Minggu, Desember 11, 2011

Prime Indonesian jungle to be cleared for palm oil

By Fakhrurradzie Gade, Associated Press Writer

ACEH, Indonesia (AP) — The man known as Indonesia’s “green governor” chases the roar of illegal chainsaws through plush jungles in his own Jeep. He goes door-to-door to tell families it’s in their interest to keep trees standing.

That’s why 5,000 villagers living the edge of a rich, biodiverse peat swamp in his tsunami-ravaged Aceh province feel so betrayed.

Jumat, Mei 20, 2011

Toleransi pada Sepasang Barongsai

MALAM baru saja jatuh di Banda Aceh ketika ratusan orang berbondong-bondong mendatangi Kampoeng Tjina, awal pekan lalu. Malam itu, Jumat (6/5), sebuah sudut di Peunayong disulap bernuansa Tiongkok. Puluhan tenda didirikan sebagai stan pameran dan lokasi jajanan khas Tionghoa. Puluhan lampion merah digantung di sepanjang ruas jalan, menambah kesan sedang berada di negeri si Ling Ling.

Di pintu masuk Ahmad Yani, di dekat Rex (pusat penjualan aneka makanan), sebuah gapura berarsitektur China menyambut para pengunjung. Di bawah gapura, dua pesepeda Ontel bergaya Eropa dan anak muda berpakaian adat Aceh ramah menyapa siapa saja tetamu yang menjejakkan kaki di Kampoeng Tjina itu.

Minggu, April 10, 2011

Pingsan Usai Dihukum Cambuk

JANTHO — DI ATAS panggung seukuran 4×4 meter, Irdayanti binti Mukhtar tertunduk lesu. Perempuan berusia 34 tahun itu tak kuasa menatap kerumunan orang mengelilingi panggung. Kamera para juru warta dan orang-orang menyorot ke arah Irdayanti yang terduduk di atas panggung. Di belakangnya dua perempuan berbaju hijau lumut membetulkan cara duduk Irdayanti.

Di sebelah kirinya, seorang pria berpakaian serba coklat berdiri mematung. Mukanya ditutup kain menyerupai pakaian ninja, hanya kelihatan dua bola mata. Inilah algojo, eksekutor hukuman cambuk. Di dekat algojo ini, ada seorang pria berpakaian dinas Kejaksaan Negeri Jantho memegang empat bilah rotan sepanjang satu meter.

Sebilah rotan diberikan kepada algojo. Sembari menungu aba-aba dari Jaksa Penuntut Umum Bendry Almy, algojo ini mengangkat rotan sejajar bahunya.

Sabtu, April 02, 2011

April Mob Ala Google

MENGENAKAN kaos biru berlogo Google, Paul McDonald memperkenalkan produk baru perusahaannya. Produk ini digadang-gadang mampu mempermudah umat manusia untuk berkirim dan membaca email. Produk baru ini merupakan revolusi besar dalam berkirim surat di dunia maya. Kita akan semakin terbebas dari keyboard dan mouse. Google menamakannya Gmail Motion.

Gmail Motion merupakan layanan surat elektronik yang memungkinkan kita membuka, menulis, membalas, dan mengirim surat elektronik hanya dengan bahasa tubuh (body language). Cukup menggerak-gerakkan tubuh dengan gerakan tertentu, maka email Anda telah dikirim.

Dibantu seorang stafnya, McDonald, Product Manager Google, memaparkan cara beremail menggunakan bahasa tubuh. Staf berkemeja putih itu lantas mengerakkan tangannya menyerupai orang tengah membuka amplop. Dalam sekejap, email terbuka dan siap untuk dibaca.

Selasa, Maret 08, 2011

Pulau Bunta [3]

Di depan kami, hamparan Samudera Hindia terbentang luas. Perahu nelayan hilir-mudik mencari laksa ikan di perairan yang tenang itu. Kapal tanker yang kami perkirakan milik sebuah perusahaan semen di Aceh ikut menyibuki laut yang tenang sore itu.

Di bawah lampu mercu suar, hamparan tanah lapang berumput hijau menyegarkan mata. Kami berlarian mencapai pantai, mencari sudut untuk dijadikan sasaran bidikan lensa.

Saya memilih ke sisi barat pantai yang dihiasi karang cadas mirip pemandangan Grand Canyon di Amerika. Hamparan batu sungai –bukan karang laut—memanjakan kaki setelah lelah menempuh perjalanan sekitar dua kilometer.

Eddy dan Juliansyah memilih sisi timur pantai. Di sini, mereka membidik lensa kamera ke segala penjuru. Susunan karang bertingkat membuat mereka nyaman mengabadikan pantai yang dihiasi pohon kelapa yang menjorok ke laut. Pulau Bunta mereka abadikan dalam berbagai angle gambar.

Di kejauhan, matahari mulai rebah. Warna jingga menghiasi kaki langit. Dari Ujong Bili, kami menikmati suasana matahari terbenam. Perahu nelayan yang mencari ikan atau sekadar melintas kawasan itu, menambah nuansa eksotis senja di Ujong Bili.

“Gila, indah banget pemandangannya,” kata Dian. Perempuan satu-satunya dalam rombongan kami ini, sudah menjelajahi sejumlah kawasan wisata di Indonesia. Dia pernah ke Lombok dan beberapa daerah lain.

Sore itu, Dian lebih memilih duduk dan tidur-tiduran di atas bukit yang menjorok ke laut, sembari teman-temannya memilih untuk berburu foto.

Perlahan matahari tenggelam di kaki langit. Gelap segera menyergap. Saat magrib menjelang, kami memilih beranjak dari Ujong Bili. Oya, dua kawan kami sedang berburu ikan di bawah bukit yang kami duduki. Tadi, begitu tiba di Ujong Bili, Irfan dan Ang Kim Ho, dokter anestesi di Banda Aceh, memilih menuruni bukit berkarang cadas untuk memancing.

Kami berusaha menyusuri mereka, karena hendak kembali ke basecamp dengan mengitari pulau kecil itu. Namun, kami kesulitan menuruni bukit. Jadilah, Irfan dan Ang Kim Ho memutuskan untuk menyusul kami di atas bukit Ujong Bili.

Sejam lebih Ang Kim Ho dan Irfan tak juga sampai ke lokasi kami, sementara gelap telah menguasai alam. Satu-satunya petunjuk komunikasi kami hanya dengan lampu senter. Sedangkan handphone yang mereka miliki tak bisa dihubungi. Jadilah kami berperasaan was-was.

Hasbi Azhar berusaha mencari jejak mereka. Namun gagal. Berkali-kali lampu senter diarahkan untuk memberikan kode untuk Ang Kim Ho. Aha, kami girang ketika Ang Kim Ho kembali memberi kode ke arah kami.

Hasbi dan Fahmi berlarian mendekati Irfan dan Ang Kim Ho. “Kami tadi tersesat, berputar-putar di tempat-tempat itu saja. Bukannya kami malah makin dekat ke sini, tapi dibawa kami makin menjauh entah ke arah mana,” kata Ang Kim Ho. Irfan terlihat pucat. Ia lelah, apalagi kakinya sempat kram ketika mendaki bukit tadi. [tamat]

Kamis, Februari 24, 2011

Harapan Terakhir pada Tes DNA

naskah oleh FAKHRURRADZIE GADE
foto oleh HERI JUANDA

SEPINTAS Yunairiati terlihat tegar. Ia masih bisa tertawa dan bercanda, serta bercerita banyak soal bencana tsunami yang merenggut suami dan tiga buah hatinya, enam tahun silam. Namun, di balik ketegarannya, perempuan 43 tahun itu memendam sebuah cita untuk segera bertemu Anantika Salwa, buah hatinya yang hilang dalam tsunami. Yunairiati yakin, Nonong, begitu ia sering menyapa Anantika Salwa, selamat dari murka laut.

“Ada orang pintar yang bilang pada saya bahwa Nonong akan pulang pada tahun ke tujuh setelah tsunami,” kata Yunairiati saat berbincang dengan atjehpost.com dan The Jakarta Globe, Rabu (23/2), di Banda Aceh.

Terawangan “orang pintar” ini bukan satu-satunya alasan sang buah hati masih hidup. Setahun setelah tsunami menghumbalang Aceh, sang ibu Yunairiati, Rafisah, pernah bermimpi. Dalam mimpi menjelang salat subuh itu, Rafisah didatangi Salwa. Dalam "perjumpaan" itu, Rafisah melihat cucunya yang mengenakan baju putih duduk di sebuah sudut ruang keluarga.

Rafisah sempat mengobrol dengan sang cucu, Salwa. Ia menanyakan ke mana gerangan Salwa sehingga tak pernah lagi berkunjung ke rumah nenek. "Saya di Langsa," jawab Salwa pada neneknya, "dibawa orang."

Usai memberi kabar keberadaannya, Salwa menghilang. Pagi harinya, Rafisah menceritakan mimpi bertemu dengan Salwa pada sang suami. Namun, sang suami tak merespons cerita Rafisah. Padahal, Rafisah berharap alamat mimpi ini diceritakan kepada anak mereka, Yunairiati, ibu Salwa. Namun kabar dari alam mimpi itu baru diceritakan sang suami kepada Yunairiati menjelang enam tahun tsunami Aceh.

Berdasarkan “petunjuk” ini, pada awal Desember 2010 lalu bolak-balik berkunjung ke Langsa. Dengan selembar foto keluarga, Yunairiati mencari buah hati, hingga ia bertemu dengan seorang siswa sekolah menengah pertama.

“Saat saya perlihatkan foto Salwa, adik itu langsung bilang saya harus ke Desa Kuala Langsa. Di sana Salwa tinggal,” kata Yunairiati.

Ia lantas menyusuri sekolah dasar di Kuala Langsa, pada 9 Desember. Kepada kepala sekolah, Yunairiati menyatakan ingin mencari anaknya yang hilang dalam tsunami dan menurut kabar ada siswa sekolah ini yang mirip dengan buah hatinya. Berbekal selembar foto, menurut Yunairiati, ia dipertemukan dengan Febi Gebriana, 12 tahun.

“Ibu guru kelas enam langsung meminta Febi untuk menanggalkan jilbabnya, untuk mencocokkan rambut Febi dengan rambut anak saya, yang keriting. Cocok,” kata dia. Sebelumnya, menurut cerita Yunairiati, sang kepala sekolah juga mengakui bahwa Salwa dan Febi mirip.

Sampai di sini, Yunairiati masih menganggap bahwa Salwa dan Febi mirip belaka. Begitu juga dengan tahi lalat yang ada di bawah hidung sebelah kanan, yang sama-sama dimiliki Salwa dan Febi. Namun, ia meminta pada kepala sekolah untuk memperlihatkan data Febi dan orangtuanya. Namun, Yunairiati –yang dating bersama kawannya, Syafira, diminta untuk kembali keesokan harinya.

Pada 11 Desember 2010, Yunairiati dan Syafira kembali ke sekolah itu. Rupanya, upaya Yunairiati bertemu dengan Febi tercium warga. Orangtua Febi –bersama warga—mendatangi sekolah. Beredar kabar, Yunairiati hendak menculik Febi.

“Kepada ibu Ainul Mardhiah (ibunya Febi Gebriana –red.) saya bilang mau mencari anak saya, yang mirip dengan Febi. Saya perlihatkan foto, dan mereka juga bilang mirip,” kata warga Desa Kajhu, Aceh Besar, ini. “Namun saya bilang, kalau Febi bukan anak saya, saya minta maaf.”

Melihat massa yang ramai, Yunairiati dan Syafira dibawa ke kantor desa yang berada satu kompleks dengan sekolah. Lagi-lagi, Yunairiati menjelaskan bahwa ia hendak mencari anaknya. Ia sama sekali tidak bermaksud menculik Febi Gebriana.

Massa semakin bertambah. “Seorang warga ada yang mencoba masuk paksa ke kantor desa melalui jendela. Lalu dia diusir. Mungkin tindakan ini yang memicu provokasi massa,” kata dia.

Massa kemudian beringas dan mengepung kantor desa. Yunairiati dan temannya dipukul dan disiksa. Penghakiman massa berakhir setelah aparat kepolisian datang ke lokasi. Yunairiati harus dirawat di Rumah Sakit Umum Langsa akibat luka di sekujur tubuhnya. Sementara Syafira terpaksa dilarikan ke sebuah rumah sakit di Medan, Sumatera Utara, akibat tulang lehernya nyaris patah.

Setelah petaka itu, Yunairiati melapor ke Polres Langsa soal anaknya yang hilang. Ia meminta dilakukan tes DNA antara dirinya dengan Febi Gebriana dan orangtuanya. “Saya ingin tes DNA agar persoalan ini selesai,” kata dia.

Awal bulan ini, Yunairiati mendapat informasi dari Polres Langsa bahwa keluarga Febi Gebriana setuju untuk melakukan tes DNA.

Ainul Mardhiah, ibu Febi, akan membantu Yunairiati untuk menyelesaikan kasus (anak tsunami) ini. Menurut Ainul, pascakejadian itu, Febi mengalami trauma dan sempat berhenti sekolah.

“Saya marah, dan bingung,” kata perempuan berusia 34 tahun ini, yang pindah dari Banda Aceh ke Langsa setelah tsunami untuk memulai hidup baru. “Saya ingin kasus ini segera selesai,” kata dia pada Associated Press.

Tsunami menyebabkan lebih dari 1.600 anak-anak terpisah dari orang tuanya. Farida Zuraini dari Dinas Sosial Aceh menyebutkan, sebanyak 1.529 anak yang telah direunifikasi dengan orangtuanya hingga Juni 2006.

"Program ini kita hentikan pada 2006 lalu. Namun kalau ada yang datang ke kami dan meminta bantu dicari anaknya, kami akan ikut membantu," kata Farida Zuraini.

Kasus terakhir yang ditangani Dinas Sosial pada 2009. Saat itu, kata Farida Zuraini, ada satu keluarga yang meminta Dinas Sosial melacak keberadaan anaknya di sebuah panti asuhan di Jawa. Namun, setelah jaringan yang dipakai Dinas Sosial menelusuri ke panti asuhan tersebut, "rupanya bukan anak Aceh seperti yang dibilang ibu yang minta bantu sama kita," lanjutnya.

Pada 2008 lalu, Dinas Sosial melalui program "tracing" juga berhasil memulangkan seorang anak Aceh dari Lombok.

"Setelah enam tahun tsunami, tidak ada lagi keluarga yang datang ke kita meminta bantu. Mungkin masih ada yang mencari-cari, tapi dilakukan sendiri," kata dia. ***

--
Dipublikasikan di The Atjeh Post [www.atjehpost.com] edisi 24 Februari 2011.

Perempuan-perempuan Tegar

RAFISAH tiba-tiba terbangun dari tidurnya menjelang salat subuh. Dalam tidurnya, Rafisah bermimpi bertemu sang cucu, Anantika Salwa, yang hilang dalam gelombang tsunami 26 Desember 2004. "Perjumpaan" itu terjadi hanya beberapa hari menjelang setahun tsunami. Dalam "perjumpaan" itu, Rafisah melihat cucunya yang mengenakan baju putih duduk di sebuah sudut ruang keluarga.

Rafisah sempat mengobrol dengan sang cucu, Salwa. Ia menanyakan ke mana gerangan Salwa sehingga tak pernah lagi berkunjung ke rumah nenek. "Saya di Langsa," jawab Salwa pada neneknya, "dibawa orang."

Usai memberi kabar keberadaannya, Salwa menghilang. Pagi harinya, Rafisah menceritakan mimpi bertemu dengan Salwa pada sang suami. Namun, sang suami tak merespons cerita Rafisah. Padahal, Rafisah berharap alamat mimpi ini diceritakan kepada anak mereka, Yuniarti, ibu Salwa. Namun kabar dari alam mimpi itu baru diceritakan sang suami kepada Yuniarti pada tahun ke lima setelah tsunami menghumbalang Aceh.

Pada awal Desember ini, Yuniarti berangkat ke Langsa untuk mencari keberadaan anaknya. Berdasarkan informasi yang diperoleh, Yuniarti bersama temannya, Syafira, menunju Desa Kuala Langsa, untuk menjumpai Febi Gebriana, 12 tahun, yang mirip dengan Anantika Salwa.

Naas, kedatangan Yuniarti ke Kuala Langsa berbuah petaka. Isu penculikan anak yang beredar melalui pesan berantai membuat warga Kuala Langsa menghakimi Yuniarti dan temannya. Mereka dituduh sebagai penculik anak yang berpura-pura mencari anak yang hilang dalam bencana tsunami.

Amarah warga menyebabkan Yuniarti dan Syafira kritis setelah dianiaya gerombolan massa. Yuniarti harus dirawat di Rumah Sakit Umum Langsa akibat luka di sekujur tubuhnya. Sementara Syafira terpaksa dilarikan ke sebuah rumah sakit di Medan, Sumatera Utara, akibat tulang lehernya patah.

Mendengar kabar petaka yang menimpa Yuniarti, Rafisah gelisah bukan kepalang. Sebab, kepergian Yuniarti mencari buah hatinya ke Langsa tak terlepas dari isyarat mimpi yang dialaminya setahun usai tsunami.

"Karena isyarat mimpi ini, anak saya pergi ke Langsa untuk mencari anaknya," kata Rafisah saat ditemui pekan lalu.

Yuniarti kehilangan suami dan tiga anaknya dalam gelombang tsunami. Bagi Rafisah, tsunami menyebabkan enam cucu dan dua menantu hilang. Salwa merupakan cucu yang paling disayangi Rafisah.

"Dia cucu perempuan pertama yang saya miliki," kata Rafisah.

Pada malam sebelum tsunami meluluhlantakkan Aceh, Rafisah sempat bermimpi dengan Salwa. Dalam mimpi itu, Rafisah mengajak Salwa berbelanja ke kios dekat rumahnya. Dalam perjalanan itu, Rafisah terpeleset dan Salwa terjatuh dari gendongannya.

"Paginya, tsunami dan kami kehilangan Salwa," ujar Rafisah.

Rafisah masih meyakini sang cucu, Salwa, masih hidup. Apalagi dia dan keluarga pernah bertanya pada paranormal soal keberadaan Salwa. "Saya yakin Salwa masih hidup dan selalu berdoa semoga Salwa baik-baik saja. Kalau benar Febi (anak yang di Langsa) benar-benar cucu saya, pasi Allah akan mengembalikannya pada kami," ujarnya.

Tak hanya Yuniarti yang masih yakin anaknya masih selamat usai tsunami enam tahun silam. Pasangan Tarmizi dan Suryani masih berharap bisa bertemu dengan Rahmat, anaknya yang hilang dalam tsunami.

Nasib Tarmizi dan Suryani sedikit lebih baik. Difasilitasi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias dan stasiun televisi RCTI, Tarmizi dan Suryani bisa bertemu dengan Riko Anggara pada Mei 2008. Tiga bulan setelah pertemuan yang mengharukan di stasiun RCTI itu, Tarmizi-Suryani dan Riko Anggara melakukan tes DNA. Hasilnya, Tarmizi dan Suryani bukan orangtua biologis Riko Anggara.

Pencarian sang buah hati berawal dari pentas Idola Cilik, ajang pencarian bakat menyanyi di RCTI. Suatu hari, tanpa sengaja Suryani melihat Riko sedang menyanyi di tivi. Dadanya bergetar. Matanya tak berkejap. Batinnya berkata, yang sedang mengolah vokal adalah anaknya.
Ia bertambah yakin ketika suami dan para tetangga mendukung pendapatnya. Sejak itu, ia memendam tekad: bertemu Riko.

Berbagai upaya ditempuh. Menelepon redaksi RCTI di Jakarta, mencari perwakilan di Banda Aceh, hingga mencari siapa yang bersedia memfasilitasi keberangkatannya. Maklum, Suryani dan Tarmizi hanya pedagang kecil berpenghasilan terbatas. Di telepon, ia sempat berbicara dengan Riko. Namun, waktu itu, Riko mengaku bukan asal Aceh, melainkan Palembang. Suryani tak yakin.
“Semua yang ada pada Riko persis anak saya, Rahmat,” ujarnya.

Difasilitasi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh – Nias, Suryani dan suaminya terbang ke Jakarta. Di ruang pertemuan RCTI, melihat Riko dari dekat, keyakinan Suryani bertambah. Menurutnya, banyak kemiripan antara Riko dengan Rahmat: cara jalan, senyum, potongan rambut, hingga raut wajah. Ditambah lagi, beberapa tanda khusus Rahmat juga dimiliki Riko. Sebut saja misalnya, luka di atas kening, di paha, dan lutut.

“Riko, luka di atas kening kamu itu kenapa?” tanya Tarmizi seketika.

“Kena kawat waktu jatuh dari sepeda,” jawab Riko.

Jawaban Riko membuat Tarmizi dan Suryani terhenyak.Tapi mereka berusaha menguasai diri. Tarmizi berusaha tersenyum. “Kok bisa sama ya. Rahmat juga punya bekas luka di atas kening,” kata dia.

Sontak saja seisi ruangan terpana. Kakek Riko mengatakan ikut prihatin dengan apa yang menimpa keluarga Tarmizi. “Saya ikut prihatin. Kalau ibu benar-benar rindu dengan anak ibu, saya juga persilakan ibu melepaskan kerinduan dengan cucu saya ini,” kata sang kakek tak meneruskan ucapannya.

Kesempatan ini benar-benar dipergunakan Tarmizi dan Suryani untuk menelisik kemiripan Rahmat dengan Riko.Tiga luka di tubuh Rahmat dimiliki Riko. Anehnya, luka-luka itu berada pada bagian tubuh yang sama, seperti luka di betis, paha, dan di atas kening. Hanya saja, tahi lalat yang ada di kepala Rahmat, tidak ditemukan pada diri Riko. “Tahi lalat di kepala anak saya kecil,” kata Suryani usai menyibak rambut lurus Riko.

Tak hanya menelusuri Riko di Jakarta, Suryani juga berangkat ke Jambi, daerah asal Riko --sebelumnya Riko mengaku dari Palembang. Di Jambi, Suryani bertemu dengan keluarga Riko. "Tapi
waktu saya tanya sama mereka soal Riko, mereka tidak bisa memberikan jawaban. Seperti ada yang mereka sembunyikan dari saya," kata Suryani.

Cerita "pencarian" sang buah hati tak berhenti sampai di sini. Walaupun hasil tes DNA sudah jelas, Tarmizi dan Suryani masih yakin bahwa Riko Anggara ini merupakan anak mereka, Rahmat.

"Saya yakin itu anak saya. Tapi karena hasil tes DNA bilang bukan, kami pasrah saja. Tapi kalau ada kesempatan, kami mau tes DNA sekali lagi, biar kami tenang," kata Tarmizi.

Suryani dan Tarmizi sebenarnya tak terlalu percaya dengan hasil tes DNA yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. "Saat tes DNA itu, istri saya tiba-tiba kesurupan. Padahal dia tidak pernah kesurupan sebelumnya. Pas istri kesurupan, kami dan dokter keluar ruangan semua. Cuma tinggal Riko dan keluarganya di dalam ruang. Padahal, di ruangan itu ada darah saya dan istri dan cairan liur Riko yang diambil untuk dites DNA. Kami curiga, cairan ludah Riko bisa saja diganti. Kan tidak ada yang melihatnya," kata Tarmizi.

"Saya pernah menelepon keluarga Riko yang di Jambi dan ngobrol dengan neneknya. Nenek itu keceplosan dan ngaku Riko itu anak Aceh. Dia dibawa ke Jambi oleh seorang relawan saat pulang dari Aceh," ujar Suryani.

"Saya stres, sudah kayak orang gila, saat mencari-cari anak saya dulu. Tapi saya sekarang pasrah saja, walaupun saya yakin Riko itu anak saya," kata Suryani.

Tsunami menyebabkan lebih dari 1.600 anak-anak terpisah dari orang tuanya. Farida Zuraini dari Dinas Sosial Aceh menyebutkan, sebanyak 1.529 anak yang telah direunifikasi dengan orangtuanya hingga Juni 2006.

"Program ini kita hentikan pada 2006 lalu. Namun kalau ada yang datang ke kami dan meminta bantu dicari anaknya, kami akan ikut membantu," kata Farida Zuraini, Jumat pekan lalu.

Kasus terakhir yang ditangani Dinas Sosial pada 2009. Saat itu, kata Farida Zuraini, ada satu keluarga yang meminta Dinas Sosial melacak keberadaan anaknya di sebuah panti asuhan di Jawa. Namun, setelah jaringan yang dipakai Dinas Sosial menelusuri ke panti asuhan tersebut, "rupanya bukan anak Aceh seperti yang dibilang ibu yang minta bantu sama kita," lanjutnya.

Pada 2008 lalu, Dinas Sosial melalui program "tracing" juga berhasil memulangkan seorang anak Aceh dari Lombok.

"Setelah enam tahun tsunami, tidak ada lagi keluarga yang datang ke kita meminta bantu. Mungkin masih ada yang mencari-cari, tapi dilakukan sendiri," kata dia. []

Rabu, Februari 09, 2011

Pulau Bunta [2]

Pulau Bunta [2]

DI TEPI pantai, perahu yang kami tumpangi oleng diayun ombak. Bang Aloy dan Jufri, nakhoda dan kernet boat, berusaha mengendalikan perahu. Sauh sudah dilempar untuk menghentikan laju boat akibat terjangan ombak. Saya yang duduk di belakang, di samping Bang Aloy, mengalami kepanikan. Uh, saya yang punya pengalaman buruk dengan laut, bertambah pucat-pasi. Saya juga khawatir dua gadget yang setia menemani saya bakal keciprat air asin.

Duo-awak boat ini berupaya keras memarkirkan boat lebih ke pinggir dan menambatkannya dengan tali yang sudah dipasang di jalur labuban boat. Masalahnya, Bang Aloy berlabuh bukan di jalur lazim. Penyebabnya, ya seperti saya sebutkan di awal, navigator dadakan kami salah memberi arah. Jadilah perahu kayu biru ini terombang-ambing. Beruntung, sejumlah pemuda di Pulau Bunta terjun ke air dan membantu perahu yang kami tumpangi parkir di tempat seharusnya.

Kami terpaksa harus mendarat di air sepinggang, gara-gara Bunta tak dilengkapi dermaga. Barang yang kami bawa dari daratan Aceh terpaksa digotong urun rembug, agar air tak menjamah.

Keindahan Bunta langsung menyergap begitu menginjakkan kaki di sana. Ada sisi pantai yang dipenuhi batu sungai yang tertata rapi bak di pekarangan rumah. Di sisi lain, hamparan pasir putih kontas di antara warna hijau laut dan pegunungan. Agak ke barat lokasi pendaratan kami, sebuah pulau kecil berdiri gagah. Di sini, lokasi yang sering dijadikan warga sekitar untuk menjaring ikan. Jika air surut, pulau ini bisa dijangkau dengan jalan kaki di atas batu dan karang.

Usai menyapu kiri-kanan pantai, saya bergegas ke rumah singgah yang kami jadikan basecamp. Berbagai peralatan kami ungsikan di sini. Dari teras rumah panggung itu, saya mencoba menikmati laut biru, yang di dalamnya sejumlah boat hilir mudik. Dari kejauhan, saya bisa melihat Pulau Breuh, mercusuar di Pulau Deudap, garis putih pantai Pulau Batee yang berpendar-pendar, dan pegunungan Ujong Pancu di ujung Sumatera.

Saya tak sabar ingin segera menyusuri Pulau Bunta. Sayang, kelelahan yang menyergap dan panasnya mentari siang itu, membuat saya harus mengalah. Angin sepoi-sepoi dari perbukitan yang ada di belakang rumah, ditambah hembusan angin laut, membuat saya terlena berteduh di rumah.

Sembari beristirahat, beberapa kawan menyiapkan makan siang. Ada yang langsung merogoh kamera dan mengabadikan berbagai sisi pulau yabg membuat mereka takjub. Ada pula yang asik memerhatikan burung yang terbang rendah di depan rumah kami. Saya memilih merebahkab badan, menghilangkan kepenatan. Belakangan, hembusan angin dan suara deburan ombak mengantarkan saya ke peraduan.

***

JAM di Xperia saya menunjukkan angka 16.20 WIB, ketika Hasbi Azhar membangunkan saya. "Mau ikut kami atau tinggal di sini?" tanya Hasbi. Dia merupakan pengelola perjalanan kami ke Pulau Bunta. Bersama Juliansyah Adjie, fotografer lepas ini membuka jalur wisata ke Pulau Bunta. Di sini, mereka menyewa satu rumah seharga Rp1 juta setahun.

Tentu saja, ajakan Hasbi tak bisa saya lewatkan. Gila, ke Pulau Bunta susah payah, hanya saya habiskan untuk tiduran? No! Walaupun saya tidak membekali diri dengan kamera dan alat pancing, saya akan menikmati keindahan Pau Bunta with my own way.

Xperia yang saya punya dibekali dengan kamera 8 megapixel, saya yakin dengan perangkat ini bisa mengabadikan eksotisme Bunta, dan berbagi dengan kawan-kawan saya di laman Twitter dan Facebook. Itu sudah lebih dari cukup buat saya.

Sore itu, saat matahari rebah di ujung pulau, kami mulai menyusuri kawasan itu. Kami memilih sisi barat pulau untuk bisa menikmati suasana sunset. Di sepanjang perjalanan, kawan-kawan saya tak berhenti membidik lensa kamera mereka ke berbagai objek: pepohonan, hutan kecil di pinggir pantai, laut surut yang memperlihatkan karang dan aneka ikan di sela-sela karang. Sesekali mereka mencari-cari posisi babi hutan.

Di semak-semak hutan kecil di bibir pantai yang kami lewati, kicauan burung sangat menghibur. Namun tak banyak burung yang kami lihat sore itu.

Melewati semak belukar, kami bertemu dengan jalur tracking yang menantang. Di sisi kiri kami ada bukit. Sebelah kanan kami, wow, jurang yang langsung laut. Jalur yang kami lalui hanya nyaman untuk satu orang. Jalan setapak itu jauh dari kesan mulus. Jaga langkah Anda, Hasbi Azhar selalu berpesan pada kami.

Ya, jalan setapak itu kadang-kadang dipenuhi dengan rintangan kayu, batang kelapa, batu, gundukan tanah, akar pohon yang melintang, tanah becek nan licin. Lengah, bisa-bisa terpleset ke laut. Jalur tracking yang kami tempuh sekitar tigaratus meter.

Saya yang tidak terbiasa naik gunung, jelas kualahan. Keringat membanjiri sekujur tubuh yang dibalut jaket. Nafas saya tesengal-sengal. Berkali-kali saya melambatkan jalan, memberi kesempatan pada kaki, paru-paru, dan jantung untuk rehat dan memulihkan tenaga. Saya termasuk peserta yang tertinggal di barisan belakang.

Pun begitu, saya menikmati tracking ini.

Setelah bersusah payah mencapai puncak, kami dihibur dengan pemandangan alam yang aduhai. Lihat, di ujung pulau itu ada lampu suar yang tak terurus. Tiga rumah beton-putih tak dihuni lagi. Atapnya entah ke mana. Jendela dan daun pintu juga tak berbekas.

"Dulunya dihuni oleh petugas lampu mercusuar," kata Hasbi Azhar.

Menurut Hasbi, konflik bersenjata sebelum tsunami menerjang Aceh, enam tahun lalu, membuat petugas mercusuar memilih hengkang dari pulau ini. Jadilah rumah ini tak berpenghuni lagi. [bersambung]
Published with Blogger-droid v1.6.7

Sabtu, Februari 05, 2011

Pulau Bunta [1]

SAYA tak sabar ingin segera menjejakkan kaki di hamparan pasir putih begitu Pulau Bunta terbentang di depan mata. Dari jarak sekitar satu mil, saat masih berada di tengah laut, hamparan pasir putih terlihat jelas menghiasi pulau yang berada di gugusan Pulau Aceh, Aceh Besar.

Pagi ini, bersama tujuh kawan, kami menyewa boat di dermaga Ulee Lheue, Banda Aceh, menuju Bunta. Perjalanan mengarungi laut ditempuh dalam waktu satu jam. Beruntung, hari ini cuaca bersahabat. Angin laut yang biasanya mengganas, pagi ini adem-adem saja. Ombak pun nyaris tak ada: hanya deburan kecil yang membuat perahu kami seperti ayunan yang diikat di pohon kelapa di pinggir laut.

Saya yang biasanya mabuk laut, hari ini bisa duduk manis di samping "pawang boat" atau juru kemudi. "Kemarin ombaknya besar. Kalian beruntung," kata nakhoda boat.

Ini perjalanan pertama saya menuju Pulau Bunta. Dan ini pengalaman kedua menyusuri perairan antara Pulau Batu dengan ujung barat Pulau Sumatera, Ujong Pancu. Di antara dua pulau ini, lautnya terkenal ganas. Saya pernah menempuh perjalanan dari dermaga Lampulo menuju Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, dua pekan setelah tsunami menyapu pesisir Aceh, enam tahun lalu.

Pada tanggal 14 Januari 2005, mesin boat yang saya tumpangi mati mendadak di tengah gempuran ombak setinggi dua meter. Boat oleng dahsyat. Seisi perahu pucat pasi. Dua jurnalis dari Jepang yang semula menikmati perjalanan, mendadak pucat. Saya berpikir inilah akhir perjalanan saya menyusuri dunia ini. Syukur, Tuhan memberi kami umur panjang dan membolehkan kami melanjutkan perjalanan ke Lhoong.

Saat menempuh perjalanan tadi, pengalaman mendebarkan di pembuka tahun 2005 seketika melintas di pikiran saya. "Hari ini lautnya tenang," lanjut nakhoda boat bermesin 23 PK itu.

Benar saja, kami bisa menginjakkan kaki di hamparan pasir putih Pulau Bunta dengan mulus. Walaupun sempat kelimpungan di pinggir pantai, karena boat kami salah mendarat. Ya, Hasbi Azhar, sang navigator boat dadakan, salah memberi arah lokasi labuhan. Jadilah, ombak kecil mengaduk-aduk lambung boat.

Ehm, saya tak sabar untuk segera menyusuri bibir pantai berpasir putih. Tapi, harus saya tunda dulu, karena kami harus mempersiapkan segala keperluan logistik di rumah singgah. [bersambung]
Published with Blogger-droid v1.6.7

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting