Selasa, Maret 08, 2011

Pulau Bunta [3]

Di depan kami, hamparan Samudera Hindia terbentang luas. Perahu nelayan hilir-mudik mencari laksa ikan di perairan yang tenang itu. Kapal tanker yang kami perkirakan milik sebuah perusahaan semen di Aceh ikut menyibuki laut yang tenang sore itu.

Di bawah lampu mercu suar, hamparan tanah lapang berumput hijau menyegarkan mata. Kami berlarian mencapai pantai, mencari sudut untuk dijadikan sasaran bidikan lensa.

Saya memilih ke sisi barat pantai yang dihiasi karang cadas mirip pemandangan Grand Canyon di Amerika. Hamparan batu sungai –bukan karang laut—memanjakan kaki setelah lelah menempuh perjalanan sekitar dua kilometer.

Eddy dan Juliansyah memilih sisi timur pantai. Di sini, mereka membidik lensa kamera ke segala penjuru. Susunan karang bertingkat membuat mereka nyaman mengabadikan pantai yang dihiasi pohon kelapa yang menjorok ke laut. Pulau Bunta mereka abadikan dalam berbagai angle gambar.

Di kejauhan, matahari mulai rebah. Warna jingga menghiasi kaki langit. Dari Ujong Bili, kami menikmati suasana matahari terbenam. Perahu nelayan yang mencari ikan atau sekadar melintas kawasan itu, menambah nuansa eksotis senja di Ujong Bili.

“Gila, indah banget pemandangannya,” kata Dian. Perempuan satu-satunya dalam rombongan kami ini, sudah menjelajahi sejumlah kawasan wisata di Indonesia. Dia pernah ke Lombok dan beberapa daerah lain.

Sore itu, Dian lebih memilih duduk dan tidur-tiduran di atas bukit yang menjorok ke laut, sembari teman-temannya memilih untuk berburu foto.

Perlahan matahari tenggelam di kaki langit. Gelap segera menyergap. Saat magrib menjelang, kami memilih beranjak dari Ujong Bili. Oya, dua kawan kami sedang berburu ikan di bawah bukit yang kami duduki. Tadi, begitu tiba di Ujong Bili, Irfan dan Ang Kim Ho, dokter anestesi di Banda Aceh, memilih menuruni bukit berkarang cadas untuk memancing.

Kami berusaha menyusuri mereka, karena hendak kembali ke basecamp dengan mengitari pulau kecil itu. Namun, kami kesulitan menuruni bukit. Jadilah, Irfan dan Ang Kim Ho memutuskan untuk menyusul kami di atas bukit Ujong Bili.

Sejam lebih Ang Kim Ho dan Irfan tak juga sampai ke lokasi kami, sementara gelap telah menguasai alam. Satu-satunya petunjuk komunikasi kami hanya dengan lampu senter. Sedangkan handphone yang mereka miliki tak bisa dihubungi. Jadilah kami berperasaan was-was.

Hasbi Azhar berusaha mencari jejak mereka. Namun gagal. Berkali-kali lampu senter diarahkan untuk memberikan kode untuk Ang Kim Ho. Aha, kami girang ketika Ang Kim Ho kembali memberi kode ke arah kami.

Hasbi dan Fahmi berlarian mendekati Irfan dan Ang Kim Ho. “Kami tadi tersesat, berputar-putar di tempat-tempat itu saja. Bukannya kami malah makin dekat ke sini, tapi dibawa kami makin menjauh entah ke arah mana,” kata Ang Kim Ho. Irfan terlihat pucat. Ia lelah, apalagi kakinya sempat kram ketika mendaki bukit tadi. [tamat]

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting