Senin, September 28, 2009

196 Pengungsi Rohingya Kabur dari Penampungan

FAKHRURRADZIE GADE

BANDA ACEH -- Sebanyak 196 pengungsi etnis Rohingya kabur dari penampungan mereka di Kecamatan Idi Rayeuek, Aceh Timur, dan Pangkalan TNI Angkatan Laut Sabang. Umumnya, mereka kabur karena jenuh berada di pengungsian.

Informasi yang diperoleh dari Wakil Bupati Aceh Timur Nasruddin Abubakar, sebanyak 184 etnis Rohingya yang ditampung di kantor Kecamatan Idi Rayeuk melarikan diri ke Medan, sebelum akhirnya bertolak ke Malaysia. Mereka lari setelah mendapat pertolongan dari warga lokal yang menjadi calo.

Menurut Nasruddin, para pengungsi biasanya kabur pada pukul 3 atau 4 pagi, saat polisi yang bertugas di sana terlelap.

"Sekarang tinggal 14 orang lagi, dari sebelumnya 198 pengungsi yang kita tampung," kata Nasruddin Abubakar. "Terakhir, dua orang kabur pada pagi hari raya Idul Fitri lalu."

Nasruddin menyebutkan, polisi sempat mencari keberadaan para pengungsi ini. Namun tidak satu pun yang berhasil dipulangkan lagi ke penampungan.

"Tujuan mereka ke Malaysia untuk mencari kerja. Bahkan, saya dengar informasi (para pengungsi yang kabur ini) ada yang sudah mendapat kerja di Malaysia," ujar Nasruddin.

Sementara itu, 12 pengungsi etnis Rohingya yang ditampung di Pangkalan TNI Angkatan Laut Sabang juga melarikan diri pada malam lebaran.

Komandan Pangkalan TNI AL Kolonel Yanuar Handwiono menyebutkan, kaburnya 12 pengungsi ini baru diketahui saat absensi usai salat Subuh, Ahad (20/9).

"Mereka kabur dengan perahu nelayan yang ditambat dekat pangkalan. Kondisi perahunya kecil dan rusak," kata Yanuar saat dihubungi melalui telepon.

Yanuar menduga, para pengungsi melarikan diri karena mengalami depresi. "Apalagi proses (pemulangan mereka) membutuhkan waktu lama. Saat ini kita sudah mencari mereka tapi belum ketemu. Kita juga sudah menginformasikan kasus ini ke aparat kita yang ada di Aceh perairan," kata Yanuar.

Pangkalan TNI AL menampung 193 etnis Rohingya yang terdampar di Sabang pada 7 Januari lalu. Pada 3 Februari, sebanyak 198 pengungsi Rohingya lainnya terdampar di Idi Rayeuk. Etnis Rohingya mengakui bahwa mereka terdampar di perairan Aceh setelah sebelumnya dilarung tentara Thailand di laut lepas. Saat dalam perjalanan dari Bangladesh menuju ke Malaysia melalui Thailand untuk mencari pekerjaan, mereka ditangkap militer Thailand dan mengalami penyiksaan.

Pihak Imigrasi dan Departemen Luar Negeri telah mendata 391 etnis Rohingya yang terdampar di Aceh. Sebelumnya, acehkita.com melansir, Departemen Luar Negeri akan memulangkan 114 dari 391 etnis Rohingya yang terdampar di perairan Aceh ke negara asalnya. Namun, belum diketahui pasti jadwal deportasi tersebut. Sebagian di antara 391 etnis Rohingya di Aceh itu, telah ditetapkan sebagai pengungsi oleh UNHCR.

Direktur Asia Selatan dan Tengah Ditjen Asia Pasifik dan Afrika Departemen Luar Negeri Mochamad Asruchin mengatakan, 114 etnis muslim Rohingya tersebut akan dipulangkan ke Bangladesh. Pasalnya, setelah diverifikasi oleh tim Deplu, mereka terbukti sebagai warga negara Bangladesh.

"Mereka secara sukarela bersedia untuk kembali ke Bangladesh. Mereka akan dikembalikan dalam waktu dekat," kata Asruchin kepada wartawan di Banda Aceh, Senin (25/5) lalu.

Asruchin menambahkan, etnis Rohingya yang diduga berkewarganegaraan Myanmar sama sekali tidak mau dideportasi ke negaranya. Namun dia mengaku tidak tahu jumlah pasti berapa etnis Rohingya yang sudah ditetapkan sebagai refugee oleh UNHCR ini.

"Kalau saya tidak salah, UNHCR sudah masuk dan dinyatakan sebagai refugees. Itu biasanya akan dicarikan negara ketiga untuk mau menampung mereka," kata Asruchin. []

Minggu, September 27, 2009

Perusahaan Lilin Negara

HARI ini, tak terbilang sumpah serapah kukeluarkan untuk penyedia layanan listrik. Aku sering menyebutnya Perusahaan Lilin Negara sebagai kepanjangan dari PLN. Ini bukan kepanjangan yang mengada-ada. Istilah ini pertama sekali kulakabkan saat saking suntuknya karena dunia ini digelapkan oleh aksi PLN. Sungguh, saat itu berbatang-batang lilin kubakar untuk menerangi diri dan sekitar.

Hari ini, sumpah serapahku itu kubagi dengan kawan-kawan di Facebook. Aku menyebut ini jaman jahiliyah, di mana kegelapan masih mengepung diriku dan kawasan yang kudiami. Semoga, PLN diberi hidayah oleh Allah untuk mendakwahkan listriknya ke daerah kami, biar kami tidak terus menerus tinggal dalam jaman jahiliyah. Karena, bisa-bisa jaman ini akan membawa kami berhadapan dengan Qanun Zinayah. []

Kamis, September 17, 2009

Nurjannah & Qanun Jinayah

MENJELANG waktu berbuka puasa, bersama dua teman (Yo Fauzan dan Abdul Munar), saya mengunjungi Desa Lamtimpeung, Tungkop, Aceh Besar. Letaknya hanya sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh. Ke Lamtimpeung, kami ingin menunaikan amanah sejumlah pembaca acehkita.com. Sekitar dua bulan lalu, reporter acehkita.com, Riza Nasser, menurunkan liputan tentang Nurjannah, perempuan berusia 22 tahun yang menderita lumpuh layu sejak usia 4 bulan. Nurjannah terbujur kaku di atas dipan di dalam kamar sempit dan pengap. Aroma pesing merebak, hingga keluar rumah. Suasana kamar juga tak tertata. Kasur, kain, pakaian, saling bertindih: awut-awutan. Singkatnya, kamar itu sangat tak layak dihuni.

Nurjannah tinggal bersama ayah dan dua adiknya di rumah tipe 36 tersebut. Ada tiga kamar ukuran kecil yang tak terurus. Nurjannah tidur sendirian. Kamar di sebelah Nurjannah, dibiarkan kosong melompong. Ayahnya, tidur di kamar yang dekat ruang tamu. Jangan bayangkan ruang tamu dilengkapi televisi, meja dan kursi. Buang bayangan itu, karena di sana hanya ada tumpukan baju berserakan, sepeda bekas. Di dekat kamar Nurjannah, tergeletak satu kompor. Di atasnya ada penggorengan. Di sekitar kompor, cangkang telur ayam berserakan, dibiarkan bebas tergeletak di atas lantai. Rumah dicat kuning itu semi permanen.

"Binteh kadikap le kamue (dinding rumah dimakan rayap)," kata Muhammad Dehan, ayah Nurjannah. Telunjuknya mengarah ke dinding rumah.

Dehan mengurus anak-anaknya seorang diri, sejak istrinya meninggal dunia beberapa tahun silam. Ia hanya seorang pemelihara sapi suruhan orang. Kerjanya serabutan. Penghasilan sebulan paling banyak 200.000. Tinggal di pinggiran Kota Banda Aceh yang tingkat inflasinya tinggi, uang segitu sama-sekali tidak mencukupi. Apalagi untuk membiayai anak-anaknya. Tapi Dehan tak putus asa. Ia bekerja apa saja yang bisa menghasilkan rupiah.

Dua hari lalu, seorang warga yang hendak melangsungkan resepsi pernikahan memintanya menjaga sapi yang akan dipotong pada hari kenduri. Sapi agak kecil itu ditambat tak jauh dari rumahnya. Oya, sekitar 10 meter dari rumah, ada kandang kerbau atau sapi. Di sinilah, sapi-sapi peliharaannya bernaung. Bulan lalu, saat meugang puasa, Dehan menjual sapi yang dipelihara secara mawah. Mawah merupakan cara memelihara bagi hasil. Setelah modal membeli sapi dikembalikan ke pemodal, angka selisih dibagi berdua: antara dia dan pemodal.

"Misalnya harga sapi waktu dibeli itu lima juta rupiah dan waktu dijual tujuh juta, bagi hasilnya yang dua juta selisih itu," kata Dehan. "Ya dapat sejuta per orang."

Melihat kehidupan Dehan, saya kehabisan kata-kata. Betapa Ia tegar melakoni hidup dengan segudang permasalahan yang melingkupinya.

Sore itu, Dehan memakai oblong putih lengan biru. Bajunya dipakai terbalik: bagian dalam dibiarkan menjadi bagian terluar. Baju itu bukan dibeli, tapi diberi orang saat musim kampanye. Ya, baju putih berlengan biru itu atribut kampanye Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Boediono. Di punggung Dehan jelas tertulis nama pasangan itu. Sementara di bagian depan, gambar SBY-Boediono lagi tersenyum juga terlihat jelas.

Nurjannah juga memakai baju SBY. Bantal yang tergeletak di samping Nurjannah juga dibajukan SBY. Saya tidak bertanya apakah keluarga ini pendukung SBY. Tapi yang jelas, tak jauh dari rumah Dehan, masih di dalam pekarangan rumahnya, ada bendera Partai Aceh. Ehm, saat pemilu presiden lalu, aktivis partai bentukan Gerakan Aceh Merdeka ini menyokong pasangan yang diusung Partai Demokrat ini. Hiruk-pikuk pemilu menyeruak ke kamar Nurjannah: yang terbujur kaku.

Melihat kondisi Nurjannah kemarin, saya teringat berita di sebuat media lokal di Banda Aceh, yang memuat pernyataan Abu Panton. Nama terakhir ini merupakan ulama yang bermukim di Aceh Utara. Ia mengasuh dayah di Panton Labu. Abu merupakan ulama yang disegani. Ia tak dekat kekuasaan.

Dalam berita itu, Abu Panton menyentil pengesahan Qanun Hukum Jinayat dan Qanun Acara Jinayat. Abu bilang, Qanun yang mengatur hukum rajam dan cambuk bagi pelanggar Syariat Islam baru bisa diterapkan kalau saja masyarakat Aceh sudah sadar hukum dan hidupnya makmur. Minimal sudah tidak berada di bawah garis kemiskinan.

Pernyataan nyaris serupa dikemukakan Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Ziauddin Ahmad. Saat kami wawancarai menjelang dinihari usai rapat paripurna DPR Aceh, saya dan sejumlah wartawan ikut memintai tanggapan Ziauddin soal penerapan hukum rajam. Ziauddin terang-terangan menyatakan penolakannya terhadap hukum rajam bagi pelaku zina yang telah menikah. Menurut Ziauddin, hukum Islam baru bisa ditegakkan kalau masyarakat di suatu negeri sudah hidup mapan dan sadar hukum. Nah, dua hal inilah yang belum dipunyai Aceh.

"Bagaimana, misalnya, kita menerapkan hukum potong tangan bagi yang mencuri," kata Ziauddin, "kalau perekonomian kita belum bagus."

Benar, bagaimana mungkin kita menggembar-gemborkan penegakan syariat Islam kalau sendi-sendi kehidupan masyarakat belum dibenahi. Syariat Islam kan bukan hanya hukum potong tangan, cambuk, rajam semata. Ia melingkupi segala aspek. Ada aspek sosial, ekonomi, syariat, hukum, dan banyak lagi.

Saya menilai bahwa selama ini para politisi –yang pemahaman agamanya pas-pasan—ingin memaksakan pemahaman dan keyakinan syariatnya kepada masyarakat. Mereka selalu mengklaim bertindak atas amanah rakyat. Di sini, mereka mengambil secuil ayat al-Quran dan meninggalkan ayat-ayat lainnya. Bukankah pola beragama seperti ini sangat dibenci oleh Allah dan Nabi-Nya?

Bagaimana mungkin hanya menegakkan hukum Allah di bidang lendir, judi, dan minuman, sementara ajaran dan hukum Allah yang lain ditinggalkan begitu saja. Misalnya, korupsi dan pembunuhan. Bukankah dalam Islam dua aspek ini juga mendapat sorotan tajam? Bagaimana misalnya dalil dalam Islam menyebutkan bahwa "pembunuh dan yang dibunuh sama-sama masuk neraka". Ini dalil untuk orang yang sama-sama ingin saling bunuh. Di sisi lain bagaimana misalnya Tuhan berjanji akan menempatkan pembunuh di neraka.

Dalam al-Quran memang tak ada kata khusus soal korupsi, tapi ini kan identik dengan mencuri. Nah, bagaimana dengan hukum potong tangan bagi si pencuri dan koruptor? Apa karena ada politisi dan pejabat yang berselemak kasus korupsi lantas hukum tak tegak?

Sungguh aneh para politisi yang mengaku sedang berjihad ini: agama menjadi dagangan semata.

Sebelum pikiran terus berkeliaran ke mana-mana, saya kembali fokus pada Dehan dan Nurjannah yang terbaring di kamar berbau pesing. Aroma amoniak menusuk hidung, hingga ke relung kepala yang membuat pusing. Tapi, penegakan syariat Islam dalam bentuk membebaskan orang-orang dari kemiskinan, sama sekali tak dipikirkan para politisi itu. []

Selasa, September 15, 2009

Indonesia's Aceh to allow stoning for adulterers


By FAKHRURRADZIE GADE
The Associated Press
Monday, September 14, 2009; 1:20 PM

BANDA ACEH, Indonesia -- Lawmakers in a devoutly Muslim Indonesian province voted unanimously Monday that adulterers could be sentenced to death by stoning, just months after voters overwhelmingly chose to throw conservative Islamic parties out of power.Only weeks before the new government, led by the moderate Aceh Party, is set to take over, the regional parliament still controlled by hard-liners pushed through steep punishments for adultery and homosexuality.

The chairman of the 69-seat house asked if the bill could be passed into law and members answered in unison: "Yes, it can." Some members of the moderate Democrat Party voiced reservations, but none of them voted against the bill.

Human rights groups said the law violates international treaties signed by Indonesia. The province's deputy governor also opposed the legislation, saying it needed more careful consideration because it imposes a new form of capital punishment.

The Aceh Party is also believed to have a less strict interpretation of Islamic law, or Shariah, and some activists expressed hope that once in power, they would amend or tone down the law. Others were considering contesting the bill in court in the capital, Jakarta.

Aceh, where Islam first arrived in Indonesia from Saudi Arabia centuries ago, enjoys semiautonomy from the central government. A long-running Islamic insurgency in the province ended in 2005 in the wake of the Indian Ocean tsunami that killed 130,000 there.

A version of Shariah that was introduced in Aceh in 2001 already bans gambling and drinking alcohol, and makes it compulsory for women to wear headscarves. Dozens of public canings have been carried out by the local Shariah police against violators of that law.

The majority of Indonesia's roughly 200 Muslims practice a moderate form of the faith, and surveys suggest they do not support such hardline interpretations of the Quran, the Muslim holy book.

Stoning is legally sanctioned in varying forms in Afghanistan, Iran, Pakistan, Sudan, Saudi Arabia, the United Arab Emirates and parts of Nigeria. Illegal stonings have also been reported in recent years in Iraq and Somalia. But its use is a point of contention among Islamic scholars.

The most notable example in modern Islam was that of Amina Lawal, a young woman who was sentenced to death in a Nigerian state in 2002 for having sex outside marriage, but was later released.

The new Indonesian law also imposes tough sentences and fines, to be paid in kilograms of gold, for rape and pedophilia, but the most hotly disputed article was on adultery and states that offenders can be punished by a minimum of 100 lashings and a maximum of stoning to death.

"The stoning to death is the toughest punishment included in the (new) Shariah law," Bahrom Rasjid, one of the drafters and a member of the United Development Party, said after its passage.

It also imposes severe prison terms for other behavior considered morally unacceptable, including homosexuality, which will be punishable by public lashings and more than eight years in prison.

The bill violates national and international treaties signed by Indonesia protecting the rights of minorities and women, said a gay rights activist in Aceh who requested anonymity because he feared for his safety.

"It's discriminatory, and it's saddening, but we are quite sure members of civil society who are concerned with human rights will not sit by silently," the activist said, adding that he hopes the new moderate leadership in the province will overturn the law after taking power next month.

Aceh Vice Governor Muhamad Nazar said that even though his office opposed the clause on stoning to death it has no legal power to block it. "Whatever law is passed we have to enforce it," he said.

---

Associated Press writers Irwan Firdaus and Anthony Deutsch contributed to this article from Jakarta.

http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2009/09/14/AR2009091400814.html

Senin, September 14, 2009

New Islamic law in Indonesia's Aceh province

A brief overview of some key articles in the expanded Islamic law passed Monday by the regional parliament in Indonesia Aceh's province:

• ADULTERY: "Any person who deliberately commits adultery is threatened with 100 cane lashes for the unmarried and stoning to death for those who are married."

• HOMOSEXUALITY: "Any person deliberately performing homosexuality or lesbianism is threatened with up to 100 cane lashes and a maximum fine of 1,000 grams of fine gold, or imprisonment of up to 100 months."

• PEDOPHILIA: "Any person who deliberately commits a sexual crime against children is threatened with a variable sentence of up to 200 cane lashes and a fine of up to 2,000 grams of fine gold, or maximum imprisonment of 200 months."

• RAPE: "Any person who deliberately commits rape is threatened with at least 100 cane lashes and maximum 300 cane lashes or imprisonment of at least 100 months and a maximum of 200 months."

Indonesia's Aceh passes law on stoning to death


By FAKHRURRADZIE GADE, Associated Press Writer

BANDA ACEH, Indonesia – Adulterers can be stoned to death and homosexuality is punishable by steep prison terms under a new law passed unanimously by lawmakers in Indonesia's devoutly Muslim Aceh province Monday.
Aceh's regional parliament adopted the bill despite strong objections from human rights groups and the province's deputy governor, who said the legislation needed more careful consideration because it imposes a new form of capital punishment.

The chairman of the 69-seat house asked if the bill could be passed into law and members answered in unison: "Yes, it can." Some members of the moderate Democrat Party had voiced reservations, but none of them voted against the bill.

The law, which reinforces the province's already strict Islamic laws, is to go into effect within 30 days. Its passage comes two weeks before a new assembly led by the moderate Aceh Party will be sworn in following a heavy defeat of conservative Muslim parties in local elections.

Aceh, where Islam first arrived in Indonesia from Saudi Arabia centuries ago, enjoys semiautonomy from the central government. A long-running Islamic insurgency in the province ended in 2005 in the wake of the Indian Ocean tsunami that killed 130,000 there.

A version of Islamic law, or Shariah, that had been introduced in Aceh in 2001 already bans gambling and drinking alcohol, and makes it compulsory for women to wear headscarves. Dozens of public canings have been carried out by the local Shariah police against violators of that law.

The majority of Indonesia's roughly 200 Muslims practice a moderate form of the faith and surveys suggest they do not support such hardline interpretations of the Quran, the Muslim holy book.

Several countries have laws on stoning, but the punishment remains a point of disagreement between Islamic scholars. Out of fifty-two Muslim-majority countries worldwide, stoning is legally sanctioned in varying forms in Afghanistan, Iran, Pakistan, Sudan, Saudi Arabia, the United Arab Emirates and parts of Nigeria.

Illegal stonings have also been reported in recent years in Iraq and Somalia.

The most notable example in modern Islam was that of Amina Lawal, a young woman who was sentenced to death in a Nigerian state in 2002 for having sex outside marriage, but was later released.

The new Indonesian law also imposes tough sentences and fines, to be paid in kilograms of gold, for rape and pedophilia, but the most hotly disputed article was on adultery and states that offending married couples can be punished by a minimum of 100 lashings and a maximum of stoning to death.

"The stoning to death is the toughest punishment included in the (new) Shariah law Bahrom Rasjid, one of the drafters and a member of the United Development Party, said after its passage.

It also imposes severe prison terms for other behavior considered morally unacceptable, including homosexuality, which will be punishable by public lashings and more than eight years in prison.

Aceh Vice Governor Muhamad Nazar said that even though his office opposed the clause on stoning to death it has no legal power to block it. "Whatever law is passed we have to enforce it," he said.

Selasa, September 08, 2009

Pendatang di Negeri Sendiri

FAKHRURRADZIE GADE
[e-mail: radzie@acehkini.co.id]

MUHAMMAD Hassan terbaring lemas di ruangan 3 x 2,5 meter. Di dekatnya ada sebuah lemari kecil. Di atasnya ada obat dan infus. Sebuah Al Quran warna kuning emas bertengger di atas lemari yang dipenuhi oleh obat dan makanan. Di atas Quran, ada dua boat mainan kecil yang dibuat dari kertas buku.

Bukan tanpa alasan pria berusia 22 tahun itu membuat boat kertas. Selama sepuluh hari, dia bersama 583 orang terombang-ambing di laut lepas, setelah Angkatan Laut Thailand melepaskan mereka di laut. Hasan terdampar di perairan Sabang dan diselamatkan nelayan, 7 Januari silam.

Hasan merupakan satu di antara 193 etnis Rohingya yang terdampar di Sabang.

Awalnya, mereka hendak mencari kerja di Malaysia. Rencananya, mereka masuk ke Malaysia lewat Thailand. Sayangnya, sebelum rencana itu terwujud, mereka keburu ditangkap Angkatan Laut Thailand. “Selama tiga hari tiga malam, kami dipenjara oleh Angkatan Laut Thailand. Kami dipukul dan disiksa,” kata Hasan saat ditemui di Rumah Sakit Umum Sabang, akhir Januari lalu. Hasan mendapat perawatan medis akibat penyakit tuberkolosis (TBC) yang dideritanya.

Selang beberapa hari, sebuah rombongan lain terdampar di Idi, Aceh Timur. Jumlah mereka bertambah menjadi 372 orang. Mereka bagian dari 1.000 orang yang diusir Thailand dan dipaksa kembali ke laut lepas. Mereka berbondong-bondong meninggalkan Myanmar untuk mencari kehidupan yang layak dan terbebas dari penindasan yang dilakukan Junta Militer.

Sejak Junta Militer berkuasa, etnis Rohingya semakin tertindas. Mereka tidak boleh menikah, menguasai tanah, dan bepergian, termasuk tidak diperkenankan melaksanakan ajaran agama secara bebas. “Negara saya mayoritas penganut Budha, mereka tidak suka muslim. Kami tidak diperbolehkan salat di masjid. Saya selalu salat di rumah, tidak ada masjid,” kata Hassan.

Etnis Rohingya merupakan penduduk asli negara bagian Arakan di barat Myanmar. Daerah berdemografi pegunungan ini berbatasan langsung dengan India di utara, negara bagian China di timur laut, distrik Magwe dan Pegu di timur, distrik Irrawady di selatan, dan Bangladesh di barat laut. Arakan dihuni sekitar 5 juta penduduk, yang terdiri atas Rohingya yang muslim dan Rakhine/Maghs yang beragama Budha.

Etnis Rohingya sudah tinggal di Arakan sejak abad ke-7 Masehi. Ini membantah pernyataan Junta Militer yang menyebut Rohingya sebagai pendatang yang dibawa Inggris dan Bangladesh saat menjajah Myanmar. Secara fisik dan bahasa, etnis Rohingya sangat berbeda dengan kebanyakan penduduk Burma/Myanmar. Ciri-ciri fisik Rohingya lebih mendekati Bangladesh dan Arab. Ini dikarenakan etnis Rohingya merupakan keturunan dari Benggali, Persia, Mongol, dan Turki. Karenanya, saat Inggris memasukkan Arakan menjadi bagian British-Burma pada 1937, etnis Rohingya menolaknya. Mereka sebenarnya ingin bergabung dengan India. Arakan akhirnya menjadi bagian Burma merdeka pada tahun 1948. Sejak itu, hidup Rohingya kian tertindas. Mereka terusir, dianiaya, dan tak boleh melaksanakan agama dan keyakinan secara bebas.

Burma juga tidak mengundang perwakilan Islam Rohingya saat perjanjian penyatuan Burma pada 12 September 1947 di Pinlong antara Jenderan Aung San dan perwakilan dari negara bagian Burma untuk bersama-sama merebut kemerdekaan dari Inggris dan kemudian membentuk negara federasi Burma. Etnis-etnis yang ada di Burma diperbolehkan mendirikan negara bagian. Namun tidak untuk Rohingya. Negara bagian Arakan kemudian dikuasai oleh etnis Rakhin –minoritas Budha.

Sejak Junta Militer berkuasa di Burma, nasib Rohingya kian memprihatinkan. Pusat-pusat pendidikan Rohingya ditutup pada tahun 1965. Mereka semakin menderita setelah Junta Militer meloloskan Undang Undang Burma Citizenship Law of 1982. Undang Undang ini menghapus kewarganegaraan muslim Rohingya. Mereka disebut pendatang di tanah air sendiri. Sejak saat itu, mereka tak diakui lagi. Tanah-tanah mereka dikuasai negara. Mereka dilecehkan, dipukuli, dan dihukum tanpa alasan yang jelas.

Populasinya juga semakin menyusut dari tahun ke tahun. Saat ini populasi Rohingya di Myanmar diperkirakan dua juta orang, sebanyak 1,5 juta di antaranya tinggal di Arakan. Sebanyak 600.000 tinggal di Bangladesh, 350.000 di Pakistan, 400.000 di Arab Saudi, dan 100.000 di Uni Emirat Arab, Thailand, dan Malaysia.

Mulai tahun 2006, etnis Rohingya mulai melanglang buana lewat laut. Tujuan mereka ke Thailand, lalu menyeberang ke Malaysia untuk mencari kehidupan yang lebih layak.

Perjalanan via laut itu tak selalu membuahkan hasil. Di Thailand, mereka tak hanya ditolak, tapi dikejar-kejar, ditangkapi, dan dikembalikan ke laut dengan kapal tanpa mesin, makanan, dan minuman. Pada 7 Januari lalu, 193 etnis Rohingya terdampar di perairan Kepulauan Rondo, Sabang. Gelombang imigran Rohingya juga kembali ditemukan nelayan di perairan Idi Rayeuk, Aceh Timur, awal Februari lalu setelah 21 hari terombang-ambing di lautan tanpa makanan dan minuman.

Rencana pemerintah Indonesia memulangkan mereka ke Negara asal, ditolak mentah-mentah. “Kami lebih baik mati di sini. Jika kami dipulangkan, saya yakin pemerintah akan membunuh kami,” kata Nur Muhammad dalam sebuah wawancara saat dirawat di Rumah Sakit Umum Sabang. Muhammad dirawat akibat luka dalam yang diderita setelah mengalami penyiksaan di Thailand.

Hasan malah punya mimpi berangkat ke Italia. “Ingin bertemu abang saya yang telah mendapat suaka di sana,” ujar Hasan, sambil memegang dadanya yang sesak.

Diusir di negeri sendiri, mereka juga ditolak di tanah harapan. []

***

Infografis:

SEJARAH: Etnis Rohingya merupakan keturunan orang-orang Arab pada abad ke-7 yang ditaklukkan oleh Burma pada tahun 1784. Etnis ini mendiami wilayah barat Myanmar selama berabad-abad.

KARAKTERISTIK: Etnis Rohingya berasal dari Rakhine, Myanmar. Tapi ciri-ciri fisik dan bahasa lebih mirip dengan orang-orang Bengal di Bangladesh.

KEWARGANEGARAAN: Lebih dari 800.000 etnis Rohingya tinggal di Myanmar, tapi tidak diakui kewarganegaannya.

IMIGRAN TANPA WARGA NEGARA: Menghadapi penganiayaan karena mereka umat Islam yang tinggal di negara yang mayoritas beragama Budha, etnis Rohingya mengungsi ke luar negeri dalam beberapa dekade. Hampir dua juta jiwa telah membuat perkampungan baru dari Arab Saudi ke Malaysia, tempat mereka bekerja secara ilegal.

Sekita setengah juta etnis Rohingya melarikan diri dari Myanmar sejak militer mengambil tindakan keras terhadap mereka pada tahun 1978 dan 1991, kebanyakan dari mereka pindah ke Bangladesh. Banyak juga yang tinggal di pengasingan di Pakistan, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Thailand, dan Malaysia.

PERJALANAN DI LAUT: Sejak 2006, Bangladesh mempersulit etnis Rohingya memperoleh paspor, jadi mereka mulai perjalanan berbahaya dengan boat ke Thailand dan kemudian menyeberang ke Malaysia untuk bekerja.

Sumber: The Associated Press

Kandas di Tanah Harapan

Oleh FAKHRURRADZIE GADE

TUBUHNYA mungil. Dia tampak gesit saat memanjat kelapa. Dua butir kelapa berhasil dipetik. Belum lagi sempat memetik yang lain, seorang tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) menyuruhnya turun. Sambil memperagakan gerakan, sang tentara menyuruh lelaki itu push up. Awalnya, lelaki berkulit legam itu hanya skot jam sekali, namun si tentara menyuruhnya mengulangi gerakan push-up. Enam kali gerakan. Lelaki itu lantas memungut kelapa dan berlalu.

Dalam kerumunan, kelapa itu berpindah tangan. Seorang lelaki kurus tinggi coba mengupas dengan giginya. Sama sekali tak memakai pisau atau parang. Hanya pecahan batu. Kurang dari 15 menit, kelapa itu telah tak berkulit.

Pemandangan itu terlihat, akhir Januari lalu, di Pangkalan TNI AL Sabang. Sejak 7 Januari silam, pangkalan itu dipenuhi 193 warga etnis Rohingya, yang terdampar di perairan Pulau Rondo, 20 mil dari bibir pantai Sabang. Saat diselamatkan ke darat, kondisi mereka mengenaskan: dehidrasi akut, karena kekurangan cairan akibat 10 hari terombang-ambing di laut, tanpa makanan dan minuman.

Di penampungan itu, muslim Rohingya mengisi hari-hari dengan senam, bermain bola, catur, bulu tangkis, dan lompat tali. Sesekali, mereka dibebankan mengecat pagar Pangkalan TNI AL. Pagi –jika matahari terik, mereka "dijemur" di lapangan terbuka. Seorang tentara yang berjaga di pangkalan itu bilang, mereka dijemur karena kondisi mereka sangat lembab. Ini agar mereka tak mudah terserang biri-biri basah.

Setelah sepuluh hari terombang-ambing di laut, mereka juga tidur berdesak-desakan di penampungan. Relawan Palang Merah Indonesia (PMI) dan Angkatan Laut Sabang menyediakan dua tenda masing-masing berukuran sekitar 10 x 6 meter dan 6 x 4 meter.

Untuk membunuh jenuh, relawan PMI mengatur pola hidup 'manusia perahu' itu. Mereka dibekali pemainan catur, ular tangga, halma, lompat tali, bulu tangkis, bola kaki, dan bola voli. Malam hari, mereka menonton film di layar proyektor yang disediakan relawan PMI Sabang. Khusus malam Jumat, mereka diharuskan membaca surat Yasin.

Saat ACEHKINI bertandang ke kamp penampungan mereka, akhir Januari lalu, pengungsi etnis Rohingya sedang berlaga di lapangan hijau. Mereka menjamu tim PMI. Setelah salat Asar dan makan makanan ringan, sebelas etnis Rohingya menuju lapangan upacara TNI AL. Di sana, mereka membentuk formasi.

Kaos putih bertuliskan GN-OTA dikenakan kesebelasan Rohingya. Sementara kesebelasan PMI memakai rompi berwarna biru donker dan bertuliskan PMI di belakangnya. Etnis Rohingya terbilang pandai bermain bola. Dalam tempo tak sampai 15 menit, mereka berhasil membobol gawang tim PMI. Berselang sepuluh menit kemudian, gol lain diciptakan etnis Rohingya. Sore itu, Rohingya menaklukkan tim PMI dengan skor 2-0.

***

MANUSIA perahu etnis Rohingya ini terdampar di Sabang setelah dilarung di lautan lepas oleh Angkatan Laut Thailand. Pihak otoritas negeri Gajah Putih itu menangkap, lalu menganiaya para manusia perahu. Puas menganiaya, Angkatan Laut Thailand melepaskan mereka ke laut lepas dengan boat kayu tanpa mesin. Stok makanan dan minuman tak mencukupi. Praktis, mereka hanya berharap pada angin yang akan membawa mereka ke daratan terdekat.

"Mereka menarik kami dalam boat kayu tanpa mesin. Tak ada makanan, dan minuman," kata Muhammad Hassan, satu dari 193 etnis Rohingya yang terdampar di Sabang. Saat diwawancarai ACEHKINI akhir Januari lalu, Hassan sedang mendapat perawatan di Rumah Sakit Umum Sabang akibat penyakit Tuberculosis (TBC) yang dideritanya.

Hassan menceritakan kekejaman tentara Thailand saat mengusir mereka dari sebuah pulau terpencil negeri Gajah Putih itu. Saat berlabuh di selatan Thailand pada 26 Desember 2008, mereka ditangkap Angkatan Laut dan dijebloskan dalam penjara selama empat hari. Di sana, mereka mengalami penyiksaan bertubi-tubi. Ada yang dicambuk, diinjak dengan sepatu lars, dan dipukul dengan popor senapan.

Usai melampiaskan kekejamannya, tentara Thailand melepaskan etnis Rohingya ke lautan lepas. Mula-mula, empat boat yang berisi 583 muslim Rohingya itu ditarik dengan kapal otoritas Thailand. Sesampai di lautan lepas, "mereka memotong tali boat kami dan membiarkan kami terombang-ambing di laut," kata Hassan.

Boat yang membawa mereka tak besar ukurannya. Hanya 10 x 3 meter. Boat tak bermesin itu mengangkut 200 orang. Mereka berhimpit-himpitan, nyaris tak ada ruang untuk bergerak. Selama 10 hari mereka dihanyutkan gelombang tanpa tujuan. Tujuh orang tak bertahan, meregang nyawa di lautan lepas. "The oxygen will bring us to another place," kenang Hassan dalam bahasa Inggris terbata-bata. "Kami hanya bisa berdoa kepada Allah untuk menyelamatkan hidup kami."

Selama 10 hari "berkelana" di laut, mereka kerap menjumpai kapal yang melintasi jalur padat Selat Malaka. Hassan menyebutkan, mereka kerap meminta bantuan pada kapal yang lalu lalang, sambil melambaikan kain dan pakaian. Sayang, suara mereka tak terdengar. "Saat saya melihat kapal, saya berteriak minta bantuan. Tapi tak satu pun yang membantu kami," ujar pemuda berusia 22 tahun itu.

Boat yang ditumpangi Hassan bersama 192 orang lainnya merupakan bagian dari empat boat yang dilarung Angkatan Laut Thailand ke lautan lepas. Hassan dan temannya terdampar di Sabang. Satu boat lain terdampar di Pulau Andaman, India. Sementara sisanya hingga kini tak jelas juntrungannya.

Nur Muhammad, etnis Rohingya yang juga terdampar di Sabang, menyebutkan, mereka berlayar ke Thailand untuk mencari pekerjaan yang layak. Sebenarnya, persinggahan akhir mereka, Malaysia. Namun sebelum bisa menjejakkan kaki di Malaysia, mereka ditangkap tentara dan dipenjara di Ranong, Thailand Selatan.

Di negeri sendiri, menurut Muhammad, mereka tak bebas bekerja. Sebelum ke Thailand, Muhammad menyeberang perbatasan secara ilegal ke Bangladesh. Di sana, dia bekerja sebagai nelayan dan mengumpulkan uang untuk membayar "tiket" boat ke Malaysia, sekitar US$430. Dia dan temannya berlayar dengan boat kayu pada 16 Desember 2008. Celakanya, sang kapten boat sama sekali tak tahu arah tujuan mereka, hingga terdamparlah di Ranong.

Keberuntungan belum berpihak pada etnis Rohingya. Saat mencapai Thailand, mereka malah ditangkap tentara dan dipenjara, sebelum akhirnya dilepaskan ke laut dengan boat tanpa mesin, makanan, dan minuman.

"Boat yang kami tumpangi sangat jelek," kata pria berusia 37 tahun itu ketika ditemui di RSU Sabang, akhir Januari lalu. Dia mendapat perawatan medis akibat menderita sakit di pinggang dan luka dalam. "Air laut masuk dalam boat sampai selutut dan kami mulai membuang airnya. Kami hanya bisa berdoa pada Allah agar kami selamat," kata Muhammad.

Thailand dan Myanmar menolak bertanggungjawab atas kasus ini. Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva berjanji akan menyelidiki aksi yang dilakukan tentara Angkatan Laut terhadap warga Rohingya. Myanmar menyebutkan bahwa etnis Rohingya bukan warga mereka.

Undang Undang Kewarganegaraan Burma yang disahkan pada 1982 mencabut kewarganegaraan etnis muslim minoritas Rohingya. "Etnis Rohingya tidak eksis dalam (Union of Myanmar) dan mereka bukan bagian etnis pribumi Myanmar," kata pemerintah Myanmar kepada UNHCR, tahun lalu.

Saat satu tim Departemen Luar Negeri Indonesia dan International Organization for Migration (IOM) sedang memverifikasi etnis Rohingya di Sabang, satu perahu kayu tanpa mesin yang penuh manusia kembali ditemukan sebuah kapal nelayan di perairan Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur. Mereka berjumlah 198 orang. Nasib mereka tak jauh beda dengan kelompok manusia perahu di Sabang. Ketika ditemukan, kondisi mereka sangat memprihatinkan.

Menurut kesaksian Rahmad, seorang manusia perahu yang ditemukan terapung di Selat Malaka, mereka sebenarnya berjumlah 220 orang. Tetapi, 22 orang telah meninggal dunia di laut setelah terombang-ambing 21 hari. Mereka juga ditarik ke tengah lautan oleh serdadu Thailand setelah tiga bulan ditahan di pulau kecil Provinsi Ranong. Ke-198 manusia perahu itu kini ditampung di Kantor Camat Idi Rayeuk.



***



DEPARTEMEN Luar Negeri Indonesia semula bersikukuh untuk tidak melibatkan lembaga PBB yang mengurus pengungsi (UNHCR), karena beralasan warga etnis Rohingya merupakan "migran ekonomi". Selain itu, ungkap pejabat Departemen Luar Negeri, ada "pengalaman buruk" dalam menangani manusia perahu dengan UNHCR.

Pejabat Departemen Luar Negeri menyatakan, akan memulangkan warga etnis Rohingya ke negaranya. Tapi karena derasnya tekanan berbagai kalangan dalam dan luar negeri, Indonesia akhirnya mengizinkan UNHCR untuk memverifikasi 391 etnis Rohingya yang terdampar di Sabang dan Idi Rayeuk, Aceh Timur.

"Kita bersedia mengikutsertakan UNHCR untuk menangani siapa yang tidak mau kembali ke negara mereka," kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri, Teuku Faizasyah, kepada International Herald Tribune. "Kita ingin melaksanakan yang terbaik untuk mencari jalan keluar kasus Rohingya."

Meski bersedia bekerja sama dengan UNHCR, pemerintah tetap tak mengizinkan pengungsi Rohingya menetap di Indonesia. Pasalnya, jika diizinkan, gelombang pengungsi etnis minoritas di Myanmar akan terus berdatangan ke Indonesia. "Negara kita bukan untuk para pengungsi," kata dia.

Pendirian pemerintah bertolak belakang dengan keinginan sejumlah kalangan di Aceh. Mereka tetap berharap agar pemerintah bersedia mengizinkan warga etnis Rohingya menetap di Aceh. Beberapa dayah sudah menyatakan kesediaan untuk menampung manusia perahu itu. Alasannya, mereka adalah saudara seiman, dan bila dikembalikan ke negaranya akan mendapat perlakuan tidak manusiawi dari junta militer Myanmar.

Jauh-jauh hari, etnis Rohingya yang terdampar itu juga menolak dikembalikan ke Myanmar, negara yang mayoritas beragama Budha. "Saya lebih baik mati di sini, dibunuh oleh orang muslim," kata Nur Muhammad. "Jika dipulangkan, saya yakin pemerintah akan membunuh kami."

Di tanah harapan, cita-cita Hassan kandas. Niat hati ingin mempunyai kehidupan lebih baik, malah berakhir terapung-apung di tengah samudera. Padahal, ia ingin mengikuti jejak sang abang yang kini menetap di Italia. "Saya tidak ingin kembali ke Myanmar. Takut, karena militer akan membunuh saya. Saya berharap agar pemerintah Indonesia mau mengirim saya ke Italia," kata Hassan. Nafasnya tersengal-sengal. [a]

Bencana di Ambang Mata

Pelan tapi pasti, virus mematikan itu bergentayangan antara kita. Benteng negeri bersyariat bobol sudah, seiring bertambahnya jumlah penderita HIV/AIDS. Bila tak segera ditangani serius, alamat bencana di ambang mata.

Oleh FAKHRURRADZIE GADE

KABAR itu bak petir di siang bolong. Cahaya sama sekali tak percaya dengan hasil tes darah yang dijalani sang suami. Saat itu, dokter menyatakan suaminya, sebut saja namanya Arman, divonis mengidap virus HIV positif. Hari-hari dijalani Cahaya bagai orang putus asa. Ia kemudian menjalani tes. Hasilnya, membuat ia semakin terpuruk: Cahaya positif HIV dan AIDS. Mulanya, Cahaya marah dan menyesali hidupnya. Terlebih keluarganya shock dengan kejadian ini.

Cahaya tertular virus HIV dari sang suami, yang seorang pecandu narkotika. Saat terinfeksi, Cahaya sedang mengandung anaknya. Awal Maret lalu, dia melahirkan si buah hati. Kegembiraannya atas kehadiran bayi juga direnggut rasa was-was. Kelak di usia 18 bulan, nasib bayinya dipastikan: tertular HIV/AIDS atau tidak. “Syukurlah bila tidak, tapi bila positif kami siap menerimanya,” katanya, pasrah.

Cahaya merupakan potret orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di Aceh, provinsi ujung barat Indonesia yang katanya telah memberlakukan syariat Islam secara kaffah. Ia merupakan ODHA yang mampu bertahan dan bangkit menjalani hidup normal. Sisa hidupnya diabdikan untuk berkecimpung di lembaga nirlaba yang bergerak pada upaya penanggulangan HIV/AIDS di Aceh.

Penyebaran virus mematikan itu tidak bisa dipandang sebelah mata. Data yang dilansir Dinas Kesehatan Aceh cukup membuat mata publik terbelalak. Hingga Desember tahun lalu, ada 29 kasus HIV/AIDS ditemukan di Aceh. Dibandingkan daerah lain, memang angka ini relatif kecil. Tapi, penyebaran meningkat drastis dalam empat tahun terakhir.

Kepala Seksi Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Dinas Kesehatan Aceh dr. Abdul Fatah menyebutkan, penyebaran HIV/AIDS di Aceh terbilang cepat. Pada tahun 2004, pihaknya hanya mencatat satu kasus. Namun angka itu terus merangsek naik pertahunnya. Pada 2005 tercatat dua kasus. Di tahun 2006 ditemukan tujuh kasus, tahun 2007 (sembilan kasus). Puncaknya pada 2008 yang tercatat 10 kasus. Dari data itu, hubungan seks menjadi faktor dominan penyebaran virus mematikan itu.

Usai bencana gempa bumi dan tsunami melanda Aceh, akhir tahun 2004, banyak “pekerja kemanusiaan” dari berbagai belahan dunia datang ke Aceh. Bandingkan dengan keadaan sebelum tsunami, warga asing sulit bisa masuk ke Aceh. Tetapi, sekarang hampir setiap hari, kita bisa menemukan warga asing yang bekerja di berbagai lembaga internasional dan bergaul bersama warga Aceh.

“Aceh sekarang menjadi wilayah open area. Jadi potensi terjadinya penyebaran HIV juga semakin besar,” kata Abdul Fatah kepada ACEHKINI, medio Maret lalu.

Dinas Kesehatan bekerjasama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Aceh giat memberikan penyuluhan dan pemahaman tentang penyakit ini. Selain penyuluhan soal bahaya AIDS, Dinas Kesehatan juga berupaya menekan stigma negatif terhadap ODHA. “Selama ini ada stigma negatif terhadap penderita HIV. Padahal, HIV tidak ditularkan melalui makan bersama, bersentuhan. Bahkan tak ditularkan melalui ciuman,” ujar Fatah.

Menurut dia, penyebaran HIV/AIDS di Aceh tidak ada sangkut pautnya dengan keberadaan pekerja asing pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Sebab, kebanyakan penderita HIV terinfeksi saat mereka berada di luar Aceh. “Setelah terinfeksi, mereka kembali ke Aceh. Dulunya mereka pernah bekerja di Batam, misalnya,” kata dia.

Pernyataan ini seperti menghibur diri. Tetapi, bagaimana menjamin para pekerja asing itu tidak membawa virus mematikan itu. Apakah sebelum mereka datang ke Aceh, pernah dilakukan tes darah bahwa pekerja asing itu tak terjangkit HIV. Bukan rahasia umum lagi kalau selama ini mereka juga sering menggelar party terbatas, yang juga diikuti warga Aceh, untuk menghilangkan penatnya bekerja.

Harus diakui, praktik prostitusi terselubung juga menjamur di daerah bersyariat ini. ACEHKINI sempat menelusuri jejaring dan lokasi pelacuran terselubung di Banda Aceh dan beberapa kota besar lain. Sejumlah salon kecantikan malah menyediakan servis plus bagi para lelaki hidung belang. Bisnis esek-esek ini juga menghinggapi kalangan remaja di Aceh. Inilah yang menyebabkan Aceh menjadi rentan dan berpotensi meluasnya penyebaran virus yang hingga kini belum ditemukan obat penawarnya.

Praktik prostitusi dan penyebaran HIV/AIDS ibarat sisi mata uang. Di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh itu menyebar cepat. Hal ini tak terlepas dari bebasnya praktik prostitusi. Angka pengidap HIV/AIDS pada 1997 yang hanya berjumlah satu orang, bergerak cepat dalam jangka 10 tahun. Awal Januari 2007, seperti dilaporkan Antara, di Mimika telah 1.181 warga mengidap HIV/AIDS. Mimika menyumbang 45 persen dari total kasus HIV/ADIS di Papua dan Irian Jaya Barat. Hal yang sama juga terjadi di Maluku.

Gencarnya penyebaran HIV/AIDS di Mimika karena pemerintah setempat gagal dalam menanggulanginya. Selama ini, Pemerintah Mimika hanya memberikan penyuluhan bahaya HIV/AIDS bagi warga. Namun penyuluhan ini tak disertai dengan regulasi pemerintah soal penanggulangan penyakit itu.

Kasus Mimika harus menjadi pelajaran bagi Pemerintah Aceh. Penanggulangan HIV/AIDS di Aceh butuh payung hukum tersendiri. Apalagi pascatsunami Aceh menjadi wilayah terbuka. Baby Rivona, Ketua Medan Aceh Partnership (MAP), menyebutkan, selama ini penanganan HIV/AIDS tak terlalu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Padahal, jumlah penderita di Aceh terus bertambah. Karenanya, “perlu aturan khusus,” ujar Baby.

Rencana aktivis peduli HIV/AIDS mendulang pro-kontra. Ketua Panitia Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Amir Helmi, mempersilahkan jika ada yang ingin mengajukan draf qanun tersebut. “Selama masalah penting dan dirasa mendesak,” ujar Amir.

Ada juga pihak yang menentang rencana pembuatan qanun tersebut. Sebut saja, Khairul Amal. Menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera ini, untuk menangani kasus AIDS di Aceh tidak perlu kekhususan. Baginya, cukup diatur dalam qanun kesehatan saja.

Teungku Faisal Ali, Sekretaris Himpunan Ulama Dayah Aceh mendukung inisiatif lahirnya qanun untuk pengidap HIV/AIDS. “Ini hal positif yang perlu didukung. Meski belum lihat draftnya, saya yakin tujuannya baik, untuk menanggulangi dan menangani masalah HIV/AIDS,” ujarnya.

Menurut Faisal, HIV bukanlah masalah yang harus dihindari. Dia juga meminta masyarakat tak mengucilkan penderita penyakit mematikan itu. Sebab, kata dia, penyakit itu terjadi tak hanya karena perilaku si penderita, tapi bisa jadi karena ketidaksengajaan.

Angka jumlah penderita HIV/AID yang dipapar Dinas Kesehatan ialah data yang tercatat. Menurut prediksi WHO – badan kesehatan dunia— bila terdeteksi satu kasus, berkemungkinan 100 kasus lain terjadi. Jadi tak tertutup kemungkinan HIV positif di Aceh, yang belum diketahui, masih banyak. Nah, bila tidak segera ditangani serius, bencana baru kini mengancam di ambang mata. [a]

Jumat, September 04, 2009

Xperia X2 Segera Hadir

Oleh Fakhrurradzie Gade

Sony Ericsson mengumumkan akan mengeluarkan produk teranyar, yaitu Xperia X2, Rabu (2/9). Ini merupakan produk lanjutan dari Xperia X1 yang diluncurkan pada awal 2008 lalu. Sony Ericsson mengklaim X2 lebih unggul dibandingkan X1.

Sony Ericsson mengklaim bahwa X2 ini lebih unggul dibandingkan pendahulunya. Sony membenamkan Windows Mobile versi 6,5 ke dalam X2, selain mengklaim unggul di bidang push email dan kecanggihan multimedia."Pengguna bisa secara langsung menyinkronkan surat elektronik dan kalender, membuka dan mengedit dokumen melalui Microsoft Office secara cepat dan efektif untuk tetap terhubung dengan koleganya di mana pun mereka," ujar Mattias Holm, Sony Ericsson Global Communication, dalam publikasi di situs mereka,

Holm menyebutkan, X2 mempunyai fitur slideview yang unik, yang bisa diakses secara cepat. Melalui slide ini, pengguna bisa berinteraksi dengan menu kontak, perpesanan, media.

Kamera yang dibenamkan pun jauh berbeda dengan X1. Di X2, Sony membenamkan kamera beresolusi 8,1 megapixel dengan 16 kali optical zoom. Sayang, kamera ini tak mempunyai lampu flash. Keunggulan kamera X2 lainnya yaitu mempunyai penstabil gambar, blogging video, dan geo tagging. Ini semua tak dipunyai X1.

Keunggulan lain, layar sentuh X2 lebih sensitif dan fokus, Produk yang akan beredar di pasar pada kuartal ke empat tahun 2009 ini juga unggul di pemutar musik. Bbeerapa fitur, seperti speaker stereo, PlayNow, dan album gambar, tidak ditemukan di X1. Padahal, Sony Ericsson nyaris membenamkan menu PlayNow di semua telepon pintarnya.

Tak banyak fitur tambahan yang dibenamkan di X2. Bahkan di beberapa hal, X2 kalah dibandingkan pendahulunya. Sebut saja misalnya, X2 tak mempunyai radio, tidak bisa video call, tidak mempunyai Outlook Mobile, dan tidak tersedia navigasi joystik optik.

Untuk Internet, kendati sama-sama bekerja di jaringan HSPA atau 3,5 G, X2 tidak bisa mengakses RSS feed.

Pun begitu, X2 digadang-gadang unggul di bidang multimedia. Sony menawarkan pengalaman multimedia dengan layar sentuh 3,2 inci yang beresolusi tinggi dan berkualitas DVD.

"Telepon berplatform Windows ini memungkinkan pengguna untuk mengatur dunia mereka --dari kerja, rumah, atau bermain-main -- dalam satu handset," kata Stephanie Ferguson, general manager, product management Microsoft Corp. "Xperia X2 menawarkan kesempurnaan menu perpesanan, kemampuan multimedia di perangkat Windows Mobile, jadi pengguna bisa tetap berhubungan (dengan sesama), bekerja, dan menikmati hiburan di mana saja mereka berada." []

Selasa, September 01, 2009

Kenangan Seorang Sahabat

Oleh FAKHRURRADZIE GADE
[Edited by Nurdin Hasan]

DEBURAN ombak yang sedang mencium bibir pantai, sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Petang itu, Selat Malaka, sedang tak garang. Hembusan angin sepoi-sepoi usai mencumbui pantai, menyapu nyiur melambai dan membawa kesejukan. Hanya ada satu rumah di situ, diapit rimbunnya pohon kelapa dan pisang.Di depan rumah berkonstruksi beton, teronggok buing rumah, agak kecil. Terlihat jelas bekas kebakaran.

Tidak terlihat rumah lain dalam radius satu kilometer. Satu-satunya rumah di situ, hanya milik Tengku Muhammad Usman Lampoh Awe. Petang itu, lelaki berusia 74 tahun itu sedang menikmati senja di rumahnya di desa Blang Raya, kecamatan Muara Tiga, kabupaten Pidie. Ia duduk di kursi goyang dari rotan di sisi belakang rumah.

Di dinding teras, dekat pintu masuk tergantung sebuah foto yang di dalamnya terlihat pemilik rumah bersama Irwandi Yusuf, gubernur Aceh hasil pilihan rakyat, akhir 2006 silam. Masuk ke dalam rumah, beberapa foto ukuran besar tergantung di dinding ruangan luas. Ada foto kenangan masa lalu, ada juga yang baru. Di antaranya ada satu foto, yang terdapat pemilik rumah bersama Tengku Hasan Muhamad Ditiro. Terlihat kekerabatan antara keduanya, sejak lama.

Masih segar dalam ingatan Muhammad perangai Hasan Tiro yang di kalangan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dikenal sebagai wali nanggroe. Suatu hari usai deklarasi Aceh Merdeka tahun 1976, ia menyodorkan selembar surat kepada Hasan Tiro.

Sebelum Tiro membaca, dia menyuruh Muhammad mengecek kembali surat. “Coba baca dan periksa dulu,” perintahnya. Seketika, Muhammad menjawab sudah dua kali membacanya.

“Coba baca lagi,” ujar Tiro. Muhammad pun terpaksa membaca lagi surat yang diketiknya dengan mesin tik. Usai membaca untuk ketiga kalinya, dia menyodorkan surat itu kepada deklarator Aceh Merdeka.

Tiro membacanya dan menyapu huruf demi huruf yang tertulis di atas kertas tersebut. Aha, Tiro menemukan satu kesalahan yang diperbuat Muhammad. Di surat itu, ia lupa membubuhi satu tanda koma.

“Berapa bulan sudah kalian bersama saya?” tanya Tiro kepada Muhammad dan Darul Kamal. Dua orang kepercayaan Tiro itu hanya terdiam. Tiro lalu bilang, “Tanda koma sama posisinya dengan huruf-huruf lain, sama dengan huruf A, B, C. Kenapa dihilangkan?” ujar Tiro dengan intonasi tinggi.

Setelah mendapat teguran itu, Muhammad dan kawan-kawannya sangat hati-hati bila mengetik surat. Di matanya, Tiro tak hanya telaten, tapi juga sangat rapi dan tegas. Satu ketika usai mendeklarasikan Aceh Merdeka, Hasan Tiro menerima surat dari seseorang yang meminta jabatan.

Surat pertama dan kedua didiamkan saja. Baru pada surat ketiga, ia mengutus Muhammad dan Ir Asnawi Ali mengecek latar belakang orang yang meminta jabatan tersebut. “Sebelum kita mengangkat seseorang sebagai pemimpin, kita harus tahu dulu apa yang sudah diperbuat orang itu,” kata Tiro. Kalimat tersebut sampai sekarang masih membekas di benak Muhammad.

Yang juga paling diingatnya dari sosok Hasan Tiro adalah kerapian. Ia adalah sosok pekerja keras, tak kenal lelah dan mempunyai watak yang keras. Tak jarang, Muhammad dimarahi Tiro. Tapi, tak sembarang orang yang dimarahi. “Saya, Darul Kamal, dan Dr Husaini Hasan yang sering dimarahi Wali,” jelas Muhammad kepada ACEHKINI, beberapa waktu lalu.

Ketiga orang inilah yang sering menjadi sasaran jika Tiro marah. Menurut Muhammad, Hasan Tiro berani memarahi mereka karena, “kamoe ureueng dalam, hahaha..” ungkap Muhammad.

Mungkin karena “orang dalam” pula ketika Hasan Tiro pulang ke Aceh tahun 1976, setelah berbilang tahun menetap di New York, Amerika Serikat, orang pertama yang dicarinya adalah Muhammad. Seperti ditulis dalam bukunya The Unfinished Diary, setelah berlabuh di Kuala Tari, Kecamatan Kembang Tanjong, Pidie, Tiro langsung mencari Muhammad sebelum “naik gunung.”

Menurut Muhammad, Hasan Tiro juga sangat memperhatikan kesempurnaan kerja. Pernah, saat pindah asrama (maksudnya markas –red), Tiro langsung memulai kerja. Padahal, hari itu sudah larut malam. “Kalau pindah asrama, yang pertama dikerjakan adalah membuat meja,” kata Muhammad.

Tiro juga selalu memberi contoh baik kepada mereka. Usai bekerja, dia selalu membereskan meja kerjanya. Nyaris tak ada satu kertas pun yang tercecer di meja dan ruang kerja. Begitu juga, jika mau menulis surat, selalu dilakukan Tiro saat surat tersebut mau dikirim atau dititip.

"Biasa ditulis waktu pagi atau waktu mau berangkat,” jelas Muhammad. “Ini dilakukan biar kalau digerebek musuh, tidak ditemukan barang bukti apa pun.”

Sifat kehati-hatian Tiro karena yang dipimpinnya adalah gerilyawan. Sebelum mendeklarasikan Aceh Merdeka di Gunong Halimon, Pidie, 4 Desember 1976, dia pernah mengikuti pendidikan non-formal taktik gerilya. Metode gerilya ini pula yang diterapkan Tiro saat mendidik angkatan bersenjata pertama Aceh Merdeka di kamp Tanzura, Libya. Makanya, dia mewanti-wanti bawahannya untuk selalu sigap dalam segala kondisi.

Meski berwatak keras, Tiro tak arogan dalam memerintah. Muhammad pernah disuruh membuat sketsa pekerjaan yang akan dilakoninya. Saat itu, Tiro menyuruhnya menyebarkan selebaran keberadaan Aceh Merdeka di Medan. Sebelum dia melaksanakan tugas, Tiro terlebih dulu bertanya strategi yang akan dipakai Muhammad: siapa yang akan ditemui, melalui jalan mana akan ditempuh.

Saat itu, Muhammad menyebutkan beberapa orang dan kawasan yang akan dikunjunginya. Ada beberapa target yang disebutnya dibatalkan Tiro. Pernah juga, saat menerima tugas lain, Muhammad mengajukan protes karena Tiro tak pernah menentukan target yang jelas.

“Tengku, kenapa tidak ditetapkan saja. Tinggal kami jalankan saja,” protesnya suatu ketika.

“Saya tidak mau orang menipu saya. Kalau saya tentukan, nanti kalian tidak bisa menjalankannya,” Tiro memberi alasan, “tapi kalau kalian yang tentukan, pasti bisa dilaksanakan.”

Itulah sekelumit kenangan Muhammad selama Tiro berada di Aceh setelah mendeklarasikan pemberontakan terhadap Jakarta. Setelah berangkat lagi ke pengasingan di Amerika, sampai akhirnya menetap di Swedia, mereka tetap saling berkomunikasi. Maklum, selain keterikatan secara garis perjuangan, keduanya mempunyai hubungan darah. Mereka adalah sepupu.

Muhammad termasuk salah satu orang yang berani membantah Hasan Tiro. Dalam sebuah rapat di rumah Tiro di kawasan Alby, Stockholm, Swedia, Tiro pernah terlihat sangat marah, karena para gerilyawan GAM dinilai tak lagi gesit dalam melawan pasukan pemerintah Indonesia.

Orang kepercayaan yang diserahi mandat menjabat Menteri Keuangan GAM dalam kabinet Tiro dan hampir sepertiga hidupnya dihabiskan dalam penjara, ingat betul saat Tiro bilang, “Awak Aceh njoe sabe idiot.” Hasan Tiro sering memakai kata idiot untuk menilai orang bodoh. Kata itu biasanya dulu juga sering diucapkan saat Tiro menyerang Indonesia.

Mendengar pernyataan ini, Muhammad unjuk bicara. “Tengku sudah lama tidak berada di Aceh,” katanya. Dia lalu menceritakan kondisi kekinian Aceh, tentu yang tak diberitakan media massa. Misalnya, Muhammad menceritakan bagaimana personel GAM menguasai Kota Idi, Aceh Timur. “Tapi setelah itu, dalam radius beberapa kilometer, tentara akan menyerang. Abeh manok, abeh naleung, abeh rumoh. Semuanya musnah,” kata dia.

Mungkin, lanjut Muhammad, beberapa tahun kemudian Aceh akan merdeka seperti yang diidam-idamkan dan diperjuangkan mereka. “Apa gunanya lagi? Di kampung yang ada hanya orang tua renta, hanya ada tanah lapang tak berumah? Lalu untuk apa lagi merdeka kalau sudah begini,” sebutnya.

Hasan Tiro terperangah mendengar “ceramah” karibnya itu. Tiro hanya bisa mondar-mandir di ruangan sambil menggigit gagang kacamatanya. “Kalau begitu, kita harus ubah strategi,” katanya.

“Sebelum ada restu dari Tengku, kita di Aceh sudah mengubah strategi. Apa yang Tengku ajarkan soal hit and run sudah kami jalankan,” kata Muhammad berargumen. Dalam usia renta dan deraan leukemia, Muhammad masih tetap bersemangat. Dalam kesunyian, dia berharap Aceh bisa maju, di tangan kaum muda. Ia mengaku Allah telah memberikan bonus usia kepadanya.

Lantas, pernahkan Tiro menyampaikan kerinduannya kembali ke kampung halaman, setelah 30 tahun ditinggalkan? “Tengku, kalau ada orang yang mau pulang ke Aceh selalu menyiapkan tas. Dia bilang, ‘man lon han neupeuwoe’,” ungkap Muhammad.

Tiro, agaknya memang benar-benar rindu tanah kelahirannya. [a]

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting