Kamis, Februari 24, 2011

Perempuan-perempuan Tegar

RAFISAH tiba-tiba terbangun dari tidurnya menjelang salat subuh. Dalam tidurnya, Rafisah bermimpi bertemu sang cucu, Anantika Salwa, yang hilang dalam gelombang tsunami 26 Desember 2004. "Perjumpaan" itu terjadi hanya beberapa hari menjelang setahun tsunami. Dalam "perjumpaan" itu, Rafisah melihat cucunya yang mengenakan baju putih duduk di sebuah sudut ruang keluarga.

Rafisah sempat mengobrol dengan sang cucu, Salwa. Ia menanyakan ke mana gerangan Salwa sehingga tak pernah lagi berkunjung ke rumah nenek. "Saya di Langsa," jawab Salwa pada neneknya, "dibawa orang."

Usai memberi kabar keberadaannya, Salwa menghilang. Pagi harinya, Rafisah menceritakan mimpi bertemu dengan Salwa pada sang suami. Namun, sang suami tak merespons cerita Rafisah. Padahal, Rafisah berharap alamat mimpi ini diceritakan kepada anak mereka, Yuniarti, ibu Salwa. Namun kabar dari alam mimpi itu baru diceritakan sang suami kepada Yuniarti pada tahun ke lima setelah tsunami menghumbalang Aceh.

Pada awal Desember ini, Yuniarti berangkat ke Langsa untuk mencari keberadaan anaknya. Berdasarkan informasi yang diperoleh, Yuniarti bersama temannya, Syafira, menunju Desa Kuala Langsa, untuk menjumpai Febi Gebriana, 12 tahun, yang mirip dengan Anantika Salwa.

Naas, kedatangan Yuniarti ke Kuala Langsa berbuah petaka. Isu penculikan anak yang beredar melalui pesan berantai membuat warga Kuala Langsa menghakimi Yuniarti dan temannya. Mereka dituduh sebagai penculik anak yang berpura-pura mencari anak yang hilang dalam bencana tsunami.

Amarah warga menyebabkan Yuniarti dan Syafira kritis setelah dianiaya gerombolan massa. Yuniarti harus dirawat di Rumah Sakit Umum Langsa akibat luka di sekujur tubuhnya. Sementara Syafira terpaksa dilarikan ke sebuah rumah sakit di Medan, Sumatera Utara, akibat tulang lehernya patah.

Mendengar kabar petaka yang menimpa Yuniarti, Rafisah gelisah bukan kepalang. Sebab, kepergian Yuniarti mencari buah hatinya ke Langsa tak terlepas dari isyarat mimpi yang dialaminya setahun usai tsunami.

"Karena isyarat mimpi ini, anak saya pergi ke Langsa untuk mencari anaknya," kata Rafisah saat ditemui pekan lalu.

Yuniarti kehilangan suami dan tiga anaknya dalam gelombang tsunami. Bagi Rafisah, tsunami menyebabkan enam cucu dan dua menantu hilang. Salwa merupakan cucu yang paling disayangi Rafisah.

"Dia cucu perempuan pertama yang saya miliki," kata Rafisah.

Pada malam sebelum tsunami meluluhlantakkan Aceh, Rafisah sempat bermimpi dengan Salwa. Dalam mimpi itu, Rafisah mengajak Salwa berbelanja ke kios dekat rumahnya. Dalam perjalanan itu, Rafisah terpeleset dan Salwa terjatuh dari gendongannya.

"Paginya, tsunami dan kami kehilangan Salwa," ujar Rafisah.

Rafisah masih meyakini sang cucu, Salwa, masih hidup. Apalagi dia dan keluarga pernah bertanya pada paranormal soal keberadaan Salwa. "Saya yakin Salwa masih hidup dan selalu berdoa semoga Salwa baik-baik saja. Kalau benar Febi (anak yang di Langsa) benar-benar cucu saya, pasi Allah akan mengembalikannya pada kami," ujarnya.

Tak hanya Yuniarti yang masih yakin anaknya masih selamat usai tsunami enam tahun silam. Pasangan Tarmizi dan Suryani masih berharap bisa bertemu dengan Rahmat, anaknya yang hilang dalam tsunami.

Nasib Tarmizi dan Suryani sedikit lebih baik. Difasilitasi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias dan stasiun televisi RCTI, Tarmizi dan Suryani bisa bertemu dengan Riko Anggara pada Mei 2008. Tiga bulan setelah pertemuan yang mengharukan di stasiun RCTI itu, Tarmizi-Suryani dan Riko Anggara melakukan tes DNA. Hasilnya, Tarmizi dan Suryani bukan orangtua biologis Riko Anggara.

Pencarian sang buah hati berawal dari pentas Idola Cilik, ajang pencarian bakat menyanyi di RCTI. Suatu hari, tanpa sengaja Suryani melihat Riko sedang menyanyi di tivi. Dadanya bergetar. Matanya tak berkejap. Batinnya berkata, yang sedang mengolah vokal adalah anaknya.
Ia bertambah yakin ketika suami dan para tetangga mendukung pendapatnya. Sejak itu, ia memendam tekad: bertemu Riko.

Berbagai upaya ditempuh. Menelepon redaksi RCTI di Jakarta, mencari perwakilan di Banda Aceh, hingga mencari siapa yang bersedia memfasilitasi keberangkatannya. Maklum, Suryani dan Tarmizi hanya pedagang kecil berpenghasilan terbatas. Di telepon, ia sempat berbicara dengan Riko. Namun, waktu itu, Riko mengaku bukan asal Aceh, melainkan Palembang. Suryani tak yakin.
“Semua yang ada pada Riko persis anak saya, Rahmat,” ujarnya.

Difasilitasi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh – Nias, Suryani dan suaminya terbang ke Jakarta. Di ruang pertemuan RCTI, melihat Riko dari dekat, keyakinan Suryani bertambah. Menurutnya, banyak kemiripan antara Riko dengan Rahmat: cara jalan, senyum, potongan rambut, hingga raut wajah. Ditambah lagi, beberapa tanda khusus Rahmat juga dimiliki Riko. Sebut saja misalnya, luka di atas kening, di paha, dan lutut.

“Riko, luka di atas kening kamu itu kenapa?” tanya Tarmizi seketika.

“Kena kawat waktu jatuh dari sepeda,” jawab Riko.

Jawaban Riko membuat Tarmizi dan Suryani terhenyak.Tapi mereka berusaha menguasai diri. Tarmizi berusaha tersenyum. “Kok bisa sama ya. Rahmat juga punya bekas luka di atas kening,” kata dia.

Sontak saja seisi ruangan terpana. Kakek Riko mengatakan ikut prihatin dengan apa yang menimpa keluarga Tarmizi. “Saya ikut prihatin. Kalau ibu benar-benar rindu dengan anak ibu, saya juga persilakan ibu melepaskan kerinduan dengan cucu saya ini,” kata sang kakek tak meneruskan ucapannya.

Kesempatan ini benar-benar dipergunakan Tarmizi dan Suryani untuk menelisik kemiripan Rahmat dengan Riko.Tiga luka di tubuh Rahmat dimiliki Riko. Anehnya, luka-luka itu berada pada bagian tubuh yang sama, seperti luka di betis, paha, dan di atas kening. Hanya saja, tahi lalat yang ada di kepala Rahmat, tidak ditemukan pada diri Riko. “Tahi lalat di kepala anak saya kecil,” kata Suryani usai menyibak rambut lurus Riko.

Tak hanya menelusuri Riko di Jakarta, Suryani juga berangkat ke Jambi, daerah asal Riko --sebelumnya Riko mengaku dari Palembang. Di Jambi, Suryani bertemu dengan keluarga Riko. "Tapi
waktu saya tanya sama mereka soal Riko, mereka tidak bisa memberikan jawaban. Seperti ada yang mereka sembunyikan dari saya," kata Suryani.

Cerita "pencarian" sang buah hati tak berhenti sampai di sini. Walaupun hasil tes DNA sudah jelas, Tarmizi dan Suryani masih yakin bahwa Riko Anggara ini merupakan anak mereka, Rahmat.

"Saya yakin itu anak saya. Tapi karena hasil tes DNA bilang bukan, kami pasrah saja. Tapi kalau ada kesempatan, kami mau tes DNA sekali lagi, biar kami tenang," kata Tarmizi.

Suryani dan Tarmizi sebenarnya tak terlalu percaya dengan hasil tes DNA yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. "Saat tes DNA itu, istri saya tiba-tiba kesurupan. Padahal dia tidak pernah kesurupan sebelumnya. Pas istri kesurupan, kami dan dokter keluar ruangan semua. Cuma tinggal Riko dan keluarganya di dalam ruang. Padahal, di ruangan itu ada darah saya dan istri dan cairan liur Riko yang diambil untuk dites DNA. Kami curiga, cairan ludah Riko bisa saja diganti. Kan tidak ada yang melihatnya," kata Tarmizi.

"Saya pernah menelepon keluarga Riko yang di Jambi dan ngobrol dengan neneknya. Nenek itu keceplosan dan ngaku Riko itu anak Aceh. Dia dibawa ke Jambi oleh seorang relawan saat pulang dari Aceh," ujar Suryani.

"Saya stres, sudah kayak orang gila, saat mencari-cari anak saya dulu. Tapi saya sekarang pasrah saja, walaupun saya yakin Riko itu anak saya," kata Suryani.

Tsunami menyebabkan lebih dari 1.600 anak-anak terpisah dari orang tuanya. Farida Zuraini dari Dinas Sosial Aceh menyebutkan, sebanyak 1.529 anak yang telah direunifikasi dengan orangtuanya hingga Juni 2006.

"Program ini kita hentikan pada 2006 lalu. Namun kalau ada yang datang ke kami dan meminta bantu dicari anaknya, kami akan ikut membantu," kata Farida Zuraini, Jumat pekan lalu.

Kasus terakhir yang ditangani Dinas Sosial pada 2009. Saat itu, kata Farida Zuraini, ada satu keluarga yang meminta Dinas Sosial melacak keberadaan anaknya di sebuah panti asuhan di Jawa. Namun, setelah jaringan yang dipakai Dinas Sosial menelusuri ke panti asuhan tersebut, "rupanya bukan anak Aceh seperti yang dibilang ibu yang minta bantu sama kita," lanjutnya.

Pada 2008 lalu, Dinas Sosial melalui program "tracing" juga berhasil memulangkan seorang anak Aceh dari Lombok.

"Setelah enam tahun tsunami, tidak ada lagi keluarga yang datang ke kita meminta bantu. Mungkin masih ada yang mencari-cari, tapi dilakukan sendiri," kata dia. []

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting