Rabu, Februari 09, 2011

Pulau Bunta [2]

Pulau Bunta [2]

DI TEPI pantai, perahu yang kami tumpangi oleng diayun ombak. Bang Aloy dan Jufri, nakhoda dan kernet boat, berusaha mengendalikan perahu. Sauh sudah dilempar untuk menghentikan laju boat akibat terjangan ombak. Saya yang duduk di belakang, di samping Bang Aloy, mengalami kepanikan. Uh, saya yang punya pengalaman buruk dengan laut, bertambah pucat-pasi. Saya juga khawatir dua gadget yang setia menemani saya bakal keciprat air asin.

Duo-awak boat ini berupaya keras memarkirkan boat lebih ke pinggir dan menambatkannya dengan tali yang sudah dipasang di jalur labuban boat. Masalahnya, Bang Aloy berlabuh bukan di jalur lazim. Penyebabnya, ya seperti saya sebutkan di awal, navigator dadakan kami salah memberi arah. Jadilah perahu kayu biru ini terombang-ambing. Beruntung, sejumlah pemuda di Pulau Bunta terjun ke air dan membantu perahu yang kami tumpangi parkir di tempat seharusnya.

Kami terpaksa harus mendarat di air sepinggang, gara-gara Bunta tak dilengkapi dermaga. Barang yang kami bawa dari daratan Aceh terpaksa digotong urun rembug, agar air tak menjamah.

Keindahan Bunta langsung menyergap begitu menginjakkan kaki di sana. Ada sisi pantai yang dipenuhi batu sungai yang tertata rapi bak di pekarangan rumah. Di sisi lain, hamparan pasir putih kontas di antara warna hijau laut dan pegunungan. Agak ke barat lokasi pendaratan kami, sebuah pulau kecil berdiri gagah. Di sini, lokasi yang sering dijadikan warga sekitar untuk menjaring ikan. Jika air surut, pulau ini bisa dijangkau dengan jalan kaki di atas batu dan karang.

Usai menyapu kiri-kanan pantai, saya bergegas ke rumah singgah yang kami jadikan basecamp. Berbagai peralatan kami ungsikan di sini. Dari teras rumah panggung itu, saya mencoba menikmati laut biru, yang di dalamnya sejumlah boat hilir mudik. Dari kejauhan, saya bisa melihat Pulau Breuh, mercusuar di Pulau Deudap, garis putih pantai Pulau Batee yang berpendar-pendar, dan pegunungan Ujong Pancu di ujung Sumatera.

Saya tak sabar ingin segera menyusuri Pulau Bunta. Sayang, kelelahan yang menyergap dan panasnya mentari siang itu, membuat saya harus mengalah. Angin sepoi-sepoi dari perbukitan yang ada di belakang rumah, ditambah hembusan angin laut, membuat saya terlena berteduh di rumah.

Sembari beristirahat, beberapa kawan menyiapkan makan siang. Ada yang langsung merogoh kamera dan mengabadikan berbagai sisi pulau yabg membuat mereka takjub. Ada pula yang asik memerhatikan burung yang terbang rendah di depan rumah kami. Saya memilih merebahkab badan, menghilangkan kepenatan. Belakangan, hembusan angin dan suara deburan ombak mengantarkan saya ke peraduan.

***

JAM di Xperia saya menunjukkan angka 16.20 WIB, ketika Hasbi Azhar membangunkan saya. "Mau ikut kami atau tinggal di sini?" tanya Hasbi. Dia merupakan pengelola perjalanan kami ke Pulau Bunta. Bersama Juliansyah Adjie, fotografer lepas ini membuka jalur wisata ke Pulau Bunta. Di sini, mereka menyewa satu rumah seharga Rp1 juta setahun.

Tentu saja, ajakan Hasbi tak bisa saya lewatkan. Gila, ke Pulau Bunta susah payah, hanya saya habiskan untuk tiduran? No! Walaupun saya tidak membekali diri dengan kamera dan alat pancing, saya akan menikmati keindahan Pau Bunta with my own way.

Xperia yang saya punya dibekali dengan kamera 8 megapixel, saya yakin dengan perangkat ini bisa mengabadikan eksotisme Bunta, dan berbagi dengan kawan-kawan saya di laman Twitter dan Facebook. Itu sudah lebih dari cukup buat saya.

Sore itu, saat matahari rebah di ujung pulau, kami mulai menyusuri kawasan itu. Kami memilih sisi barat pulau untuk bisa menikmati suasana sunset. Di sepanjang perjalanan, kawan-kawan saya tak berhenti membidik lensa kamera mereka ke berbagai objek: pepohonan, hutan kecil di pinggir pantai, laut surut yang memperlihatkan karang dan aneka ikan di sela-sela karang. Sesekali mereka mencari-cari posisi babi hutan.

Di semak-semak hutan kecil di bibir pantai yang kami lewati, kicauan burung sangat menghibur. Namun tak banyak burung yang kami lihat sore itu.

Melewati semak belukar, kami bertemu dengan jalur tracking yang menantang. Di sisi kiri kami ada bukit. Sebelah kanan kami, wow, jurang yang langsung laut. Jalur yang kami lalui hanya nyaman untuk satu orang. Jalan setapak itu jauh dari kesan mulus. Jaga langkah Anda, Hasbi Azhar selalu berpesan pada kami.

Ya, jalan setapak itu kadang-kadang dipenuhi dengan rintangan kayu, batang kelapa, batu, gundukan tanah, akar pohon yang melintang, tanah becek nan licin. Lengah, bisa-bisa terpleset ke laut. Jalur tracking yang kami tempuh sekitar tigaratus meter.

Saya yang tidak terbiasa naik gunung, jelas kualahan. Keringat membanjiri sekujur tubuh yang dibalut jaket. Nafas saya tesengal-sengal. Berkali-kali saya melambatkan jalan, memberi kesempatan pada kaki, paru-paru, dan jantung untuk rehat dan memulihkan tenaga. Saya termasuk peserta yang tertinggal di barisan belakang.

Pun begitu, saya menikmati tracking ini.

Setelah bersusah payah mencapai puncak, kami dihibur dengan pemandangan alam yang aduhai. Lihat, di ujung pulau itu ada lampu suar yang tak terurus. Tiga rumah beton-putih tak dihuni lagi. Atapnya entah ke mana. Jendela dan daun pintu juga tak berbekas.

"Dulunya dihuni oleh petugas lampu mercusuar," kata Hasbi Azhar.

Menurut Hasbi, konflik bersenjata sebelum tsunami menerjang Aceh, enam tahun lalu, membuat petugas mercusuar memilih hengkang dari pulau ini. Jadilah rumah ini tak berpenghuni lagi. [bersambung]
Published with Blogger-droid v1.6.7

5 comments:

Aulia mengatakan...

ditunggu gambarnya :)

eFMG mengatakan...

Oh iya, lupa upload foto. soalnya diunggah menggunakan smartphone, jadi lupa, hehehe...

Anonim mengatakan...

Waaaahh..ceritanya membawa kita merasakan eksotis'a Pulau Bunta, Jadi ingin juga kesana:)

Ines mengatakan...

Waaaahh..ceritanya membawa kita merasakan eksotis'a Pulau Bunta, Jadi ingin juga kesana:)

eFMG mengatakan...

@ Ines... Terimakasih telah berkunjung ke rumah maya saya.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting