Selasa, Agustus 26, 2008

Yang (Masih) Terhempas Perang

Oleh FAKHRURRADZIE GADE
ACEHKINI Writer

“Saya tak mau urus lagi proposal bantuan. Ngapain, yang ada capek dan habis uang saja. Bantuan tidak cair juga,” kata Rasyidin, pasrah. Pria berusia 18 tahun itu merupakan korban perang yang belum memperoleh bantuan dari pemerintah. Sudah empat tahun ini, dia hidup dengan satu tangan.

Rasyidin hanya bisa pasrah. Warga Desa Paya Lipah, Kecamatan Peureulak, Aceh Timur, ini bukannya tak mencoba mengurus bantuan. Ia sempat beberapa kali coba peruntungan dengan mengirim proposal ke Badan Reintegrasi-Damai Aceh (BRA), lembaga yang mengurusi korban perang, tapi – itu tadi — bantuan tak kunjung cair.

Mei lalu, Rasyidin sedikit punya harapan, saat pamannya, Muhammad Jafar, meminta dia menyiapkan surat keterangan rumah sakit, surat keterangan korban konflik dari kepala desa setempat, dan surat dari sebuah lembaga hak asasi manusia di Aceh Timur.

Jafar lalu membawa proposal keponakannya ke kantor BRA pusat di Banda Aceh. Tunggu punya tunggu, bantuan tak juga cair. BRA malah minta Rasyidin mengantar proposalnya ke BRA Aceh Timur. Ia menyanggupinya.

“Katanya dana akan cair akhir Juli atau awal Agustus ini,” kata Muhammad Jafar, paman Rasyidin, kepada ACEHKINI, pertengahan Juni silam.

Tak cukup mengadu ke BRA, Jafar juga membawa nasib keponakannya ke Gubernur Irwandi Yusuf. Tapi, gubernur hasil pilihan rakyat pada 11 Desember 2006 silam, tak bisa berbuat banyak juga. “Responnya, saya disuruh tunggu bantuan dari BRA dulu. Kalau juga tak dapat, nanti gubernur janji akan mau bantu,” jelas Jafar.

Tak muluk-muluk sebenarnya bantuan yang diharapkan Rasyidin. “Saya hanya butuh modal untuk bisa bekerja, biar tidak mengharap belas kasih orang lain,” katanya saat majalah ini kembali mewawancarainya pada Juni lalu di rumahnya yang lebih mirip gubuk: berdinding papan bolong, beratap rumbia, dan lantai tanah.

Awal September tahun lalu, ACEHKINI menurunkan laporan soal nasib mereka yang terhempas perang. Rasyidin, bocah bertangan satu, menjadi seorang narasumber kami yang belum memperoleh bantuan dana dari pemerintah. Setahun berlalu, di saat damai sudah berusia tiga tahun, majalah ini kembali menurunkan cerita Rasyidin.

Semula, kami berharap kehidupan baru akan ditulis, yaitu cerita Rasyidin yang telah memperoleh bantuan. Tapi apa lacur, nasibnya masih sama seperti tahun sebelumnya. Bahkan lebih parah setelah ayahnya, Ali Basyah, meninggal dunia, akhir 2007.

Sepeninggal ayahnya, kondisi keluarga Rasyidin semakin memprihatinkan. Bersama abang dan adiknya, dia hanya bisa berharap pada ibunya yang menjadi pedagang kaki lima di Pasar Peureulak.

“Saya mau mandiri. Sekarang yang saya butuhkan hanya modal agar bisa bekerja,” kata Rasyidin. Suaranya tersendat-sendat. Matanya berkaca-kaca. “Kondisi satu tangan membuat saya menderita, tidak bisa bekerja apa-apa. Coba kalau saya punya dua tangan, utuh...”

Perang jahanam memang selalu menyisakan lara, bahkan untuk mereka yang tak tahu arti perang. Perang itu pulalah yang telah merenggut tangan kanan Rasyidin pada suatu pagi menjelang siang, 5 April 2004. Saat itu, desa di pesisir Timur Aceh itu sedang sepi. Para orang dewasa, laki-laki dan perempuan, sedang berkumpul di lokasi tempat pemungutan suara untuk pencoblosan di desa tetangga, berjarak sekitar dua kilometer dari Paya Lipah.

Saat itulah, Rasydin menemukan sebuah benda hijau seperti senter tergeletak di pinggir sawah, tempat tank Marinir terperosok sehari sebelumnya. Rasyidin juga menemukan 10 butir selongsong peluru dan dua peluru tank aktif di sana. Menurut warga, TNI meninggalkan tanknya di sana dan melanjutkan patroli berjalan kaki.

Rasyidin kemudian membawa pulang benda itu dan memamerkan kepada sejumlah temannya. Layaknya anak-anak, mereka pun bermain-main dengan benda tersebut di pekarangan rumah Zulkarnain Hasan, sepelemparan batu dari rumah Rasyidin.

Entah siapa yang mulai, mereka lalu mengorek sambil memutar bagian bawah benda berbentuk senter itu. Karena tidak terbuka, benda – yang tak mereka ketahui berbahaya itu— dihantam ke bangku panjang tempat mereka duduk. Ledakan keras membahana.

Akibatnya, delapan bocah tergeletak bersimbah darah. Memang, tak semua anak-anak imenderita luka parah. Yang paling parah adalah Rasyidin dan Marlinda, bayi berusia dua tahun. Selain tangan kanannya harus diamputasi hingga ujung bahu, Rasyidin juga menderita luka di sekujur tubuh dan kakinya. Sedangkan Marlinda, ususnya harus dipotong karena tertembus serpihan tabung pelontar.

Perang telah membuyarkan semua cita-cita Rasyidin. Padahal, bocah berkulit hitam ini berharap bisa mengeyam pendidikan tinggi, agar kelak bisa membahagiakan kedua orangtuanya. Tapi semua itu kini tinggal kenangan. Ia tak berani berangan-angan lagi. “Saya tidak berani sekolah lagi, malu. Ada kawan-kawan yang mengejek saya tangan buntung... Saya benar-benar tidak sanggup mendengarnya,” kata dia.

Rasyidin tak mau terus menerus jadi tanggungan ibunya. “Meudeh aneuk bi bu mak, njoe mak bi bu aneuk. Meunye mantong ubit laen (Seharusnya anak kasih makan orangtua, bukan sebaliknya. Kecuali kalau saya masih kecil),” ujar Rasyidin. Ia tak sanggup menahan kucuran airmatanya. “Kalau ada modal sendiri, saya mau buka usaha sama abang.”

Rasyidin hanya bisa menunggu penuh harap adanya secuil bantuan dari pemerintah. Entah sampai kapan penantiannya berakhir. [a]

Published on ACEHKINI, August 2008.

Sabtu, Agustus 23, 2008

Kado

Oleh FAKHRURRADZIE GADE
ACEHKINI Writer

Meski tak merayakan dengan pesta, layaknya ulang tahun, kami memperoleh kado teramat istimewa di usia merangkak ini. Rekan kami, Daspriani Y. Zamzami, menjadi finalis Mochtar Lubis Award. Dia menulis “Mencari Angka dalam Jerami” pada edisi Januari 2008. Laporannya bercerita soal nasib uang para korban tsunami yang tertahan di rekening bank.

Kabar itu membuat kami bangga. Bagi media besar dan sudah lama, penghargaan ini mungkin tak berarti apa-apa. Tapi bagi kami –sebuah media daerah dan baru setahun meramaikan dunia media— penghargaan ini menjadi alat pemicu agar kami lebih giat lagi, lebih menjaga kualitas, dan tentunya lebih patuh pada jadwal terbit yang telah kami susun.

Ajang Mochtar Lubis Award baru pertama diadakan tahun ini. Penyelenggaranya Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Jakarta. Ada yang bilang, ajang MLA ini mirip-mirip penghargaan Pulitzer bagi jurnalis di Amerika Serikat. Tapi, kami tentu tak berharap setinggi itu. Kami hanya berharap, tulisan yang disajikan dalam majalah ini berkelas, berkualitas, dan mendapat tempat di hati khalayak. Hanya itu.

Menjadi finalis MLA ini membuat kami cukup bangga. Apalagi kami bisa bersebahu dengan media besar dan terkenal sekelas Kompas, Majalah Gatra, dan Pikiran Rakyat. Yang membuat kami lebih bangga, tulisan “Mencari Angka dalam Jerami” membuat para dewan juri berdebat sengit. Dua juri bilang tulisan ini layak menjadi pemenang. Tapi kami akui, masih banyak kekurangan yang menghiasi laporan yang dipersiapkan buru-buru tersebut. Karenanya, kami tak ambil pusing saat para juri memantapkan hatinya pada laporan yang diturunkan Gatra untuk kategori pelayanan publik MLA tersebut.

“Kita tak ada target menang, masuk final saja sudah cukup,” kata Yuswardi Ali Suud, pemimpin redaksi majalah ini.

Kami tak ingin hanya menerima kado. Bulan Agustus ini, kami ingin memberi kado istimewa bagi seluruh rakyat Aceh. Sejak dua bulan lalu, kami telah mempersiapkan hadiah bagi peringatan tiga tahun perdamaian. Kado itu berupa majalah edisi khusus tiga tahun damai Aceh. Dalam laporan ini, kami mengangkat banyak sisi.

Ada cerita Farid Husain, Juha Christensen, dan Mahyuddin yang jadi pelaku lapangan untuk merintis upaya perdamaian antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Tiga orang ini –tanpa mengurangi upaya yang dilakukan pihak lain—sejak gagalnya perundingan CoHA pada 18 Mei 2003 menyusul diberlakukannya darurat militer di Aceh, mulai melanglang buana untuk menjajaki kembali perundingan antara GAM dan RI yang bertikai selama hampir tiga dekade.

Tak hanya cerita makcomblang perdamaian, edisi kali ini juga mengupas soal janji yang terbayar dan terutang. Kita tahu, tak semua butir-butir kesepakatan yang ada dalam Pakta Damai Helsinki telah diimplementasi. Undang Undang Pemerintah Aceh sebagai jabaran MoU Helsinki, juga belum sepenuhnya diimplementasikan. Banyak utang belum tertagih, yang masih menjadi aral di usia tiga tahun damai ini. Belum lagi soal persoalan reintegrasi yang tak kunjung selesai. Ada juga berbagai insiden kekerasan yang terjadi selama tiga tahun terakhir.

Kami juga meminta tulisan dari orang yang terlibat langsung dalam perundingan Helsinki. Ada tulisan penasihat politik GAM Damiens Kingsbury, Farid Husain dari Indonesia, Mukhtaruddin Yacob (jurnalis peliput perang), M. Nur Djuli (negosiator GAM). Sejatinya, pimpinan GAM lain menulis beberapa kolom. Kami meminta dari Bakhtiar Abdullah dan Munawarliza. Kami juga meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menulis artikel khusus. Tetapi, mereka belum sempat menulisnya karena kesibukan masing-masing. Munawarliza punya masalah: tulisannya hilang akibat flashdisknya rusak.

Walaupun kami menamakannya edisi khusus perdamaian, tetapi kami tak melupakan laporan lain. Ada lifestyle soal SPA yang mulai digandrungi perempuan Aceh, ada komunitas sepeda Ontel serta laporan-laporan menarik lainnya. Beragam cerita yang kami suguhkan agar Anda, tak bosan pada majalah yang cerdas mengulas ini. [a]

Published on Saleuem, ACEHKINI, August 2008.

Kado

Oleh FAKHRURRADZIE GADE
ACEHKINI Writer

Meski tak merayakan dengan pesta, layaknya ulang tahun, kami memperoleh kado teramat istimewa di usia merangkak ini. Rekan kami, Daspriani Y. Zamzami, menjadi finalis Mochtar Lubis Award. Dia menulis “Mencari Angka dalam Jerami” pada edisi Januari 2008. Laporannya bercerita soal nasib uang para korban tsunami yang tertahan di rekening bank.

Kabar itu membuat kami bangga. Bagi media besar dan sudah lama, penghargaan ini mungkin tak berarti apa-apa. Tapi bagi kami –sebuah media daerah dan baru setahun meramaikan dunia media— penghargaan ini menjadi alat pemicu agar kami lebih giat lagi, lebih menjaga kualitas, dan tentunya lebih patuh pada jadwal terbit yang telah kami susun.

Ajang Mochtar Lubis Award baru pertama diadakan tahun ini. Penyelenggaranya Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Jakarta. Ada yang bilang, ajang MLA ini mirip-mirip penghargaan Pulitzer bagi jurnalis di Amerika Serikat. Tapi, kami tentu tak berharap setinggi itu. Kami hanya berharap, tulisan yang disajikan dalam majalah ini berkelas, berkualitas, dan mendapat tempat di hati khalayak. Hanya itu.

Menjadi finalis MLA ini membuat kami cukup bangga. Apalagi kami bisa bersebahu dengan media besar dan terkenal sekelas Kompas, Majalah Gatra, dan Pikiran Rakyat. Yang membuat kami lebih bangga, tulisan “Mencari Angka dalam Jerami” membuat para dewan juri berdebat sengit. Dua juri bilang tulisan ini layak menjadi pemenang. Tapi kami akui, masih banyak kekurangan yang menghiasi laporan yang dipersiapkan buru-buru tersebut. Karenanya, kami tak ambil pusing saat para juri memantapkan hatinya pada laporan yang diturunkan Gatra untuk kategori pelayanan publik MLA tersebut.

“Kita tak ada target menang, masuk final saja sudah cukup,” kata Yuswardi Ali Suud, pemimpin redaksi majalah ini.

Kami tak ingin hanya menerima kado. Bulan Agustus ini, kami ingin memberi kado istimewa bagi seluruh rakyat Aceh. Sejak dua bulan lalu, kami telah mempersiapkan hadiah bagi peringatan tiga tahun perdamaian. Kado itu berupa majalah edisi khusus tiga tahun damai Aceh. Dalam laporan ini, kami mengangkat banyak sisi.

Ada cerita Farid Husain, Juha Christensen, dan Mahyuddin yang jadi pelaku lapangan untuk merintis upaya perdamaian antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Tiga orang ini –tanpa mengurangi upaya yang dilakukan pihak lain—sejak gagalnya perundingan CoHA pada 18 Mei 2003 menyusul diberlakukannya darurat militer di Aceh, mulai melanglang buana untuk menjajaki kembali perundingan antara GAM dan RI yang bertikai selama hampir tiga dekade.

Tak hanya cerita makcomblang perdamaian, edisi kali ini juga mengupas soal janji yang terbayar dan terutang. Kita tahu, tak semua butir-butir kesepakatan yang ada dalam Pakta Damai Helsinki telah diimplementasi. Undang Undang Pemerintah Aceh sebagai jabaran MoU Helsinki, juga belum sepenuhnya diimplementasikan. Banyak utang belum tertagih, yang masih menjadi aral di usia tiga tahun damai ini. Belum lagi soal persoalan reintegrasi yang tak kunjung selesai. Ada juga berbagai insiden kekerasan yang terjadi selama tiga tahun terakhir.

Kami juga meminta tulisan dari orang yang terlibat langsung dalam perundingan Helsinki. Ada tulisan penasihat politik GAM Damiens Kingsbury, Farid Husain dari Indonesia, Mukhtaruddin Yacob (jurnalis peliput perang), M. Nur Djuli (negosiator GAM). Sejatinya, pimpinan GAM lain menulis beberapa kolom. Kami meminta dari Bakhtiar Abdullah dan Munawarliza. Kami juga meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menulis artikel khusus. Tetapi, mereka belum sempat menulisnya karena kesibukan masing-masing. Munawarliza punya masalah: tulisannya hilang akibat flashdisknya rusak.

Walaupun kami menamakannya edisi khusus perdamaian, tetapi kami tak melupakan laporan lain. Ada lifestyle soal SPA yang mulai digandrungi perempuan Aceh, ada komunitas sepeda Ontel serta laporan-laporan menarik lainnya. Beragam cerita yang kami suguhkan agar Anda, tak bosan pada majalah yang cerdas mengulas ini. [a]

Published on Saleuem, ACEHKINI, August 2008.

Usai Jamuan di Sebuah Jambo

Oleh FAKHRURRADZIE GADE
ACEHKINI Writer

MAHYUDDIN baru saja tiba di Jakarta dari Kuala Lumpur saat Wakil Presiden Jusuf Kalla menghubunginya melalui telepon selular. Di ujung telepon, Kalla memberinya tugas khusus. “Mahyuddin, kamu harus meyakinkan orang lapangan agar mereka setuju dengan perdamaian,” pesan Kalla.

Tak buang waktu, Mahyuddin mencari tiket pesawat tujuan Medan. Bersamanya ikut Farid Husain, negosiator Indonesia di perundingan Helsinki. Dari Bandara Sukarno-Hatta Cengkareng, Tangerang, Banten, Mahyuddin dan Farid naik pesawat Garuda Indonesia penerbangan pertama. Kepergian mereka, tanggal 10 Agustus 2005 itu, ke Aceh, sangat rahasia. Mahyuddin tak memberitahu siapapun tujuan keberangkatan mereka kali ini. Begitu juga Farid, termasuk pada istrinya.


Sesampai di Bandara Polonia Medan, Mahyuddin dan Farid ketemu banyak tokoh Aceh. Tapi keduanya bungkam. Dari Medan, mereka naik penerbangan khusus milik ExxonMobil, perusahaan minyak raksasa asal Amerika Serikat (AS) – yang menguras isi perut bumi Aceh sejak awal 1970-an, dan mendarat di bandara Desa Nibong, Aceh Utara.


Dua kolega Mahyuddin telah menunggu dengan Kijang Innova. Mahyuddin dan Farid dibawa ke Masjid Nibong, tak jauh dari bandara milik Exxon. Satu truk yang biasanya digunakan untuk mengangkut batu dan pasir sudah siaga. Dengan truk inilah mereka akan menempuh perjalanan sepanjang 50 kilometer untuk bertemu Jurubicara Militer Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Sofyan Dawood.


Siang itu, Mahyuddin dan Farid bertemu Sofyan Dawood di Pante Bahagia, sebuah bukti di pedalaman Aceh Utara. Agendanya, melaksanakan tugas Jusuf Kalla untuk meyakinkan GAM lapangan, menerima keputusan pimpinan mereka di Swedia yang akan berdamai dengan Indonesia. “Kalau orang lapangan tidak setuju perdamaian, ini bakalan repot,” ujar Kalla kepada Mahyuddin.


Perjalanan ke Pante Bahagia melintasi medan berat: jalanan berbatu dan berbukit. Perasaan was-was menyelimuti kedua “pelobi” ini. Apalagi, sepanjang perjalanan, mereka menemukan puluhan pos TNI, Brimob, dan polisi. Mereka harus menempuh jalan tikus berliku, untuk menghindari pasukan pemerintah yang berjibun jumlahnya. Beruntung, selama perjalanan mereka tidak dihentikan aparat. Menurut Farid, setiap kali bertemu pos aparat, sang supir langsung mengangkat tangan dan memberi salam.


***


DUA tahun sebelum perjalanan ke Pante Bahagia, Mahyuddin sudah mulai terlibat dalam menjajaki upaya perundingan kembali antara GAM dan Indonesia. Suatu hari, dia dipertemukan dengan Farid oleh Sutejo Juwono, sekretaris menteri koodinator bidang kesejahteraan rakyat (Menko Kesra). Perkenalan antara Mahyuddin dan Farid berlangsung di Hotel Sahid Makassar. Mereka menghabiskan malam sambil bersantap ikan bakar.


Esok hari, keduanya menuju rumah Jusuf Kalla di Jalan Haji Bau, Makassar. Kalla saat itu menjabat Menko Kesra. Usai pertemuan itu, Mahyuddin dan Farid memulai “gerilya” mulai dari Aceh hingga Malaysia, Belanda dan Swedia untuk bertemu tokoh GAM. Mereka juga membangun jaringan dengan tokoh-tokoh di Aceh, termasuk para panglima GAM dan aktivis gerakan sipil.


Dari sekian banyak orang Aceh harus mereka temui, ada seorang yang tetap dikenang Mahyuddin sampai sekarang yakni Teungku Idi. Ia seorang lanjut usai yang menetap di Desa Tungkop, Darussalam, Aceh Besar. “Beliau pernah bilang kepada saya dan Farid saat kami bertemu tahun 2003 bahwa suatu hari nanti, Aceh pasti damai asalkan tidak ada pihak yang berkhianat,” ujar Mahyuddin, yang ditemui ACEHKINI di Plaza Senayan, Jakarta, akhir Juni lalu.


“Teungku Idi ialah orang yang diberi kelebihan oleh Allah untuk melihat masa depan. Atas permintaan Farid, beliau pernah meramal bahwa Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla akan jadi presiden dan wakil presiden Indonesia jauh sebelum pemilu 2004 digelar,” jelas Mahyuddin, sambil memperlihatkan “dokumen ramalan” tersebut.


Pria asal Pidie ini mengaku, dia selalu berharap agar Teungku Idi bisa melihat damai di Aceh. “Namun, ternyata Allah berkehendak lain. Pada hari Jumat, sebulan sebelum MoU Helsinki ditandatangani, Teungku Idi dipanggil oleh Yang Maha Kuasa,” tutur Mahyuddin.


Menurut Farid, perkenalannya dengan Mahyuddin semakin membuka jalan mendekati para tokoh GAM baik dalam maupun luar negeri. Memang tak diragukan hubungan Mahyuddin dengan tokoh GAM. Sampai-sampai Jusuf Kalla berujar pada Farid: “Dia itu bukan GAM, tetapi dia lebih GAM daripada GAM.” Namun kepada ACEHKINI, Mahyuddin menegaskan bahwa dirinya bukan anggota GAM.


***


KEMBALI ke kisah perjalanan Mahyuddin dan Farid untuk bertemu Sofyan Dawood. Sebelum mengirim “utusan khusus”, Jusuf Kalla mengontak Sofyan. Dia menanyakan apakah GAM lapangan mendukung keputusan pemimpin mereka di Swedia yang mau berdamai dengan pemerintah. Apalagi dalam putaran terakhir perundingan Helsinki, kedua pihak telah sepakat untuk meneken Pakta Damai.


Sofyan menjawab, pihaknya pasti akan mendukung apapun keputusan yang diambil petinggi GAM di Swedia. Untuk menguji komitmen Sofyan, Wapres mengirim Farid dan Mahyuddin bertemu muka dengan jurubicara militer yang juga Panglima GAM Wilayah Pasee. Selama ini, antara mereka telah terjalin komunikasi melalui telepon.


Kepada Kalla, Sofyan memberi jaminan keselamatan Mahyuddin dan Farid mulai dari bandara Exxon hingga bertemu dengannya dan sampai mereka kembali ke bandara. “Makanya, saya kerahkan pasukan di sepanjang perjalanan yang mereka lewati. Saya juga perintahkan pada pasukan GAM bila ada kejadian tak diinginkan, keselamatan Pak Farid dan Pak Mahyuddin harus diutamakan,” kata Sofyan.


Malah tanpa sepengetahuan Mahyuddin dan Farid, supir truk yang membawa mereka juga gerilyawan GAM, lengkap dengan senjata. “Saya pesan kepadanya dan pasukan yang mengamankan perjalanan bahwa keselamatan kedua orang itu adalah prioritas utama,” kata Sofyan kepada ACEHKINI, awal Agustus lalu.


Untuk mengelabui pasukan keamanan, Farid dan Mahyuddin menyamar sebagai toke pasir atau orang biasa sehingga aparat tak curiga. Itu pula alasannya, kendaraan yang membawa mereka ke tempat penantian Sofyan menggunakan truk pasir. “Jika mereka pakai Innova, pasti curiga aparat,” kata Sofyan Dawood.


Sesuai perjanjian, ungkap Mahyuddin, perjalanan baru mendekati “tempat penantian” Sofyan, setelah mereka bertemu orang bersepeda motor membawa jerigen. Benar saja, usai bertemu pembawa jerigen, mereka tiba di lokasi pertemuan dengan Sofyan. Dua tamu dari Jakarta itu disambut dan dipeluk Sofyan. Benar-benar penuh keakraban, layaknya teman dekat yang sudah lama tak bersua.


Sofyan mengaku telah mengenal Mahyuddin sejak tahun 2001. Tapi perkenalan hanya sebatas komunikasi melalui telepon dan tak pernah bertemu muka. Jadi, pertemuan di bukit Pante Bahagia dengan hembusan angin sepoi-sepoi adalah yang pertama mereka bertatap muka.


Pengamanan di lokasi berlapis. Mahyuddin memperkirakan, ada dua ratusan pasukan GAM mengamankan kawasan berbukit itu. Ada bersenjata lengkap. Ada berpakaian loreng, tak sedikit pula yang berpakaian preman. Mahyuddin pernah bertanya pada Sofyan soal pengamanan. “Kalau diserang, apa akan tembus ke sini?” tanyanya. “Tidak,” jawab Sofyan pasti.


Jawaban Sofyan membuat Mahyuddin dan Farid bernafas lega. Belakangan, Sofyan baru membongkar strategi pertemuan itu. Dalam bukunya, Farid menulis, Sofyan telah menyiapkan strategi evakuasi jika pasukan TNI menyerang. Bahkan ia mengaku “menyesal” menyiapkan pertemuan di sebuah ladang yang harus dicapai dengan mendaki. Apalagi untuk menuju tempat pertemuan, Sofyan dan pasukannya harus menempuh perjalanan selama tiga hari-tiga malam.


“Saya tidak sadari ternyata Pak Farid orangnya besar dan gemuk. Jadi, ketika saya melihat Pak Farid berjalan dan berusaha menggapai sesuatu di jalan mendaki, saya langsung memberikan tangan untuk menolongnya. Saya juga segera kontak teman yang berbadan lebih besar, sebab, kalau ada apa-apa, saya tidak bisa membawa lari Pak Farid yang berbadan besar. Tidak kuat,” kata Sofyan.


Di ladang berbukit itulah, Mahyuddin, Farid, dan Sofyan membahas soal perdamaian antara GAM dan Indonesia. “Saya tanya pada Sofyan, apa GAM lapangan mau menerima perdamaian?” ungkap Mahyuddin. Jawaban Sofyan sama seperti diberikan pada Kalla bahwa pasukan GAM mendukung keputusan pimpinan mereka di Swedia.


Untuk meyakinkan Mahyuddin dan Farid bahwa pasukan GAM lapangan menerima perdamaian, Sofyan langsung menghubungi Panglima GAM, Muzakkir Manaf. Kabar gembira ini juga disampaikan Farid kepada Jusuf Kalla. “Sofyan dan Pak Jusuf Kalla ngobrol di telepon. Lalu Sofyan menghubungi Muzakkir (Manaf) dan menyerahkan telepon pada Farid,” ujar Mahyuddin, yang masih terlihat gagah meski sudah berusia 63 tahun.


Pertemuan di sebuah bukit berlangsung akrab. Sofyan dan Farid terlibat perbincangan hangat. Sofyan menyuguhi mereka bersantap ketan kuning, ayam panggang, durian, rambutan, dan langsat, di sebuah jambo. Farid mengaku makanannya ckup lezat dan tanpa malu-malu, dia menyantap sampai kenyang.


Usai bertemu Sofyan, Mahyuddin dan Farid kembali ke Desa Nibong, melalui rute dan truk yang sama. Perasaan mereka lega. Tetapi, ketegangan masih tampak di wajah kedua pria ini. Sesampai di Masjid Nibong, Mahyuddin mengajak Farid merasakan kelezatan rujak khas Aceh, sembari menunggu pesawat tiba di Bandara ExxonMobil. Agak lama mereka menunggu pesawat, sehingga Mahyuddin kembali mengajak Farid makan di Lhoksukon, ibukota Aceh Utara.


Di sebuah warung nasi, ungkap Mahyuddin, Farid terlihat mondar-mandir. Ia gelisah, sampai-sampai, Farid tak mau makan. “Saya was-was juga, tapi bagaimana pun, ini kan kampung saya,” kata Mahyuddin.

“Ketegangan” sampai membuat Farid salah tingkah. Dia hampir saja memberi kartu nama pejabat negara pada seorang polisi yang menegurnya. Untung saja, Mahyuddin melihat dan mencegahnya. Ketegangan itu membuat Mahyuddin menitip pesan pada Ali Jauhari, teman yang menemaninya. “Kalau saya meninggal di sini, tolong bawa pulang jenazah saya ke Sigli,” pesan Mahyuddin. “Tolong juga kasih kabar kepada keluarga saya di Jakarta.” [a]

Nurdin Hasan and Yuswardi Ali Suud contributed to this report. Published on ACEHKINI, Agustus 2008.

Selasa, Agustus 05, 2008

Tradisi Mengenang Para Raja

Oleh FAKHRURRADZIE GADE dan CHAIDEER
ACEHKINI Writer

PAKAIANNYA serba hitam. Di kepa­lanya dililit kain kuning. Senampan nasi putih diletakkan di tengah-tengah balai yang sudah dipenuhi para tamu undang­an. Saat acara mulai, pria itu mengambil nasi dan menyuapi pria berbaju hitam yang me­ngenakan kupiah Meukeutop. Pria itu adalah Teuku Saifullah bin Teuku Hasymi el Hakimi, keturunan ke-13 raja Daya.


Saban tanggal 10 Dzulhijjah atau hari pertama lebaran Idul Adha, keturunan Kerajaan Daya menggelar upacara Seumeuleung. Upacara tahunan itu dipusatkan di makam Raja Alaiddin Riayatsyah di Gle Jong Desa Kuala Daya, Lamno, Kecamatan Jaya. Pada upacara tahun ini, Wakil Bupati Aceh Jaya Teungku Zamzami A. Rani menjadi tamu. Tetua adat Seumeuleung juga menyuapi mantan juru bicara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Meureuhom Daya itu.

Inilah tradisi yang dipelihara turun terumurun, dari tahun ke tahun. Tiap hari pertama Idul Adha, warga Lamno tumpah ruah di makam Po Teumeureuhom untuk menggelar upacara Seumeuleung. Biasanya, usai upacara dilanjutkan kenduri dengan menyembelih sapi atau kerbau.

Seumeuleung diperingati untuk me­ngenang para raja di Kerajaan Daya. Menurut Teuku Saifullah bin TH el Hakimi, upacara Seumeuleung diadakan tiap tanggal 10 Dzulhijjah pada pukul 10.00 WIB. “Ini untuk memperingati berdirinya Kerajaan Daya,” kata Saifullah kepada ACEHKINI.

Dia mengisahkan, Sultan Aceh mengutus Sultan Alaiddin Riayatsyah ke negeri Daya untuk mengatasi berbagai kemelut yang sedang dihadapi empat kerajaan kecil di sana, yaitu Kerajaan Kluang, Lamno, Kuala Unga, dan Kerajaan Kuala Daya. Tak lama setelah sampai di negeri Daya, Alaiddin Riayatsyah mengumpulkan keempat raja ini di Kerajaan Kuala Daya.

Di hadapan para raja, Alaiddin Riayatsyah berpidato dan mendeklarasikan berdi­rinya Kerajaan Daya. “Saudara-saudara, para raja. Hari ini, hari pertama Idul Adha, pukul 10, kita memperingati hari berdirinya negeri Daya. Semua masalah yang ada di negeri Daya harus diselesaikan dengan hukum Allah dan hukum adat. Kalau tidak bisa diselesaikan maka akan diserahkan kepada Kerajaan Aceh Darussalam,” kata Alaiddin seperti dikisahkan Saifullah.

Setelah mendeklarasikan Kerajaan Daya, Sultan Alaiddin Riayatsyah diangkat menjadi raja pertama. “Setelah itulah, Sultan Alaiddin Riayatsyah atau Po Teumeureuhom di-seuleung,” ujar Saifullah.

Syafrizal, seorang guru sekolah mene­ngah di Lamno, yang pernah meneliti tradisi Seumeuleung saat mengambil gelar Sarjana Pendidikan di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Perguruan Tinggi Serambi Mekkah Banda Aceh mengatakan, Seumeuleung pertama sekali digelar pada saat Sultan Umar bin Abbas dikukuhkan sebagai sultan di Kerajaan Daya. Dia kemudian bergelar Sultan Alaiddin Riayatsyah.

Masih menurut Syafrizal, dulu raja di­suapi kakeknya. Sedangkan kini dilakukan dua orang pengasuh (khadam/meungpeutimang po) yang berpakaian ala syaikh dari Arab. “Upacara Seumeuleung sebenarnya untuk menghormati pengangkatan Alaiddin Riayatsyah menjadi Sultan di negeri Daya,” kata Syafrizal.

Upacara seumeuleung selain diha­diri keluarga kerajaan dan rakyat, juga diha­diri sejumlah tamu penting dari negara lain. Seperti diketahui, Kerajaan Daya saat itu sudah menjalin hubungan bilateral dan multilateral dengan sejumlah negara, se­perti Amerika Serikat, Inggris, dan Portugis. Para raja dan tamu negara dijamu di sebuah balai (jambo).

Sebelum prosesi puncak seumeuleung, upacara dimulai dengan membagi-bagikan sirih (ranub gapu) kepada delapan meunaro (petugas di ruangan majelis). Para meunaro inilah yang meneruskan untuk membagikan sirih kepada anggota majelis. Disusul kemudian raja menyampaikan amanat tahunan yang berisikan nasehat tentang persatuan dan tertib hukum serta adat-istiadat. “Nah, di akhir upacara baru raja disuapi (seuleung) dengan nasi ketan,” kata Syafrizal.

Syafrizal menyebutkan, salah satu tradisi seumeuleung yang menarik adalah perebutan japan atau sisa-sisa hidangan. Ada kepercayaan japan berkaitan dengan nasib rezeki mereka. Bila mereka tidak berhasil mendapatkan japan, maka rezeki me­reka akan mampet selama 44 hari. Menurut Hasan Ibrahim, “Nasi japan ini dipercaya bisa menjadi obat bagi anak-anak.”

Bahkan, pada malam sebelum upacara seumeuleung dimulai, penjaga makam Po Teumeureuhom menyalakan tujuh lampu teplok yang terbuat dari tanah liat dan berbahan bakar minyak goreng. “Jika ketujuh lampu itu menyala dengan baik mereka percaya rezeki tahun ini akan berlimpah,” kata Syafrizal.

Lampu teplok itu diletakkan di tujuh segi. Mereka yakin, lampu itu sebagai pe­nanda rezeki mereka untuk masa depan. “Kalau misalnya nyala lampu yang diletakkan di sebelah laut terang benderang, maka dipercaya akan banyak hasil laut,” kata Saifullah, bapak beranak dua ini.

Versi berbeda dikemukakan Panglima Sultan Hasan Ibrahim, seorang keturunan Sultan Alaiddin Riayatsyah. “Pada awalnya upacara ini digelar sebagai pertanda bahwa agama Islam sudah tersebar ke seantero Kesultanan Daya dan Kesultanan Aceh,” kata Hasan Ibrahim saat ditemui ACEHKINI di Lamno, 26 Desember 2007.

Menurut Hasan Ibrahim, saat itu Sultan Alaiddin Riayatsyah menginstruksikan kepada empat pengawal kerajaan untuk me­ngenakan pakaian adat kerajaan yang serba hitam. Dua pria didandani menyerupai pengantin pria dan wanita (linto baro dan dara baro). Sementara dua lainnya bertugas sebagai dayang bagi para pengantin. Saat keduanya bersanding, sang istri mengambil sesuap nasi dari idang dan menyuapi suaminya. Setelah selesai, giliran suami menyuapi istrinya. “Begitulah awalnya tradisi seumeuleung dilakukan,” kata Hasan Ibrahim. Setelah prosesi “perkawinan” itu selesai, kata Hasan Ibrahim, raja beserta rakyat yang hadir di upacara itu makan bersama (kenduri).

Itu adalah cikal bakal lahirnya budaya seumeuleung di Kerajaan Daya. Masih menurut Hasan, pada awalnya upacara itu dilakukan oleh para pengawal kerajaan. Namun belakangan, setelah Po Teumeureuhom meninggal, prosesi itu diteruskan secara turun temurun oleh keturunan kerajaan. “Seumeuleung menjadi tradisi keluarga kerajaan dan diwariskan secara turun temurun. Tidak boleh oleh keluarga yang lain, kecuali keturunan raja sudah tidak ada lagi,” kata pria berusia 72 tahun itu.

Saat prosesi seumeuleung keluarga kerajaan mengenakan pakaian serba hitam. Hanya saja, orang laki-laki mengenakan kain sarung dan surban warna kuning. Sedangkan perempuan mengenakan busana yang menutup seluruh auratnya. “Baju hitam itu baju adat. Dulu semua tentara Kerajaan mengenakan baju hitam. Dan semua keluarga Po Teumeureuhom juga mengenakan pakaian hitam di lingkup kerajaan (dinas),” lanjutnya.

Sebelum prosesi seumeuleung dimulai, terlebih dahulu panglima (pemimpin acara) membacakan salawat dan ayat-ayat al-Quran. Setelah semua prosesi berakhir, dilanjutkan dengan kenduri dan doa bersama. “Kita mendoakan semoga Islam tetap maju di negeri Daya dan Aceh,” kata Hasan.

Tsunami yang melanda Aceh tiga tahun silam juga merembes pada pelaksanaan tradisi seumeuleung. Jika dulu panglima seumeuleung dan (keturunan) raja me­ngenakan jubah hitam yang dipadu dengan surban putih, kini atribut itu tak ada lagi. Perlengkapan seperti jubah hitam, pedang dan dalĂ´ng yang sering digunakan dalam ritual juga musnah dihanyutkan gelombang raksasa. Balai tempat prosesi ritual juga tak luput dari ganasnya gelombang gergasi.

Kendati Seumeuleung sudah menjadi tradisi di Lamno, tidak semua warga paham seluk beluk tradisi ini. Abdullah, misalnya. Dia mengaku tak terlalu paham makna seumeuleung. Bagi dia, seumeuleung hanya­lah cara mereka mengenang para raja. “Ini adalah cara kami mengenang raja,” kata Abdullah. Tapi, bagi Saifullah yang keturunan raja, seumeulueng punya makna lain. “Kalau tidak diperingati, kami takut akan kena ganjaran dari pendahulu kami.” [a]

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting