Selasa, Juni 28, 2005

Aceh Interaktif


Aceh Interaktif sebuah medium untuk memberitakan Aceh dari berbagai sudut pandang, tidak hanya dari sudut pandang konflik, tapi juga berusaha menggali nuansa budaya, pariwisata, dan religiusitas yang membumi di kalangan rakyat Aceh.

Situs berita Aceh Interaktif dikelola secara profesional oleh beberapa jurnalis muda di Nanggroe Aceh Darussalam. Situs ini dibangun tidak dimaksudkan untuk menyatakan keberpihakan terhadap siapa pun, kecuali untuk kebenaran dan jurnalisme.

Dalam beberapa bulan ini, situs Aceh Interaktif, masih berada dalam tahap uji coba. Karenanya, masih ditemukan kekurangan di situs ini. Kami memohon pengunjung memakluminya. Insya Allah, dalam perjalanannya, kami akan terus menata dan mengisi situs ini, sesuai harapan para pengunjung sekalian. Karena bagaimana pun, Anda adalah mitra kami. Tanpa Anda, kami tidak ada artinya.

Sekali lagi, selamat berkunjung ke situs Aceh Interaktif. Kritik Anda sangat kami harapkan.

Wassalam,
Fakhrurradzie MG (Jakarta),
Yuswardi Ali Suud (Banda Aceh)

Senin, Juni 27, 2005

Mahkamah Syar’iyah Belum Berwenang Adili TNI/Polri

Laporan: Fakhrurradzie MG - Banda Aceh

Aceh Interaktif - Banda Aceh. Mahkamah Syar’iyah Nanggroe Aceh Darussalam belum bisa mengadili anggota militer (TNI dan Polri) yang melakukan pelanggaran syariah. Hal ini disebabkan, Mahkamah Syar’iyah belum menerima limpahan wewenang dari Mahkamah Agung.

“Itu masih ditangani oleh Pengadilan Militer. Pasalnya, Mahkamah Syar’iyah belum ada izin untuk melakukan itu,” kata Kepala Dinas Syariat Islam Nanggroe Aceh Darussalam, Teungku Alyasa Abubakar, ketika dihubungi Aceh Interaktif melalui sambungan telepon selular, Jum’at (24/6) sore.

Jika MA sudah memberi wewenang, sebut dosen di Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry ini, anggota militer yang melanggar hukum syariah pun, bisa diadili Mahkamah Syar’iyah. Namun, selama ini, lanjutnya, Mahkamah Syar’iyah baru menerima sebagian wewenang Pengadilan Negeri yang dilimpahkan MA. “Belum bisa diajukan ke Mahkamah Syar’iyah, karena belum dialihkan wewenangnya,” sebut mantan rektor IAIN Ar-Raniry ini. “Mudah-mudahan segera dilimpakan.”

Dia mengatakan, obyek hukum Mahkamah Syar’iyah adalah semua umat Islam yang berada di Aceh. “Semua muslim/muslimah di Aceh,” tegasnya.

Ketika disinggung termasuk TNI/Polri, Alyasa mengamininya. “Jika sudah dilimpahkan kewenangan oleh Mahkamah Agung,” tegasnya. Menurutnya, tidak tertutup kemungkinan, aparatur penegak hukum dan penjaga keamanan itu, juga bisa diadili di Mahkamah Syar’iyah ini. Asal, “sepanjang qanun sudah ada dan mengatur semua itu,” katanya. [aceh interaktif]

Samak akan Laporkan Pengendapan Jadup ke KPK

Laporan: Fakhrurradzie MG - Banda Aceh

Aceh Interaktif - Banda Aceh. Solidaritas Masyarakat Antikorupsi (Samak) mensinyalir, sebanyak Rp 253 miliar dari Rp 293 miliar dana yang diperuntukkan bagi uang jaminan hidup (jadup) mengendap. Dari sejumlah itu, baru sekitar Rp 38,197 miliar yang telah disalurkan kepada para pengungsi korban gempa dan tsunami.

J Kamal Farza, koordinator Badan Pekerja Samak, mengatakan, dana jadup itu baru disalurkan untuk tahap pertama kepada warga yang menjadi korban tsunami. Pun demikian, belum semua pengungsi menikmati pembagian jadup. “Masih ada pengungsi yang belum menerima jadup,” kata Kamal Farza dalam konferensi pers di Aceh Media Center Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Minggu (26/6).

Kendati mensinyalir adanya pengendapan jadup, Kamal mengaku tidak mengetahui di mana dana yang sejatinya diperuntukkan bagi korban tsunami itu, mengendap. “Kita belum tahu. Dan itu masih menjadi pertanyaan besar kita,” ujarnya kepada sejumlah wartawan yang hadir dalam konferensi pers itu.

Karenanya, Samak meminta pemerintah, khususnya Pemprov Aceh, harus menjelaskan di mana mengendap Rp 253 miliar dana jadup. “Pelaksana tugas Gubernur harus menjelaskan secara transparan penggunaan jadup ini,” sebutnya.

Di beberapa lokasi yang menjadi amatan Samak, banyak pengungsi yang belum memperoleh jadup. Hal ini setidaknya terjadi di Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Lhokseumawe, Bireuen, Pidie, dan beberapa kabupaten lainnya. Di Banda Aceh, sebut Kamal, ada korban tsunami yang sudah kembali ke desanya, tidak lagi mendapatkan jadup. “Menurut informasi yang didapat dari Kantor Camat Syiah Kuala, yang sudah pulang ke rumah tidak mendapatkan lagi bantuan berdasarkan surat edaran Plt Gubernur No. 360/153,” kata Kamal.

Bahkan, banyak pengungsi yang tidak mendapatkan jadup karena alasan kekurangan dana alokasi jadup. Ini berdalih membengkaknya jumlah pengungsi, sehingga harus dilakukan pedataan ulang. Yang parah, sebut Samak, di Bireuen pihak Satlak menyunat dana jadup mulai Rp 5.000 hingga Rp 10.000 per jiwa.

Sementara kasus di Sigli, Pidie, ada pengungsi yang hanya memperoleh Rp 74.000 atau Rp 75.000 per jiwa, karena alasan kekurangan dana jadup. Kasus di Lhokseumawe, kata Kamal, uang jadup digantikan dengan pemberian beras empat ons per hari.

Saat ditanya siapa yang harus bertanggungjawab terhadap pengendapan jadup ini, Kamal mengatakan, Pemprov Aceh lah yang harus bertanggungjawab. “Plt Gubernur Aceh harus bertanggungjawab. Karena apa yang dilakukan oleh Satkorlak dan Dinas Sosial, pertanggungjawabannya harus ke gubernur selaku ketua Satkorlak,” sambung Mukhtar Luthfi, aktivis yang getol membongkar korupsi Gubernur (non-aktif) Abdullah Puteh.

Atas temuan ini, sebut Kamal, pada Rabu nanti lembaga yang dipimpinnya akan mengadukan kasus pengendapan jadup ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi. “Akan kita laporkan temuan ini ke KPK,” ujar Kamal.

Digunakan untuk Kampanye
Sementara itu, Samak juga mensinyalir, dana jadup yang mengendap ini, juga akan dimanfaatkan pihak tertentu untuk melakukan kampanye terselubung untuk menghadapi pemilihan kepala daerah (Pilkada). “Kita khawatirkan, dana jadup digunakan oleh calon kepala daerah untuk kepentingan kampanye. Ini tidak mustahil dilakukan,” kata Kamal.

Samak mencontohkan, jadup periode Maret 2005, bagi korban gempa dan tsunami di Aceh Jaya, baru dibagikan saat Plt Gubernur Aceh, Azwar Abubakar, berkunjung ke sana. “Itu baru bulan Mei disalurkan,” sebutnya. “Kita nggak tahu ada apa ini.” [aceh interaktif]

Jumat, Juni 24, 2005

IFRC Temukan 17 Selongsong Peluru di Lokasi Penembakan

Laporan: Fakhrurradzie MG - Banda Aceh

Aceh Interaktif - Banda Aceh. International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC) menerjunkan satu tim ke Lamno, untuk melakukan investigasi penembakan Eva Yeung (20), relawan IFRC. Tim itu menemukan 17 selongsong peluru kaliber kecil di sekitar lokasi penembakan. Selain itu, mereka juga menemukan empat sampai lima lubang peluru di mobil yang ditumpangi Eva Yeung bersama Field Officer IFRC.

“Kita menemukan 17 selongsong peluru di sekitar lokasi kejadian,” kata Virgil Grandfield, jurubicara IFRC, saat ditemui Aceh Interaktif di kantor IFRC di Jalan Fatahillah, Banda Aceh, Jum’at (24/6).

Kendati menemukan selongsong peluru jenis kaliber kecil, namun Virgil mengaku tidak mengetahui jenis pelurunya. “Kaliber kecil. Kita tidak tahu jenisnya,” kata Virgil. “Kita sudah turunkan satu tim ke sana untuk melakukan investigasi. Namun kami tidak tahu, apakah ada pihak lain yang melakukan penyelidikan.”

Dalam menginvestigasi insiden ini, sebut Virgil, pihaknya tetap akan berkoordinasi dengan pihak pemegang otoritas di Aceh. “Kita tetap akan berkoordinasi. Kita akan investigasi sesuai dengan prosedur yang ada di sini,” sebutnya.

Virgil mengatakan, Eva Yeung tertembak saat hendak menyalurkan bantuan ke Lamno. Saat itu, relawan Palang Merah Hongkong ini membawa bantuan berupa makanan, perlengkapan bayi dan kelambu.

Namun, dalam perjalanan, tepatnya di sebuah desa yang berjarak 3,8 kilometer dari pusat Kecamatan Lamno. Eva yang mengendarai Toyota Land Cruiser warna putih dan berlambang palang merah ditembak sekitar enam sampai delapan orang bersenjata. “Kondisi saat itu sangat gelap. Hampir tidak ada cahaya penerang,” kata Virgil. “Hanya ada sekitar dua rumah di sekitar lokasi kejadian. Sekelilingnya hamparan sawah.”

Jurubicara IFRC ini sama sekali tidak mengetahui apakah pelaku pemberondongan mengetahui jika mobil yang ditumpangi Eva dan rekannya itu mobil palang merah. “Saya tidak yakin apakah mereka tahu itu mobil red cross,” lanjutnya.

Ketika ditanya apakah Eva tertembak karena terjebak kontak tembak antara pasukan TNI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Virgil mengatakan, tidak ada indikasi sedang terjadinya kontak tembak. “Tidak ada indikasi terjadinya kontak tembak. Tapi mungkin mereka tidak mengetahui itu kendaraan red cross,” ulangnya.

IFRC pun, sebut Virgil, tidak mengetahui siapa pelaku penembakan Eva Yeung itu. “Kami tidak tahu. Memang kami tidak tahu,” sebutnya.

Pascapenembakan itu, Virgil menegaskan, IFRC tetap akan melakukan misi kemanusiaan di Aceh. Namun, mereka akan membatasi traveling ke Lamno. “Tidak mengubah apa pun,” tegasnya.

Kondisi Eva Stabil
Virgil juga mengatakan, saat ini kondisi Eva sangat stabil. Semalam dia dievakuasi ke Singapura setelah mengalami perawatan di Rumah Sakit Geanegels Medan. Di Singapura, Eva dioperasi untuk mengeluarkan proyektil peluru yang bersarang di lehernya.

Menurut Virgil, Eva tertembak di leher. “Dia beruntung, peluru bersarang hanya satu millimeter dari tempat mematikan,” kata Virgil lagi. [aceh interaktif]

Kamis, Juni 23, 2005

26 Kasus Lumpuh Layu Mendadak di Aceh

Laporan: Fakhrurradzie MG - Banda Aceh

Aceh Interaktif - Banda Aceh. Dinas Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menemukan sebanyak 26 kasus lumpuh layu mendadak atau Acute Flexid Parelysis (AFP) di sepuluh kabupaten/kota di Aceh. Demikian disampaikan Kepala Humas Dinas Kesehatan, Muhammad Hasan, kepada Aceh Interaktif ketika ditemui di kantornya, Kamis (23/6).

Dari duapuluh enam kasus yang ditemukan, terbanyak ditemukan di Kabupaten Pidie, yang mencapai delapan kasus. Lima kasus ditemukan di Kota Lhokseumawe, tiga di Kota Langsa, dua di Aceh Besar, Tengah, dan Bireuen. Di Aceh Utara, Aceh Selatan, Singkil dan Bener Meriah, masing-masing satu kasus.

Menurut Muhammad Hasan, sebanyak limabelas kasus yang telah diterima hasil tes laboratorium, diketahui negatif terkena virus polio. “Yang lainnya masih menunggu hasil pemeriksaan laboratorium Puslitbangkes Jakarta,” katanya.

Lumpuh mendadak itu, sebutnya, sangat berbeda dengan polio. AFP ini bisa disebabkan oleh penyempitan saraf. “Jadi sangat berbeda dengan polio. Ini bukan polio,” terangnya. Dia mengatakan, gejala AFP bisa dilihat pada kondisi pasien yang mendadak lemas, panas dan kejang-kejang. Biasanya, kata Hasan, lumpuh mendadak ini menyerang di usia 15 tahun ke bawah.

Malaria
Selain itu, Dinas Kesehatan Aceh juga mencatat, sebanyak 4.287 kasus malaria di sembilan kabupaten/kota hingga pertengahan Juni 2005.

Pulau Simeulue merupakan kawasan terbanyak ditemukan kasus malaria, yaitu 1.676 kasus. Sementara di Aceh Tengah mencapai 836 kasus, Aceh Besar 639, Langsa 453, Aceh Tamiang 286, Aceh Barat Daya 265, Aceh Singkil 80, dan Aceh Utara 50 kasus.

Untuk mencegah penyebaran malaria ini, sebut Hasan, pihaknya sudah membagi-bagikan kelambu kepada masyarakat, melakukan penyemprotan di seluruh barak pengungsian dan di perumahan penduduk di Aceh Besar, Barat dan Aceh Barat Daya. “Yang paling penting adalah, memutuskan mata rantai dengan memberantas sarang nyamuk,” katanya.

Kendati tingginya temuan kasus malaria, Hasan mengaku tidak mempunyai data tentang adanya warga Aceh yang terserang demam berdarah. Padahal, di Bireuen, dua dokter terpaksa dilarikan ke rumah sakit di Medan dan Banda Aceh karena terserang demam berdarah. “Belum ada data sama saya,” katanya. [aceh interaktif]

Rabu, Juni 22, 2005

Pemilihan Presiden Mahasiswa IAIN Ar-Raniry, Kisruh

Laporan: Fakhrurradzie MG - Banda Aceh

Aceh Interaktif – Banda Aceh. Pemilihan Raya (Pemira) mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry untuk memilih Presiden Mahasiswa periode 2005-2006, berakhir dengan pembakaran kotak suara, Selasa (21/6). Sepuluh mahasiswa yang diduga berada di belakang pembakaran itu dimintai keterangan oleh Polresta Banda Aceh. Tujuh dari mereka adalah mahasiswa Universitas Syiah Kuala.

Pembakaran kotak suara terjadi di Tempat Pemungutan Suara (TPS) Fakultas Dakwah, Tarbiyah, dan D2 Fakultas Tarbiyah.

Ketua Komisi Pemilihan Raya (KPR) Rizky Aulia mengatakan, pembakaran kotak suara itu dilakukan oleh massa dari kubu Iskandar Usman AlFarlaki. Menurutnya, sebanyak 30-an massa dari kubu kandidat nomor dua itu mendatangi TPS No 6 di Fakultas Tarbiyah. Aksi itu dilakukan di saat beberapa petugas KPPS melaksanakan salat dhuhur.

Rizky menilai pembakaran itu dipicu oleh rasa frustasi kubu Iskandar Usman yang mengalami kekalahan di hari pertama pemungutan suara. “Hari pertama mereka hanya 262 suara. Sementara Zuanda mengantongi 419 suara,” kata Rizky ketika dihubungi Aceh Interaktif, Rabu (22/6). “Pembakaran itu dilakukan sebelum perhitungan suara.”

Menurutnya, pembakaran kotak suara itu dibarengi dengan pemukulan terhadap Mujiburrahman, petugas KPPS. “Anggota KPPS mencoba menyelamatkan kotak suara,” sebutnya.

Dia menolak jika dikatakan pembakaran itu dikarenakan sikap KPR yang tidak adil dalam penyelenggaraan proses pemilihan raya ini. “Tidak benar KPR tidak adil,” kilahnya. Menurutnya, KPR terdiri dari MPMI, pihak fakultas, dan UKM. Dia juga mempertanyakan, kenapa sekarang ini kubu Iskandar mengklaim pihaknya tidak adil. “Tidak ada indikasi itu semua,” sambungnya.

Kendati pemilihan itu sempat rusuh, sebut Rizky, pihaknya bersama MPMI dan rektorat telah menetapkan bahwa Pemira sudah berakhir. Berdasarkan berita acara pemilihan yang mereka buat, sebut Rizky, Zuanda keluar sebagai pemenang dalam pemilihan raya itu. “Iskandar Usman, didiskualifikasi,” katanya.

Suara yang dihitung, sebutnya, hanya suara yang luput dari pembakaran. “Hanya dari TPS di tiga fakultas lainnya,” kata Rizky.

Sementara itu, Iskandar Usman, salah seorang kandidat, mengatakan, pembakaran itu terjadi karena pihak KPR tidak netral dalam menyelenggarakan Pemira. Indikasi ini, menurut Iskandar, bisa dilihat pada pemilihan hari pertama. “Pada perhitungan suara pada hari pertama di Fakultas Tarbiyah, jumlah kertas suara lebih banyak dari jumlah pemilih,” sebutnya.

Dia menuding KPR memberi dukungan kepada Zuanda, kandidat nomor urut tiga. Alasan lainnya, sebut Iskandar, pada sesi debat kadidat, KPR tidak menyediakan sesi tanya jawab. “Ini dibatasi oleh KPR. Padahal tidak boleh,” kata Iskandar.

Iskandar menolak jika dikatakan pembakaran itu dilakukan hanya oleh massa pendukungnya. Pun demikian, dia tidak menutup mata jika ada pendukungnya yang terlibat dalam pembakaran. “Tidak tertutup kemungkinan ada massa kita yang melakukan pembakaran,” akunya. “Kita sudah bilang untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak menguntungkan kita,” elaknya.

Menurutnya, pembakaran TPS dilakukan oleh massa mahasiswa yang melihat ketidaknetralan dalam pelaksanaan pemilihan presiden itu. Katanya, massa khawatir akan terjadi manipulasi suara dalam perhitungan suara pada hari kedua. Pasalnya, tuding Iskandar, salah seorang pemegang kunci kotak suara adalah anggota KPR yang pro pada kandidat nomor urut tiga. “Akibat akumulasi itu, massa melakukan pembakaran kotak suara,” katanya. “Massa kecewa dengan tindakan KPR. Ada stigma seolah-olah yang melakukan pembakaran massa Iskandar.”

Mahasiswa angkatan 2000 ini menyesalkan sikap KPR yang melaporkan aksi pembakaran itu ke kepolisian. Menurutnya, konflik itu seharusnya bisa diselesaikan secara intern kampus. “Kenapa tidak dilaporkan ke pihak rektorat saja,” katanya.

Dia juga mempertanyakan kenapa dia dan massanya ditangkap aparat kepolisian. “Kenapa saya ditangkap. Penangkapan itu tidak ada alasan yang kuat,” katanya.

Iskandar Usman ditangkap aparat kepolisian dari Polsek Syiah Kuala yang berkantor di depan Biro Rektor IAIN Ar-Raniry. Dia ditangkap sekitar limabelas menit setelah aksi pembakaran terjadi, di asrama IKAPA (Ikatan Pelajar Peureulak). Sembilan kawannya, sebagian besar sedang berada di asrama itu saat penangkapan.

Dia sempat diinterogasi di Mapolsek Syiah Kuala, sebelum akhirnya diboyong ke Mapolresta Banda Aceh. Di Mapolresta, dia dan kawannya diinterogasi seputar kejadian pembakaran. Kepada polisi, dia menolak jika dikatakan dalang di balik kerusuhan itu. Setelah mengalami pemeriksaan marathon selama lima jam, akhirnya pada pukul 20.00 WIB, dia dan delapan kawannya dibebaskan. Sementara Feriadi, mahasiswa Fakultas Hukum Unsyiah yang mendukung Iskandar Usman, hingga berita ini diturunkan masih mendekam dalam tahanan Mapolresta Banda Aceh.

“Dia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penganiayaan anggota KPPS,” kata Iskandar.

Pantauan Aceh Interaktif di kampus IAIN Ar-Raniry, mahasiswa melangsungkan perkuliahan secara normal pascapembakaran kotak suara itu. Tidak ada tanda-tanda ketegangan antarsesama pendukung calon presiden. [aceh interaktif]

Selasa, Juni 21, 2005

Menneg LH: Cegah Illegal Logging dalam Rekonstruksi Aceh

Laporan: Fakhrurradzie MG

Aceh Interaktif - Banda Aceh. Menteri Negara Lingkungan Hidup Ir Rachmat Witoelar menegaskan kepada semua pihak yang terlibat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascatsunami, untuk mencegah terjadinya penebangan liar demi memasok kebutuhan kayu untuk rekonstruksi.

"Saya ingin mengingatkan semua pihak terhadap ancaman penebangan liar di kawasan Ekosistem Leuser dan hutan-hutan lindung yang selama ini menjaga keberlangsungan pasokan air untuk sungai-sungai di Aceh," wanti Rachmat Witoelar dalam pidato pembukaan Green Conference dan Green Expo di gedung Academic Activity Center Dayan Dawod Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Selasa (21/6).

Menurutnya, banyaknya kebutuhan kayu untuk membangun kembali Aceh akan memunculkan inisiatif untuk melakukan penebangan liar. "Tanda-tanda awalnya sudah teramati sejak beberapa bulan lalu di banyak tempat di Aceh. Kita perlu mencegah terjadinya "tsunami kedua" yang mungkin datang dari kawasan hutan yang gundul akibat penebangan liar untuk pasokan kayu di Aceh," tegasnya.

Selain itu, dia juga menekankan perlunya pelibatan masyarakat Aceh yang notabene-nya korban tsunami, dalam membangun kembali Aceh."Semangat warga Aceh untuk membangun kembali kehidupannya ini adalah modal awal pembangunan yang perlu dikembangkan sebagai tumpuan kerja yang lebih besar untuk membangun sebuah Aceh yang lestari, damai dan sejahtera," katanya.

Usai memberikan pidato di hadapan ratusan peserta Konferensi Hijau, Menneg LH didampingi Plt Gubernur Aceh, menyempatkan diri berkunjung ke stan Green Expo yang terdapat di lobby gedung pusat akademik itu. Banyak lembaga yang terlibat dalam rekonstruksi Aceh yang membuka stan di Green Expo.

Konferensi Hijau yang diselenggarkan Yayasan AcehKita dan Forum LSM Aceh sejak 21-23 Juni ini, mendapat dukungan dari Greenpeace, FFI, WWF, Ford Foundation, dan Pemda Aceh serta Kementrian Lingkungan Hidup sebagai tuan rumah. [aceh interaktif]

Green Conference Singgung Masalah Illegal Logging

Laporan: Fakhrurradzie MG

Aceh Interaktif – Banda Aceh. Yayasan AcehKita bekerjasama dengan Forum Lembaga Swadaya Masyarakat Aceh (Forum LSM) menggelar Konferensi Lingkungan Hidup atau Green Conference di Nanggroe Aceh Darussalam, sejak 21-23 Juni 2005.

Menurut rilis yang diterima Aceh Interaktif, konferensi ini bertujuan untuk mengangkat teladan serta prinsip lingkungan hidup dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascagempa dan tsunami.

Dalam konferensi yang diikuti peserta dari LSM dalam dan luar negeri, masyarakat dan unsur pemerintah itu, akan ikut membahas masalah pengadaan kayu yang dijadikan bahan bangunan dalam rekonstruksi Aceh.

Bruno Rebelle dari Greenpeace International mengatakan, konferensi ini juga akan membicarakan masalah kondisi lingkungan hidup, tak hanya di Indonesia, tapi juga di dunia, seperti Afrika, Amerika dan Eropa. “Masalah illegal logging juga akan ikut disinggung,” kata Bruno dalam konferensi pers di Pante Pirak Café Banda Aceh, Senin (20/6).

Penggunaan kayu ilegal dalam rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh mendapat sorotan tajam. Untuk menghindari penebangan liar, Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam bekerjasama dengan Greenomics, berusaha mendatangkan kayu impor. Pasalnya, dalam rekonstruksi ini, setidaknya dibutuhkan kayu sebanyak 2 juta meter kubik atau setara dengan empat kali Negara Singapura.

Frank Momberg, Direktur Fauna and Flora International (FFI), mengatakan, penebangan liar sangat parah melanda hutan-hutan di Indonesia, seperti hutan Kerinci (Jambi). “Di Aceh yang kurang, karena daerah ini dilanda konflik,” kata Frank Momberg dalam bahasa Indonesia yang fasih. [aceh interaktif]

Kamis, Juni 09, 2005

Mencapai Perbatasan [2]

TAK berapa lama, pria itu akhirnya diperkenankan kembali melanjutkan perjalanan. Seorang pria yang duduk tak jauh dari saya mengatakan, biasanya orang yang tak memiliki identitas, bisa kembali melanjutkan perjalanan setelah menyetor sejumlah uang. Namun, jaminan dari kernet dan sopir bus itu, lebih kuat.

Pelan tapi pasti, bus kembali melanjutkan perjalanan. Giliran mobil di belakang bus yang saya tumpangi diperiksa. Bus seakan merangsek. Sesampai di kawasan Sarah Teube, Peureulak, saya melihat seorang anak duduk di pinggir jalan sebelah kanan. Di seberangnya, beberapa aparat berseragam coklat, duduk sambil bercanda. Pak sopir melempar selembar seribuan, sambil memelankan laju kendaraan. Agak ke depan, dia membunyikan klakson, kepada aparat Brimob yang sedang bercanda ria.

Pak sopir menjelaskan, di kawasan itu aparat sering meminta uang kepada awak angkutan, termasuk truk barang. Melihat anak kecil itu, saya jadi terbayang tulisan seorang kawan, tentang Brimob-brimob Cilik yang beroperasi di sepanjang jalan Bireuen-Medan. Anak-anak digunakan “jasanya” untuk mengutip uang pungutan yang diberikan awak angkutan.

Selepas Sarah Teube, matahari mulai memancarkan sinar merah di ufuk barat. Pertanda, sebentar lagi, malam akan menjelang. Kami masih di sekitar kawasan Peureulak. Saya berpikir, kami akan berbuka puasa di Peureulak; sebuah daerah yang dikenal sebagai basis GAM, tempat Ishak Daud (alm), Panglima GAM wilayah Peureulak, bermarkas. Jalanan mulai sepi. Kedai-kedai di pusat Kecamatan Peureulak, sudah mulai ditutup.

Bus terus dipacu. “Kita buka puasa di Idi Rayeuek saja,” kata sopir.

Sebenarnya, saya mendambakan berbuka puasa di Peureulak. Karena ingin merasakan suasana malam menjemput di daerah panas itu. Saya ingin melihat bagaimana aktivitas masyarakat di daerah itu.

Memasuki Kecamatan Idi Rayeuek, lantunan ayat suci al-Quran dari meunasah dan masjid, mulai terdengar. Ini menandakan, beduk berbuka akan segera tiba. Kecepatan mobil terus dipacu. Tak berapa lama, pusat Kecamatan Idi Rayeuek, dicapai. Di sebuah warung kecil, yang sudah penuh dengan kaum muslim yang berbuka, bus berhenti. Tak jauh dari warung itu, sebuah mobil pikap patroli polisi, parkir. Rupanya, tak jauh dari sana ada sebuah markas polisi di tingkat kecamatan: Polsek. Sebuah surau (meunasah) juga terdapat di sana.

Para penumpang, bergegas turun. Saya yang duduk di bagian depan, mendapat giliran turun lebih awal. Saya langsung bergegas menuju warung. Setelah memesan susu dingin, saya pergi ke belakang warung. Di sana tersedia sumur dengan air yang dingin. Ada sebuah musalla di sana. Banyak orang yang menunaikan shalat Maghrib, sebelum menyantap makanan usai berbuka.

Setelah selesai di belakang, saya memesan nasi. Tak ada lagi menu. Habis! Hanya ikan bandeng dan udang sambal saja yang tersisa. Saya memilih yang terakhir. Tak ada kursi dan meja, tempat saya menyantap hidangan. Terpaksa, saya ke luar warung dan duduk di sana, sambil menikmati makanan khas Aceh. Saya puas, kendati makanannya tidak terlalu enak. Sudah empat bulan, ketika itu, saya tidak makan masakan Aceh.

***

Bus kembali melaju, melanjutkan perjalanan. Gelap sudah menguasai malam. Keadaan, benar-benar sunyi. Di sepanjang jalan menuju perbatasan Aceh Utara, hanya orang yang hendak menunaikan shalat Tarawih, yang lalu lalang. Tak ada aktivitas lain. Lantunan ayat suci dari menara-menara masjid, menambah khidmat suasana malam Ramadhan.

Di beberapa pos aparat keamanan, bus tidak melaju kencang. Saya memerhati tingkah polah sopir. Dia sudah begitu hafal di mana pos aparat berada. Bagi penumpang, penanda yang paling gampang adalah, nyala senter, saat bus melambatkan lajunya.

“Paling banyak di kawasan Aceh Timur. Kalau sudah masuk Aceh Utara, berkurang,” kata sopir.

Benar. Sepanjang Aceh Timur, pungli saat itu masih sangat banyak. Sayang, saya tidak sempat mencatat berapa pos yang meminta uang.

Memasuki Aceh Utara, suasana jalan masih lengang. Hanya lantunan suara ayat suci yang memecahkan keheningan malam. Di terminal Lhokseumawe, bus tak berhenti. Hanya mampir sebentar saja, kemudian langsung tancap gas. Penumpang yang hendak ke Banda Aceh, banyak.

Perasaan saya sudah agak lega. Kawasan Lhokseumawe, Bireuen dan Pidie, sudah familiar dengan saya. Beberapa kawasan panas, sudah saya petakan. Kawasan Kuta Makmur, Muara Batu (Aceh Utara), Peusangan, Peudada dan Batee Geuleungku (Bireuen), beberapa titik panas yang saya petakan.

Benar saja. Di depan markas Koramil dan Polsek Kecamatan Peudada, aparat koramil dan Polsek memeriksa identitas yang lalu lalang. Apalagi, kata seorang warga, sebelumnya sempat terjadi letupan senjata. Tidak diketahui apakah terjadi kontak atau tidak.

Saat pemeriksaan, seorang mahasiswa yang di perbatasan tidak memiliki KTP, kembali diperiksa panjang. Dia diturunkan oleh aparat keamanan dan dibawa ke markas militer. Kami menanti cemas. Sopir dan kernet mencoba membantu, meyakinkan aparat. Saya tidak tahu, apakah si pria itu memberi sejumlah uang, sehingga dia bisa lepas. Dari pemeriksaan itulah saya mengetahui, jika anak muda itu hendak pulang ke Sigli. Dia saat itu kuliah di sebuah perguruan tinggi di Bandung.

Setelah pemeriksaan usai. Saya memutuskan untuk memejamkan mata. Banda Aceh masih sangat jauh, sekira lima jam perjalanan lagi. Saya menduga, dinihari baru tiba di Banda Aceh. Saya mengirim pesan pendek kepada kawan di rumah kost. Meminta mereka untuk membukakan pintu rumah.

Selama dalam perjalanan Bireuen-Banda Aceh, saya terlelap.

Dinihari, kawan yang duduk di samping membangunkan saya. “Simpang Surabaya,” saya mendengar sang kawan bicara.

Setengah sadar, saya merogoh ransel yang ada di kaki. Dengan tergopoh, saya turun. Hampir saja terjatuh.

Malam sangat dingin. Becak mesin yang mangkal di Simpang Surabaya, saya gunakan untuk pulang ke rumah, yang tak jauh dari sana. Ternyata benar, kawan saya belum tidur! Mereka benar-benar menunggu saya. Kantung yang sedari tadi menyerang, tiba-tiba hilang. Hingga menjelang pagi, saya terus ngobrol dengan teman karib saya itu.

Welcome back to Banda Aceh, kata seorang kawan! [tamat]

Jakarta, 9 Juni 2005.
Nyaris setahun juga saya merampungkan bagian dua ini!

Mencapai Perbatasan [1]

Rabu, Juni 08, 2005

HRWG Minta TNI Tunduk pada Pemerintahan Sipil

Laporan: Fakhrurradzie

Aceh Interaktif, Jakarta. Tentara Nasional Indonesia (TNI) diminta tunduk pada setiap kebijakan politik yang diambil pemerintahan sipil, terutama kebijakan dalam penyelesaian kinfolk Aceh melalui perundingan.

Hal itu ditegaskan Human Rights Watch Group (HRWG), dalam siaran pers yang diterima Aceh Interaktif, Jum’at (3/6).

Selama masa perundingan damai antara RI dan GAM di Helsinki, Finlandia, sebut HRWG, TNI terkesan tidak mengikuti langkah yang ditempuh sipil, terutama dalam masalah gencatan senjata. Menurut HRWG, selama ini TNI mengambil jalan perang. “Tidak mau tunduk pada otoritas sipil, yang mulai membicarakan gencatan senjata,” sebutnya.

Sikap ini ditengarai bisa menimbulkan preseden bagi perdamaian di Aceh, termasuk iklim demokratisasi di Indonesia. “Ini adalah sinyal bahwa kekerasan akan terus berlanjut di Aceh, dan perdamaian yang diharapkan oleh masyarakat Aceh tidak akan terwujud,” tandas HRWG.

Jika sikap ini terus dipertahankan, maka dikhawatirkan akan berujung pada gagalnya proses perundingan dan perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam. HRWG lalu menyebut 57 kasus kontak senjata dan sejumlah pelanggaran yang terjadi di masa Jeda Kemanusiaan dan CoHA, sebagai contoh penyebab gagalnya perundingan.

Sebab itu, lembaga pemantau HAM yang bermarkas di Jakarta ini meminta Panglima TNI untuk tunduk pada keputusan politik pemerintahan sipil; dan mengingatkan Panglima TNI bahwa penggunanaan militer adalah otoritas keputusan politik sipil. “Panglima hanya melakukan saja kebijkakan tersebut, sehingga dalam proses perdamaian Aceh, TNI tidak memiliki posisi politik apa pun. TNI tidak bisa bikin kebijakan sendiri dengan alasan dan dalih apa pun, ” tulis HRWG. Lembaga ini juga meminta RI dan GAM untuk mengutamakan gencatan senjata untuk mewujudkan damai di Aceh. [aceh interaktif]

Demiliterisasi, FPDRA & Segera Tawarkan Konsep Integrasi GAM ke TNI

Laporan: Fakhrurradzie - Jakarta

Aceh Interaktif - Jakarta. Front Perlawanan Demokratik Rakyat Aceh (FPDRA) dan Solidaritas Gerakan untuk Rakyat Aceh (Segera) menilai pentingnya perumusan konsep demiliterisasi pascaperundingan damai Pemerintah Indonesia dan GAM. Bahkan, kedua lembaga ini menawarkan konsep mengintegrasikan pasukan GAM ke dalam kesatuan lokal TNI.

Ketua FPDR, Thamrin Ananda, mengatakan menyatukan kekuatan GAM ke dalam TNI menjadi sangat penting, jika perundingan damai di Helsinki menghasilkan sebuah keputusan politik. Jika penggabungan ini terjadi, maka nantinya bekas anggota GAM akan menjadi bagian dari prajurit TNI.

“Ini pernah berhasil seperti di Filipina dalam kasus Moro,” kata Thamrin Ananda dalam konferensi pers di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Jakarta, Selasa (7/6).

Proses pengintegrasian GAM ini, sebutnya, tetap harus melalui seleksi. “Ya, mereka harus juga diseleksi, dites kemampuan menggunakan senjata, kesehatan dan keanggotaannya diakui oleh GAM,” sebut dia.

Menurutnya, peleburan dua institusi militer yang saling bertikai ini menjadi penting dilakukan untuk menyelamatkan proses perundingan. Pasalnya, sebut pria yang akrab disapa Nanda, ini perundingan sering gagal saat para pihak mulai membicarakan proses demiliterisasi. Dia mencontohkan pengalaman kegagalan proses perdamaian di masa Jeda Kemanusiaan dan Cessation of Hostilities Agreement (CoHA/Kesepakatan Penghentian Permusuhan).

Jika sudah berada dalam satu institusi, sebut Nanda, pengontrolan terhadap kedua belah pihak akan mudah dilakukan. “Kalau diintegrasikan, mereka akan lebih terkontrol,” kata Nanda dibenarkan Arie Arianto, Ketua Presidium Segera.

Baik FPDRA maupun Segera tetap memandang perlu dilakukan pengawasan oleh lembaga internasional. “Untuk konsep ini, harus ada fase, misalnya selama lima tahun, mereka dimonitor oleh pihak asing. Supaya mereka bisa saling percaya dan tidak saling menyerang. Ini win-win solution.”

Selain menawarkan proses peleburan GAM ke dalam TNI sebagai langkah demiliterisasi, FPDRA dan Segera juga menawarkan dua opsi lain, yaitu penggudangan senjata yang diawasi pihak internasional, dan pelucutan senjata GAM, namun tidak diberikan kepada TNI. Tapi, “Digudangkan yang dikontrol oleh parlemen lokal,” tandas Nanda.

Selain itu, dalam masa demiliterisasi ini, FPDRA dan Segera meminta pemerintah menarik pasukan non-organik dan pengurangan jumlah pasukan organik sesuai dengan kebutuhan lokal.

Arie Ariyanto menambahkan, konsep demiliterisasi yang mereka tawarkan, tidak akan dengan mudah diimplementasikan di lapangan. Apalagi, selama ini ada pihak yang meminta pemerintah menghentikan dialog dengan GAM. Menurutnya, anggota DPR yang selama ini menolak perundingan, menjadi ganjalan serius untuk mewujudkan konsep ini. “Di DPR ada dua sikap anggota DPR. Ada yang asal oposisi, dan ada yang masih ambigu,” kata Arie.

Kendala lain diperkirakan datang dari Markas Besar TNI. “Juga, dari unsur pemerintah, yang memegang peranan di bidang pertahanan,” katanya. [aceh interaktif]

Demiliterisasi Pasca-Perundingan
FPDRA & Segera Tawarkan Konsep Integrasi GAM ke TNI

Laporan: Fakhrurradzie - Jakarta

Aceh Interaktif - Jakarta. Front Perlawanan Demokratik Rakyat Aceh (FPDRA) dan Solidaritas Gerakan untuk Rakyat Aceh (Segera) menilai pentingnya perumusan konsep demiliterisasi pascaperundingan damai Pemerintah Indonesia dan GAM. Bahkan, kedua lembaga ini menawarkan konsep mengintegrasikan pasukan GAM ke dalam kesatuan lokal TNI.

Ketua FPDR, Thamrin Ananda, mengatakan menyatukan kekuatan GAM ke dalam TNI menjadi sangat penting, jika perundingan damai di Helsinki menghasilkan sebuah keputusan politik. Jika penggabungan ini terjadi, maka nantinya bekas anggota GAM akan menjadi bagian dari prajurit TNI.

“Ini pernah berhasil seperti di Filipina dalam kasus Moro,” kata Thamrin Ananda dalam konferensi pers di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Jakarta, Selasa (7/6).

Proses pengintegrasian GAM ini, sebutnya, tetap harus melalui seleksi. “Ya, mereka harus juga diseleksi, dites kemampuan menggunakan senjata, kesehatan dan keanggotaannya diakui oleh GAM,” sebut dia.

Menurutnya, peleburan dua institusi militer yang saling bertikai ini menjadi penting dilakukan untuk menyelamatkan proses perundingan. Pasalnya, sebut pria yang akrab disapa Nanda, ini perundingan sering gagal saat para pihak mulai membicarakan proses demiliterisasi. Dia mencontohkan pengalaman kegagalan proses perdamaian di masa Jeda Kemanusiaan dan Cessation of Hostilities Agreement (CoHA/Kesepakatan Penghentian Permusuhan).

Jika sudah berada dalam satu institusi, sebut Nanda, pengontrolan terhadap kedua belah pihak akan mudah dilakukan. “Kalau diintegrasikan, mereka akan lebih terkontrol,” kata Nanda dibenarkan Arie Arianto, Ketua Presidium Segera.

Baik FPDRA maupun Segera tetap memandang perlu dilakukan pengawasan oleh lembaga internasional. “Untuk konsep ini, harus ada fase, misalnya selama lima tahun, mereka dimonitor oleh pihak asing. Supaya mereka bisa saling percaya dan tidak saling menyerang. Ini win-win solution.”

Selain menawarkan proses peleburan GAM ke dalam TNI sebagai langkah demiliterisasi, FPDRA dan Segera juga menawarkan dua opsi lain, yaitu penggudangan senjata yang diawasi pihak internasional, dan pelucutan senjata GAM, namun tidak diberikan kepada TNI. Tapi, “Digudangkan yang dikontrol oleh parlemen lokal,” tandas Nanda.

Selain itu, dalam masa demiliterisasi ini, FPDRA dan Segera meminta pemerintah menarik pasukan non-organik dan pengurangan jumlah pasukan organik sesuai dengan kebutuhan lokal.

Arie Ariyanto menambahkan, konsep demiliterisasi yang mereka tawarkan, tidak akan dengan mudah diimplementasikan di lapangan. Apalagi, selama ini ada pihak yang meminta pemerintah menghentikan dialog dengan GAM. Menurutnya, anggota DPR yang selama ini menolak perundingan, menjadi ganjalan serius untuk mewujudkan konsep ini. “Di DPR ada dua sikap anggota DPR. Ada yang asal oposisi, dan ada yang masih ambigu,” kata Arie.

Kendala lain diperkirakan datang dari Markas Besar TNI. “Juga, dari unsur pemerintah, yang memegang peranan di bidang pertahanan,” katanya. [AI]

DISCLAIMER:
Aceh Interaktif sebuah medium untuk memberitakan Aceh dari berbagai sudut pandang, tidak hanya dari sudut pandang konflik, tapi juga berusaha menggali nuansa budaya, pariwisata, dan religiusitas yang membumi di kalangan rakyat Aceh.

GAM Peureulak Janji Cari Pelaku Penculikan

Reporter: AK-1 - Jakarta

Jakarta, Acehkita. Pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Peureulak mengaku tidak bertanggungjawab terhadap penculikan Zulbahri, Kepala SDN Kuala Peudawa Puntong, Idi Rayeuek, Aceh Timur. Bahkan, mereka mengaku akan mencari pelaku penculikan sang kepala sekolah itu.

Jurubicara GAM Peureulak, Teungku Tjut Kafrawi, mengatakan pihaknya sama sekali tidak terlibat penculikan dan penyanderaan Zulbahri. Pasalnya, kawasan sekitar Desa Kuala Puntong, Idi Rayeuek, merupakan daerah yang “dikuasai” Marinir. “GAM tidak berada di belakang aksi ini,” kata Teungku Kafrawi ketika dihubungi acehkita, melalui telepon seluler, Selasa (7/6) siang. “Aksi-aksi (menuding GAM menculik) sudah sering dilakukan,” tambahnya.

Bahkan, dia mengatakan, GAM sangat bodoh jika berada di belakang penculikan ini. “Itu tindakan yang sangat bodoh,” katanya. Dia balik menuding aparat yang berada di balik penculikan ini. “Beberapa hari lalu, seorang pekerja tambak, Marhaban (35), diculik. Karena tidak bisa menyediakan uang tebusan, dia ditembak,” tudingnya.

Dia juga menegaskan, dalam melakukan aksi, pihaknya selalu mempertimbangkan efek terhadap proses perundingan damai dengan Pemerintah Indonesia di Helsinki, Finlandia. “Kami sangat menghindari tindakan yang dapat memprovokasi dan merusak perundingan damai,” lanjutnya.

Kafrawi juga berjanji akan mencari tahu siapa dalang penculikan Zulbahri. “Kami akan membantu mencari pelaku. Namun, kami tidak akan mampu untuk menangkap si pelaku. Tapi, kami akan cari tahu informasi siapa yang melakukan itu,” janjinya.

Ketika disinggung kemungkinan bawahannya tidak memberikan laporan, Kafrawi langsung membantah. “Apabila ada kejadian, setiap pukul 4-6 sore, saya selalu terima laporan. Paling lambat pada pukul delapan malam, kalau ada kejadian yang besar,” katanya.

Pun demikian, dia berjanji akan memerintahkan komandan lapangan di kawasan itu untuk menyelidiki kasus ini. “Saya akan minta komandan lapangan untuk menyelidiki kasus ini. Dalam 2x24 jam, saya akan cari pelakunya,” tegas Kafrawi.

Sebagaimana diberitakan situs ini kemarin, Zulbahri diculik sekelompok pria berpakaian loreng dengan menggunakan senjata campuran, pada Jum’at (3/6). Kini, dia dirawat di Puskesmas Idi Rayeuek, setelah dibebaskan penyandera, Minggu (5/6).

Menurut Nurjanah, suaminya diculik sekitar pukul 20.00 wib di rumahnya oleh dua belas orang bersenjata dengan menggunakan baju loreng. Lalu dia dibawa dengan berjalan kaki selama 6 jam dengan mata ditutup. “Saya tidak tahu dibawa ke mana, karena kedua mata saya ditutup,” ujar Zulbahri. Dia juga mengatakan selama dua hari dia disandera, dia dipindahkan dari satu kawasan ke kawasan lain sebanyak tiga kali. Zulbahri dibebaskan setelah keluarga menyanggupi sejumlah uang tebusan yang diminta penculik. “Saya tidak mau menyebutkan berapa jumlah uang tebusan, karena uang tersebut sudah saya anggap hilang,” ujar Nurjannah. [dzie]

Minggu, Juni 05, 2005

HRWG Minta TNI Tunduk pada Pemerintahan Sipil

HRWG Minta TNI Tunduk pada Pemerintahan Sipil

Laporan: Fakhrurradzie

Aceh Interaktif, Jakarta. Tentara Nasional Indonesia (TNI) diminta tunduk pada setiap kebijakan politik yang diambil pemerintahan sipil, terutama kebijakan dalam penyelesaian kinfolk Aceh melalui perundingan.

Hal itu ditegaskan Human Rights Watch Group (HRWG), dalam siaran pers yang diterima Aceh Interaktif, Jum’at (3/6).

Selama masa perundingan damai antara RI dan GAM di Helsinki, Finlandia, sebut HRWG, TNI terkesan tidak mengikuti langkah yang ditempuh sipil, terutama dalam masalah gencatan senjata. Menurut HRWG, selama ini TNI mengambil jalan perang. “Tidak mau tunduk pada otoritas sipil, yang mulai membicarakan gencatan senjata,” sebutnya.

Sikap ini ditengarai bisa menimbulkan preseden bagi perdamaian di Aceh, termasuk iklim demokratisasi di Indonesia. “Ini adalah sinyal bahwa kekerasan akan terus berlanjut di Aceh, dan perdamaian yang diharapkan oleh masyarakat Aceh tidak akan terwujud,” tandas HRWG.

Jika sikap ini terus dipertahankan, maka dikhawatirkan akan berujung pada gagalnya proses perundingan dan perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam. HRWG lalu menyebut 57 kasus kontak senjata dan sejumlah pelanggaran yang terjadi di masa Jeda Kemanusiaan dan CoHA, sebagai contoh penyebab gagalnya perundingan.

Sebab itu, lembaga pemantau HAM yang bermarkas di Jakarta ini meminta Panglima TNI untuk tunduk pada keputusan politik pemerintahan sipil; dan mengingatkan Panglima TNI bahwa penggunanaan militer adalah otoritas keputusan politik sipil. “Panglima hanya melakukan saja kebijkakan tersebut, sehingga dalam proses perdamaian Aceh, TNI tidak memiliki posisi politik apa pun. TNI tidak bisa bikin kebijakan sendiri dengan alasan dan dalih apa pun, ” tulis HRWG. Lembaga ini juga meminta RI dan GAM untuk mengutamakan gencatan senjata untuk mewujudkan damai di Aceh. [fakhrurradzie]

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting