Sabtu, Desember 17, 2005

PANTAI BARAT
Setelah Setahun Bencana Berlalu


Setahun sudah bencana berlalu. Pantai barat Aceh menyisakan persoalan. Ribuan pengungsi masih terkurung dan kekurangan makanan. Setahun tsunami, BRR mencatat, 67.500 pengungsi masih di tenda. Sementara rumah baru dibangun 16.200 unit.

Taufik menarik perahunya ke tepi “dermaga”. Tidak terlalu besar perahu yang akan memuat empat sepeda motor itu. Namun, dia tidak terlalu hirau. Tak jauh dari posisinya, seorang teman kerjanya sedang menurunkan sepeda motor trail ke “dermaga” kecil yang agak miring ke danau.

Perahu motor yang tidak terlalu besar itu digunakan untuk mengangkut sepeda motor melayari anak danau yang terbentuk setelah tsunami menghancurkan Aceh Jaya akhir Desember tahun lalu. Taufik dan tiga rekannya memindahkan satu per satu sepeda motor ke dalam perahunya. Sedikit oleng ke kiri. Namun mereka tidak peduli. Begitu seterusnya.

Dengan bermodal mesin 25 PK, dia mengarungi danau yang tidak terlalu besar itu. Setelah sekitar 150 meter perjalanan, perahu milik Taufik berpas-pasan dengan perahu lain, yang memuat empat motor dan sekitar tujuh penumpang, ditambah empat awak boat. “Beginilah Bang, pemandangan rutin,” kata Taufik kepada acehkita.com, Senin (12/12) lalu.

Apa yang diungkapkan Taufik, sepenuhnya benar. Perjalanan ke Aceh Jaya, masih harus melalui jalan yang rusak. Setidaknya, acehkita.com harus naik perahu tiga kali dalam perjalanan dari Lamno, Kecamatan Jaya, ke Calang, ibukota Kabupaten Aceh Jaya.

Jalan yang rusak dihumbalang tsunami, belum diperbaiki. Jembatan putus di beberapa tempat, seperti di Desa Ujong Muloh, Lamno, Desa Babah Nipah dan Kuala Ligan, Kecamatan Sampoiniet, belum diperbaiki. Akibatnya, perjalanan dari dan ke Calang, terpaksa harus naik perahu.

Ada jalan alternatif melalui Gle Mancang. Namun, kondisinya tidak lebih baik dari menyusuri anak danau dan padang pasir. Jalanan di Gle Mancang jauh lebih parah kondisinya. Sejak dari Lamno, reporter situs ini sudah diwanti-wanti untuk tidak melewati jalan tembus baru yang didanai oleh pemerintah Amerika Serikat melalui USAID.

“Beberapa hari lalu, ada mobil LSM yang terjebak tiga hari tiga malam,” kata Usman U, Panglima Laot Lhok Lhok Kruet, Kecamatan Sampoiniet, Ahad (11/12).

Selain jembatan putus, sepanjang jalan dari Kecamatan Jaya, Lamno, puluhan kilometer jalan masih berlumpur dan berlobang. Praktis, jika musim hujan banyak warga yang tidak bisa melalui jalan ini, karena menyerupai kubangan kerbau. Bahkan lumpur setinggi lutut orang dewasa. Tak sedikit motor yang melintasi jalan berlumpur itu, terjebak dan jatuh.

Jalan itu merupakan lintasan yang dibangun oleh 2.000-an personel Zeni Tempur, Infanteri, dan Marinir. Mereka membuka jalur Banda Aceh-Meulaboh sepanjang 83 kilometer.

Untuk rehabilitasi lintasan pantai barat, Pemerintah Abang Sam (AS) telah menjanjikan akan mendanai perbaikan jalan pantai barat sepanjang 240 kilometer. Tak tanggung-tanggung, negeri adidaya itu akan mengucurkan 245 juta US Dollar. Penyerahan bantuan itu sebesar itu tertuang dalam Nota Kesepahaman yang ditandatangani Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto dan Direktur USAID William Frej.

Pembangunan kembali jalan Banda Aceh-Meulaboh sepanjang 240 kilometer akan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama akan diprioritaskan pada beberapa jalan dan jembatan yang tingkat kerusakannya parah, sepanjang 10 kilometer. Pada tahap kedua akan dibangun kembali sekitar 230 kilometer termasuk 108 jembatan dan gorong-gorong sepanjang Banda Aceh-Meulaboh.

Kendati sudah ada perjanjian antara kedua negara ini, masyarakat di pantai barat juga menyiratkan kekecewaannya, karena pembangunan jalan yang relatif lambat. Mereka terus mempertanyakan kapan jalan yang bisa membebaskan keterisolasian mereka selesai. “Kapan ya jalan ini dibangun lagi,” tanya Taufik kepada wartawan situs ini. “Kami minta supaya segera dibuatkan jalan.”

Taufik mungkin lelah menjadi penyedia jasa penyeberangan, kendati di sana dia bisa mengais rezeki. Namun, dia tidak tega melihat ribuan korban tsunami yang masih hidup di pengungsian dengan kondisi yang memprihatinkan, apalagi para janda yang suaminya menemui ajal dalam prahara besar itu.

Pria berkulit hitam legam karena dibakar teriknya matahari ini, tidak asal omong. Hanya sekitar 400 meter dari tempatnya bekerja, terdapat kamp pengungsian Kuala Ligan. Mereka masih tinggal di bawah tenda darurat. Sebagian sudah tinggal di rumah gubuk yang dibuat sendiri dari kayu peninggalan tsunami.

Jalan aspal menuju ke Calang tertutup rumput. Sisi kiri kanan jalan, ditumbuhi ilalang setinggi orang dewasa. Ini pertanda, jalanan itu jarang dilintasi mobil. Tak jauh dari kamp Kuala Ligan jalan aspal tidak ada lagi, sudah amplas diterjang tsunami.

Untuk mencapai Patek saja, harus melalui jalan setapak. Hanya sepeda motor yang bisa melintasi jalan yang super kecil itu. Rupanya, di sana ada pengungsi korban tsunami, yang masih tinggal di tenda-tenda. Nyaris tidak tersentuh bantuan untuk pengungsi di sini. Apalagi, jalan dari Patek juga putus total. Sementara mobil NGO, tertahan di sebuah jembatan yang berjarak 1 kilometer dari desa.

Di Desa Lhok Kruet dan Pulo Raya, Kecamatan Sampoiniet, ribuan pengungsi tidak memperoleh bantuan makanan, seperti beras, ikan, dan minyak goreng, sejak tiga hingga empat bulan terakhir ini. Tersendatnya penyaluran bantuan logistik, kata Sekretaris Desa Pulo Raya Syamsuddin (55), karena kesulitan sarana transportasi. “Mereka selalu beralasan itu,” kata Syamsuddin.

Akibatnya, para pengungsi di dua desa ini terpaksa membeli beras, minyak goreng, dan ikan. Padahal, penyaluran dana jaminan hidup atawa jadup yang seharusnya mereka terima Rp 3.000 per hari, juga setali tiga uang.

Menurut Syamsuddin, sejak mengungsi sebelas bulan lalu, mereka baru menerima jadup empat bulan saja. Sejak Juli, mereka tidak lagi diberikan jadup oleh pemerintah.

Bukan hanya Desa Pulo Raya yang tidak memperoleh bantuan logistik. Desa Lhok Kruet, Krueng No, dan Desa Ceuramong, juga setali tiga uang.

Seorang warga Desa Lhok Kruet yang enggan disebutkan namanya mengatakan, para pengungsi yang masih tinggal di tenda darurat di desanya sudah tiga bulan tidak memperoleh bantuan makanan, sejak September, Oktober, dan Desember. “Untuk bulan November sudah dibagikan,” kata warga tersebut. “Kami nggak tahu kenapa beras bantuan untuk kami tidak disalurkan.”

Pengungsi tenda di Desa Kareung Ateuh, Kecamatan Jaya, Lamno, Aceh Jaya, juga mengeluhkan penyaluran jadup yang tersendat. Dia dan 260 jiwa pengungsi lainnya hanya mendapatkan jadup sejak Maret hingga Mei. Selebihnya, tidak sama sekali. “Kami baru dapat jadup tiga bulan,” kata Aton (31).

Bagaimana nasib perumahan? “Tidak ada yang tangani masalah perumahan di sini,” kata seorang warga Lhok Kruet.

Hamparan tenda putih yang sudah lusuh dan compang-camping mewarnai sejumlah kamp pengungsian yang tersebar di pantai barat, mulai dari Lamno hingga Calang. Pemandangan ini seperti terlihat di Desa Kareung Ateuh (Kecamatan Jaya/Lamno), Desa Kuala Bakong, Desa Lhok Kruet, Krueng No, Pulo Raya, dan Desa Ceuramong. Pemandangan serupa juga terlihat di sejumlah lokasi pengungsian yang tersebar di Kecamatan Setia Bakti.

Tidak banyak NGO yang melirik desa yang masih terkurung ini. Kalau pun ada yang datang ke sana, hanya untuk menjanjikan bantuan. Selebihnya, tidak! “Janji hanya tinggal janji,” kata Usman U.

Usman lalu menceritakan kisah getir yang diperlihatkan sebuah NGO di desa mereka. Menurut Usman, NGO tersebut mengampanyekan Aksi Memerangi Kelaparan. Namun, hingga kini mereka belum pernah menerima bantuan pangan untuk mengatasi kekurangan logistik yang mereka alami. “Mereka hanya membuat satu unit WC,” kata Usman.

Kisah lain lagi, ada NGO yang datang menjanjikan seng untuk menggantikan atap tenda. Namun, sekali lagi, janji itu hanya tinggal kenangan pahit untuk diingat. Sebab, hingga kini mereka masih tinggal di tenda darurat.

“Kalau dihitung, ada 80 ton minyak dihabiskan hanya untuk memamerkan mobil mewah,” kata Panglima Laot yang membawahi empat desa di Kecamatan Sampoinit itu. Bahkan, kata dia, warga pernah mau mengusir sebuah NGO dari desa mereka. “Ada yang mau diusir,” ujarnya.

Calang
Kondisi yang sudah lumayan pulih di Calang, ibukota Kabupaten Aceh Jaya. Kehidupan perekonomian warga Calang juga sudah mulai bangkit. Toko-toko yang dulu digulung tsunami, kini sudah kembali dibangun, walaupun hanya berkonstruksi kayu. Aneka barang dan makanan dijual di toko baru yang menyesakkan tepi jalan yang selamat, karena berada di kaki Bukit Carak.

Para korban tsunami juga sudah tinggal di rumah-rumah bantuan. Di Desa Bahagia saja, sebanyak 83 unit rumah telah dibangun oleh Jawa Pos Group bekerjasama dengan Zeni Tempur TNI. Sebelumnya, tsunami hanya menyisakan satu rumah dan 27 jiwa di Desa Bahagia. Selebihnya digulung tsunami yang mengepung desa itu dari tiga sisi. Sementara di Kemukiman Calang, sudah dibangun 1.200 rumah oleh grup media berbasis di Surabaya, Jawa Timur itu.

Kendati sudah memperoleh rumah, tidak serta merta kondisi mereka berubah. Warga Desa Bahagia saja sejak Agustus lalu tidak lagi memperoleh bantuan jadup. “Kami hanya terima jadup empat kali,” kata Rusydi, salah seorang warga Desa Bahagia, yang ditemui di rumah Nek Beng, satu-satunya rumah yang selamat dari gempuran tsunami, Minggu (11/12) malam.

Beruntung warga Desa Bahagia. Beberapa di antara mereka yang selamat, sudah bekerja di NGO asing atau lembaga pemerintah, menjadi security. Rusydi, misalnya. Dia menjadi petugas keamanan di kantor cabang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias. Sementara Joli (28), menjadi petugas keamanan di salah satu NGO asing.

Sekitar 3 kilometer dari pusat kota Calang, ribuan pengungsi masih berdiam di tenda, sama halnya dengan pengungsi di beberapa kecamatan yang sudah disebutkan di muka. Di Desa Monmata, Kecamatan Krueng Sabe, misalnya, ratusan warga belum memperoleh bantuan perumahan. Mereka hanya tinggal di tenda dan rumah gubuk. Pihak Citra Agung sudah menjanjikan pembangunan rumah itu sejak bulan September lalu.

“Baru dibangun 10 pondasi, dari 40 unit yang dijanjikan Citra Agung,” kata Nurdin W, warga Monmata, Senin (12/12).

Lagi-lagi, masalah yang muncul di sini adalah penyaluran jadup yang tidak lancar. “Kami hanya dapat jadup empat bulan. Sejak Agustus, tidak terima lagi,” tambah Nurdin, dibenarkan lima pengungsi lain yang sedang menyerubut kopi di sebuah tenda yang disulap jadi warung.

Penduduk di Monmanta kini hanya 230 KK atau sekitar 700-an jiwa. Tsunami merenggut 165 jiwa warga. Mereka yang selamat berharap adanya bantuan modal, selain kelancaran jadup dan rumah. “Kami harapkan perekonomian warga dijalankan. Kami nggak tahu apa yang harus kami kerjakan,” katanya lagi. Tapi, “ada 100 KK yang diberikan bibit tamanan oleh ACF.”

Lambat
Lambatnya proses pemulihan pascatsunami di pesisir pantai barat Aceh, diakui Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Seperti terlihat dalam laporan setahun yang diberi judul Aceh and Nias One Year after the Tsunami: The Recovery Effort and Way Forward, diperlihatkan kemajuan proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh.

Dalam paparan itu jelas terlihat pembangunan masih terkonsentrasi di Banda Aceh, Aceh Besar, Lhokseumawe, Pidie, dan Bireuen. Namun, di sepanjang pesisir pantai barat, pembangunan terlihat berjalan lambat.

“Ada beberapa kesenjangan. Ada daerah yang pembangunannya signifikan, tapi ada juga yang sangat lambat seperti di pantai barat Aceh dan Nias,” kata T Syafrizal Sofyan dari Bank Dunia dalam paparan di depan sejumlah wartawan dalam dan luar negeri di Media Center BRR, Kamis (15/12).

Dalam laporan kemajuan setahun tsunami, BRR juga mengatakan, hingga Desember ini sebanyak 16.200 rumah telah selesai dibangun, 13.200 sedang dibangun. Tentu, angka itu sangat tidak sebanding dengan kerusakan rumah yang diperkirakan 80.000 hingga 110.000 rumah. Sebanyak 75.000 rumah di Aceh dan Nias harus direhabilitasi. Lembaga-lembaga donor sendiri telah berkomitmen membangun 103.000 rumah (termasuk 20.000 unit melaluio program tempat tinggal sementara).

Kendati sudah setahun tsunami berlalu, masih ada 67.500 korban tsunami yang tinggal di tenda darurat, 50.000 jiwa tinggal di barak penampungan. Sementara dari 3.000 kilometer jalan yang rusak, baru 235 kilometer yang selesai dibangun. Begitu juga dengan jembatan. Dari 120 jembatan arteri yang rusak, baru 35 yang selesai. Sedangkan lebih dari 2.000 sekolah rusak, namun baru 335 yang dibangun.

Padahal, dana yang telah dialokasi untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Nias USD 4,4 miliar untuk membiayai lebih dari seribu proyek.

Jumlah bantuan yang dijanjikan paling sedikit mencapai USD7,5 miliar, yang berasal dari USD2 miliar dari donor multilateral, USD 1,6 miliar dari donor bilateral, USD 1,8 miliar dari LSM, dan USD 2,1 miliar dari pemerintah Indonesia (tidak termasuk kontribusi pemerintah daerah).

Hal senada dikemukakan Kepala BRR Kuntoro Mangkusubroto. “Pembangunan di daerah itu memang terlambat. Banyak NGO yang kesusahan. Begitu dia bawa makanan ke sana, diminta oleh aparat yang berseragam,” kata Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias, Kuntoro.

Tahun depan, kata Kuntoro, BRR akan memfokuskan pemulihan Calang dan Aceh Jaya. Bahkan, pihaknya sudah menganggarkan dana Rp 518 miliar, ditambah lagi dana dari NGO yang diperkirakan mencapai Rp 1 triliun. “Saya sudah minta ini diamankan semua. Kalau nggak, orangnya akan diganti,” tegasnya.

Kuntoro tidak membantah jika ada NGO yang hanya menebar janji kepada korban tsunami. Namun, dia menegaskan, janji yang tidak terealisir bukan hanya diberikan para NGO. Pejabat di Jakarta juga demikian. “Menteri dan orang-orang Jakarta juga banyak yang janji-janji saja,” katanya.

Nah lho!
[dzie]

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting