meninggal saat Riko masih berusia sembilan bulan. Di lain waktu, mereka berkata Riko kehilangan ibunya di usia lima tahun.

Saat mengajak Riko jalan-jalan di Tugu Monumen Nasional, Jakarta, Tarmizi dan Suryani menemukan banyak sifat Riko yang mirip Rahmat. “Anak saya paling tidak suka sama durian. Saat jalan-jalan itu, kami beli durian, tapi Riko tidak mau makan,” kata Tarmizi kepada ACEHKINI.

Sederet keanehan itu membuat Tarmizi dan Suryani masih menyimpan harapan bahwa Riko adalah Rahmat, buah hati mereka. Kini, mereka hanya berharap kejujuran keluarga Riko. “Keluarga si Riko tidak mau meyakinkan kami bahwa itu bukan anak kami. Seharusnya, mereka meyakinkan agar kami tidak ragu lagi.Misalnya, kalau itu bukan anak kami, ya tes darah.Tapi mereka tidak berani. Untuk periksa luka saja tidak dikasih nampak. Padahal luka itu ada semua,” kata Tarmizi.

Kini, Tarmizi hanya bisa berharap misteri Riko terungkap. “Riko sering menelepon waktu saya telah tiba di Aceh. Kadang-kadang dia mengaku tidak bisa tidur karena teringat kami,” ujarnya.[a]

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting