Kamis, Juni 09, 2005

Mencapai Perbatasan [2]

TAK berapa lama, pria itu akhirnya diperkenankan kembali melanjutkan perjalanan. Seorang pria yang duduk tak jauh dari saya mengatakan, biasanya orang yang tak memiliki identitas, bisa kembali melanjutkan perjalanan setelah menyetor sejumlah uang. Namun, jaminan dari kernet dan sopir bus itu, lebih kuat.

Pelan tapi pasti, bus kembali melanjutkan perjalanan. Giliran mobil di belakang bus yang saya tumpangi diperiksa. Bus seakan merangsek. Sesampai di kawasan Sarah Teube, Peureulak, saya melihat seorang anak duduk di pinggir jalan sebelah kanan. Di seberangnya, beberapa aparat berseragam coklat, duduk sambil bercanda. Pak sopir melempar selembar seribuan, sambil memelankan laju kendaraan. Agak ke depan, dia membunyikan klakson, kepada aparat Brimob yang sedang bercanda ria.

Pak sopir menjelaskan, di kawasan itu aparat sering meminta uang kepada awak angkutan, termasuk truk barang. Melihat anak kecil itu, saya jadi terbayang tulisan seorang kawan, tentang Brimob-brimob Cilik yang beroperasi di sepanjang jalan Bireuen-Medan. Anak-anak digunakan “jasanya” untuk mengutip uang pungutan yang diberikan awak angkutan.

Selepas Sarah Teube, matahari mulai memancarkan sinar merah di ufuk barat. Pertanda, sebentar lagi, malam akan menjelang. Kami masih di sekitar kawasan Peureulak. Saya berpikir, kami akan berbuka puasa di Peureulak; sebuah daerah yang dikenal sebagai basis GAM, tempat Ishak Daud (alm), Panglima GAM wilayah Peureulak, bermarkas. Jalanan mulai sepi. Kedai-kedai di pusat Kecamatan Peureulak, sudah mulai ditutup.

Bus terus dipacu. “Kita buka puasa di Idi Rayeuek saja,” kata sopir.

Sebenarnya, saya mendambakan berbuka puasa di Peureulak. Karena ingin merasakan suasana malam menjemput di daerah panas itu. Saya ingin melihat bagaimana aktivitas masyarakat di daerah itu.

Memasuki Kecamatan Idi Rayeuek, lantunan ayat suci al-Quran dari meunasah dan masjid, mulai terdengar. Ini menandakan, beduk berbuka akan segera tiba. Kecepatan mobil terus dipacu. Tak berapa lama, pusat Kecamatan Idi Rayeuek, dicapai. Di sebuah warung kecil, yang sudah penuh dengan kaum muslim yang berbuka, bus berhenti. Tak jauh dari warung itu, sebuah mobil pikap patroli polisi, parkir. Rupanya, tak jauh dari sana ada sebuah markas polisi di tingkat kecamatan: Polsek. Sebuah surau (meunasah) juga terdapat di sana.

Para penumpang, bergegas turun. Saya yang duduk di bagian depan, mendapat giliran turun lebih awal. Saya langsung bergegas menuju warung. Setelah memesan susu dingin, saya pergi ke belakang warung. Di sana tersedia sumur dengan air yang dingin. Ada sebuah musalla di sana. Banyak orang yang menunaikan shalat Maghrib, sebelum menyantap makanan usai berbuka.

Setelah selesai di belakang, saya memesan nasi. Tak ada lagi menu. Habis! Hanya ikan bandeng dan udang sambal saja yang tersisa. Saya memilih yang terakhir. Tak ada kursi dan meja, tempat saya menyantap hidangan. Terpaksa, saya ke luar warung dan duduk di sana, sambil menikmati makanan khas Aceh. Saya puas, kendati makanannya tidak terlalu enak. Sudah empat bulan, ketika itu, saya tidak makan masakan Aceh.

***

Bus kembali melaju, melanjutkan perjalanan. Gelap sudah menguasai malam. Keadaan, benar-benar sunyi. Di sepanjang jalan menuju perbatasan Aceh Utara, hanya orang yang hendak menunaikan shalat Tarawih, yang lalu lalang. Tak ada aktivitas lain. Lantunan ayat suci dari menara-menara masjid, menambah khidmat suasana malam Ramadhan.

Di beberapa pos aparat keamanan, bus tidak melaju kencang. Saya memerhati tingkah polah sopir. Dia sudah begitu hafal di mana pos aparat berada. Bagi penumpang, penanda yang paling gampang adalah, nyala senter, saat bus melambatkan lajunya.

“Paling banyak di kawasan Aceh Timur. Kalau sudah masuk Aceh Utara, berkurang,” kata sopir.

Benar. Sepanjang Aceh Timur, pungli saat itu masih sangat banyak. Sayang, saya tidak sempat mencatat berapa pos yang meminta uang.

Memasuki Aceh Utara, suasana jalan masih lengang. Hanya lantunan suara ayat suci yang memecahkan keheningan malam. Di terminal Lhokseumawe, bus tak berhenti. Hanya mampir sebentar saja, kemudian langsung tancap gas. Penumpang yang hendak ke Banda Aceh, banyak.

Perasaan saya sudah agak lega. Kawasan Lhokseumawe, Bireuen dan Pidie, sudah familiar dengan saya. Beberapa kawasan panas, sudah saya petakan. Kawasan Kuta Makmur, Muara Batu (Aceh Utara), Peusangan, Peudada dan Batee Geuleungku (Bireuen), beberapa titik panas yang saya petakan.

Benar saja. Di depan markas Koramil dan Polsek Kecamatan Peudada, aparat koramil dan Polsek memeriksa identitas yang lalu lalang. Apalagi, kata seorang warga, sebelumnya sempat terjadi letupan senjata. Tidak diketahui apakah terjadi kontak atau tidak.

Saat pemeriksaan, seorang mahasiswa yang di perbatasan tidak memiliki KTP, kembali diperiksa panjang. Dia diturunkan oleh aparat keamanan dan dibawa ke markas militer. Kami menanti cemas. Sopir dan kernet mencoba membantu, meyakinkan aparat. Saya tidak tahu, apakah si pria itu memberi sejumlah uang, sehingga dia bisa lepas. Dari pemeriksaan itulah saya mengetahui, jika anak muda itu hendak pulang ke Sigli. Dia saat itu kuliah di sebuah perguruan tinggi di Bandung.

Setelah pemeriksaan usai. Saya memutuskan untuk memejamkan mata. Banda Aceh masih sangat jauh, sekira lima jam perjalanan lagi. Saya menduga, dinihari baru tiba di Banda Aceh. Saya mengirim pesan pendek kepada kawan di rumah kost. Meminta mereka untuk membukakan pintu rumah.

Selama dalam perjalanan Bireuen-Banda Aceh, saya terlelap.

Dinihari, kawan yang duduk di samping membangunkan saya. “Simpang Surabaya,” saya mendengar sang kawan bicara.

Setengah sadar, saya merogoh ransel yang ada di kaki. Dengan tergopoh, saya turun. Hampir saja terjatuh.

Malam sangat dingin. Becak mesin yang mangkal di Simpang Surabaya, saya gunakan untuk pulang ke rumah, yang tak jauh dari sana. Ternyata benar, kawan saya belum tidur! Mereka benar-benar menunggu saya. Kantung yang sedari tadi menyerang, tiba-tiba hilang. Hingga menjelang pagi, saya terus ngobrol dengan teman karib saya itu.

Welcome back to Banda Aceh, kata seorang kawan! [tamat]

Jakarta, 9 Juni 2005.
Nyaris setahun juga saya merampungkan bagian dua ini!

Mencapai Perbatasan [1]

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting