Jumat, Desember 28, 2007

Indonesia Marks Anniversary of Deadly Tsunami

Dec 26, 10:10 AM EST

By FAKHRURRADZIE GADE
Associated Press Writer

CALANG, Indonesia (AP) -- Survivors prayed at mosques and mass graves Wednesday to mark the third anniversary of the devastating Asian tsunami, while hundreds fled beaches as part of a drill to test an alert network established since the disaster.

The waves on Dec. 26, 2004, spawned by the mightiest earthquake in 40 years, killed around 230,000 people in 12 Indian Ocean nations, just under half of them in the Indonesian province of Aceh on Sumatra island.

Coastal communities in Sri Lanka and India lost some 45,000 people between them. The waves also crashed into tourist resorts in southern Thailand, killing more than 5,000, half of them foreign vacationers.

The disaster overwhelmed authorities in Aceh, where bodies littered devastated neighborhoods for weeks. Most victims were never formally identified and tens of thousands were buried in mass graves.

Nur Aini lost her husband and one of her two children to the waves.

"We are praying for them today even though I don't know where they are buried," she said. "My remaining child still calls out for his father."

The disaster, one of the deadliest of the modern age, promoted a global outpouring of sympathy, with governments, individuals and corporations pledging more than $13 billion in aid.

In Aceh, more than 100,000 houses, scores of schools and hospitals and miles of roads have been rebuilt. Whilst there have been complaints of corruption and waste, most people involved in the reconstruction process say it has gone well.

"I hope we can turn a new page now and leave sadness, cries and tears behind us," Aceh Governor Irwandi Yusuf told hundreds gathered at a prayer ceremony in the hard-hit town of Calang. "I hope one day we can pay our debt to the world by becoming a donor to other countries hit by disasters."

Thailand held ceremonies throughout the day along its white-sand southern beaches.

Survivors and families of victims were invited to Phuket's Patong beach, a popular strip of hotels and restaurants, to lay flowers in the sand. Chanting Buddhist monks were to light incense and lead an ecumenical prayer service.

The tsunami drill in Indonesia took place on the western tip of Java island close to the capital, Jakarta. It was attended by President Susilo Bambang Yudhoyono and other top government officials.

Those taking part ran or walked around a mile inland after the siren sounded.

Foreign governments are helping Indonesia establish a nationwide network of buoys and high-tech communications equipment that would give coastal communities warning if there is a tsunami. The network is up and running in several regions of the country, but 20 more buoys are due to be launched in 2008.

Indonesia is frequently rocked by powerful earthquakes because of its position on the "Pacific Ring of Fire," an arc of volcanoes and tectonic fault lines encircling the Pacific Basin.

The observances came amid widespread flooding in parts of Indonesia. Heavy rains triggered landslides that killed dozens of people on Java island, though far from the scene of the tsunami and Wednesday's drill.

© 2007 The Associated Press. All rights reserved. This material may not be published, broadcast, rewritten or redistributed. Learn more about our Privacy Policy.

Selasa, Desember 04, 2007

Perayaan Ulang Tahun GAM di Aceh


GAM memperingati Milad ke-31 yang jatuh pada Selasa (4/12) secara sederhana. Di beberapa tempat, anggota GAM dan KPA menggelar doa bersama, kenduri, dan menyantuni anak yatim korban konflik. Gubernur Irwandi Yusuf ikut hadir dalam peringatan milad di Indrapuri.

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memperingati Milad ke-31 yang jatuh pada Selasa (4/12) secara sederhana. Di beberapa tempat, anggota GAM dan Komite Peralihan Aceh (KPA) menggelar doa bersama, kenduri, dan menyantuni anak yatim korban konflik. Gubernur Irwandi Yusuf ikut hadir dalam peringatan milad di Indrapuri.

Peringatan Milad GAM di Aceh Besar dipusatkan di kompleks makam pahlawan nasional, Teungku Chik di Tiro, di Desa Meureue, Kecamatan Indrapuri. Selain itu, peringatan milad juga dilakukan anggota GAM daerah II Cot Keu-eueng, yang dipusatkan di kompleks makam Teungku Gle Iniem di Desa Krueng Kale, Kemukiman Siem, Kecamatan Darussalam. Peringatan serupa juga digelar di kawasan Lhoknga.

Di Kompleks Makam Teungku Chik di Tiro, anggota KPA dan GAM menggelar doa bersama yang dipimpin Teungku Syekh Ahmad, dan kenduri rakyat, yang dihadiri ratusan warga di sekitar lokasi peringatan.

”Ini doa bersama untuk mengenang kawan-kawan seperjuangan yang telah lebih dulu mendahului kita. Milad GAM kali ini bertujuan untuk menjaga perdamaian, bukan seperti milad sebelumnya yang diperingati dengan upacara militer dan pengibaran bendera. Hari ini, tidak satu pun bendera kita kibarkan,” kata Saifuddin bin Yahya, Wakil Ketua KPA Aceh Besar, kepada wartawan sesaat sebelum doa bersama digelar.

Dia menambahkan, peringatan milad ke-31 ini juga diisi dengan menyantuni 400 anak yatim piatu korban konflik. Per anak yatim mendapat santunan Rp150.000. Untuk kenduri, mereka menyembelih 10 ekor lembu.

Saifuddin menambahkan, peringatan milad GAM tidak mempengaruhi proses perdamaian yang sedang berlangsung. KPA juga sudah memberitahukan jauh-jauh hari peringatan ulang tahun ini kepada pihak berwenang. Bahkan, mereka menyebarkan 5.000 undangan kepada segenap lapisan masyarakat.

Di antara tamu yang diundang, termasuk Panglima Kodam Iskandar Muda Mayjen Supiadin AS hingga jajaran aparat keamanan di tingkat kecamatan. Di ranah sipil, KPA mengundang Gubernur Irwandi Yusuf hingga camat setempat. “Kami juga mengundang beberapa petinggi GAM, seperti mantan Juru Bicara GAM Sofyan Dawood,” kata Saifuddin.

Gubernur Irwandi Yusuf termasuk petinggi daerah yang datang pada peringatan milad GAM di Desa Meureue sekitar pukul 13.00 WIB. Irwandi mengatakan, peringatan milad GAM tidak bertentangan dengan hukum dan tidak perlu dipersoalkan.

“Silakan saja adakan, dan milad ini tidak bertentangan dengan apa pun,” kata Irwandi kepada wartawan. “Saya datang ke sini sebagai masyarakat biasa. Sebagai gubernur juga saya punya hak menghadiri acara kerakyatan seperti ini. Tidak ada persoalan. Bahkan di rombongan saya juga ada polisi, BIN, TNI.”

Irwandi datang dengan mengenakan baju kemeja merah dipadu celana hitam. Irwandi larut dalam kenduri rakyat itu. Usai salat Dhuhur, Irwandi menyempatkan diri berziarah ke Makam Teungku Chik di Tiro dan membasuh muka dengan air yang ada dalam guci di kompleks makam tersebut. Usai berziarah dan berbincang dengan petinggi GAM Aceh Rayeuk Muharram dan masyarakat setempat, Irwandi kembali ke Banda Aceh.

Selain Irwandi, tampak pula Ketua Badan Reintegrasi Damai Aceh Nur Djuli, bekas perunding GAM Amni bin Ahmad Marzuki, dan mantan Panglima GAM Aceh Rayeuk Muharram.

Yusri, 30 tahun, mantan kombatan GAM Indrapuri, mengaku senang bisa memperingati milad secara leluasa di masa damai ini. “Kami memperingati milad tanpa senjata, dan atribut GAM, tapi saya merasa sangat senang karena bisa memperingati milad secara leluasa. Tidak ada perasaan was-was,” kata Yusri kepada acehkita.com.

Mantan kombatan yang pernah ditangkap pada tahun 2000 di kawasan Blang Bintang Aceh Besar ini menambahkan, peringatan milad tahun ini diperingati dengan sederhana. Mereka telah mendapat instruksi dari Panglima GAM Muzakkir Manaf untuk tidak mengibarkan bendera GAM dan upacara militer, karena bisa mengganggu proses perdamaian.

Peringatan milad sangat penting bagi Yusri untuk mengenang rekan-rekan seperjuangannya yang meninggal dalam perang selama tiga dekade. “Saya terharu kalau mengingat teman-teman saya yang telah meninggal. Hari ini, kami mengirim doa untuk mereka,” kata Yusri yang bergabung dengan GAM pada tahun 2000 ini.

Hal senada juga dikemukakan mantan Juru Bicara GAM Aceh Besar Teungku Muchsalmina. Dia menyebutkan, momentum milad digunakan anggota GAM dan KPA untuk mengingat kembali apa yang sudah dilakukan oleh rekan-rekan mereka yang sudah meninggal.

“Sebagai masyarakat Aceh, kami harus meneruskan perjuangan mereka dengan cara menjaga dan melaksanakan MoU Helsinki dengan baik, agar perjuangan mereka tidak sia-sia,” kata Muchsalmina saat ditemui usai mengikuti peringatan milad di Gle Iniem, Desa Krueng Kale, Kecamatan Darussalam.

Seperti halnya di Desa Meureue, Indrapuri, peringatan milad di Gle Iniem juga diisi dengan kenduri, doa bersama, dan menyantuni sekitar 250 anak yatim korban konflik. Teungku Muhammad Yatim, ketua panitia milad GAM Daerah II, kepada situs ini mengatakan, momentum milad ini juga digunakan KPA daerah II untuk meresmikan kantor KPA Sagoe Syiah Kuala yang berpusat di Lingke.

Secara umum, kondisi Aceh aman, kendati banyak pihak di Jakarta yang khawatir GAM akan mengibarkan bendera bulan bintang pada hari jadinya. Tidak ada insiden apa pun pada saat peringatan milad.

Pantauan acehkita.com di dua kecamatan basis GAM, yaitu Cot Keu-eueng, Kecamatan Kuta Baro, dan Desa Meureue, Kecamatan Indrapuri, warga menjalankan aktivitasnya secara normal. Di pasar Cot Keu-eueng, pemilik toko berjualan seperti biasa. Tidak ada raut ketakutan dan kecurigaan saat ada pendatang yang masuk ke wilayah itu.

Sementara itu, personel KPA Kota Sabang juga memperingati milad dengan doa bersama dan kenduri untuk anak yatim yang dipusatkan di kantor KPA yang ada di Kota Sabang. [efmg]

Senin, Desember 03, 2007

Penderita Hydrochepalus Butuh Bantuan


ACEH BARAT - Zulaikha, bayi berusia 12 bulan yang berasal dari keluarga korban tsunami menderita hydrochepalus (penumpukan cairan dalam otak) sejak lahir. Anak pertama dari Syarifah dan Bukairi ini sangat membutuhkan bantuan agar terbebas dari penyakit pembesaran kepala yang dideritanya.

Syarifah, ibu Zulaikha, saat ditemui wartawan di rumahnya di Desa Suak Geudeubang, Kecamatan Suak Timah, Aceh Barat, mengatakan, pernah berusaha mengobati sang buah hati ke Rumah Sakit Adam Malik Medan, Sumatera Utara, atas bantuan sebuah NGO asing yang menjalankan misi kemanusiaan di desanya.

Namun, Syarifah harus kecewa karena anaknya tidak bisa diobati. Menurut dokter, kepala Zulaikha tidak bisa dioperasi karena penyakit itu mengganggu saraf otak dan mata.

“Tidak bisa diobati, karena penyakit itu sudah mengenai saraf otak dan matanya,” kata Syarifah, Jumat (30/11) sore. “Kalau pun dioperasi, anak saya akan mengalami kebutaan atau malah gila.”

Syarifah mengaku sudah mengetahui tanda-tanda anaknya bakal menderita penyakit hydrochepalus saat memeriksa kondisi kandungan ke dokter. Akibatnya, Syarifah harus menjalani operasi caesar saat melahirkan Zulaikha. “Saya pasrah saja, karena itu memang kehendak Allah,” kata Syarifah sambil mengusap matanya.

Saat wartawan menyambangi rumah Syarifah, Zulaikha tampak ceria, seperti bocah normal lain. Namun, karena kepalanya yang membesar menyebabkan Zulaikha susah bergerak. Syarifah yang menggendong Zulaikha, berkali-kali harus menyangga kepala buah hatinya.

Zulaikha merupakan anak pertama pasangan Bukairi dan Syarifah, korban tsunami. Pasangan ini berasal dari keluarga miskin. Suaminya sudah tidak lagi bekerja sebagai penderes getah akibat didera komplikasi penyakit, setelah banyak tertelan air laut saat tsunami.

Syarifah dan Bukairi sangat berharap sang buah hatinya terbebas dari penderitannya. Namun, kehidupan ekonomi yang seret menyebabkan pasangan ini pasrah. “Kami sangat mengharapkan bantuan demi kesembuhan anak kami,” kata Syarifah. [efmg]

Minggu, Juni 10, 2007

Paradiso

Its look like in heaven, kata seorang teman saat menghabiskan sisa malam di Pantai Paradiso. Saya tak yakin dg ucapan itu. Tapi tak jadi soal, saya terus amati sekeliling pantai. Di keremangan malam nun jauh di lautan, saya melihat cahaya lampu. Itu adalah cahaya lampu dari kapal2 di perairan internasional yg melintas di Selat Malaka. Sabang memang berada di pintu masuk Selat Malaka yg menjadi jalur transportasi laut dunia. Dulu, kapal2 itu pasti singgah di Sabang, di pelabuhan bebas. Sabang jadi kota perdagangan internasional. Sabang ramai. Ekonomi rakyat menggeliat. Barang luar negeri dg mudah bisa diperoleh di sini. Sehingga, menjadi orang Sabang adalah kebanggaan. Tapi, sejak 1985, status pelabuhan bebas dicabut pemerintah, Sabang perlahan2 mati. Roda ekonomi berhenti. Rakyat jadi miskin, apalagi setelah harga cengkeh rakyat anjlok. Sabang jadi hilang di mata dunia, dari segi ekonomi. Ah, tak usah saya bnyak cerita ttg freeport. Pantai Paradiso memang indah. Di sini, malam berganti di tengah keramaian. Ada beberapa cafè yg buka sampai jelang pagi. Bnyak orang yg habiskan malam di sini, sekadar ngobrol dg teman atau menyantap makanan. Malam ini, saya dan teman makan mie Aceh yg pedas banget, sehingga perut saya ikut berirama. Saya tdk berani bilang makanan di sini enak, tp menikmati malam di sini memang patut dicoba sambil melihat hamparan laut di malam pekat, yg dari kejauhan dihiasi lampu berjalan. Lantas, kenapa disebut Paradiso? 'Di sini awalnya yg ada cafè dikasih nama paradiso,' kata teman dari Sabang. Mungkin itu sebabnya. Pantai ini memang indah.*** Paradiso, tengah malam.

Sabtu, Juni 09, 2007

Surga di Ujung Sumatera

Jelang siang, Sabtu (9/6), saya tiba di Sabang, setelah menempuh perjalanan hampir satu jam dg kapal cepat. Tiba di Balohan, saya langsung disambut ucapan selamat datang di baliho raksasa yg dipajang di pelabuhan. Tak jauh dari baliho, prasasti kmp gurita berdiri gagah, menantang sapuan angin laut. Ingatan saya melayang jauh ke tahun 1995, tahun tenggelamnya kmp gurita. Ratusan penumpang meninggal dlm tragedi itu. Hanya skitar 50 orang saja yg selamat setelah berjuang dg cara berenang, ditolong nelayan dan lumba2. Prasasti di pelabuhan itu unt mengenang mereka yg pergi dlm musibah mirip tragedi Titanic. Tak berlama2 di pelabuhan, saya dan puluhan teman menuju Ujung Kareueng. Di sini, seorang teman dikuburkan. Bukan korban Gurita. Tp, sang teman, Rufriadi SH, meninggal krn penyakit asma. Di 'rmh' barunya, kami menghadiahi seuntai doa, semoga rumahnya tetap diterangi pelita. Usai ziarah dan takziah ke rmh duka, saya bersama empat jurnalis memilih jalan2 menyusuri tempat indah yg tersedia di Pulau Weh ini. Kami ke Anoe Itam, yg pantainya ditaburi pasir hitam. Di sini, sambil menikmati deburan ombak dan bercengkrama di pantai, kami menikmati rujak yg maknyus banget. Kawan saya memakan rujak benteng itu dg lahap. Wah, rujak benteng? Disebut begitu krn dkt tempat jualan itu ada dua benteng peninggalan Jepang. Tak terurus. Padahal, bnyak turis lokal datang ke sini. Hari semakin senja. Kami kembali mengitari pulau. Wow, dari kejauhan saya melìhat matahari terbenam. Warnanya jingga. Saya sempatkan abadikan sunset dg handycam. Banyak warga Sabang yg datang ke arena Sabang Fair unt menikmati panorama sunset. Ada yg datang dg keluarga, teman, dan ada pula dg pacar. Tadi saya lihat dua anak muda sedang duduk berdua, rapat. Tak berapa lama, yg lelaki bersimpuh dan menyatakan, ah saya mulai menebak ya, cinta. Mereka berpegangan tangan. Seiring dg tenggelamnya mentari, si lelaki mengecup dahi pacarnya. Pertanda mereka jadian. Mereka sumringah. Kami pulang. Sabang, aku kan kembali.

Sabtu, Juni 02, 2007

Deadline

Saleum,

Sudah tiga malam terakhir ini saya begadang. Sekadar browsing internet, mengedit berita yang dikirim teman-teman di daerah. Dan, saat menulis blog ini, saya juga begadang. Pasalnya, saya harus merampungkan sejumlah tulisan untuk majalah. Ini tentu tugas berat, karena selama dua tahun ini saya sudah jarang menulis panjang: hanya berita pendek untuk situs. Hanya sesekali saja saya menulis laporan panjang.

Tentu, ini menjadi berat bagi saya, karena harus membiasakan diri lagi menulis laporan panjang. Uh, saya senang, kendati harus bekerja ekstrakeras supaya saya kembali bisa menulis tulisan jurnalistik yang panjang.

Sembari menulis blog ini, saya masih memperbaiki tulisan. Sebenarnya, tulisan itu sudah rampung, setelah berkutat selama dua jam. Tapi, saya mau mengecek lagi supaya lebih maksimal. ya, itung-itung supaya lebih lengkap dan terhindari dari salah ketik. pasalnya, selama ini saya sering mengatai-ngatai teman yang menulis diwarnai setaman salah ketik. Karenanya, saya harus lebih jeli di tulisan saya, hehehehe...

zzz... nguantuk,,, tapi mesti ada beberapa tulisan lagi yang belum selesai. Saya coba selesaikan malam ini satu, besok satu hingga selesai.

Udah dulu.. Saleum dari nanggroe berdaulat di ujung barat Sumatera.

Lambhuk, dinihari
020607

Jumat, Juni 01, 2007

Udin mundur dari BRDA

Kemarin, mata saya tertuju pada sebuah email ttg pengunduran diri. Pengirimnya orang yg kukenal, Akhiruddin. Bos Gerakan Antikorupsi itu mundur dari Badan Reintegrasi-Damai Aceh, krn dia sibuk dg kerja2 di GeRAK. Selain itu, dia bilang nanti takut adanya benturan kepentingan ant GeRAK dg BRDA. Saya bertanya2 ada apa di balik alasan itu? Apakah pengelolaan keuangan tdk beres? Atau ada aroma penyelewengan? Ah, entahlah. Yg jelas Udin bilang dia siap bantu supaya pengelolaan dana reintegrasi bisa lebih akuntabel dan transparan. Saya salut dg langkah Udin. Dia masih tetap ingin berkiprah di jalur pemberantasan korupsi. Tabek rakan. Lambhuk jelang jumatan.

Gone forever

Selasa (29.5) malam, Aceh kehilangan tokoh muda: Rufriadi, SH. Ia seorang aktivis yg dikenal dg konsistensinya membela masyarakat kecil. Saat pemerintah memberlakukan status darurat militer, dia tampil unt penolakan di saat banyak pihak diam. Dia jg tdk hengkang dari Aceh saat darurat. Sebelumnya, dia acap menjadi pengacara bagi anggota GAM yg bermasalah. Lima perundimg GAM dibelanya saat pengacara lain ogah. Sejak 3 Agustus 2006, dia bergabung dg BRR. Banyak pihak kecewa dg pilihannya. Tp dia tetap pd keputusannya, hingga akhir hayatnya. Selamat jalan sobat... Lambhuk, 1 Juni 2007.

Senin, Maret 26, 2007

EDITORIAL
Selesaikan Secara Hukum!

20 MARET 2007, menjadi awal hari kelabu bagi masyarakat Desa Alue Dua, Kecamatan Nisam, Aceh Utara. Kedamaian yang sempat mereka rengkuh selama dua tahun, sedikit terusik. Bagi warga Alue Dua, pasca-20 Maret menjadi hari yang berat. Mereka kembali dihantui rasa curiga jika ada orang asing yang masuk ke perkampungan mereka: terlebih jika berambut cepak. Warga juga tidak leluasa pergi ke ladang, seleluasa di masa damai. Singkat kata, kondisi berbalik 180 derajat.

Kondisi seperti ini terjadi setelah empat personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Kompi B Batalyon Infanteri 113/Jaya Sakti, Cunda, dianiaya oleh massa, entah siapa mereka. Saat itu, empat TNI yang berpakaian preman menginap di Sekolah Dasar Alue Dua, yang sedang dibangun oleh sebuah LSM, Save the Children. Warga menaruh curiga terhadap empat pria berambut cepak ini menginap di sana. Tak ingin berlama-lama, warga kemudian menginterogasi keempat pria itu.

Kepada warga, empat TNI ini mengaku sedang mengamankan pembangunan SD. Warga tidak percaya begitu saja. Mereka menggeledah tas hitam besar milik empat personel TNI itu. Betapa mengejutkan, di dalam itu ditemukan empat senjata laras panjang yang telah dibongkar. Sontak saja, entah siapa yang memulai, massa menganiayai keempat personel TNI ini. Mereka dituduh sebagai mata-mata atawa intelijen yang disusupkan ke Alue Dua. Alasan warga, kenapa masuk ke perkampungan dengan berpakaian preman dan membawa senjata secara sembunyi-sembunyi.

Tuduhan dan kecurigaan ini bukan tanpa alasan. Sebelumnya, di Kecamatan Sawang, Aceh Utara, dua personel Brimob dari Markas Brimobda 4 Lhokseumawe, dibal-bal massa, bersamaan dengan enam anggota jamaah tablig yang diduga menyebarkan ajaran sesat. Anggota Brimob ini bergabung dalam jamaah tablig. Warga menuding, jamaah membawa ajaran sesat. Apalagi, warga menemukan ada seorang jamaah yang bertato. Pertanyaannya, untuk tugas apa dua anggota Brimob itu bergabung dalam jamaah? Apakah keikutsertaan mereka sudah mendapat izin dari kesatuan? Inilah yang menyebabkan warga kemudian menuduh kedua anggota Brimob itu sebagai intelijen, yang disusupkan ke dalam jamaah tablig.

Kalau benar dugaan warga itu, kita tentu jadi bertanya-tanya: untuk apa masih ada operasi intelijen. Bukankah di Aceh tidak ada lagi pemberontakan? Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memang belum dibubarkan. Tapi yang perlu diingat bahwa, GAM dan kesatuan militernya telah menyatakan menerima Indonesia sebagai negara kesatuan mereka. Bila pun GAM masih berusaha memerdekakan Aceh, berarti mereka melabrak rambu-rambu kesepakatan damai yang telah ditandatangani di Helsinki, Finlandia.

Operasi intelijen di Aceh memang tidak diperlukan lagi. Jauh-jauh hari sebelum dua insiden itu terjadi, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf meminta Jakarta untuk menghentikan semua bentuk operasi intelijen yang sedang dilakukan di Aceh. Dia menjamin, di bawah kepemimpinannya Aceh tidak akan dimerdekakan. Ini adalah sebuah garansi yang diberikan oleh gubernur yang mantan pengatur strategi perang GAM. Pernyataan ini seakan menegasi sumpahnya saat dilantik pada 8 Februari lalu: akan menjalankan roda pemerintahan Aceh berlandaskan Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Singkat kata, GAM memang telah menerima entitas Indonesia sebagai kebangsaan mereka.

Aceh benar-benar telah kondusif. Roda kehidupan warga yang mendiami provinsi ini telah berputar normal. Warga sudah bisa pergi ke gunung, bepergian di malam hari, tanpa dihantui rasa takut akan terjebak dalam perang yang mematikan. Atau setidaknya terjebak pemeriksaan pasukan pemerintah dan gerilyawan di jalan-jalan. Kondisi kondusif ini telah dinikmati warga hampir dua tahun lamanya. Dan, kita semua masih ingin terus menikmati kedamaian ini.

Karena itu, kasus penganiayaan terhadap empat personel TNI dan –apabila benar-- operasi intelijen yang dilakukan di Aceh tidak bisa diterima. Penganiayaan itu telah mengusik kemanusiaan dan kedamaian kita. Betapa tidak, kejadian brutal itu terjadi saat usai perdamaian masih seumuran jagung dan labil. Kita tentu tidak ingin rasa damai yang telah kita rengkuh dalam dua tahun terakhir ini kembali hilang: yang pada akhirnya kita akan kembali pada kondisi berkecamuknya perang. Insiden Alue Dua merupakan kejadian paling serius yang terjadi setelah tim Aceh Monitoring Mission (AMM) di bawah komando Pieter Feith mengakhiri misinya pada 15 Desember 2006 lalu.

Kita semakin terusik saat membaca berita ada warga yang dipukul oleh TNI saat mereka berusaha mengungkap pelaku pemukulan rekan mereka. Jika benar, ini merupakan tindakan seperti saat perang masih menjadi raja di Aceh. Saat hukum masih tak kuasa melawan dominasi senjata dan mortir. Tentu, kita tidak ingin ada aksi balas dendam. Terlebih, setelah TNI meyakini penganiayaan itu didalangi oleh Komite Peralihan Aceh, wadah mantan kombatan GAM.

Melalui tulisan ini, Redaksi Situs Berita acehkita.com menyerukan semua pihak: TNI, Polisi, GAM, dan KPA untuk menyelesaikan kasus ini melalui proses hukum. Biarkan pihak kepolisian menangani kasus ini secara tuntas. Bantu tugas-tugas mereka untuk mengungkap dalang penganiayaan itu, biar semuanya menjadi jelas.

Kita tidak ingin kasus serius ini mengganggu –dan pada akhirnya-- akan merusak perdamaian yang sedang bersemi di Aceh: yang pada akhirnya masyarakat juga yang menanggung deritanya! Dan, kita berharap keinginan TNI, KPA, dan Polisi untuk menuntaskan kasus ini secara hukum serius adanya, bukan hanya pemanis bibir atau jargon politik semata. [A]

Minggu, Maret 04, 2007

Korban Tsunami Lahirkan Bayi Kembar Tiga

DARMI bin Teungku Cut Haji tidak henti-hentinya mengucapkan rasa syukur, setelah istrinya melahirkan tiga bayi sekaligus. Dia mengaku senang, karena ketiga bayi yang baru saja lahir itu bisa menjadi ganti ketiga anak perempuannya yang meninggal dalam bencana tsunami 26 Desember 2004 silam.

"Saya sangat senang sekali," kata Dami, 44 tahun, saat saya temui di ruang kerjanya di Banda Aceh, Rabu (28/2).

Kendati proses persalinan berlangsung normal, ketiga bayi perempuan itu kini masih berada dalam perawatan medis di Rumah Sakit Permata Hati Banda Aceh. Pasalnya, ketiga bayi itu mengalami kekurangan berat badan. Masing-masing mempunyai berat badan 1,1 kilogram, 1,5 kg, dan 1,6 kilogram saat lahir. Ketiga mereka masih dirawat di dalam inkubator di RS Permata Hati.

Darmi berkisah, saat tsunami yang memporak-porandakan Aceh pada 26 Desember 2004 silam, ketiga anak perempuannya meninggal dunia. Dia masih teringat saat seorang anak yang lepas dari tangannya saat berusaha diselamatkan.

"Anak yang ada di pegangan saya lepas digulung air tsunami. Saya juga sempat tergulung. Saya berusaha meraih kembali, tapi tidak berhasil," kenang Darmi.

Darmi sendiri mengalami luka serius akibat bencana yang menelan tak kurang dari 160.000 jiwa itu.

Setelah sempat hidup sebagai duda, pada 22 September 2005 silam, Darmi menikahi Mariati, 29 tahun, di Desa Lambaro Kaphe, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, hingga kemudian dikaruniai tiga bayi sekaligus.

"Saya senang sekali. Tiga anak perempuan saya yang meninggal, kini diganti dengan tiga anak perempuan lainnya," sebut Darmi, girang.

Ketiga anak yang baru lahir pada Rabu (22/2) lalu itu diberi nama: Nafara Ulfa, Khairun Nisa, dan Asmaul Husna. Nama anaknya yang Nafara Ulfa merupakan gabungan dari dua anaknya yang meninggal dalam musibah tsunami: Nafara Zika (5 tahun), Munira Ulfa (10), dan Rizki Diana Putri (11).

Mariati, istri Darmi, juga mengaku senang dengan kelahiran tiga putrinya sekaligus. "Saya senang. Ini bisa menjadi ganti bagi anak abang (suami)," kata Mariati sambil menyusui salah satu buah hatinya. "Semoga mereka selamat semuanya."

Mariati masih di RS Permata Hati, menemani dan menyusui ketiga buah hatinya yang masih kecil-kecil tersebut. Ini merupakan anak pertama Mariati. ***

NB. Cerita tentang ini telah dipublikasikan di acehkita.com dan The Associated Press (28.02.07)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting