Minggu, Desember 18, 2005

Utusan Gedung Putih Kunjungi Aceh
Bantu Guru USD 14 Juta

Utusan Gedung Putih Kunjungi Aceh
Bantu Guru USD 14 Juta

Banda Aceh, acehkita.com. Utusan Khusus Gedung Putih, Andrew Natsios, mengunjungi sejumlah lokasi yang dilanda gempa dan tsunami di Banda Aceh dan Aceh Besar, Minggu (18/12). Natsios datang didampingi Direktur USAID di Indonesia William Frej dan Kuasa Usaha Tetap Kedutaan Besar A.S. Lewis Amselem, serta Plt Gubernur Aceh Azwar Abubakar.

Dalam kunjungan untuk melihat perkembangan setahun pasca-bencana tsunami, Natsios mengunjungi sejumlah tempat, seperti Leupung, Masjid Rahmatullah, dan kuburan massal. Dia juga meresmikan proyek penampungan air yang didanai USAID di Desa Meunasah Bale.



Di kuburan massal, tamu dari negara Abang Sam itu mengheningkan cipta bagi para korban tsunami. Beberapa warga Lampuuk juga terlihat di sana. Beberapa ibu-ibu sempat menitikkan air mata saat memanjatkan doa mengenang korban dalam musibah raya itu.

“Saya senang, tapi sedih juga kalau mengingat masa lalu,” kata Ramlah (53), kepada acehkita.com.

Usai bedoa, para delegasi berdialog dengan tokoh masyarakat Kemukiman Lampuuk, Kecamatan Lhok Nga, di dalam Masjid Rahmatullah. Di sana, Natsios dan Gubernur Azwar Abubakar mendengarkan keluh-kesah warga. Natsios meminta masyarakat menyampaikan kebutuhan mendesak yang dibutuhkan warga saat ini.

“Kami sangat membutuhkan perbaikan masjid. Karena dengan satu-satunya bangunan yang tersisa ini, kami terdorong untuk kembali ke kampung lagi,” kata Imam Masjid Rahmatullah.

Kepala Kemukiman Lampuuk, Haji Dahlan, meminta supaya pemerintah Amerika membantu mereka dalam pengadaan penerangan listrik. “Usai tsunami, penerangan listrik di sini tidak ada lagi. Karena itu kami sangat mengharapkan adanya penerangan listrik,” kata Haji Dahlan.

Beberapa ibu-ibu yang juga hadir dalam dialog itu, meminta supaya dibantu pengadaan pusat kesehatan.

Saat mengunjungi Lampuuk, Natsios juga meresmikan proyek penampungan air atau kolam. Dia berharap, kolam ini bisa digunakan untuk mengairi tanaman pertanian palawija yang ditanami warga. “Semoga dengan adanya kolam ini bisa digunakan untuk mengairi tanaman, supaya hasil produksi, semisal cabe, dan palawija lainnya, bisa lebih baik,” kata Natsios.

Kepada wartawan Natsios mengaku sangat senang melihat perkembangan masyarakat Lampuuk setahun pascatsunami. “Perkembangan cukup bagus, masyarakat sudah bersemangat. Kami senang bisa memberikan dukungan kepada masyarakat,” kata Natsios.

Natsios mengingatkan semua pihak yang terlibat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi tsunami untuk tidak mengorupsi bantuan kemanusiaan. “Jangan ada korupsi, kami tidak suka itu,” tegasnya.

Saat wartawan menanyakan tentang penilian masyarakat bahwa proses pemulihan Aceh pascabencana berjalan lambat, Natsios bisa memahaminya. “Wajar saja, karena mereka yang merasakan. Kami memahami perasaan masyarakat. Tapi kami terus berikan dukungan supaya mereka bangkit,” ujarnya lagi.

Pukul 15.00 WIB, bertempat di Gedung AAC Dayan Dawood Universitas Syiah Kuala, Natsios akan menandatangani Nota Kesepahaman pemberian bantuan USD 14 juta atau setara Rp 140 miliar. Bantuan sebesar Rp 140 miliar itu akan digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan guru di Aceh.

Selain itu, Natsios juga akan membuka pameran bertajuk “Satu Tahun Kemudian”. Pameran itu akan menampilkan foto dan video untuk menggambarkan berbagai upaya pemulihan di wilayah-wilayah yang menerima bantuan langsung, pemberdayaan komunitas, pembangunan infrastruktur, serta pemerintahan lokal.

Pemerintah A.S. telah memberikan USD 400 juta untuk membantu upaya pemulihan dan rekonstruksi pascatsunami di Indonesia. Sementara sejumlah perusahaan dan warga negara Amerika telah menyumbangkan USD 1,4 miliar bagi upaya pemulihan dan rekonstruksi regional. [dzie]

Sabtu, Desember 17, 2005

PANTAI BARAT
Setelah Setahun Bencana Berlalu


Setahun sudah bencana berlalu. Pantai barat Aceh menyisakan persoalan. Ribuan pengungsi masih terkurung dan kekurangan makanan. Setahun tsunami, BRR mencatat, 67.500 pengungsi masih di tenda. Sementara rumah baru dibangun 16.200 unit.

Taufik menarik perahunya ke tepi “dermaga”. Tidak terlalu besar perahu yang akan memuat empat sepeda motor itu. Namun, dia tidak terlalu hirau. Tak jauh dari posisinya, seorang teman kerjanya sedang menurunkan sepeda motor trail ke “dermaga” kecil yang agak miring ke danau.

Perahu motor yang tidak terlalu besar itu digunakan untuk mengangkut sepeda motor melayari anak danau yang terbentuk setelah tsunami menghancurkan Aceh Jaya akhir Desember tahun lalu. Taufik dan tiga rekannya memindahkan satu per satu sepeda motor ke dalam perahunya. Sedikit oleng ke kiri. Namun mereka tidak peduli. Begitu seterusnya.

Dengan bermodal mesin 25 PK, dia mengarungi danau yang tidak terlalu besar itu. Setelah sekitar 150 meter perjalanan, perahu milik Taufik berpas-pasan dengan perahu lain, yang memuat empat motor dan sekitar tujuh penumpang, ditambah empat awak boat. “Beginilah Bang, pemandangan rutin,” kata Taufik kepada acehkita.com, Senin (12/12) lalu.

Apa yang diungkapkan Taufik, sepenuhnya benar. Perjalanan ke Aceh Jaya, masih harus melalui jalan yang rusak. Setidaknya, acehkita.com harus naik perahu tiga kali dalam perjalanan dari Lamno, Kecamatan Jaya, ke Calang, ibukota Kabupaten Aceh Jaya.

Jalan yang rusak dihumbalang tsunami, belum diperbaiki. Jembatan putus di beberapa tempat, seperti di Desa Ujong Muloh, Lamno, Desa Babah Nipah dan Kuala Ligan, Kecamatan Sampoiniet, belum diperbaiki. Akibatnya, perjalanan dari dan ke Calang, terpaksa harus naik perahu.

Ada jalan alternatif melalui Gle Mancang. Namun, kondisinya tidak lebih baik dari menyusuri anak danau dan padang pasir. Jalanan di Gle Mancang jauh lebih parah kondisinya. Sejak dari Lamno, reporter situs ini sudah diwanti-wanti untuk tidak melewati jalan tembus baru yang didanai oleh pemerintah Amerika Serikat melalui USAID.

“Beberapa hari lalu, ada mobil LSM yang terjebak tiga hari tiga malam,” kata Usman U, Panglima Laot Lhok Lhok Kruet, Kecamatan Sampoiniet, Ahad (11/12).

Selain jembatan putus, sepanjang jalan dari Kecamatan Jaya, Lamno, puluhan kilometer jalan masih berlumpur dan berlobang. Praktis, jika musim hujan banyak warga yang tidak bisa melalui jalan ini, karena menyerupai kubangan kerbau. Bahkan lumpur setinggi lutut orang dewasa. Tak sedikit motor yang melintasi jalan berlumpur itu, terjebak dan jatuh.

Jalan itu merupakan lintasan yang dibangun oleh 2.000-an personel Zeni Tempur, Infanteri, dan Marinir. Mereka membuka jalur Banda Aceh-Meulaboh sepanjang 83 kilometer.

Untuk rehabilitasi lintasan pantai barat, Pemerintah Abang Sam (AS) telah menjanjikan akan mendanai perbaikan jalan pantai barat sepanjang 240 kilometer. Tak tanggung-tanggung, negeri adidaya itu akan mengucurkan 245 juta US Dollar. Penyerahan bantuan itu sebesar itu tertuang dalam Nota Kesepahaman yang ditandatangani Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto dan Direktur USAID William Frej.

Pembangunan kembali jalan Banda Aceh-Meulaboh sepanjang 240 kilometer akan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama akan diprioritaskan pada beberapa jalan dan jembatan yang tingkat kerusakannya parah, sepanjang 10 kilometer. Pada tahap kedua akan dibangun kembali sekitar 230 kilometer termasuk 108 jembatan dan gorong-gorong sepanjang Banda Aceh-Meulaboh.

Kendati sudah ada perjanjian antara kedua negara ini, masyarakat di pantai barat juga menyiratkan kekecewaannya, karena pembangunan jalan yang relatif lambat. Mereka terus mempertanyakan kapan jalan yang bisa membebaskan keterisolasian mereka selesai. “Kapan ya jalan ini dibangun lagi,” tanya Taufik kepada wartawan situs ini. “Kami minta supaya segera dibuatkan jalan.”

Taufik mungkin lelah menjadi penyedia jasa penyeberangan, kendati di sana dia bisa mengais rezeki. Namun, dia tidak tega melihat ribuan korban tsunami yang masih hidup di pengungsian dengan kondisi yang memprihatinkan, apalagi para janda yang suaminya menemui ajal dalam prahara besar itu.

Pria berkulit hitam legam karena dibakar teriknya matahari ini, tidak asal omong. Hanya sekitar 400 meter dari tempatnya bekerja, terdapat kamp pengungsian Kuala Ligan. Mereka masih tinggal di bawah tenda darurat. Sebagian sudah tinggal di rumah gubuk yang dibuat sendiri dari kayu peninggalan tsunami.

Jalan aspal menuju ke Calang tertutup rumput. Sisi kiri kanan jalan, ditumbuhi ilalang setinggi orang dewasa. Ini pertanda, jalanan itu jarang dilintasi mobil. Tak jauh dari kamp Kuala Ligan jalan aspal tidak ada lagi, sudah amplas diterjang tsunami.

Untuk mencapai Patek saja, harus melalui jalan setapak. Hanya sepeda motor yang bisa melintasi jalan yang super kecil itu. Rupanya, di sana ada pengungsi korban tsunami, yang masih tinggal di tenda-tenda. Nyaris tidak tersentuh bantuan untuk pengungsi di sini. Apalagi, jalan dari Patek juga putus total. Sementara mobil NGO, tertahan di sebuah jembatan yang berjarak 1 kilometer dari desa.

Di Desa Lhok Kruet dan Pulo Raya, Kecamatan Sampoiniet, ribuan pengungsi tidak memperoleh bantuan makanan, seperti beras, ikan, dan minyak goreng, sejak tiga hingga empat bulan terakhir ini. Tersendatnya penyaluran bantuan logistik, kata Sekretaris Desa Pulo Raya Syamsuddin (55), karena kesulitan sarana transportasi. “Mereka selalu beralasan itu,” kata Syamsuddin.

Akibatnya, para pengungsi di dua desa ini terpaksa membeli beras, minyak goreng, dan ikan. Padahal, penyaluran dana jaminan hidup atawa jadup yang seharusnya mereka terima Rp 3.000 per hari, juga setali tiga uang.

Menurut Syamsuddin, sejak mengungsi sebelas bulan lalu, mereka baru menerima jadup empat bulan saja. Sejak Juli, mereka tidak lagi diberikan jadup oleh pemerintah.

Bukan hanya Desa Pulo Raya yang tidak memperoleh bantuan logistik. Desa Lhok Kruet, Krueng No, dan Desa Ceuramong, juga setali tiga uang.

Seorang warga Desa Lhok Kruet yang enggan disebutkan namanya mengatakan, para pengungsi yang masih tinggal di tenda darurat di desanya sudah tiga bulan tidak memperoleh bantuan makanan, sejak September, Oktober, dan Desember. “Untuk bulan November sudah dibagikan,” kata warga tersebut. “Kami nggak tahu kenapa beras bantuan untuk kami tidak disalurkan.”

Pengungsi tenda di Desa Kareung Ateuh, Kecamatan Jaya, Lamno, Aceh Jaya, juga mengeluhkan penyaluran jadup yang tersendat. Dia dan 260 jiwa pengungsi lainnya hanya mendapatkan jadup sejak Maret hingga Mei. Selebihnya, tidak sama sekali. “Kami baru dapat jadup tiga bulan,” kata Aton (31).

Bagaimana nasib perumahan? “Tidak ada yang tangani masalah perumahan di sini,” kata seorang warga Lhok Kruet.

Hamparan tenda putih yang sudah lusuh dan compang-camping mewarnai sejumlah kamp pengungsian yang tersebar di pantai barat, mulai dari Lamno hingga Calang. Pemandangan ini seperti terlihat di Desa Kareung Ateuh (Kecamatan Jaya/Lamno), Desa Kuala Bakong, Desa Lhok Kruet, Krueng No, Pulo Raya, dan Desa Ceuramong. Pemandangan serupa juga terlihat di sejumlah lokasi pengungsian yang tersebar di Kecamatan Setia Bakti.

Tidak banyak NGO yang melirik desa yang masih terkurung ini. Kalau pun ada yang datang ke sana, hanya untuk menjanjikan bantuan. Selebihnya, tidak! “Janji hanya tinggal janji,” kata Usman U.

Usman lalu menceritakan kisah getir yang diperlihatkan sebuah NGO di desa mereka. Menurut Usman, NGO tersebut mengampanyekan Aksi Memerangi Kelaparan. Namun, hingga kini mereka belum pernah menerima bantuan pangan untuk mengatasi kekurangan logistik yang mereka alami. “Mereka hanya membuat satu unit WC,” kata Usman.

Kisah lain lagi, ada NGO yang datang menjanjikan seng untuk menggantikan atap tenda. Namun, sekali lagi, janji itu hanya tinggal kenangan pahit untuk diingat. Sebab, hingga kini mereka masih tinggal di tenda darurat.

“Kalau dihitung, ada 80 ton minyak dihabiskan hanya untuk memamerkan mobil mewah,” kata Panglima Laot yang membawahi empat desa di Kecamatan Sampoinit itu. Bahkan, kata dia, warga pernah mau mengusir sebuah NGO dari desa mereka. “Ada yang mau diusir,” ujarnya.

Calang
Kondisi yang sudah lumayan pulih di Calang, ibukota Kabupaten Aceh Jaya. Kehidupan perekonomian warga Calang juga sudah mulai bangkit. Toko-toko yang dulu digulung tsunami, kini sudah kembali dibangun, walaupun hanya berkonstruksi kayu. Aneka barang dan makanan dijual di toko baru yang menyesakkan tepi jalan yang selamat, karena berada di kaki Bukit Carak.

Para korban tsunami juga sudah tinggal di rumah-rumah bantuan. Di Desa Bahagia saja, sebanyak 83 unit rumah telah dibangun oleh Jawa Pos Group bekerjasama dengan Zeni Tempur TNI. Sebelumnya, tsunami hanya menyisakan satu rumah dan 27 jiwa di Desa Bahagia. Selebihnya digulung tsunami yang mengepung desa itu dari tiga sisi. Sementara di Kemukiman Calang, sudah dibangun 1.200 rumah oleh grup media berbasis di Surabaya, Jawa Timur itu.

Kendati sudah memperoleh rumah, tidak serta merta kondisi mereka berubah. Warga Desa Bahagia saja sejak Agustus lalu tidak lagi memperoleh bantuan jadup. “Kami hanya terima jadup empat kali,” kata Rusydi, salah seorang warga Desa Bahagia, yang ditemui di rumah Nek Beng, satu-satunya rumah yang selamat dari gempuran tsunami, Minggu (11/12) malam.

Beruntung warga Desa Bahagia. Beberapa di antara mereka yang selamat, sudah bekerja di NGO asing atau lembaga pemerintah, menjadi security. Rusydi, misalnya. Dia menjadi petugas keamanan di kantor cabang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias. Sementara Joli (28), menjadi petugas keamanan di salah satu NGO asing.

Sekitar 3 kilometer dari pusat kota Calang, ribuan pengungsi masih berdiam di tenda, sama halnya dengan pengungsi di beberapa kecamatan yang sudah disebutkan di muka. Di Desa Monmata, Kecamatan Krueng Sabe, misalnya, ratusan warga belum memperoleh bantuan perumahan. Mereka hanya tinggal di tenda dan rumah gubuk. Pihak Citra Agung sudah menjanjikan pembangunan rumah itu sejak bulan September lalu.

“Baru dibangun 10 pondasi, dari 40 unit yang dijanjikan Citra Agung,” kata Nurdin W, warga Monmata, Senin (12/12).

Lagi-lagi, masalah yang muncul di sini adalah penyaluran jadup yang tidak lancar. “Kami hanya dapat jadup empat bulan. Sejak Agustus, tidak terima lagi,” tambah Nurdin, dibenarkan lima pengungsi lain yang sedang menyerubut kopi di sebuah tenda yang disulap jadi warung.

Penduduk di Monmanta kini hanya 230 KK atau sekitar 700-an jiwa. Tsunami merenggut 165 jiwa warga. Mereka yang selamat berharap adanya bantuan modal, selain kelancaran jadup dan rumah. “Kami harapkan perekonomian warga dijalankan. Kami nggak tahu apa yang harus kami kerjakan,” katanya lagi. Tapi, “ada 100 KK yang diberikan bibit tamanan oleh ACF.”

Lambat
Lambatnya proses pemulihan pascatsunami di pesisir pantai barat Aceh, diakui Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Seperti terlihat dalam laporan setahun yang diberi judul Aceh and Nias One Year after the Tsunami: The Recovery Effort and Way Forward, diperlihatkan kemajuan proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh.

Dalam paparan itu jelas terlihat pembangunan masih terkonsentrasi di Banda Aceh, Aceh Besar, Lhokseumawe, Pidie, dan Bireuen. Namun, di sepanjang pesisir pantai barat, pembangunan terlihat berjalan lambat.

“Ada beberapa kesenjangan. Ada daerah yang pembangunannya signifikan, tapi ada juga yang sangat lambat seperti di pantai barat Aceh dan Nias,” kata T Syafrizal Sofyan dari Bank Dunia dalam paparan di depan sejumlah wartawan dalam dan luar negeri di Media Center BRR, Kamis (15/12).

Dalam laporan kemajuan setahun tsunami, BRR juga mengatakan, hingga Desember ini sebanyak 16.200 rumah telah selesai dibangun, 13.200 sedang dibangun. Tentu, angka itu sangat tidak sebanding dengan kerusakan rumah yang diperkirakan 80.000 hingga 110.000 rumah. Sebanyak 75.000 rumah di Aceh dan Nias harus direhabilitasi. Lembaga-lembaga donor sendiri telah berkomitmen membangun 103.000 rumah (termasuk 20.000 unit melaluio program tempat tinggal sementara).

Kendati sudah setahun tsunami berlalu, masih ada 67.500 korban tsunami yang tinggal di tenda darurat, 50.000 jiwa tinggal di barak penampungan. Sementara dari 3.000 kilometer jalan yang rusak, baru 235 kilometer yang selesai dibangun. Begitu juga dengan jembatan. Dari 120 jembatan arteri yang rusak, baru 35 yang selesai. Sedangkan lebih dari 2.000 sekolah rusak, namun baru 335 yang dibangun.

Padahal, dana yang telah dialokasi untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Nias USD 4,4 miliar untuk membiayai lebih dari seribu proyek.

Jumlah bantuan yang dijanjikan paling sedikit mencapai USD7,5 miliar, yang berasal dari USD2 miliar dari donor multilateral, USD 1,6 miliar dari donor bilateral, USD 1,8 miliar dari LSM, dan USD 2,1 miliar dari pemerintah Indonesia (tidak termasuk kontribusi pemerintah daerah).

Hal senada dikemukakan Kepala BRR Kuntoro Mangkusubroto. “Pembangunan di daerah itu memang terlambat. Banyak NGO yang kesusahan. Begitu dia bawa makanan ke sana, diminta oleh aparat yang berseragam,” kata Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias, Kuntoro.

Tahun depan, kata Kuntoro, BRR akan memfokuskan pemulihan Calang dan Aceh Jaya. Bahkan, pihaknya sudah menganggarkan dana Rp 518 miliar, ditambah lagi dana dari NGO yang diperkirakan mencapai Rp 1 triliun. “Saya sudah minta ini diamankan semua. Kalau nggak, orangnya akan diganti,” tegasnya.

Kuntoro tidak membantah jika ada NGO yang hanya menebar janji kepada korban tsunami. Namun, dia menegaskan, janji yang tidak terealisir bukan hanya diberikan para NGO. Pejabat di Jakarta juga demikian. “Menteri dan orang-orang Jakarta juga banyak yang janji-janji saja,” katanya.

Nah lho!
[dzie]

Kamis, Desember 15, 2005

Testi buat Tim AirPutih

Sebagaimana namanya, AirPutih seakan menjadi oase di tengah “kegelapan” informasi saat koneksi Internet di Aceh terputus akibat humbalang tsunami akhir Desember tahun lalu. Ini bukan untuk memuji, tapi memang itulah kenyataan yang saya rasakan.

Sebagai pekerja di media online (www.acehkita.com), saya harus tersambungkan dengan koneksi Internet selama 24 jam. Sebenarnya, itu tidak menjadi masalah, karena kantor saya memang tersambungkan dengan koneksi wireless. Namun, kendala justru mencul di lapangan: di mana hampir 40-an kontributor kami bekerja di Aceh.

Praktis, setelah dihumbalang tsunami, Banda Aceh, Calang, Meulaboh, dan Pidie, menjadi daerah yang terisolasi. Tidak ada yang bisa berkomunikasi ke sana. Kontributor acehkita.com pun akhirnya tidak bisa berkirim kabar berita tentang kejadian mahadahsyat di Aceh, karena memang koneksi Internet putus total, setelah kota rusak.

Baru hari ketiga, jalur komunikasi telepon di Banda Aceh mulai berdenyut. Melalui telepon, segala perkembangan dilaporkan kontributor ke Jakarta. Alhamdulillah, dalam beberapa hari setelah itu, koneksi Internet mulai tersambungkan. Semua kontributor acehkita.com sudah bisa mengirimkan foto dan berita melalui Internet.

Nah, keberadaan AirPutih, semakin dirasakan saat kami mengutus seorang wartawan ke Calang, Aceh Jaya. Melalui koneksi Internet yang disediakan AirPutih pula, reporter kami di sana bisa melaporkan berbagai perkembangan setelah tsunami.

Di Banda Aceh, kontributor kami juga menggunakan fasilitas yang disediakan AirPutih. Apalagi, kemudian antara acehkita.com dan Aceh Media Center, terjalin semacam kerjasama informal.

Selama pindah ke Banda Aceh, saya menggunakan jasa AirPutih untuk meng-upload berbagai berita ke acehkita.com. Namun, kadang-kadang, ada sedikit masalah dengan koneksi. Sebab, tak jarang koneksi AirPutih macet dan down. Saya tidak tahu ini apa kendalanya. Tapi, biasanya kawan-kawan di AirPutih Banda Aceh cepat tanggap, kok.

Baru-baru ini saya pergi ke Calang, Aceh Jaya. Di sana ada kantor AirPutih. Namun, sayang beberapa warga yang saya tanyai, tidak mengetahui apa itu AirPutih. Dan, yang membuat saya bingung, yang tidak tau AirPutih itu, ya tiga Security (kalau dulu dibilang Satpam, biar keren dikit pakai bahasa Inggris aja dah; security) di UN-WFP. Padahal, ternyata markas AirPutih itu, ya di depan markas UN-WFP, hehee.

Sebagai pengguna jasa AirPutih gratisan, saya berharap, aktivis AP menghibahkan peralatan ini ke mereka yang tidak berpikiran komersil.

Fakultas Ekonomi Unsyiah, Banda Aceh, 14 Desember 2005.

CATATAN: Dibuat sebagai testimoni bagi tim AirPutih yang telah bekerja maksimal memulihkan koneksi Internet di Aceh pascatsunami. Mereka akan keluar dari Aceh pada akhir tahun ini. Koneksi Internet wifi gratisan pun, terancam tidak bisa digunakan lagi.

Minggu, November 13, 2005

Ironi Aceh!

Saya tidak menduga jika ada orang tua (baca: generasi tua) yang menolak dibangun rumah adat Aceh oleh lembaga swadaya masyarakat, yang merekonstruksi Aceh pascatsunami.

Menurut pria yang saya taksir berusia 55 tahun, dia menolak rumahnya yang porak-poranda dihantam gelombang tsunami akhir tahun lalu, diganti dengan rumah yang berbentuk rumah tiang atau menyerupai rumah Aceh. Alasannya, material pembuatan rumah langka itu bukan berasal dari kayu-kayu yang kualitas bagus.

“Tiangnya dibuat dari pohon kelapa,” kata dia.

Memang, saya pernah melihat rumah Aceh bantuan Muslim Aid di Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, bahan bakunya pohon kelapa. Saya memang awam perihal ilmu bangunan dan arsitektur. Namun, sekilas rumah Aceh bantuan Muslim Aid itu bagus. Ini membuat pikiran saya kembali menerawang ke tahun 1980-an.

Di kurun waktu itu, masih banyak rumah adat yang gampang ditemui. Di Pidie, saya masih bisa menemukan rumah khas Aceh itu di pinggir jalan raya. Ada dengan tiang yang tinggi, ada pula pendek, sehingga menyerupai rumah panggung. Saya paling menyukai ukiran di tampong, berbentuk segi tiga yang banyak lubang, sehingga memudahkan masuknya angin. Jika di rumah masa kini dinamakan dengan ventilasi angin.

Beragam bentuk ukiran itu, membuat rumah khas Aceh tersebut tampak indah. Selain, mengandung filosofi yang sarat makna. Pintu utama rumoh Aceh, lebih pendek, sehingga orang dewasa harus merunduk saat memasuki. Itu artinya, masuk ke rumah tersebut harus dengan sopan santun, untuk menghormati sang pemilik rumah. Jadi, tidak bisa masuk sembrono, atau sambil lari.

Bagian dalam rumah Aceh sendiri terbagi dari tiga bagian: seuramoe keu, rambat, dan seuramoe likot.

Seuramoe keu dikhususkan bagi para tamu. Di sana pemilik rumah akan menjamu setiap orang yang berkunjung ke rumahnya. Lalu rambat, khusus dipakai bagi orangtua (ayah dan ibu). Biasanya di rambat hanya ada satu kamar atau dua, jika ukuran rumah lebih besar. Sementara seuramoe likot digunakan sebagai dapur dan tempat tidur bagi anak perempuan. Anak laki-laki di Aceh jarang tidur di rumah. Mereka lebih memilih tidur di meunasah atau masjid. Di sana, mereka belajar ngaji dan beribadah, selain sebagai pageu gampong (menjaga kampung).

***

Pak tua asal Lhok Nga itu dengan bangga menyatakan menolak bantuan rumah khas Aceh bagi korban tsunami di desanya. Para warga meminta dibuatkan rumah permanen ala modern. Dia kemudian menamsilkan, rumah Aceh adalah nasi basi, dan rumah permanen adalah nasi segar.

Dia menambahkan lagi, jika mereka menerima rumah khas Aceh, maka mereka akan kembali ke era tahun 70-an, di mana masih mudah ditemui rumah adat tersebut. Alasan lain dia menolak rumah tersebut, karena mudah diterpa angin laut yang tak berpenghalang tanaman yang sudah dimatikan tsunami.

Bagi saya, apa pun alasannya, penolakan seperti itu tetap tidak bisa diterima. Lain halnya jika penolakan itu dilakukan oleh generasi seumuran saya, yang tidak terlalu familiar dengan rumah warisan endatu itu.

Yang sangat disayangkan, penolakan generasi tua terhadap simbol budaya itu, bisa menggerus budaya Aceh yang perlahan-lahan memang sudah terkikis dan dimakan zaman. Generasi saya banyak yang sudah tidak paham dengan budaya, adat istiadat, yang berlaku di tengah-tengah masyakarat Aceh. Ini tentu tidak bisa disalahkan generasi muda. Sebab, generasi tua saja sudah tidak care lagi dengan budaya dan simbol-simbolnya.

Jika dia menolak pembuatan rumah Aceh, karena memakai material tidak bagus, kenapa dia tidak membuat kesepakatan dengan LSM tersebut: buat rumah Aceh dengan material yang bagus, sehingga tidak cepat rusak. Kenapa tidak dibuat perjanjian seperti itu?

Potret di Aceh ini sangat kontras dengan masyarakat Minang. Mereka sangat bangga dengan kultur dan simbol-simbol kedaerahan. Kesimpulan ini saya ambil setelah melihat banyak warung nasi Padang di Jakarta, yang khas Padang. Mereka membikin warung dengan bangunan berbentuk rumah adat Padang. Mereka bangga dengannya. Sesama mereka pun jika bertemu, langsung saja bertutur bahasa daerah.

***

Percakapan Pak Tua dengan saudaranya (yang kawan saya), merupakan sebuah ironi. Saya tidak akan menyalahkan generasi di bawah yang sudah buta dengan budaya.

Tapi, kendati kesal, saya mencoba memahami alasan penolakan Pak Tua tadi. “Baru empat hari ditempati, kayu lantai sudah patah,” kata dia.

“Kita butuh rumah untuk jangka waktu lama.”

“Saya pernah diminta pendapat sama seorang LSM, yang gusar dengan harga rumah Aceh hingga Rp 48 juta. Saya bilang, kalau dilihat dari bahannya, paling pantas dibayar Rp 22 juta saja.”

“Rumah Aceh, kita kembali ke tahun 1970-an. Kita butuh rumah permanen.”

Itu beberapa ungkapan yang sempat terekam dalam pikiranku.

Tapi bagaimana pun, mereka butuh rumah. Terserah mau rumah yang seperti apa. Dan, “Kalau kalian mau bantu buat rumah, ya harus berdasarkan persetujuan kami, bukan atasan kalian,” kata dia kepada aktivis LSM yang hendak membangun rumah Aceh di kampungnya. “Kami mau rumah permanen.”

Rumit memang pengadaan rumah bagi korban tsunami. Banyak yang belum selesai. Bahkan, banyak pula yang sama sekali belum memperoleh rumah, seperti terlihat di kawasan Krueng Cut dan Kajhu. Di Lhok Nga sudah banyak rumah yang dibangun. Ada rumah Aceh, ada juga semi permanen. Di Lampuuk, juga demikian. Bahkan, Turki berupaya membangun 750 rumah di sana tipe 46. Lumayan bagus rumah itu. Di Lampuuk pula, ada perkampungan Turki, karena semua rumah dibangun oleh Turki.

Di Lamno Aceh Jaya, juga sudah banyak rumah yang dibangun oleh Turki. Masih ada juga manusia tenda.

Susah memang!

Andai Pak Tua saudara kawanku itu tidak mempermasalahkan rumah Aceh, aku tidak akan terusik. Karena, sebelum bertemu beliau aku pernah bilang: “Mau rumah kayak gereja kek, yang penting ada dan di dalamnya orang shalat dan ngaji. Buat apa rumah menyerupai masjid, tapi tidak pernah ada orang yang shalat dan ngaji. Kita lupakanlah simbol-simbol,” kataku pada kawan-kawan saat ngopi di Ulee Kareng.

Uh…! Sebuah ironi Aceh yang diperlihatkan Pak Tua. [r]

NB. Maaf, nama Pak Tua, desa, dan nama LSM tidak aku tulis di sini.

Banda Aceh, 12 November 2005

Rabu, November 02, 2005

Indahnya Bermaaf-maafan


SELAMAT IDUL FITRI Posted by Picasa

"Kesalahan mata karena melihat, telinga karena mendengar, kaki karena berjalan, tangan karena memegang/meraba, hidung karena mencium, lidah karena berucap/bertutur, kesalahan akal karena berpikir (yang bukan-bukan), dan kesalahan hati karena syak wasangka/iri/dengki/sombong."

Untuk itu, mohon diperbanyak maaf atas apa yang telah kulakukan dengan anggota tubuhku itu.

"Uhanni-ukum bi 'Idil Fitri. Minal Aidzin wal Faidzin. Kullu 'Aamin wa Antum bi Khairin."

Banda Aceh, 2 November 2005
Fakhrurradzie

Selamat Idul Fitri 1426 H


BAITURRAHMAN - RADZIE/ACEHINTERAKTIF Posted by Picasa

”Al insaanu makaan al khatthaa-u wa al nisya”. (Manusia tak luput dari salah dan lupa).

Benar. Manusia memang mempunyai sifat yang sering berbuat salah dan lupa. Karena itu, selama mengarungi hidup ini, tak terhitung lagi berapa kesalahan dan kelupaan yang telah diperbuat manusia. Namun, kata Nabi Muhammad, sebaik-baik manusia adalah yang sadar akan kesalahannya, dan mau meminta maaf atas kesalahan dan kelupaan yang telah diperbuatnya.

Selama kita berkawan, aku tidak bisa mengitung lagi seberapa banyak dosa, salah, dan lupaku yang telah kuperbuat kepada kawan-kawan, baik melalui ketajaman lidah, kekerasan tangan dan kaki, maupun syak wasangka yang disiratkan hatiku, yang tidak bisa diketahui orang lain.

Jika kuhimpun segala salahku, niscaya aku malu menjadi manusia. Karena itu, melalui momen hari raya Idul Fitri 1426 Hijriah kali ini, aku meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada kawan-kawan.

“Taqabba allahu minna wa minkum. Eidun mubaarak, wa kullu ‘aamin wa antum bi khair.” Minal Aidzin wa al Faaizin.

Banda Aceh, 1 November 2005
Fakhrurradzie MG

Minggu, Oktober 02, 2005

Back to Aceh

Sudah seminggu lebih aku berada di Banda Aceh. Ini menjadi awal pijakanku untuk kembali menetap dan bekerja di kampung halaman, setelah setahun sebelumnya mencoba peruntungan di Jakarta.

Kepindahanku kembali ke Aceh, tidak terlepas dari kisruh yang terjadi di Yayasan Acehkita, yang kemudian berbuntut pada pemogokan kerja dan penutupan situs acehkita.com. Aku memilih untuk mogok kerja bersama 12 kawan lainnya, setelah tuntutan transparansi keuangan dan manajemen, tidak dipenuhi Yayasan.

Kami yang tergabung dalam Serikat Pekerja Acehkita (Sepak) meminta supaya pihak Yayasan menjelaskan aliran dana kemanusiaan yang dikelolanya. Karyawan menduga, ada aliran dana kemanusiaan dalam proses pembentukan PT Mandiri Daya Dinamika (MDD), yang dipunyai oleh salah seorang Board Yayasan Acehkita. Memang, PT MDD mengaku meminjam uang kepada Yayasan. Yang jadi masalah adalah, proses peminjaman itu tidak memenuhi prosedur, selain tidak layak pengalihan dana yang sejatinya digunakan untuk membeli beras, tapi digunakan untuk kepentingan bisnis.

Karena dugaan ini, para karyawan yang tergabung dalam Sepak, dan relawan kemanusiaan di rumohkita, sepakat untuk meminta supaya pihak Yayasan memecat dan memberhentikan Sdr Smita Notosusanto dari struktur kepengurusan Yayasan.

Nah, karena tuntutan itu tidak dipenuhi, para karyawan di Jakarta sepakat melancarkan mogok kerja. Apalagi pihak Yayasan meminta kami untuk bergabung kembali dan atau mengundurkan diri. Selain itu, pihak Yayasan juga meminta Pemred Acehkita (situs dan majalah) mengundurkan diri dan atau diberhentikan.

Akibat mogok kerja yang dilakukan karyawan, pihak Yayasan akhirnya mengusir para karyawan dan menutup kantor yang beralamat di Jalan Bodjonegoro 16 Menteng, Jakarta Pusat. Beberapa hari berselang, pihak Yayasan menutup operasional situs acehkita.com, sehingga publik tidak bisa lagi mengakses situs yang didirikan pada 19 Juli 2003, dua bulan setelah pemerintah memberlakukan darurat militer di Aceh.

Keberadaanku di Aceh, atas undangan konstituen dan pembaca acehkita yang merasa dirugikan atas penutupan situs acehkita. Mereka lalu mengundang tiga orang awak redaksi acehkita ke Banda Aceh. Di sini kami mendiskusikan rencana penghidupan kembali situs acehkita dan menerbitkan kembali majalah berita. Kali ini dengan frekwensi terbit mingguan.

Sangat mengharukan pertemuan di Banda Aceh. Demi menghidupkan kembali situs, kawan-kawan di Aceh patungan. Ada yang menyumbang Rp 300 ribu, hingga Rp 4 juta. Itu sudah cukup membangkitkan semangat kami untuk kembali bekerja.

Hampir dua pekan, kami bergerilya mencari dana ke sana kemari. Hingga kadang-kadang pulang ke penginapan pukul 02.00 dinihari. Tapi, itu kami lakukan dengan senang.

Berkat doa dan dukungan kawan-kawan, publik dan pembaca, insya Allah, dalam beberapa hari lagi situs acehkita akan kembali mengudara atawa online. Insya Allah.

Banda Aceh, 2 Oktober 2005

Rabu, September 21, 2005

Hipnotis

Sewaktu di Tosari, mau naik bus 213 jurusan Kampung Melayu-Grogol, aku sudah sedikit was-was dengan kabar yang kudengar tentang maraknya perampokan di bus ini. Makanya, aku begitu ketat menjaga diri, termasuk semua barang bawaanku.

Sepanjang perjalanan, aku selalu terbayang dengan perasaan khawatir jika di tengah perjalanan, si Kampak Merah, naik dan menghentikan bus. Bawaanku termasuk banyak, karena ada bawaan laptop. Alhamdulillah, hingga aku turun di bawah fly over Slipi, tidak ada kejadian seperti yang kukhawatirkan.

Aku lantas mencari mikrolet 09, jurusan Tanah Abang-Kebayoran Lama. Penumpang penuh mengisi mikrolet (komilet) warna biru muda. Ada dua perempuan duduk di dekat supir. Satu lagi, siswi SMU duduk di sampingku. Selebihnya, pria yang sudah berumur.

Selepas pasar Palmerah, Jakarta Selatan, seorang penumpang yang duduk paling ujung dekatku, membagi-bagikan brosur warna merah jambu. Di sana tertulis pengobatan tradisional yang terletak di Jalan Juanda Gg Salmin RT 001/01 No 7 atau di samping PT Sandratex Desa Kelurahan Rempoa Kecamatan Ciputat, 15412.

Begitu alamat yang tertera di brosur yang dibagikan itu. Pria paruh baya yang memakai baju oblong motif bunga-bunga, lalu bertindak layaknya penjual obat. Dia memegang lututku, setelah sebelumnya memegang kaki dua penumpang lainnya. Satu penumpang diremas-remas di betisnya, layaknya sedang diobati. Si penumpang yang sedang "diobati" itu enjoy saja.

Tak lama setelah itu, si pembagi brosur turun. Aku sebenarnya tidak terlalu hirau dengan aksi penjual obat itu. Aku malah sibuk memperhatikan beberapa penjual di sepanjang jalan yang kami lalui. Namun, tiba-tiba, si penumpang yang "diobati" tadi, mengeluh: HP-nya hilang, selepas di"obati.

"Dihipnotis tadi," kata seorang penumpang berbaju putih. Dia sebelumnya juga diobati pembagi brosur.

Kami semua seakan baru sadar, jika tidak melihat aksi apa pun saat pria itu memijat-mijat kaki penumpang berbadan tambun itu.

"Cepat susul, sebelum dia jauh," kata pria yang duduk di depanku. Dia tadi memberikan brosur kepadaku, setelah dia membaca sekilas. Aku memang tidak diberikan brosur, karena memang sama sekali tidak memperhatikan pemberi brosur. Aku sibuk melihat si supir mengakali laju angkot menembus jalanan yang macet.

Si korban kemudian turun. Dengan lemah gemulai, dia menyusuri jalanan, mencari si pembagi brosur, yang entah ke mana.

Aku kemudian tercenung menyaksikan kasus ini. Aku kembali meraba kantong celanaku, di mana HPku kusimpan. Sebelumnya, aku mengeluarkan HP satu lagi, untuk membaca pesan yang nangkring. Setelah itu, HP putih punyaku itu kumasukkan ke dalam tas, karena menaruhnya kembali di saku celana, ribet.

Si pembagi brosur, membagikan kertas itu, beberapa saat setelah aku mengeluarkan HP dan membaca pesan. Dia seperti orang tanggap, kalau memang dia yang mengambil HP penumpang yang satu itu. Semoga, tidak ada hubungannya dengan tindakanku yang mengeluarkan HP.

Ini merupakan pengalaman pertama bagiku, setelah setahun berada di Jakarta. Setiap aku bepergian, selalu kuberdoa, semoga marabahaya menghindariku.

Kebayoran Lama, 21 September 2005.

Kamis, September 15, 2005

Arogansi Kekuasaan

Mogok kerja puluhan karyawan dan wartawan Situs dan Majalah acehkita memang tidak bisa dihindari. Para pekerja menuntut adanya transparansi keuangan dan manajemen di Yayasan Acehkita, setelah sebelumnya mereka menduga ada yang tidak benar dengan aliran dana kemanusiaan yang selama ii dikelola Yayasan, melalui unit Rumohkita.

Atas adanya dugaan ini, para pekerja meminta pihak Yayasan memberhentikan salah seorang pengurus yayasan yang lazim disebut board, melalui sejumlah petisi yang dikirim. Namun, alih-alih memberhentikan salah seorang board itu, pihak Yayasan malah meminta Dandhy Dwi Laksono mundur dari jabatannya sebagai pemimpin redaksi. Jika tidak mau mundur, maka Yayasan akan memberhentikan yang bersangkutan. Dandhy memilih diberhentikan, ketimbang mundur dari media yang dibidaninya itu.

Juga, para pekerja yang menandatangani petisi diberi dua pilihan: mundur atau tetap bekerja di Yayasan. Tentu saja, para pekerja yang tergabung dalam Serikat Pekerja Acehkita (SEPAK) tidak menerima kedua opsi yang diberikan board itu. Mereka memilih untuk melakukan aksi mogok kerja, sebagai wujud protes terhadap board.

Nah, aksi mogok kerja ini direspons board dengan menutup kantor acehkita. Penutupan ini sendiri, diliput banyak media.

Sangat disayangkan, di saat banyak kejadian yang perlu diberitakan memasuki masa damai di Aceh, media yang khusus memberitakan Aceh ini malah absen. Tentu, apa yang dipilih pekerja di acehkita, sudah memperhitungkan segala konsekuensinya, termasuk tidak bisa melayani pembaca setianya.

Namun, perlu dipahami adalah, para pekerja di media ini tidak bisa bekerja di bawah masalah besar yang sedang dihadapi. Apalagi, di bawah ancaman dua opsi yang disodorkan board itu. Para pekerja tidak akan mundur dan bekerja kembali. Mereka memilih mogok kerja.

Jika Yayasan tidak bisa menerima sikap yang diambil pekerja ini, mereka bisa memecat. Inilah yang sedang ditunggu para pekerja: ketimbang bekerja di bawah manajemen yang tidak transparan.

Saya termasuk salah seorang pekerja yang tidak akan mundur, dan juga tidak akan mengajukan pernyataan kesediaan untuk kembali bekerja di acehkita, sebelum tuntutan yang saya ajukan dipenuhi. Jika salah seorang board yang saya minta dipecat itu, mundur, maka saya akan memikirkan kembali untuk bergabung dalam media yang sangat saya cintai ini.

Jakarta, 15 September 2005

WARTAWAN ACEHKITA DIUSIR


Para wartawan dan staf redaksi situs dan majalah acehkita diusir dari kantor di Jalan Bojonegoro, 16, Menteng, Jakarta Pusat oleh para pengelola Yayasan Acehkita, Rabu, 13 September 2005. Surat pengusiran ditandatangani oleh Otto Syamsuddin Ishak dan Debra Yatim, menyusul aksi mogok yang dilakukan para wartawan dan staf redaksi yang mempermasalahkan transparansi manajemen keuangan. Selain kedua nama di atas, para pengelola yayasan adalah Todung Mulya Lubis, Binny Buchori dan Smita Notosusanto.

acehkita.com

Rabu, September 07, 2005

Pilek

Sudah tiga hari ini saya pilek. Badan panas, dan sering ingusan. Tapi, alhamdulillah, saya masih bisa bekerja seperti hari-hari sebelumnya.

Saat menulis blog ini, masih sering bersin, pertanda pilek belum sembuh. Tapi, saya yakin, insya Allah, akan segera sembuh.

Jakarta, 7 September 2005

Rabu, Agustus 31, 2005

Menyusun Agenda di LP Sukamiskin

Reporter: Fakhrurradzie & Tedi Hikmah - Bandung

Beberapa jurnalis siaga di luar Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Sebuah mobil siaran lapangan milik SCTV, terlihat diparkir di sudut penjara. Dalam beberapa hari belakangan ini, puluhan jurnalis cetak dan elektronik datang ke sana untuk meliput acara pembebasan dan pemulangan 74 narapidana yang terlibat kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Baru hari ini, akses kepada wartawan diberikan agak longgar.

acehkita juga ikut bertandang ke penjara peninggalan Belanda itu. Namun, bukan perkara mudah untuk masuk ke penjara itu. Karena saat ini penjara benar-benar tertutup untuk diliput media. Saat reporter situs ini hendak masuk, langsung menemukan pemeriksaan para sipir. Tas langsung digeledah. Kamera dan tape recorder ikut diamankan. Kartu pers milik reporter situs ini yang ditemukan dalam tas, menjadi penunjuk identitas bagi sipir.


Langsung saja, para sipir menolak memberikan izin liputan. Namun, setelah melobi akhirnya secarik izin pun diberikan.

Pertemuan dengan empat bekas perunding GAM itu, berlangsung di ruang Tramtib. Para petugas LP keluar masuk ruangan ini, sehingga wawancara agak susah dilakukan. Kendati demikian, acehkita berhasil mendapatkan keterangan seputar rencana para juru runding setelah mereka bebas.

***

Empat mantan juru runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) serentak keluar dari ruangan Tramtib Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Senin, 29 Agustus. Ada senyum mengembang di wajah mereka.

Tak jauh dari ruang Tamtib, tampak Teungku Muhammad Usman Lampoh Awe, berjabat tangan dengan dua petugas LP. Mereka sama-sama menebarkan senyum. Suasana hangat dan akrab tampak menyelimuti perbincangan Teungku Muhammad Usman dan dua petugas LP yang mengenakan pakaian coklat muda itu. Yang petugas perempuan, sambil berseloroh meminta ikut ke Aceh.

“Nanti, pakai perahu saja,” kata Teungku Usman, juga sambil berseloroh.

Ketiga mereka tertawa lepas. “Dua tiket, untuk suami istri,” balas petugas itu lagi.

Tak jauh dari pria yang berjabatan Menteri Keuangan itu, Teuku Kamaruzzaman juga terlihat berjabat tangan dengan seorang petugas LP.

“Oh ya, saya dengar kemarin (28/9 –red) kakek meninggal, ya,” kata petugas itu, sambil menggenggam tangan Teuku Kamaruzzaman.

Teuku Kamaruzzaman hanya mengangguk. “Saya ikut berduka,” timpal petugas itu sembari mempererat genggaman tangannya. Pria yang akrab disapa Ampon Man itu, kemudian pamit untuk kembali ke ruangan tahanan. Seuntai senyum masih menghiasi wajahnya.

Fragmen di atas bukan dilakonkan saat akan meninggalkan LP Sukamiskin, seiring dengan pemberian amnesti kepada ribuan anggota GAM. Itu terjadi beberapa saat setelah empat juru runding itu bertemu dengan reporter acehkita yang mengunjungi mereka menjelang pembebasan.

Para napi GAM, saat itu memang sedang menunggu dan bersiap-siap untuk menjemput pembebasan. Empat bekas perunding yang ditangkap Pemerintah Indonesia dua tahun silam itu, sudah berpamitan dengan beberapa petugas LP dan tahanan serta narapidana lain, yang menghuni LP itu.

T Kamaruzzaman mengaku terharu dengan respon yang diberikan petugas dan semua penghuni LP itu. “Kesan saya, kami begitu dekat. Beberapa napi mengaku kehilangan saya, setelah saya kembali ke Aceh nanti,” kata Ampon Man. Dia terlihat lebih kurus dibandingkan dua tahun sebelumnya.

Kepada acehkita yang menjumpainya di LP dua hari sebelum pembebasan, dia menceritakan panjang lebar tentang interaksi antara napi GAM dengan non-GAM. Menurutnya, dia dan dua juru runding lainnya sering dijadikan tempat diskusi para napi lain. “Mereka juga sering meminta nasehat,” tandasnya.

Di penjara itu, Ampon Man juga terlibat aktif dalam beberapa kegiatan yang diikuti sesama napi, seperti kelompok band dan olah raga bulu tangkis. Di bidang olah raga yang pernah populer di Indonesia itu, Ampon Man didaulat menjadi koordinator. “Anak band dan bulu tangkis pasti akan merasa kehilangan saya. Tapi mereka ikhlas melepaskan saya,” katanya. “Dalam beberapa hal, kita menjadi pionir.”

Lalu, apa yang dikerjakan Ampon Man selama setahun mendekam dalam penjara?

“Saya habiskan hari-hari dengan mengaji. Di sini saya juga bisa memperdalam ilmu agama, tafsir al-Qur’an, salat sunat. Banyak hal yang saya dapatkan,” katanya. “Ini suatu hal yang akan sulit saya dapatkan di luar penjara.”

Itulah hikmah yang dipetik Ampon Man selama menjadi tahanan politik. Untuk itu, dia sama sekali tidak pernah menyesali sikap politik yang selama ini diambilnya, kendati berseberangan dengan penguasa.

Sikap politik yang diambil Ampon Man ini, tidak terlepas dari dukungan yang diberikan oleh kakeknya, yang pada 28 Agustus lalu telah meninggal dunia. “Saya akan merasa kehilangan orang yang selama ini memberikan dukungan terhadap saya,” kata dia.

Setelah keluar dari LP Sukamiskin nanti, langkah pertama yang akan dilakukan mantan pengusaha konstruksi ini adalah berkunjung ke makam kakeknya. “Saya akan ke kuburan ayah nek di Montasik,” kata dia. “Saya merasa kehilangan. Apalagi dia sangat menyayangi saya dan mendukung sikap politik yang saya ambil.”

Selanjutnya, dia akan mengunjungi keluarganya yang menjadi korban tsunami. Dia mengaku sangat sedih saat menyaksikan siaran televisi yang menampilkan kerusakan yang ditimbulkan gelombang tsunami yang menghancurkan Aceh. Tentu, untuk selanjutnya dia akan membangun rumah tangganya yang sudah selama dua tahun ini, dia tidak pernah lagi bercengkrama dengan anak dan istrinya.

Dia mengaku belum mengatur rencana jangka panjang sekembali ke Aceh. Usaha jasa konstruksi yang pernah dirintisnya, sudah lama mati karena tak terurus. Peluang untuk kembali menekuni usaha yang satu ini, tidak tertutup kemungkinan dijalani Ampon Man. Namun, semua itu sangat tergantung pada modal yang dimiliki. “Tidak tertutup kemungkinan saya kembali jadi pengusaha, tapi itu kan butuh modal,” katanya.

Ampon Man lebih tertarik menjadi pengusaha atau kontraktor ketimbang menjadi pengacara, sebagaimana latar belakang pendidikannya di Fakultas Hukum. Ketidaktertarikannya untuk terjun dalam dunia advokat bukan tanpa alasan. Wajah hukum di Indonesia, khususnya di Aceh, menjadi alasan utama keputusannya untuk tidak terjun dalam dunia pengacara.

“Saya sama sekali tidak tertarik untuk menjadi lawyer, karena praktik hukum di Indonesia, apalagi di Aceh, tidak bagus,” kilah penyuka kuah pliek u (makanan khas Aceh) ini.

Sama halnya dengan Teuku Kamaruzzaman, Teungku Amni bin Ahmad Marzuki juga mengaku belum mempunyai rencana sekembali ke Aceh. Sesampai dan menetap di Aceh, dia akan menyusun rencana setelah melihat perkembangan situasi di tanah kelahirannya itu. Sebab, dia pun mengaku belum memahami secara menyeluruh isi kesepahaman yang telah diteken di Helsinki itu. Namun, untuk jangka pendek, dia hanya rindu ingin berjumpa dengan kerabat, dan teman-temannya yang ada di Aceh. “Saya juga ingin melihat langsung kota Banda Aceh setelah terkena tsunami, menjumpai kawan-kawan yang menjadi korban tsunami,” kata dia.

Bagaimana dengan niatnya untuk membina rumah tangga setelah Aceh ini aman?

“Sebagai orang normal, saya tentu punya keinginan untuk berumah tangga. Tapi, belum dipastikan apakah dalam waktu dekat ini atau tidak. Kita melihat situasi dan kondisi di sana,” kata Amni.

Saat ditanyakan apakah sudah ada perempuan yang memikat hatinya, pria kelahiran Desa Cut Mamplam, Kemukiman Kandang, Aceh Utara, ini menjawab diplomatis. “Kita lihat nanti.”

Bikin Yayasan
Jika dua bekas juru runding GAM di masa Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) itu belum menentukan apa yang akan dikerjakan sekembali ke Aceh, tidak demikian dengan Teungku Nashiruddin bin Ahmed. Menurut Teungku Nash, dia sudah merencanakan untuk menjadi warga biasa dan berbaur dengan masyarakat, jika konflik Aceh sudah berakhir.

Komitmennya untuk menjadi warga biasa, bukan tanpa sebab. “Saya punya komitmen dengan Almarhum Teungku Abdullah Syafii. Jika persoalan sudah selesai, maka kami akan kembali ke dasar, hidup sebagaimana masyarakat biasa,” tandasnya.

Namun, dia agak risau, bisnis yang sebelumnya pernah ditekuni bekas penghuni LP Cirebon ini, akan kembali menggodanya. “Susah untuk menghindari godaan bisnis. Godaannya besar,” kata dia.

Untuk menghindari godaan bisnis itu, dia akan mencoba mengabdikan ilmunya kepada masyarakat di sana, sekembali dari penjara. Dia juga berencana membuat sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan informal atau jasa konsultasi dan bimbingan. “Mendidik mereka bagaimana cara berpolitik secara baik dan bermoral. Selama ini kan banyak politikus yang tidak baik,” katanya.

Rencana pendirian yayasan itu pun, masih sebatas cita-cita. “Baru matang dalam ide,” tandasnya saat didesak apakah sudah mempersiapkan nama atau langkah-langkah yang akan dilakukan untuk pendirian yayasan itu.

Apa saja yang akan diperbuatnya dengan yayasan? “Ya mendidik anak-anak kecil atau remaja yang putus sekolah,” kata dia, penuh keyakinan.

Sementara program dia dalam waktu dekat ini, berharap bisa membantu implementasi perjanjian damai yang telah diteken kedua belah pihak di Helsinki, 15 Agustus silam. Dia mengibaratkan MoU itu sebagai anak bayi yang baru lahir. Bayi itu dinamakannya dengan bayi demokrasi. Menurut Nashiruddin, bayi demokrasi yang baru lahir ini menjadi tanggung jawab bersama untuk merawatnya. “Bayi demokrasi sudah lahir, tugas kita untuk merawat bati tersebut supaya tumbuh sehat. Dan kita harapkan bayi demokrasi ini bisa menyebar,” kata dia bertamsil. Tapi, menurut dia, demokrasi itu harus the real democracy, not pseudo democracy.

Teungku Nashiruddin ditahan di LP Cirebon, Jawa Barat. Hanya dia seorang tahanan GAM yang ditahan di sana. Sebuah ruangan kecil telah mengisolasi dirinya dari dunia luar setahun lamanya. Makanya, saat pertama kali menginjakkan kaki waktu akan dibawa ke LP Sukamiskin, dia seakan tidak percaya. Perasaan dia, kakinya tidak menyentuh tanah saat menginjak tanah. “Saya baru datang dari planet lain,” kata dia, disambut derai tawa tiga juru runding lainnya.

Selama enam bulan pertama, setiap ada tahanan yang bermasalah, selalu dimasukkan dalam ruangan tempat dia ditahan. “Pernah saya ditempatkan bersama tahanan kasus pembunuhan yang sudah pernah melarikan diri dari LP itu,” kenangnya.

Penjara LP Cirebon itu masih dalam penjagaan sangat ketat. Sekali saja ketahuan mencuri apa yang ada di sana, maka tahanan itu akan dimasukkan ke dalam ruang gelap selama sebulan.

Untuk membunuh kebosanan selama diisolasi itu, dia selalu mengagendakan apa yang akan dilakukan setiap hari, dari membaca al-Qur’an, salat sunat, hingga menulis pengalaman selama di sana. “Tulisan ini bisa membantu orang-orang yang terisolasi baik di sel maupun di alam bebas. Ini cara bagaimana mengatasinya,” tandasnya.

Akibatnya, dia bisa membunuh kerinduannya ke kampung halaman dan melupakan kehidupan sekitar, termasuk berinteraksi sesama napi lain. Kejadian itu berlangsung selama enam bulan pertama dia dikurung di sana. Sementara untuk enam bulan selanjutnya, pihak LP meminta dia dibuatkan surat permohonan supaya bisa keluar dari selnya. Namun, tawaran itu ditepis. “Saya tidak mau buat permohonan,” ujarnya.

Kendati mendapatkan amnesti hingga membawa dia bisa kembali menghirup udara bebas, Teungku Nashiruddin menanggapinya biasa saja. “Itu konsekuensi dari sebuah perjanjian,” kata dia. Bahkan, menurutnya, keputusan amnesti yang akan diberikan ini merupakan sebuah koreksi atas kesalahan Indonesia menahan perunding. “Ini sebenarnya bukan sesuatu yang berharga, karena amnesti merupakan salah satu bentuk koreksi atas tindakan yang pernah diambil terhadap kami (perunding GAM),” kata pria beranak dua ini.

Teungku Nashiruddin bukan kali ini saja mendekam dalam penjara. Sebelum ditangkap pada Mei 2003, sebelumnya dia juga pernah ditahan di Jakarta, setelah proses perundingan juga berbuah kegagalan.

“Sesampai di Aceh, saya langsung akan berkunjung ke kuburan ayah di Pidie,” kata Teungku Muhammad Usman Lampoh Awe, yang di kalangan GAM lebih dikenal sebagai Menteri Keuangan (Meuntroe Peng).

Di Aceh, dia berharap bisa menghabiskan masa tuanya dengan damai dan aman. “Saya akan isi hari tua, mungkin, dengan bertani,” kata dia, sumringah. [dzie]

Minggu, Agustus 21, 2005

Cape dan Kabar dari Nanggroe


Tidur malam ini tidak terlalu lelap. Padahal, jam 11 malam, saya sudah beranjak ke peraduan. Menjelang pukul 01 dinihari, saya terbangun, karena bunyi nada dering HP yang ada di atas lemari. Saya lirik jam di HP satunya lagi, 00.57 WIB.

"Siapa gerangan," batin saya.

Begitu mengangkat HP, tak ada jawab dari seberang. Terputus. Mungkin si penelpon sudah lama menelpon. Nomor itu tidak bernama.

Saya kembali merebahkan badan, setelah meminum setengah gelas air putih yang sudah kupersiapkan sejak beranjak tidur. Suasana malam tadi, gerah. Sebelum kembali menjemput mimpi, saya memencet beberapa digit nomor yang menghubungi saya di dinihari itu.

"Ooo..." kata saya setelah mengetahui siapa yang melakukan panggilan.

Memang, sejak usai Isya, saya mengirim SMS kepada kawan untuk mengabari kabar penting. Kabar itu berupa amanah. Dan, alhamdulillah, saya sudah menyampaikan amanah.

Saya kembali siap menjemput mimpi (yang saya berharap mimpi indah). Kendati suasana gerah, saya terlelap lagi, kendati dalam perjalanan tidur itu, beberapa sempat terbangun, karena terusik oleh kawan yang mondar mandir ke kamar saya.

Malam tadi, saya benar-benar tidak menuntaskan tidur dengan sempurna, layaknya malam-malam sebelumnya. Tapi, tidak mengapa, karena saya juga tidur terlalu cepat tadi malam. (Biasanya saya baru tidur jam 01.00 atau lebih dikit. Tiap malam begitu).

Paginya, tanpa membasuh muka, langsung menghidupkan komputer. Berusaha meng-up load foto ke situs acehkita.com. Belum lagi semua imel saya terbuka, koneksi internet kacau.

"Uh, menyebalkan," gerutu saya.

Tak mau buang waktu, saya beranjak ke kamar mandi. Mulanya hanya ingin mengguyur tubuh dengan air dingin. Tapi, melihat tumpukan pakaian kotor yang sudah menggunung, saya putuskan untuk nyuci.

Benar-benar membuat saya cape. Soalnya, sudah sebulan ini saya tidak mencuci pakaian kotor. Bayangkan saja, ya....

Kendati sedikit malas, saya menuntaskan mencuci pakaian itu dalam dua ronde. Ronde pertama, baju kaos yang ringan. Ronde kedua, celana jeans yang membuat tangan cape dan mengeluarkan keringat. Tapi, akhirnya semua bisa dilalui. Tapi, konsekuensinya, saya terlambat meng-up date situs.

Kabar dari Aceh
Ada yang menarik sebenarnya yang ingin saya publikasi di situs. Ya, kejadiannya sih sudah kemarin. Ada tiga bendera Gerakan Aceh Merdeka yang dikibarkan di Desa Alue Mampreh, Kecamatan Nisam, Aceh Utara. Nisam memang dikenal sebagai daerah basis GAM, pada kurun waktu 1999 hingga 2004 awal. Kini, daerah itu juga masih jadi wilayah "hitam" atau minimal "abu-abu" lah, versi TNI. Sandi HITAM dan ABU-ABU adalah daerah yang rawan keamanan.

Rupanya, banyak media yang tertarik dengan kejadian ini. Radio ABC Australi juga menampilkan foto bendera GAM. Kompas juga menulis berita ini di versi Cyber Media. Kalau di situs kami, berita ini sudah tayang sejak tadi malam.

Saya kemudian membaca-baca berita yang ada di TEMPO Interaktif dan Koran Tempo versi Online. Di sana, saya menemukan pernyataan Alwi Shihab, yang Menko Kesra. Dia mengatakan, masyarakat jangan cemburu terhadap fasilitas yang diterima anggota GAM yang kembali ke Indonesia.

Kepada kawan, saya mengatakan, "Apa benar nanti masyarakat Aceh akan cemburu?"

"Entah," jawab kawan, sambil tersenyum.

Kemudian, sebuah SMS datang dari kawan di Aceh. Dia seperti berpantun. Inti SMS itu mengabari begini: "Orang Jakarta (baca: pemerintah) memang tidak suka kalau Aceh itu damai. Mereka ingin Aceh tidak damai, tapi sudah ada MoU RI-GAM."

Saya balas.

"Orang Jakarta itu, tidak termasuk saya, kan?"

Tidak berbalas lagi. Saya yakin, dia kesal dengan situasi dan sikap yang diambil pemerintah. Tapi yang mana, saya tidak tahu. Mungkin ini ada kaitannya dengan kondisi lapangan di Aceh. Tapi, dia tidak mengabari lebih lanjut.

Kepada kawan di kantor, saya berkata.

"Ada orang Jakarta, artinya politisi dan pemerintah, yang tidak ingin Aceh itu damai dan aman," kata saya. "Termasuk beberapa wartawan."

"Ohya?" kata dia sambil tersenyum.

"Bukan apa-apa, saya jadi teringat, bahwa media itu diuntungkan oleh situasi tidak normal atawa krisis," kata saya, yang teringat ungkapan Raboy dan Dagenais, yang dikutip Dedy N Hidayat dalam tulisan yang berjudul Media Sang Penabuh Genderang Perang yang ditulis di Kompas, September 2001, beberapa pekan setelah tragedi WTC, 9/11.

"Lihat saja, kalau ada kejadian besar di Aceh, situs kita banyak pengunjung," kata saya.

"Iya," kata dia.

Tapi, kami kemudian sepakat untuk mencoba bersikap fair terhadap kejadian di lapangan. Kami semua berharap, Aceh aman dan damai.

Ehm,

Saya kembali berkutat dengan tuts dan layar komputer. Mata saya perih. Namun kembali berusaha mengedit tulisan dari Aceh Timur. Masih soal perang dan damai. Seorang panglima muda yang ingin kembali ke masyarakat dan ingin jadi guru ngaji saja. Tidak muluk-muluk cita-cita panglima ini.

Makanya, kembali teringat ucapan Alwi Shibab. Benarkah orang Aceh akan cemburu terhadap fasilitas yang diterima GAM? Entah!

Tapi, simak komentar dari orang GAM yang diwawancara TEMPO. Begini kira-kira. "Kita tak tergiur dengan konsesi tanah, tapi bagaimana kami bisa dapat jaminan keamanan," kata GAM di pedalaman Bireuen.

Begitulah...!

Jakarta, 21 Agustus 2005

Sabtu, Agustus 20, 2005

Galau

Hari ini, perasaan saya sedikit gelisah. Galau dan terasa sesak. Saya tidak tahu apa penyebabnya. Yang jelas, setelah gagang telepon saya letakkan. Semoga, kegalauan yang saya rasakan tidak jadi kenyataan.

Hari ini, tidak ada yang istimewa yang saya lakukan. Kecuali pengulangan apa yang telah kukerjakan kemarin, kemarin, kemarin, kemarin lagi, dan kemarinnya lagi. Artinya, saya hanya menjalani rutinitas, yang sudah selama setahun ini saya lakoni. Begitulah, saya mengisi hari-hari, termasuk hari akhir pekan dan hari libur.

Hari ini, seorang temen iseng. Dia miscol ke HP saya beberapa kali. Setiap diangkat, selalu diputuskan. Saya memutuskan untuk menelponnya. Tapi, tak juga tersambung. Otomatis saya menggerutu, karena jengkel.

"Bahaya kalau ada yang miscol. itu..." kata seorang kawan.

"Apa cakap..."

Dia juga berusaha menakuti saya. Bukan apa-apa, saat menerima miscol itu, saya lagi mengedit tulisan kekisruhan di Rumah Tahanan Jantho Aceh Besar. Kekisruhan itu disebabkan ada aparat intel polisi yang memaksa narapidana GAM untuk berpose di depan bendera GAM yang digambar di dinding sel. Jelas, si napi menolak. Nah, saat menolak itulah, seorang intel mengeluarkan sepucuk pistol dan menodong ke kepala si napi.

Kontan saja, si napi yang pernah dapat pendidikan militer ini, berteriak, sehingga mengundang perhatian sesama napi. Beberapa intel itu dikejar dan hampir ketangkap. Saya bisa membayangkan, jika ketangkap, intel itu akan babak belur. Nah, skenario selanjutnya, pasti akan ketahuan. Ke Rutan Jantho akan dikerahkan sejumlah personel aparat keamanan untuk mengamankan lokasi. Akan ada interogasi terhadap napi. Pasti, karena napi GAM, akan ada pemukulan dan segala macam. Tapi, untung itu tidak terjadi.

Begitulah. Saya jadi paranoia saat mendapat telpon tak dikenal. Makanya, jujur, saat menerima tiga kali miscol itu, saya kok rada takut.

Akhirnya, saya memilih mengirimi SMS ke nomor yang tidak terdaftar di HP.

"Maaf. Ini siapa, ya? Kamu miscol. Dan saat saya telpon, tak juga dijawab. Ada perlu apa ya. Bisa saya bantu?"

Itu bunyi SMS yang saya kirim ke nomor 085218*****.

"Saya dapat nomor anda dari teman. Saya baca situs yang anda kelola, sangat tajam sekali. Apa tadi nomor kantor anda? Maaf sinyal kurang bagus di banda. Salam."

Saya ketawa getir. Saya tahu, ini anak bukan lagi berada di Banda. Karena, dia memakai nomor handphone luar Aceh. Saya kemudian membalas.

"Oo. Tapi nomor yang anda pake bukan nomor banda deh. Bisa saya tau siapa anda?"

"Nama saya R*** ******i tapi anda dapat memanggil saya N******t...."

Saya ketawa ngakak saat menerima SMS balasan itu. Wah, dia sukses ngerjain saya hari ini. Eh, dia ternyata mau ngabari kalau dia itu udah ganti nomor HP. Saya kembali membalas SMS.

"Ah, ga kenal tuh. Siapa ya. Tapi sinyalnya emang kagak bagus tuh. Ngerjain gw lo ya."

Kembali saya berusaha menelpon kawan yang memang imut itu. Manis lagi. (Jangan marah, ya).

Tak juga bisa tersambungkan. Bikin patah arang juga ngehubungi ini si imut. Kembali saya berkutat dengan tuts komputer, hingga membuat mata perih.

Cihaa, saya teringat nomor dia yang satu lagi. Saya telpon, dan berbicara panjang lebar. Bisa katawa ngakak juga di telpon. Tengkiu, ya.

Saat mau nulis blog ini, komputer saya hang. Sehingga, apa yang saya tulis hilang semua. Ini adalah tulisan kedua. Semoga lebih baik dari yang belum sempat saya edit.

Udah ah....

Maaf, pembaca, saya tidak menuliskan semuanya ya. Soalnya, saya sensor, ada hal-hal yang tak layak diketahui publik, hehehe.....

Jakarta, 20 Agustus 2005

Ditulis sehabis nonton Garfield. Kocak banget deh! Selain ada bumbu persahabatan antara kucing (Garfield) dan anjing (Odie). Juga, percintaan antara Jon (Breckin Meyer) dan Liz (Jennifer Love Hewitt).

Sabtu, Agustus 13, 2005

Terimakasih, Kawan

Kawan-kawan yang baik, saya hanya ingin mengucapkan banyak terimakasih atas dukungan yang telah diberikan, sehingga saya bisa menerima kejadian ini.

Alhamdulillah, beberapa hari lalu abang saya yang mengalami musibah, sudah kembali membuka usahanya. Kami sekeluarga sangat berterimakasih atas dukungan yang diberikan.

Demikian,

Saleum dari Aceh yang insya Allah akan damai
Radzie

Rabu, Agustus 03, 2005

Buku dan Skripsi Juga Ikut Terbakar

Jam di handphone saya sudah menunjukkan angka 01.44 WIB dinihari, 02 Agustus lalu. Saya baru saja merebahkan tubuh di atas kasus lipat di dalam ruang redaksi. Tiba-tiba ponsel saya berbunyi. Nada deringnya, khas. Sehingga saya bisa tahu siapa yang memanggil saat itu.

Saya langsung berpikiran yang bukan-bukan, karena nomor yang keluar adalah milik Abi (Ayah). Saya menduga ini pasti ada sesuatu yang tidak beres di kampung. Benar saja, dari ujung telepon kakak saya memberitahu kalau kami baru saja ditimpa musibah.

Toko milik ayah yang sekarang dikelola abang saya yang paling tua, ludes dimangsa si jago merah. Bukan hanya milik keluarga kami saja yang dimangsa api. Setidaknya 30-an toko di Kecamatan Keumala, ikut terbakar.

Nyak, keude katutong (Kedai sudah terbakar),” kata Kakak saya, dengan nada terbata-bata. Kakak sering memanggil saya nyak, kalau dia tidak memanggil dengan nama asli.

Saya hanya bisa terdiam sesaat mendengar kabar itu. Lalu, saya menanyai sebab-musabab hingga terjadinya kebakaran.

“Sumber api dari kedai kak Nur,” kata dia.

“Bagaimana dengan Bang Yeuk?”

“Tidak apa-apa.”

Bang Yeuk panggilan kesukaan saya kepada Abang yang paling tua. Dia lah yang selama ini menjaga toko milik keluarga. Dia sebenarnya seorang guru di Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Sakti, Pidie. Namun, karena dia sudah mulai berjualan sejak usia muda, makanya Abang menjadi penerus “dinasti” keluarga.

Soalnya, dari lima bersaudara, hanya Abang saya yang tertua yang mengikuti jejak ayah, menjadi seorang pedagang. Sementara dua kakak saya, menjadi ibu rumah tangga bagi anak-anaknya. Abang saya yang satu lagi, menjadi seorang mandor mekanis di sebuah perusahaan perkebunan di Palembang. Sedangkan saya memilih menjadi wartawan dan hijrah ke Jakarta. Darah Pidie (berdagang) sama sekali tidak mengalir dalam darah saya.

Sebenarnya, musibah kebakaran bukan pertama kali ini menimpa kami. Dulu, sebelum saya lahir, rumah keluarga di Desa Pulo Pante, juga ludes dimangsa api. Ayah, ibu, dua kakak, dan abang saya, sempat berada dalam rumah saat itu. Di tubuh ayah saya masih ada luka bakar. Abang saya yang kini ada di Palembang, saat itu masih berusia sekitar satu tahun. Sementara abang saya yang paling tua, tidak menjadi korban karena sedang tidur di kedai, yang sekarang ikut ludes.

“Tuhan Maha Adil,” kata Kakak saya.

Dia berusaha menenangkan saya. Keluarga di kampung, sudah bisa menerima musibah ini. “Semuanya kembali pada Tuhan, jika sudah tiba masanya,” lanjut dia lagi.

Kakak saya kemudian akan mematikan HP. “Saya mau lihat kedai dulu. Nanti saya telepon lagi,” katanya.

Saya kemudian mencoba kembali merebahkan badan. Mata saya memang sudah sangat ngantuk, setelah seharian memelototi layar komputer. Akhirnya, saat berusaha mengingat-ingat kejadian itu, saya terlelap tidur. Dan, lupa jika kakak saya akan menelpon lagi. Memang benar, keesokan harinya, saya melihat ada sebuah panggilan tak terjawab di HP saya.

Ah. Saya benar-benar terlelap. Saya putuskan untuk menelepon paginya. Namun, kesibukan di pagi hari membuat saya lupa. Hingga, baru siangnya saya bisa menelepon. Itu pun, saat teringat beberapa barang saya yang paling berharga, juga musnah terbakar.

“Tidak ada yang bisa diselamatkan,” kata Kakak saya.

“Saya baru teringat, puluhan judul buku saya masih ada di kedai,” kata saya. “Bagi saya, itu sangat berharga. Yang lain juga.”

“Sampai tadi pagi, api masih ada di kumpulan buku itu,” lanjutnya.

Ya, memang, dua kardus buku yang saya miliki, saya simpan di toko itu. Saat saya hijrah ke Jakarta setahun silam, saya membawa pulang semua buku-buku yang saya punyai ke kampung. Buku-buku itu sangat berharga bagi saya. Ada puluhan buku, artikel dan makalah tentang media dan jurnalisme di sana. Buku-buku itu saya kumpulkan, setahun sebelum menamatkan kuliah.

Tapi, tak apalah, nanti bisa saya cari lagi.

Setelah menelepon kakak, saya kembali teringat. Ada skripsi saya yang berjudul Pers di Daerah Konflik: Antara Jurnalisme Damai dan Perang (Studi Analisis Berita Konflik di Harian Serambi Indonesia), di antara tumpukan buku itu.

Benar-benar membuat saya kalap. “Jun, tolong ke pustaka IAIN dan Fakultas Dakwah, copy skripsi saya sebentar. Punya saya hilang,” kataku kepada T Junaidi. Saya tidak mengabari dia kalau skripsi ikut terbakar.

“Saya lagi di Sigli,” kata dia.

Waduh. Siapa yang harus saya minta tolong lagi.

Akhirnya, saya teringat kalau masih punya soft copy materi skripsi setebal 100-an halaman itu. Saya sedikit tenang.

***

Tadi pagi, Rabu (3/8), abang yang di Palembang menghubungi saya.

“Apa yang punyamu ikut terbakar?” tanya dia.

“Puluhan judul buku dan skripsi,” kata saya.

Dia lalu menanyakan penyebab kebakaran. “Apa ada indikasi dilakukan secara sengaja, untuk membuat toko baru?”

“Informasi sementara, tidak sih. Murni kebakaran disebabkan konslet listrik.”

Ah, sudah lah, saya tidak terlalu memikirkan lagi buku-buku itu. Toh nanti saya bisa cari lain.

Yang justru saat ini saya pikirkan adalah, nasib abang saya. Sebenarnya, dia mau berjualan di toko baru yang ada di depan toko lama. Namun, toko itu masih disewa sama orang lain, sehingga belum bisa pindah. Saya belum berbicara dengan abang saya itu. Saya juga tidak bisa membayangkan perasaan ayah saya yang sudah puluhan tahun menjadi pedagang. Kendati di usia tuanya itu, sang ayah masih suka berjualan. Jika abang saya pergi mengajar atau ke sawah, dia yang menggantikannya.

Melalui usaha itu, ayah saya bisa menyekolahkan lima anaknya. Empat sampai ke perguruan tinggi. Kakak saya yang satu lagi, memilih pergi ke Pesantren di Samalanga, seusai SMA, ketimbang sekolah di universitas. Sementara kakak saya yang paling tua, memilih kawin sebelum menyelesaikan skripsinya. Itu adalah kebebasan yang diberikan ayah kepada kami. Belia tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada kami. Semua tergantung pada keinginan kami.

Saya jadi teringat, saat menyatakan keinginan untuk kuliah di Jawa. Kendati tidak sanggup, beliau tidak secara langsung memperlihatkannya kepada saya. Malah, saya mendengarnya dari seorang kawan yang datang ke rumah. Beruntung, saat itu saya tidak diterima di jurusan komunikasi di salah satu universitas terkemuka di Jawa. Saya tidak menyesal!

Tentu, hari-hari ini menjadi sangat berat bagi keluarga, terutama ayah dan abang saya.

Tuhan, tabahkan hati kami! [r]

Minggu, Juli 17, 2005

GAM Akui Capai Kesepakatan soal Partai Lokal

Laporan: Fakhrurradzie – Jakarta

Aceh Interaktif - Jakarta. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mengatakan sudah mencapai sebuah persetujuan yang disebut dengan principle agreement, dengan Pemerintah Indonesia tentang pembentukan partai lokal di Aceh. Sementara perunding Indonesia juga mengatakan pemerintah dapat saja mengizinkan berdirinya parpol lokal selama partai itu dapat menaati aturan hukum yang berlaku.

“Kami telah mencapai titik kompromi… Kami telah setuju draf perjanjian damai dan telah dikirim ke Jakarta untuk disetujui,” kata penasehat politik GAM Damien Kingsbury kepada AFP. “Jika telah diratifikasi Jakarta, maka deal akan diketahui besok (hari ini –red.).”

Juru Bicara GAM Bakhtiar Abdullah mengatakan, saat ini Jakarta sedang mempelajari tentang kondisi dan waktu pembentukan lokal. Jika Jakarta menyetujui partai lokal ini, kata Bakhtiar Abdullah, akan mempunyai jalan untuk menyepakati perjanjian untuk menciptakan perdamaian di Aceh.

Namun, dia menambahkan, detil-detil prinsip persetujuan masih bersifat rahasia. Tapi, itu mencerminkan pada demokrasi sejati antara GAM dan RI untuk mencari solusi yang bisa diterima dan dilaksanakan dalam pembentukan partai lokal yang menjadi isu krusial dalam perundingan putaran kelima ini.

“Sekarang kami percaya, bahwa Jakarta akan menerima proposal yang telah dicapai antara delegasi GAM dan RI,” kata Juru Bicara GAM Bakhtiar Abdullah, dalam pernyataan pers yang diterima acehkita, Minggu (17/7).

Bakhtiar Abdullah berharap, kedua belah pihak bisa segera menandatangani kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai dalam perundingan yang sudah berlangsung lima putaran ini. “Kami berharap sekarang bisa menandatangani perjanjian ini dan dengan bantuan pemantauan Uni Eropa dan masyarakat Internasional, untuk memberikan perdamaian di Aceh.”

Informasi yang diperoleh acehkita, Jakarta hanya menyetujui pembentukan partai politik lokal bagi GAM, selama 18 bulan.

Ketua Delegasi Perunding Indonesia, Hamid Awaluddin, mengatakan, kedua belah pihak sudah mempunyai semacam kesepahaman bersama. “Tapi, biar pun kami tidak dalam posisi untuk mendiskusikan itu sekarang,” kata Hamid yang juga Menteri Hukum dan HAM kepada AFP, Sabtu (16/7).

Hamid menambahkan, kedua belah pihak akan mengakhiri diskusi mereka pada Minggu pagi, sebelum perundingan yang dimulai pada Selasa itu, secara resmi berakhir “Kami optimis, (kami bisa) mencapai hasil besok. Itu artinya kami tidak akan kembali… sampai kami menandatangani perjanjian pada Agustus,” tambah Hamid.

Perundingan damai di Helsinki digelar sejak Januari 2005, setelah provinsi di ujung barat Pulau Sumatera itu dilumpuhkan oleh tsunami yang merenggut nyawa 131.000 jiwa lebih. Indonesia dan GAM sepakat untuk mengakhiri konflik bersenjata yang telah berlangsung selama 30 tahun dan mengambil korban 15 ribu jiwa itu.

Pembicaraan damai yang difasilitasi Crisis Management Initiative ini sudah berlangsung selama lima putaran, yang bersifat informal. Putaran kelima yang dimulai sejak Selasa lalu, akan berakhir hari ini. Bekas Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, ketua CMI dan juga mediator, akan menggelar jumpa pers di Departemen Komunikasi dan Kebudayaan Kementrian Luar Negeri Finlandia, pada pukul 15.00 waktu Finlandia. [aceh interaktif]

Sabtu, Juli 16, 2005

GAM Minta RI Perjelas Komitmen Soal Partai Lokal

Reporter: Fakhrurradzie - Jakarta

Aceh Interaktif - Jakarta. Gerakan Aceh Merdeka meminta Pemerintah Indonesia memperjelas komitmen mereka soal partai politik lokal, yang dituntut dalam perundingan Helsinki yang akan berakhir 17 Juli nanti.

“GAM menemukan bahwa ada pernyataan delegasi Indonesia untuk membentuk partai politik di Aceh, tapi menjadi berbeda saat pemaparan proposal tertulis,” kata Juru Bicara GAM Bakhtiar Abdullah dalam siaran pers yang diterima Aceh Interaktif, Jum’at (15/7) malam. “Waktu main-main sudah usai. Apakah mereka mendukung demokrasi dan menginginkan perdamaian atau tidak. Mereka tidak berada di tengah-tengah perdamaian dan demokrasi.”

Juru Bicara GAM di pengasingan itu mengakui bahwa delegasi Indonesia telah mulai membicarakan proses politik yang terbuka di Aceh. Namun, kata Bakhtiar, mereka masih belum jelas mengenai pembentukan partai lokal, sebagaimana tuntutan GAM.

“Tapi saat mencapai pada masalah partai politik lokal, mereka masih saja mengatakan bahwa mereka akan mencari kemungkinan,” kata dia.

Karenanya, dia meminta Indonesia bersikap jujur dalam masalah ini. “Jika pemerintah Indonesia jujurr, mesti jelas dan bahasa yang pasti. Jika tidak, GAM tidak bisa mempercayai bahwa proposal yang diajukan Indonesia jujur. Dan itu harus ditolak,” tegasnya. “Semua proses perdamaian tergantung pada poin ini (partai lokal).”

Bakhtiar melanjutkan, setelah lima bulan berunding, hampir mencapai proses penandatanganan perjanjian. “Kami sekarang hampir pada poin di mana kami bisa menandatangani perjanjian untuk mengakhiri konflik,” sebut Bakhtiar. Jika ini bisa dilakukan, sebut dia, maka proses rekonstruksi Aceh pascatsunami akan berjalan lancar. “Juga untuk memfasilitasi pembangunan negeri kami di masa depan,” kata Bakhtiar.

Kecewa
Sebelumnya, Bakhtiar menyatakan kekecewaan GAM terhadap pernyataan yang dikeluarkan Hamid Awaluddin, ketua delegasi Indonesia. Menurutnya, dalam sebuah konferensi pers, Hamid mengatakan, tawaran untuk membentuk partai lokal terpulang kepada Pemerintah Indonesia untuk membicarakan dengan partai-partai di Jakarta, mengenai rencana membentuk sebuah struktur nasional buat GAM berkiprah dalam sebuah partai nasional.

“Jawaban terhadap masalah partai politik untuk Aceh, bukanlah urusan Pemerintah Indonesia untuk menawarkan suatu janji yang menggiurkan bagi GAM dengan mengenyampingkan peluang munculnya partai-partai lain,” ujarnya. “Perundingan damai ini bukanlah untuk menjamin GAM mendapatkan kekuasan di Aceh, melainkan tentang pengenalan demokrasi yang sesungguhnya kepada Aceh.”

Gerakan yang sudah tigapuluh tahun berusaha memisahkan Aceh dari Indonesia ini, juga menolak tawaran Indonesia bahwa anggota GAM akan diakomodir hak politiknya dalam partai-partai nasional. “Itu paling banter bersifat sementara,” ujar Bakhtiar. “GAM tidak akan mundur dari tekadnya untuk mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi seutuhnya bagi kehadiran dan kesertaan perwakilan yang tak terhalangi, termasuk pembentukan partau politik lokal.”

Deadlock
Sementara itu, kantor berita The Associated Press memberitakan perundingan pada Jum’at sempat deadlock. Pasalnya, GAM menolak tawaran Pemerintah Indonesia yang memberikan batasan pada keikutsertaan mereka dalam pemilihan di tingkat provinsi.

“Kalau GAM setuju pada pengaturan ini, itu artinya GAM menerima pemberian hak-hak istimewa yang takkan terwujud pada sektor perpolitikan masyarakat Aceh. Karena itu, GAM menolak rancangan ini,” tegasnya.

Sumber acehkita di Helsinki juga menyatakan sempat terjadi deadlock, karena GAM menolak proposal Indonesia tentang partai politik lokal. “RI minta waktu untuk membahasnya,” kata sumber yang dihubungi situs ini. Namun, perundingan kemudian dilanjutkan kembali. [aceh interaktif]

Kamis, Juli 14, 2005

GAM-RI Masih Berdebat Masalah Partai Politik Lokal

Reporter: A.S.& Fakhrurradzie MG - Jakarta

Aceh Interaktif - Jakarta. Kendati pemerintah Indonesia menolak tuntutan partai politik lokal, dalam perundingan hari ketiga, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) masih tetap menuntut diberikan hak untuk mendirikan partai politik lokal di Aceh. Terjadi perdebatan alot mengenai masalah ini.

“Masih terjadi perdebatan mengenai partai politik lokal. Mengenai ini, belum ada langkah maju dari Indonesia,” kata sumber Aceh Interaktif di kalangan GAM di sela-sela rehat perundingan, Kamis (14/7).

Dia mengatakan, GAM sudah memberikan konsesi dan langkah yang luar biasa dalam perundingan untuk mengakhiri konflik menahun di daerah yang baru saja dilanda musiban gempa dan tsunami. “Sekarang bola di tangan Indonesia. Jika perundingan gagal, maka Indonesia jadi penyebabnya,” kata sumber tadi.

Dalam perundingan ini, sebut dia, pihak Crisis Management Initiative (CMI), selaku mediator, menyiapkan Memorandum of Understanding (MoU) tentang apa yang sudah disepahami kedua belah pihak saat perundingan putaran II, III, dan IV. Namun, “belum ada kesepakatan apa pun yang dihasilkan,” kata sumber itu.

Dia juga membantah anggapan bahwa GAM telah menerima otonomi khusus. “Tidak benar GAM menerima otonomi,” ujar sumber itu. “Self government yang diajukan GAM memang bukan merdeka. Ada hal-hal yang masih diatur Indonesia, seperti masalah keamanan eksternal, moneter, dan luar negeri.”

Dukung Pemerintah
Sementara itu, Ketua MPR, Hidayat Nurwahid mendukung sikap pemerintah yang tidak akan mengakomodir keinginan GAM untuk membuat partai politik lokal di Nanggroe Aceh Darussalam.

Menurutnya, otonomi khusus di Aceh sebaiknya lebih dimaksimalkan. “Kalau partai politik lokal itu ada nanti yang minta bukan hanya Aceh, tapi juga daerah-daerah lainnya,” ujar Nurwahid kepada wartawan di Jakarta, Kamis (14/7).

Dia juga menambahkan, partai politik sudah sepakat dan siap mencalonkan atau mendukung bekas anggota GAM dalam pemilihan kepala daerah. Hal lainnya yang harus dilakukan GAM adalah mengganti nama.

“Kalau GAM sudah mengakui Indonesia dan tidak lagi menuntut kemerdekaan, mereka akan terlibat pemilihan kepala daerah, tentunya tidak memakai nama GAM. Tetapi mengganti namanya dengan Gerakan Aceh Membangun, Gerakan Aceh Maju atau Gerakan Aceh Mensejahterakan,” papar bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera itu. [aceh interaktif]

Tuntut Partai Lokal, GAM Minta RI Ubah UU Partai Politik

Laporan: Fakhrurradzie MG - Jakarta

Aceh Interaktif - Jakarta. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tetap menuntut partai politik lokal dalam perundingan dengan Pemerintah Indonesia yang sedang berlangsung di Helsinki. Untuk itu, GAM meminta Indonesia untuk merubah UU No 32/2002 tentang Partai Politik.

“GAM menuntut partai politik lokal dengan maksud untuk mengakhiri konflik yang dapat mengancam negara,” kata Jurubicara GAM di Swedia, Bakhtiar Abdullah, dalam siaran pers yang diterima Aceh Interaktif, Rabu (13/7).

Bakhtiar juga menyindir Pemerintah Indonesia yang mengaku demokratis. “Tapi masih membatasi partai politik dengan mendesak mereka bermarkas di Jakarta, mempunyai perwakilan di setengah jumlah provinsi yang ada di Indonesia dan setengah dari setiap kabupaten yang ada di provinsi tersebut,” ujar Bakhtiar.

Menurut dia, demokrasi tidak membatasi formasi partai politik yang ada. Pembatasan itu, sebut dia, menandakan bahwa partai politik di Indonesia masih dikontrol oleh Jakarta. “Kami menolak itu, sebab kontrol dari pusat yang tidak dan tak mampu mencerminkan keinginan masyarakat Aceh,” tegasnya.

Karena itu, GAM meminta Indonesia merubah Undang-Undang No 31 tahun 2002 tentang Partai Politik. “Itu untuk menghilangkan pembatasan-pembatasan,” lanjut Bakhtiar Abdullah.

Jurubicara GAM ini juga menolak klaim yang tidak beralasan dari beberapa politisi Jakarta, bahwa mengabulkan permintaan GAM tentang partai politik lokal bisa membahayakan negara. “Seperti ada keberatan tentang perundingan Helsinki, ini juga sama sekali tidak beralasan,” kata dia, sembari mengatakan, tuntutan GAM untuk membentuk partai politik lokal di Aceh untuk mengakhiri konflik politik yang membahayakan kedaulatan negara.

Sebelumnya, Aceh Interaktif memberitakan, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Widodo AS menegaskan, pemerintah tidak akan mengakomodir keinginan pihak Gerakan Aceh Merdeka untuk mendirikan partai politik lokal di Nanggroe Aceh Darussalam.

“Dalam UUD 1945 tidak dikenal partai lokal, yang ada adalah partai politik nasional,” kata Widodo AS seusai bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (13/7). [aceh interaktif]

Rabu, Juli 13, 2005

RI-GAM Diskusikan Draf Perjanjian

Laporan: Fakhrurradzie MG - Jakarta

Aceh Interaktif - Jakarta. Pada hari kedua perundingan damai di Helsinki, delegasi Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mendiskusikan draf perjanjian yang telah dicapai dalam perundingan kelima ini.

“Presiden Ahitsaari dan CMI telah menyiapkan draf perjanjian, dokumen awal untuk perjanjian damai yang didasari pada poin-poin atas apa yang dicapai dan disepahami dalam perundingan terakhir,” tulis Crisis Management Initiative (CMI), fasilitator perundingan, dalam situsnya, Rabu (13/7).

Namun, CMI sama sekali tidak menjelaskan kesepakatan apa yang telah disepahami kedua belah pihak dalam perundingan lanjutan ini.

Dalam perundingan yang berlangsung di Konigstedt Manor di Vantaa, pinggiran Helsinki itu, GAM tetap menuntut pemerintahan sendiri dan proses pemilihan melalui partai lokal. Bakhtiar Abdullah mengatakan, GAM telah berkompromi dengan tidak mengajukan opsi merdeka dalam perundingan Helsinki ini.

Kendati demikian, kata Bakhtiar, tidak berarti GAM telah menerima status quo yang dinamakan dengan otonomi khusus. “Karena itu, kenapa kami menawarkan titik kompromi dengan tuntutan pemerintahan sendiri sebagai jalan untuk menyelesaikan konflik Aceh,” kata Bakhtiar. [aceh interaktif]

GAM Tetap Menolak Otonomi Khusus

Laporan: Fakhrurradzie MG - Jakarta

Aceh Interaktif - Jakarta. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) saat ini sedang menyusun materi sebagai persetujuan akhir untuk mengakhiri konflik bersenjata di Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam perundingan ini, GAM menyatakan tetap menuntut pemerintahan sendiri dan menolak otonomi khusus.

Jurubicara GAM di Swedia, Bakhtiar Abdullah, mengatakan GAM menyetujui konsep pemerintahan sendiri dalam kerangka Republik Indonesia. “Ini dikategorikan menolak status otonomi khusus, yang telah melahirkan pertumpahan darah, korupsi, dan penolakan terhadap hak dasar rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri,” kata Bakhtiar Abdullah dalam rilis yang diterima Aceh Interaktif. “GAM mengklarifikasi ketidakakuratan laporan bahwa telah menerima otonomi khusus.”

Berbicara di Konigstedt, dekat Helsinki, Bakhtiar Abdullah mengatakan, GAM telah berkompromi dengan tidak mengajukan opsi merdeka dalam perundingan Helsinki ini. Kendati demikian, kata Bakhtiar, tidak berarti GAM telah menerima status quo yang dinamakan dengan otonomi khusus. “Karena itu, kenapa kami menawarkan titik kompromi dengan tuntutan pemerintahan sendiri sebagai jalan untuk menyelesaikan konflik Aceh,” kata Bakhtiar.

GAM, kata Bakhtiar, telah melakukan kompromi yang besar dalam perundingan untuk mewujudkan damai di Aceh. Karena itu, tambah Bakhtiar, GAM ingin melihat langkah kompromi yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan konflik Aceh secara menyeluruh pascatsunami. Bakhtiar meminta pemerintah Indonesia untuk menunjukkan hasrat untuk menciptakan damai dengan menerima pemerintahan sendiri dan partai lokal.

“Apa yang kami ajukan tidak lebih dari hak dasar demokrasi. Di bawah prinsip-prinsip yang dinikmati rakyat di negara demokratis di seluruh dunia. Tidak ada pembatasan tentang siapa yang berhak untuk membuat partai politik, siapa saja yang terlibat di dalamnya dan berapa orang yang menjadi anggota, untuk mendirikan partai,” katanya.

Bakhtiar Abdullah mengatakan, GAM meminta pemerintah Indonesia untuk melanjutkan proses reformasi politik dan juga menyadari demokrasi yang benar untuk mengakhiri konflik Aceh. “Dan untuk melanjutkan proses rekonstruksi terhadap Aceh,” lanjutnya. [aceh interaktif]

Komando Pusat GAM Masih Tunggu Hasil Perundingan

Reporter: Fakhrurradzie MG - Jakarta

Aceh Interaktif – Jakarta. Komando Pusat di Tiro Gerakan Aceh Merdeka menyatakan masih mendukung hasil konkret perundingan Helsinki putaran V, yang sedang berlangsung sejak kemarin hingga 17 Juli mendatang.

“Kita masih menunggu hasil yang pasti,” kata Jurubicara Militer Komando Pusat di Tiro, Teungku Sofyan Dawod, saat dihubungi situs ini Rabu (13/7).

Kendati demikian, Sofyan Dawod memastikan, pihaknya akan tetap mendukung sepenuhnya apa pun hasil yang dicapai dalam perundingan itu. “Terserah hasil dan kesepakatan yang diambil pimpinan,” kata dia, sembari menegaskan, prajurit di lapangan akan tetap komit dengan keputusan yang diambil pimpinan GAM di Swedia.

Tindakan itu diambil, kata Sofyan, untuk memberikan kesempatan kepada semua pihak yang sedang mengupayakan proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh setelah dihumbalang tsunami akhir tahun lalu. “Kami mundur (dari tuntutan merdeka) demi kebebasan seluruh elemen di Aceh. Ini untuk memberikan keleluasan kepada pihak internasional dan semua elemen yang terlibat untuk membangun Aceh setelah musibah,” ujar Sofyan Dawod yang juga Panglima GAM wilayah Pasee ini. “Supaya TNI dan GAM tidak menggunakan senjata dalam masa rekonstruksi.”

Menurut dia, dalam perundingan Helsinki yang sedang berlangsung ini, GAM tetap meminta partai lokal dan pemerintahan sendiri. Dengan pemerintahan sendiri ini, kata Sofyan, nantinya rakyat Aceh bisa menentukan nasib sendiri dalam kerangka Indonesia. Dia juga mengatakan, dalam perundingan itu, GAM sama sekali tidak menuntut merdeka. “Namun tidak juga dalam bentuk otonomi khusus. Tapi pemerintahan sendiri dalam Indonesia. Jadi bukan bagian dari otonomi,” tegasnya.

Saat ditanya tentang reaksinya atas keputusan Indonesia menolak partai lokal, Sofyan berujar diplomatis. “Kita berharap dunia internasional yang terlibat dalam perundingan ini, untuk mengambil tindakan tegas jika perundingan gagal,” kata dia.

GAM wilayah Aceh Rayeuek juga menyatakan dukungan terhadap segala keputusan yang diambil di Helsinki. “Kalau kebijakan politik, tergantung dari pimpinan. Kami dukung dan laksanakan setiap komando dari pusat,” kata Jurubicara GAM Aceh Rayeuek, Teungku Muchsalmina. [aceh interaktif]

Selasa, Juli 12, 2005

Dukungan Tiga Persen bagi Calon Independen Dinilai tidak Realistis

Laporan: Fakhrurradzie MG - Jakarta

Aceh Interaktif - Jakarta. Calon independen atau non-partai yang ingin maju dalam pemilihan kepala daerah di Aceh akan terganjal. Pasalnya, mereka harus mendulang dukungan tiga persen dari total pemilih Aceh. Namun, angka itu dinilai sama sekali tidak masuk akal.

“Saya tidak setuju tiga persen. Kalau dua masih bisa diterima,” kata Ahmad Farhan Hamid, Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), kemarin.

Farhan juga menyesalkan sikap gubernur Aceh yang meminta Qanun No 2 untuk dikoreksi Menteri Dalam Negeri. Tindakan ini, bisa menghambat proses pemilihan kepala daerah yang menurut rencana akan dilaksanakan pada Oktober mendatang. “Ini akan menunda Pilkada dalam jangka waktu lama,” sebutnya.

Bekas dosen Fakultas Kedokteran Unsyiah ini merasa aneh dengan tindakan Pemprov Aceh yang meminta Mendagri mengoreksi materi qanun sebelum disahkan. Karena, kata dia, berdasarkan ketentuan yang ada, pihak Depdagri baru bisa mengoreksi Peraturan Daerah (Perda/Qanun) setelah disetujui kalangan dewan daerah. “Itu pun dalam waktu 60 hari, kalau lewat dianggap selesai,” kata Farhan kepada acehkita, kemarin.

Menurut dia, tindakan yang dilakukan Pemprov Aceh sebagai tindakan yang mengkhianati aspirasi rakyat Aceh. “Belum disahkan sudah dibawa ke Depdagri. Menurut saya itu pengkhianatan,” kata dia.

Pihak Depdagri sendiri, kata Farhan, keberatan dengan beberapa materi dalam qanun pilkada yang diajukan Aceh itu. Di antaranya, masalah calon independen yang tidak diatur dalam Undang-Undang No 18 tahun 2001 dan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. “Kalau calon independen tidak boleh, sesuai dengan UU, itu benar. Tapi dalam UU 32 juga tidak ada dari partai politik. Tapi qanun membuatnya calon dari parpol. Ini alasan aneh-anehan,” lanjutnya.

Namun, dia meminta semua pihak untuk tidak menghambat majunya calon independen dalam pemilihan kepala daerah di Aceh. “Calon independen itu sudah menjadi kebutuhan nasional,” sebutnya. “Kalau calon independen bisa lebih baik, kan itu menjadi model bagi daerah lain.”

Sementara anggota DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera, M Nasir Djamil, mengatakan dalam UU Otonomi Khusus dan UU 32 calon independen tidak termaktub. Namun, “Masalah kandidat independen ini memang dibuat dalam qanun, dan hal itu dimungkinkan sekali. Karena memang dalam UU No 18 disebutkan, menyangkut segala sesuatu yang berkaitan dengan Pilkada itu diatur dalam qanun,” tandas mantan wartawan ini.

Namun, dia mengatakan, pencalonan kandidat independen dalam Pilkada Aceh akan terhambat karena pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, tidak menyetujui adanya calon independen. “Calon independen mungkin bisa lebih unggul dari kandidat partai,” terangnya. [aceh interaktif]

Sipil Aceh Dukung Pelibatan Pihak Asing

Laporan: Fakhrurradzie - Jakarta

Aceh Interaktif - Jakarta. Pertemuan masyarakat sipil Aceh dengan Gerakan Aceh Merdeka di Lidingo, Stockholm, Swedia, pada 9-10 Juli kemarin, menghasilkan sejumlah rekomendasi bagi masa depan Aceh. Dalam pertemuan yang difasilitasi The Olof Palme Internasional Center itu, GAM meminta pemerintah Indonesia memberikan kesempatan kepada rakyat Aceh untuk menentukan nasib mereka sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Baik GAM dan masyarakat sipil di Aceh, percaya bahwa hanya ada satu cara yang komprehensif dan berkelanjutan untuk menciptakan damai, yaitu melalui jalur perundingan, yang memberi kesempatan kepada rakyat Aceh untuk menentukan hak mereka sendiri, dalam konteks negara Republik Indonesia,” kata Jurubicara GAM Swedia, Bakhtiar Abdullah, dalam siaran pers, kemarin.

Secara garis besar, pertemuan itu menghasilkan tiga rekomendasi utama, yaitu untuk Aceh pascatsunami, proses perdamaian, dan peranan masyarakat sipil dalam menentukan Aceh ke depan.

Dalam poin proses perdamaian Aceh, pertemuan itu mendesak perundingan Helsinki bisa mewujudkan kehidupan yang damai, demokratis, dan tegaknya HAM. “Selama di Aceh berlangsung konflik, hal ini tidak akan terwujud. Karenanya, masyarakat sipil mengharapkan dialog Helsinki harus dapat menghasilkan kesepakatan penghentikan konflik,” tulis masyarakat sipil dalam rilis.

Untuk menyelesaikan konflik menahun ini, masyarakat sipil memandang perlunya pelibatan pihak asing. Mereka memandang, pelibatan masyarakat internasional merupakan suatu hal yang lazim terjadi di beberapa negara yang sedang berlangsungnya konflik bersenjata. Mereka kemudian mencontohkan keterlibatan internasional dalam menyelesaikan konflik bersenjata di Srilanka, Irlandia Utara, Kosovo, dan Darfur Sudan. Karenanya, mereka apresiasi kepada Uni Eropa dan ASEAN yang telah mengirimkan delegasinya ke Aceh.

Di pihak lain, masih dalam poin proses perdamaian, masyarakat juga mendukung self government yang diusung GAM, selain menyesalkan sikap gubernur Lemhanas dan politisi Senayan yang menolak perundingan Helsinki.

Selain itu, pertemuan yang dihadiri puluhan masyarakat sipil Aceh itu, juga mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan gencatan senjata

Pertemuan itu juga meminta para pihak yang bertikai untuk memberikan rasa aman, damai dan jauh dari berbagai tindak kekerasan untuk memulihkan kembali semangat rakyat Aceh dari keterpurukan akibat musibah tsunami yang melanda provinsi paling barat Sumatera itu. Karena itu, gencata senjata untuk mendukung dialog dan proses recovery Aceh perlu segera dilakukan RI dan GAM. “Ini untuk memberikan ruang yang maksimal kepada masyarakat baik lokal maupun internasional untuk berpartisipasi penuh dalam proses membangun kembali Aceh pascatsunami,” lanjut rilis itu.

Masyarakat Sipil Aceh juga menuntut penegakan HAM, demokrasi, dan perdamaian di Aceh. Mereka juga sepakat untuk membangun konsolidasi dan partisipasi masyarakat dalam rangka mendorong proses perdamaian dan rekonstruksi. “Mendorong partisipasi perempuan Aceh untuk terlibat dalam proses perdamaian dan rekonstruksi Aceh,” di akhir rekomendasi.

Hari ini, pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka melanjutkan perundingan putaran kelima di Vantaa, Helsinki. Menurut Crisis Management Initiative (CMI) yang memfasilitasi perundingan, pihaknya kini tengah menyiapkan draf kesepakatan yang merupakan dokumen awal perjanjian damai. Draf tersebut dirumuskan berdasarkan poin-poin yang telah dicapai sebagai “kesepahaman bersama” selama berlangsungnya empat putaran perundingan.

“Masing-masing pihak akan mendiskusikan draf kesepakatan ini selama putaran kelima ini,” kata Ketua CMI, Martti Ahtisaari yang juga mantan presiden Finlandia itu. [aceh interaktif]

Ada Ketakutan GAM Kuasai Aceh Melalui Partai Lokal

Laporan: Fakhrurradzie MG & T. A - Jakarta

Aceh Interaktif - Jakarta. Pemerintah kemungkinan tidak akan menyetujui tuntutan pembentukan partai lokal di Nanggroe Aceh Darussalam, sebagaimana tuntutan Gerakan Aceh Merdeka. Pasalnya, ada kekhawatiran jika pemerintah menyetujui partai lokal di provinsi paling ujung Pulau Sumatera itu, GAM akan menguasai Aceh.

“Ada ketakutan kalau ini terbentuk dan mereka menang berkali-kali, dapat diklaim secara nasional dan internasional, bahwa rakyat Aceh memang menginginkan pisah. Secara politik, begitu mereka dijadikan partai politik, rakyat justru memilih mereka,” kata Ahmad Farhan Hamid, Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional saat ditemui Aceh Interaktif di ruang kerjanya, Senin (11/7) sore.

Namun, Farhan mengatakan, ketakutan itu sama sekali tidak berdasar. Pasalnya, berdasarkan pengalaman di negara lain, kata dia, partai lokal tidak bisa menang secara permanen. Sebab, partai lokal kurang mempunyai akses terhadap kekuasaan, ekonomi, dan politik.

Kekhawatiran lain, sebut Farhan, akan bermunculan tuntutan dari daerah untuk membentuk partai lokal. Namun, Farhan mengatakan, seharusnya kekhawatiran itu tidak perlu terjadi, jika saja partai lokal itu dimasukkan dalam kerangka pemberlakukan Otonomi Khusus di Aceh.

“Begitu dimasukkan ke dalam kerangkan Otonomi Khusus, maka tidak ada alasan bagi daerah lain untuk meminta partai lokal di daerah mereka,” tandasnya. “Saya tidak takut, kalau itu dimasukkan dalam kerangka Otonomi Khusus.”

Selain itu, dia juga menyebutkan, ada ketakutan akan mengkristalnya negara federal di Indonesia. “Lebih cenderung pada ketakutan terkristalisasi negara federal. Itu saya duga. Dan itu sampai hari ini tidak siap diterima kebanyakan rakyat Indonesia,” katanya.

Di mata Farhan, partai lokal sah-sah saja dibentuk. Hal ini dimaksudkan sebagai penyeimbang agar pemerintah dan partai (nasional) melakukan yang terbaik bagi seluruh daerah, tidak hanya Aceh. “Sehingga rakyat nyaman, tentram, dan bahagia,” ujarnya.

Namun, anggota DPR asal Aceh ini mengatakan, kemungkinan besar pemerintah tidak akan menyetujui pembentukan partai lokal di daerah yang penuh gejolak itu. “Menurut pemimpin negara pada saat ini, itu sebuah permintaan yang hampir tidak bisa dipenuhi. Saya tidak mengatakan tidak akan dipenuhi, saya tidak tahu itu. Tapi nyatanya sekarang permintaan itu nyaris tidak dipenuhi,” ujar bekas dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.

Karena itu, sepuluh partai politik di Indonesia sepakat untuk memberi ruang politik bagi GAM melalui partai mereka. “Ada sebuah keinginan untuk mengakomodir bahwa GAM dalam partai politik, jika mereka sudah berhenti dalam dua hal. Yang pertama, mereka berhenti untuk menuntut merdeka, dan berhenti menggunakan senjata dan kekerasan,” kata dia.

Memberi kesempatan bagi bekas GAM untuk berkiprah di dalam partai politik, kata Farhan, untuk memberi ruang bagi pimpinan GAM yang dianggap qualified untuk dapat maju dan dipilih dalam pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. “Makanya tidak ada pilihan lain calon dari GAM harus diserap oleh partai politik yang ada, yang berskala nasional. Lalu dilihat parpol di Aceh yang berpeluang mengajukan kepala daerah,” sebut Farhan.

Kesepuluh partai politik kemudian meneken nota kesepahaman bersama untuk menerima anggota GAM. “Nota itu akan dibawa kepada delegasi GAM dalam pertemuan Helsinki,” kata dia.

Anggota DPR dari Partai Demokrat, Mirwan Amir, menyatakan dukungannya bagi bekas anggota GAM untuk ikut serta dalam partai politik. “Saya menyambut baik dan mendukung, selama sudah bergabung ke dalam NKRI. Kan mereka sama dengan orang Aceh lain. Jadi, wajar-wajar saja,” kata Mirwan Amir, yang dihubungi melalui telepon seluler, Kamis (11/7).

Pengusaha perhotelan di Aceh ini mengatakan, sebagai bekas anggota GAM, maka kehadiran mereka seharusnya bisa diterima semua kalangan dengan tangan terbuka. “Semua partai akan menerima mereka menjadi anggota,” sambungnya.

Seperti halnya dengan Farhan Hamid, dia setuju saja jika adanya partai lokal di Aceh. “Ya terima saja salama mereka memiliki sumberdaya manusia yang baik,” lanjutnya. “Kalau memang Muzakkir Manaf mau mencalonkan diri, kita pertimbangkan kok.”

Sebagaimana diketahui, sepuluh partai politik di Indonesia sepakat untuk mengakomodir anggota GAM yang ingin mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah. Partai-partai itu antara lain, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Bintang Reformasi, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang. Selanjutnya, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan. [aceh interaktif]

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting