Sabtu, Mei 29, 2010

Jalan Mulus Qanun Jinayah

Oleh Fakhrurradzie Gade

RUANG sidang parlemen Aceh dipenuhi belasan aktivis perempuan. Mereka tekun mendengar anggota dewan yang sedang menyampaikan pandangan umum mengenai lima rancangan qanun yang sedang dibahas DPR Aceh. Kehadiran sejumlah aktivis perempuan ini bukan tak beralasan. Salah satu rancangan qanun yang sedang dibahas adalah Qanun Jinayah dan Qanun Acara Jinayah. Qanun inilah yang paling banyak mendapat sorotan dari aktivis sipil ini. Direktur Koalisi NGO HAM Aceh Evinarti Zain menyebutkan, dari lima rancangan qanun yang akan disahkan pada akhir periode masa jabatan anggota parlemen Aceh periode 2004-2009, Raqan Jinayah dan Raqan Acara Jinayah-lah yang paling buruk dalam penyusunannya.

“Terkesan dirancang asal jadi oleh DPR Aceh. Padahal secara eksistensi pelaksanaannya, Qanun ini yang paling punya akibat langsung terhadap siapa pun yang berada atau sedang berada di Aceh,” kata Evi Zain dalam siaran pers yang dikirim ke wartawan, Rabu (9/9).

Koalisi NGO HAM menilai rancangan qanun ini belum sepenuhnya disosialisasikan kepada masyarakat luas. “Patut diduga qanun ini sangat kering pendapat masyarakat dan muatan keilmuan Islam secara umum,” ujar Evi.

Dalam draf, Qanun Jinayah nantinya hanya mengatur perihal judi, minuman keras, khalwat, homoseksual, pelecehan seksual, menuduh berzina, dan lesbian. Tak ada aturan yang menyebutkan soal perampokan, korupsi, dan pembunuhan.

“Qanun ini hanya menyentuh rakyat lapisan bawah dengan dalih bahwa aturan yang tidak diatur dalam Qanun Jinayah maka akan berlaku KUHP,” ujar Evi. Karenanya, Koalisi mendesak pemerintah dan legislatif untuk membawa draf qanun ini dalam sebuah musyawarah ulama Aceh agar hasilnya lebih baik.

Qanun Jinayah yang rencananya akan disahkan pekan depan ini merupakan kompilasi dari Qanun No 12 tahun 2003 tentang Maisir (perjudian), Qanun No 13/2003 tentang Khamar (minuman keras), dan Qanun No 14/2004 tentang Khalwat (mesum). Ketiga qanun ini sudah diberlakukan di Aceh. Pemerintah dan Legislatif Aceh menilai bahwa tiga qanun itu tak cukup untuk menerapkan syariat Islam secara sempurna di daerah yang pernah dilanda konflik selama hampir 30 tahun ini.

Bahrom Rasjid, ketua Panitia Khusus XII DPR Aceh, menyebutkan, Rancangan Qanun Jinayah ini sudah lama dipersiapkan pihak eksekutif. Pengajuan Qanun ini untuk menyempurnakan tiga qanun yang selama ini menjadi pijakan daerah ini menjalankan syariat Islam.

"Ini awalnya menyempurnakan qanun soal judi, mesum, dan minuman. Lalu saat pembahasan di Pansus (Panitia Khusus), kami menambahkan soal pelecehan seksual, zina, lesbian, homoseksual, dan pemerkosaan," kata Bahrom.

Bahrom hampir merampungkan tugasnya sebagai ketua Pansus XII ini. Rencananya, parlemen akan mengetuk palu pengesahan rancangan qanun ini menjadi Qanun Hukum Jinayah pada Senin, 14 September.
Pembahasan qanun ini di parlemen dikebut. Apalagi, 69 anggota dewan periode 2004-2009 akan segera mengakhiri tugasnya. Parlemen baru akan didominasi kader Partai Aceh, partai yang dibentuk pentolan Gerakan Aceh Merdeka. Banyak pihak menilai, anggota parlemen hasil pemilihan 2009 bakal tak mengesahkan qanun jinayah ini, jika anggota parlemen sekarang tak segera merampungkan pembahasannya. Apalagi, Partai Aceh tak pernah berbicara soal implementasi syariat Islam di Aceh.

Bahkan, Evi Zain (Direktur Koalisi NGO HAM Aceh) menilai bahwa pembahasan Qanun Jinayah merupakan proyek kejar tayang anggota dewan periode 2004-2009.

Di parlemen, qanun ini bakal berjalan mulus. Dalam pandangan umum anggota dewan pada Kamis (10/9), sebanyak tujuh anggota DPRA dari berbagai fraksi memberikan penilaiannya soal Qanun Jinayah dan tiga qanun lain yang sedang dibahas dewan.

Dari tujuh pemberi pandangan itu, hanya Miryadi Amir dari Partai Demokrat yang tidak memberikan penilaiannya. Dia hanya memberikan pandangan seputar Rancangan Qanun Investasi dan Penanaman Modal, Rancangan Qanun Pemberdayaan Perempuan, dan Rancangan Qanun Wali Nanggroe.
Koleganya di Partai Demokrat, Jamaluddin Muku, menolak berkomentar. Ia menyebutkan bahwa pandangan akhir fraksi akan dikemukakan pada Senin pekan depan.

Sementara enam anggota dewan lain secara terang-terangan mengapresiasi kerja Pansus XII yang telah membahas Rancangan Qanun Jinayah dan Acara Jinayah. "Apa yang telah dirumuskan oleh Pansus XII sudah sesuai dengan harapan kita bersama untuk tegaknya pelaksanaan syariat Islam di Aceh, sesuai dengan amanat Undang Undang Pemerintahan Aceh," kata Moharriadi dari Partai Keadilan Sejahtera.

Hal senada dikemukakan Adriman dari Partai Golkar, Indra Azmi dari Partai Keadilan dan Persatuan Umat (PKPU), Zainal Arifin dari Partai Amanat Nasional.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Mawardi Ismail menilai Qanun Jinayah yang sedang dibahas di DPR Aceh sama sekali tidak melanggar Undang Undang yang berlaku secara nasional, dan juga tidak melanggar hak asasi manusia.

"Mengenai soal hak asasi manusia, semua yang masuk dalam rumusan HAM ketika dibawa ke ranah lokal, itu memerlukan penyesuaian. Dalam konteks jinayat sekarang ini juga telah disesuaikan sedemikian rupa, sehingga pelaksanaan ketentuan jinayat tidak akan melanggar HAM," kata Mawardi Ismail saat dihubungi Kamis (10/9) sore.

Dia menyebutkan, hukuman cambuk dan rajam menjadi dua hal yang sering dipermasalahkan banyak kalangan. Menurutnya, hukuman cambuk bukan hanya berlaku di Aceh, tapi juga di Singapura dan Malaysia. "Kenapa yang di sana tidak dipersoalkan?" tanya Mawardi.

Tidak melanggar prinsip universal HAM, sebut Mawardi, karena dalam qanun Jinayah ini ada diberikan alternatif hukuman. "Hakim bisa memilih apakah hukuman yang pantas (bagi pelanggar syariat). Apakah kurungan atau denda," kata dia.

"Qanun Jinayah ini juga tidak bertentangan dengan KUHP. Bahkan dalam UU Pemerintahan Aceh disebutkan, khusus qanun jinayah ini tidak perlu pertatikan ketentuan peraturan pada umumnya. Jadi itu diatur dalam UU. Jadi produk hukum ini (Qanun) setara dengan KUHP. Pemerintah dan DPR Aceh sudah mengusahakan sedemikian rupa, maka pelaksanaannya tidak akan melanggar HAM," ujar Mawardi. []

Jumat, Mei 28, 2010

Tight pants ban takes effect in Indonesia's Aceh

FAKHRURRADZIE GADE, Associated Press Writer

MEULABOH, Indonesia (AP) — Authorities in a devoutly Islamic district of Indonesia's Aceh province have distributed 20,000 long skirts and prohibited shops from selling tight dresses as a regulation banning Muslim women from wearing revealing clothing took effect Thursday. The long skirts are to be given to Muslim women caught violating the dress code during a two-month campaign to enforce the regulation, said Ramli Mansur, head of West Aceh district.

Islamic police will determine whether a woman's clothing violates the dress code, he said.

During raids Thursday, Islamic police caught 18 women traveling on motorbikes who were wearing traditional headscarves but were also dressed in jeans. Each woman was given a long skirt and her pants were confiscated. They were released from police custody after giving their identities and receiving advice from Islamic preachers.

"I am not wearing sexy outfits, but they caught me like a terrorist only because of my jeans," said Imma, a 40-year-old housewife who uses only one name. She argued that wearing jeans is more comfortable when she travels by motorbike.

Motorbikes are commonly used by both men and women in Indonesia.

"The rule applies only to Muslim residents in West Aceh," Mansur told The Associated Press. "We don't enforce it for non-Muslims, but are asking them to respect us."

He said any shopkeepers caught violating restrictions on selling short skirts and jeans would face a revocation of their business licenses.

No merchants have been seen displaying jeans or tight clothing in stores in West Aceh district in recent weeks.

The regulation is the latest effort to promote strict moral values in the world's most populous Muslim-majority nation, where most of the roughly 200 million Muslims practice a moderate form of the faith.

It does not set out a specific punishment for violators, but says "moral sanctions" will be imposed by local leaders.

Mansur said women caught violating the ban more than three times could face two weeks in detention.

Rights groups say the regulation violates international treaties and the Indonesian constitution.

Aceh, a semiautonomous region, made news last year when its provincial parliament passed an Islamic, or Shariah, law making adultery punishable by stoning to death. It also has imposed prison sentences and public lashings for homosexuals and pedophiles.

Islamic law is not enforced across the vast island nation. But bans on drinking alcohol, gambling and kissing in public, among other activities, have been enforced by some more conservative local governments in recent years.

Opinion polls show that a majority of Indonesians oppose the restrictions on dress and behavior, which are being pushed by hard-liners in the secular democracy.

Sabtu, Mei 08, 2010

Salahkah Kami?

BENAR. Dua Reporter saya memberikah dua informasi yang berbeda tentang satu kejadian. Dalam pekan ini, media yang saya asuh melansir foto seorang ibu yang terbaring lemas di rumahnya. Zuraida nama ibu penghuni kompleks Cinta Kasih Pante Riek, Lueng Bata. Zuraida mengaku tidak bisa menjalani operasi kanker payudara karena ketiadaan biaya. Namun dalam wawancara selanjutnya, Ida, anak Zuraida mengaku bahwa ibunya tidak ditolak oeh pihak Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin. pik dokter hanya meminta Zuraida menunggu karena sedang ada sekitar 25 pasien yang tengah antre.


Sampai di sini, saya melihat ada kejanggalan dari dua informasi ini. Saya berharap agar kami tidak salah mengutip keterangan narasumber.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting