Senin, Mei 12, 2008

Buang Pening ke Penang

Oleh FAKHRURRADZIE GADE
ACEHKINI Writer

Fitria Hayati kerap sulit bernafas. Setiap kali menghirup udara, mahasiswi semester pertama Universitas Syiah Kuala Banda Aceh ini sering merasakan sakit di dada. Kondisi kesehatannya terus menyusut. Awal Desember 2007 lalu, keluarganya memboyong Fitria ke Rumah Sakit Harapan Bunda. Di sana, anak pasangan Zainal Abidin Latief dan Halimah ditangani dokter spesialis saraf. Tak lama, Fitria berpindah tangan ke dokter penyakit dalam.

Setelah dirontgen, dokter memvonis ia menderita TBC, batuk mematikan. Tak lupa sang dokter menulis deretan resep obat yang harus diminum. Dirawat beberapa hari, keluarganya memilih memulangkan Fitria. Padahal, kondisinya belum membaik. Dokter menganjurkan Fitria dibawa ke sebuah rumah sakit di Medan, Sumatra Utara. “Dokter juga melarang adik saya dibawa ke rumah sakit di Pulau Pinang, Malaysia,” ungkap Mukhtar, abang ipar Fitria, kepada ACEHKINI.Beberapa hari di rumah, sakit Fitria kembali kambuh. Kali ini, ia diboyong ke Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin. Setelah diperiksa, dokter mengabarkan ada cairan di paru-paru yang mengganggu pernafasan. Diagnosa dokter spesialis di Harapan Bunda melenceng jauh. Cairan yang ada di sekitar paru-paru pun disedot melalui pembedahan kecil. Ada 500 mililiter cairan dikeluarkan dari tubuh warga Perumnas Jeulingke, Banda Aceh, ini.

Kendati cairan sudah disedot, dokter menganjurkan Fitria mengonsumsi obat TBC. Hasilnya? Badannya menguning. Rupanya, itu pengaruh obat. Tapi, dokter bilang Fitria terserang penyakit kuning atau hepatitis. Tak kunjung sembuh, hari ke-20 di RSUZA, ia dipulangkan ke rumah.

Sesampai di rumah, Fitria kembali mengeluh sakit yang sama. Lelah berobat di Aceh, keluarga akhirnya memilih memboyong dara ini ke Rumah Sakit Lam Wah EE, Pulau Pinang, Malaysia, awal Januari silam. Diagnosa dokter Malaysia berbalik 180 derajat dengan hasil diagnosa dokter spesialis di Banda Aceh. “Adik saya ternyata menderita tumor paru-paru,” ujar Mukhtar.

Dokter menganjurkan pasien menjalani operasi pengangkatan tumor secepatnya. Biaya yang dibutuhkan mencapai 12.000 ringgit atau setara Rp 35 juta. “Saat itu kami bingung harus apa, karena belum ada uang. Tapi dokter bilang, pasien dioperasi saja dulu, uang bisa menyusul,” lanjut Mukhtar. Usai operasi, dokter berhasil mengangkat tumor seberat 443 gram.

Kini, Fitria sudah mulai normal. Berat badannya kembali beranjak naik. Namun, ia masih harus bolak-balik Penang-Aceh untuk sekadar cek kesehatan rutin pascaoperasi.

Fitria sedikit beruntung: punya kesempatan memilih rumah sakit. Tapi bagi Aulia Andra (13 bulan), Darwis Tarmizi, dan Nurjannah (8 tahun), bisa berobat ke rumah sakit saja adalah mukjizat. Aulia Andra, balita asal Desa Meunasah Baro, Seulimum, Aceh Besar, terpaksa harus meringis kesakitan di pembaringan dalam bangsal Mickey RSUZA.

Nasib lebih tragis menimpa Darwis Tarmizi, balita asal Indrapuri. Setelah lebih sebulan dirawat di rumah sakit plat merah ini, keluarga memulangkan Darwis. Gara-garanya, sang ayah sudah tak kuasa lagi menanggung biaya hidup istri, dan kedua orangtuanya yang menjaga Darwis. Sayang, setelah beberapa hari di rumah, Darwis yang dirawat dengan menggunakan asuransi kesehatan masyarakat miskin (Askeskin) menghembuskan nafas terakhir.

***

Pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin masih menjadi masalah di Aceh. Tak jarang, pasien yang berobat dengan Askeskin mendapat pelayanan buruk dari rumah sakit. Sri Wahyuni, misalnya. Warga Desa Alue Awe, Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe, ini memendam kecewa terhadap pelayanan rumah sakit. Pasalnya, buah hatinya yang baru berusia empat bulan harus meregang nyawa saat sedang dirawat. Pada 21 Januari 2008, Andriansyah, nama anaknya, diboyong ke RSU Cut Meutia, Aceh Utara, karena demam, susah buang air besar dan sulit bernafas.

Andriansyah, berusia empat bulan, merupakan anak pasangan Sri Wahyuni dan Suhendra. Keluarga muda ini tergolong miskin. Untuk mengobati anak semata wayang, mereka harus bermodalkan rekomendasi dari Komite Peralihan Aceh. Menurut Sri Wahyuni, sejak dirawat di ruang Seulanga IV, Andriansyah kurang mendapat perawatan paramedis. Sri Wahyuni kerap bersitegang dengan perawat saat menyampaikan keluhan anaknya. Bahkan, perawat pernah menyuruh agar Andriansyah dikompres saja untuk mengurangi demam.

Buruknya pelayanan membuat Sri Wahyuni berusaha memindahkan perawatan anaknya. Tapi upaya itu sia-sia, karena perawat mengancamnya. “Kalau pindah, semua biaya obat dari hari pertama masuk harus dibayar semua,” kata Sri kepada ACEHKINI menirukan ancaman perawat. Sri tak kuasa. Dia mengalah, pasrah.

Tak berapa lama mendapat perawatan di RSU Cut Meutia, pada 21 Januari, sekitar pukul 02.00 WIB, kondisi kesehatan Andriansyah semakin memburuk. Namun, ia tak cepat ditangani. Baru sejam kemudian, perawat datang dan memasukkan NDT ke tubuhnya. Dari rongga mulut dan hidungnya keluar cairan biru. Tak berapa lama, Andriansyah menghembus nafas terakhir.

“Anak saya mungkin sudah ajalnya sampai di situ, tetapi yang membuat saya kecewa adalah pelayanan buruk dari pihak rumah sakit,” kata Sri Wahyuni.

Kepala Bagian Perawatan RSU Cut Meutia Sadli Hanafiah membantah pihak rumah sakit menelantarkan pasien. Namun dia berjanji akan mengecek kepada bawahannya. Kalau terbukti, “Kita akan memberikan sanksi kepada petugas yang melakukan kesalahan,” katanya saat dikonfirmasi ACEHKINI. Ia menyebutkan, pihak rumah sakit acap memberikan sanksi kepada petugas yang lalai menangani pasien. Sanksi itu beragam. Kadang kala dikurung dalam kamar jenazah.

Tak hanya di Lhokseumawe, di rumah sakit pemerintah di Banda Aceh pasien sering mengaku kecewa. Simak saja pengalaman Basri. Warga Grong Grong, Kecamatan Delima, Pidie, ini terpaksa harus menelan kekecewaan terhadap pelayanan rumah sakit plat merah di Banda Aceh.

Basri membawa anaknya berobat ke RSUZA akibat kecelakaan lalulintas. Sebelumnya, Basri mengobati anaknya di RSU Sigli. Meski memegang kartu Askeskin, tak berarti Basri tak harus merogoh kantong untuk biaya pengobatan. Dia harus menebus obat bius, benang jahit, dan obat lain agar anaknya bisa dioperasi. Lumayan besar juga biaya yang dikeluarkan: Rp 1,5 juta.

Bagaimana dengan pelayanan? Menurut Basri, dalam sehari dokter hanya sekali mengontrol pasien. Selebihnya, hanya perawat keluar-masuk ruangan bila ada keluarga pasien yang memanggil.

***

Saat berkampanye sebelum terpilih jadi gubernur dan wakil gubernur Aceh, Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, pernah menjanjikan akan memperbaiki pelayanan kesehatan di Aceh. Bahkan, dia sesumbar akan membebaskan biaya berobat bagi warga kurang mampu. Setahun sudah Irwandi-Nazar bercokol di puncak kekuasaan, belum terlihat perubahan di sektor pelayanan kesehatan. Padahal, fasilitas medis di Aceh tak kalah bersaing dengan rumah sakit di daerah lain, terutama pascatsunami.

Dalam setahun ini makin banyak warga Aceh yang memilih berobat ke Malaysia atau Singapura. Irwandi dan Nazar bukannya tak sadar akan hal ini. Saat meresmikan RSU Meuraxa, Irwandi menyentil kegemaran warganya berobat ke Penang. Dia bertekad, dalam waktu lima tahun berkuasa jumlah warga Aceh yang berobat ke luar negeri bisa menurun, seiring dengan perbaikan pelayanan kesehatan dan fasilitas medis di Aceh.

Menurut Irwandi, tantangan dalam memberikan pelayanan kesehatan bagus bagi warga Aceh masih terkendala fasilitas dan sumber daya manusia yang dimiliki rumah sakit di Aceh. “Selama ini ada rumah sakit, tidak ada alat. Ada alat, tidak ada dokter. Ada dokter tapi tidak cukup perawat,” kata Irwandi usai meresmikan RSU Meuraxa, 11 November 2007.

Dia menyebutkan, selama ini warga Aceh berobat ke Malaysia karena minimnya fasilitas dan pelayanan kesehatan yang diberikan pihak rumah sakit kepada pasien belum maksimal. “Kalau alat canggih, pelayanan rumah sakit bagus, dan dokter ahli memadai, saya yakin ini akan membuat orang Aceh betah berobat di sini,” kata dia.

Saat meresmikan RSU Meuraxa, Irwandi berjanji akan memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan di tahun 2008, agar penduduk Aceh tidak (sering) berobat ke Malaysia. “Saya pikir tahun berikutnya, marilah kita menghemat anggaran pengobatan. Berobat bisa di Aceh saja dengan harapan agar mutu pelayanan kesehatan lebih bagus. Kalau tidak bisa lebih bagus, minimal samalah dengan mutu pelayanan di Malaysia,” ujar Irwandi.

Tapi itu hanya sebatas harapan Irwandi. Nyatanya, pelayanan kesehatan di Aceh tak kunjung membaik dan semakin banyak warga Aceh yang berobat ke Penang. Bagi mereka, berobat di Aceh sudah cukup membuat kepala pening: administrasi yang njilimet dan pelayanan kesehatan di bawah standar. Simak saja ucapan seorang keluarga Fitria,”Pening kita berobat di Aceh. Peng abeh, puleh han.” [a]

Laporan: Imran MA (Lhokseumawe), dan Dedek (Banda Aceh)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting