Rabu, Juni 10, 2009

Hore, Saya Dapat Wesel Pos

Fakhruradzie Gade

SIANG kemarin, Pak Pos menyambangi kantor kami, Aliansi Jurnalis Independen. Ini tempat berkumpulnya sejumlah jurnalis-lintas-media di Banda Aceh. Tak ada istimewa sih sebenarnya kedatangan Pak Pos. Karena dalam seminggu pengendara sepeda motor orange itu bisa dua atau tiga kali mengunjungi kami. Yah, apalagi kalau bukan ngantar buku, tabloid, paket, atau surat.

Kemarin itu, Pak Pos ngantar kiriman buku fotografi dari World Press Photo, lembaga penyelenggara lomba foto dunia, kepada Fauzan Ijazah, fotografer freelance yang juga ikut bergabung di acehkita.com dan Majalah ACEHKINI.

Satunya lagi, kertas mirip surat. Reza Fahlevi, yang menerima antaran itu, langsung menggabungkan kertas mirip surat itu ke paket buku. Namun setelah saya perhatikan dengan seksama, mata saya terbelalak.

Di kertas itu tertulis PT. ACEHKINI.

Oh, ini untuk perusahaan majalah yang kami asuh sejak Agustus 2007. “Ja, ini wesel.” Reza ikut-ikutan memerhatikan. “Wow, hare gene masih pake wesel?” ujar saya meniru cas-cis-cus anak muda zaman sekarang.

Ya, siang itu saya menerima kiriman wesel dari KITLV Jakarta. Ini adalah lembaga kebudayaan Belanda di Jakarta. Tiga pekan lalu, saya memang ditelepon orang dari KITLV Jakarta. Mereka tertarik untuk mengoleksi Majalah ACEHKINI dari edisi Aceh Under Cover hingga edisi Ancaman AIDS, yang terbit April 2009.

Saya lupa nama petugas dari KITLV tadi. Dia bilang, mendapatkan ACEHKINI saat rekannya berkunjung ke Banda Aceh. Nah, setelah membaca satu edisi tadi, dia dan rekan-rekannya di KITLV tertarik untuk mengoleksi majalah ini di perpustakaan KITLV. Kan selama ini, KITLV banyak mendokumentasikan berbagai foto dan material Aceh di zaman dahulu.

Misalnya saja, saya menemukan rupa Masjid Raya Baiturrahman yang masih satu kubah, dari KITLV. Foto jadul Bank Indonesia yang ada di samping Markas Polda, sekarang Mapoltabes Banda Aceh, juga dari KITLV. Berbicara Aceh jadul, koleksi KITLV boleh dibilang lengkap.

***

SAYA sudah lama tak bersahabat dengan Wesel Pos. Dulu, sekitar tahun 1995, saat saya masih di jenjang Madrasah Tsanawiyah Swasta di Lueng Putu, kawan-kawan saya sering mendapatkan kiriman wesel dari orangtuanya. Atau dari hasil ikut teka-teki silang dan kuis di Serambi Indonesia atau harian di Medan.

Wesel tadi digunakan untuk mencairkan uang di Kantor Pos yang terdapat di dekat lapangan Lueng Putu, atau dekat SMA 1 Lueng Putu. Kami sering bertandang ke sana, untuk menukar wesel dengan uang, atau sekadar berkirim surat dengan sahabat pena.

Keberadaan Wesel Pos semakin tergusur belakangan ini. Tak hanya Wesel, produk PT Pos Indonesia juga banyak yang tergusur belakangan ini. Berkirim surat atau paket, orang lebih memilik jasa kurir yang lebih cepat. Misalnya PT Tiki, PT Tiki JNE, Elteha, dan banyak jasa kurir lainnya.

Kalau sekadar berkirim surat atau bertukar kabar – yang dulu selalu menggunakan jasa PT Pos Indonesia, kini cukup mengandalkan telepon yang murah meriah. Bisa bersurat elektronik ria, ngobrol di ruang chat. Pokoknya serba canggih lah.

Kalau berkirim uang, ya selama ini semakin mudah dengan transaksi bank. Apalagi, kini semakin mudah dengan adanya e-banking atau m-banking.

Kecanggihan inilah yang semakin menggusur pengiriman tradisional, seperti Wesel Pos tadi. Sehingga teman saya, Munar, kebingungan cara mencairkan uang.

“Ini dibawa ke kantor pos?” tanyanya.

“Iya.”

“Kalau gak dikasih, gimana?”

“Oo, harus bawa KTP…” dia menjawab sendiri.

“Pake ID Card ACEHKINI,” saran saya.

Dia pergi dengan membawa-serta kertas Wesel Pos. “Hare gene,” teriaknya saat keluar ruangan. []

Senin, Juni 08, 2009

Ibarat Orang Pacaran

Oleh FAKHRURRADZIE GADE

“FARID,” kata Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Malik Mahmud, “saya percaya kamu. Tapi saya belum percaya Jakarta.”

Farid tersentak. Belum lagi negosiator mewakili Indonesia itu memberi jawab, Malik berujar, “Saya belum percaya sama orang yang berbaju hijau.”

Orang berbaju hijau yang dimaksud Malik Mahmud adalah TNI. Kecurigaan Malik tak berlebihan. Beberapa kali proses perundingan selalu gagal dan ujung-ujungnya pemerintah mengirim tentara ke Aceh untuk menumpas gerilyawan GAM.

“Pemerintah sekarang adalah tentara dan sipil,” ujar Farid coba meyakinkan Malik. “Kalau Teungku tidak percaya, ayo bicara dengan Pak Jusuf Kalla.”
Dialog antara Malik Mahmud dan Farid Husain berlangsung dalam sebuah Mercedez Benz saat menempuh perjalanan ke Lahti, kota kecil di pinggiran Helsinki, ibukota Finlandia, usai perundingan babak pertama, pada 29 Januari 2005. Usai pertemuan, empat perunding Indonesia dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Widodo Adi Sucipto, memilih pulang ke Jakarta, sedangkan Farid tetap bertahan di Finlandia.

Di pagi yang dingin itu, delegasi GAM terdiri atas Malik Mahmud, Zaini Abdullah, M. Nur Djuli bertandang ke Lahti untuk bertamu ke rumah Juha Christensen, tokoh kunci di balik perundingan Helsinki. Malik mengajak Farid ikut serta. Nur Djuli tak semobil dengan Malik. Dia dan teman-temannya memilih naik sedan lain.

Farid semula ingin semobil dengan perwakilan GAM lain, tapi Malik mencegahnya. Dia meminta Farid ikut dalam mobil yang ditumpangi bersama Zaini Abdullah, koleganya yang menjabat Menteri Luar Negeri dan Menteri Kesehatan GAM. Jadilah mereka bertiga dalam satu mobil. Farid duduk di tengah, sementara Malik di bagian kanan dan Zaini di kiri.

Perjalanan berjarak 100 kilometer, digambarkan Farid, berlangsung dalam suasana penuh keakraban. Canda dan tawa kerap hadir menyemarakkan kedua pihak yang selama ini berbeda aliran politik. Perjalanan itu dimanfaatkan Farid untuk lebih mendekati petinggi GAM. Dia berupaya keras untuk meyakinkan Malik dan Zaini soal komitmen pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla dalam menyelesaikan konflik Aceh secara damai.

“Dalam perjalanan itulah, saya banyak masuk,” aku Farid saat ditemui ACEHKINI di kantornya di kawasan Rasuna Said Jakarta Selatan, awal Juli lalu.

Farid mencoba menumbuhkan kepercayaan GAM terhadap Pemerintah Indonesia selama perjalanan. Menurut Farid, Malik sempat mempermasalahkan pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla di media, yang menyebutkan orang Aceh takut sama orang Makassar. Sebagai informasi, tiga tokoh kunci perundingan yaitu Jusuf Kalla, Farid Husain, dan Hamid Awaluddin merupakan “geng Bugis.”

“Pak Farid, kenapa Pak Jusuf bicara seperti itu,” ujar Malik.

“Teungku, saya kenal Pak Jusuf. Tak mungkin beliau bilang begitu,” jawab Farid.

Agar Malik percaya, Farid langsung mengambil telepon selular miliknya dan menghubungi Kalla. Telepon kemudian diberikan kepada Malik, sehingga keduanya bisa berbicara langsung. “Saat kami berhenti dan pergi ke WC, saya telepon Pak Jusuf Kalla. Pak Malik dan Pak Jusuf ngobrol bersama. Pak Jusuf bilang, itu biasa, wartawan salah kutip,” ujar dokter bedah itu. Perbincangan telepon itu mencairkan hubungan Malik dengan Jusuf Kalla.

Sebelumnya, Malik meminta supir menghentikan laju Mercedez yang membelah jalanan bersalju, agar mereka bisa buang air kecil dan membeli kembang serta oleh-oleh untuk Lisa, istri Juha Christensen. Usai membeli kembang, mereka melanjutkan perjalanan. Kesempatan itu digunakan Farid untuk kembali meyakinkan pihak GAM agar menerima otonomi khusus yang ditawarkan pemerintah.

“Teungku, terimakasih. Karena Teungkulah, kita semua sehat hari ini,” ujar Farid. “Kalau Teungku tidak ada di mobil ini, belum tentu mobil akan berhenti, sehingga kami tidak bisa buang air kecil.”

Tindakan Malik memberhentikan mobil digunakan Farid untuk meyakinkan bahwa GAM bisa mengendalikan negara ini, jika mereka mau menerima tawaran otonomi khusus. “Kalau Teungku mau ubah pemerintah,” kata Farid kepada Malik, “Teungku harus masuk dalam pemerintahan. Karena Teungku tidak mungkin mengubah jika berada di luar.”

***

FARID Husain dikenal pandai melobi, padahal dia bukan seorang diplomat. Juha menggambarkan sosok Farid sebagai orang yang tidak kenal kata menyerah. Pernah dua kali dia ditolak bertemu Malik cs, tapi Farid tak langsung patah arang. Dia berusaha mendekati mereka melalui lingkaran keluarga. Suatu ketika, Farid sengaja terbang ke Singapura untuk bertemu Amir, abang kandung yang sangat disegani Malik. Pada Amirlah, Malik menitip semua anggota keluarganya saat dia menetap di Swedia. Tak hanya keluarga Malik, Farid juga menjumpai keluarga Zaini Abdullah di Desa Teureubue, Kecamatan Mutiara, Pidie.

“Tidak mungkin begitu saja bisa ketemu mereka. Saya ketemu bapaknya Zaini. Saya bikin hubungan emosional dengan bapaknya,” beber Farid.

Tak cukup melobi GAM Swedia, Farid juga bergerilya bertemu beberapa kalangan. Menurut dia, ada lima faksi di tubuh GAM yang harus ditemui untuk menemukan kata sepakat karena keputusan dalam kelompok gerilyawan itu diambil secara kolektif. Faksi pertama adalah pasukan GAM di lapangan, kemudian GAM Swedia, kalangan (aktivis) sipil, “dutabesar” GAM di sejumlah negara, dan terakhir adalah para pemikir GAM (think tank). “Saya dekati satu per satu agar semuanya bilang iya, baru boleh ketemu,” ujar mantan dosen di Universitas Hasanuddin itu.

Farid juga terbang ke sejumlah negara untuk bertemu “dutabesar” GAM, semisal Fadhlun di Belanda, Yusra di Denmark. Pertemuan dengan para “dutabesar” ini, kata Farid, terbilang sulit. “Mereka sampai menggebrak meja, mereka menceramahi dan memaki-maki saya,” aku Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan ini. “Tapi saya harus bersikap tenang dan bertahan.”

Kepada para “dutabesar”, Farid bilang bahwa dia simpati dengan perjuangan yang sedang digelorakan. Dia kemudian menarik garis sejarah pemberontakan Andi Aziz dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Menurutnya, orang Bugis sudah dua kali melakukan pemberontakan terhadap republik dan menginginkan kemerdekaan.

“Selama ini mati satu per satu kita punya keluarga,” ujarnya mencoba meyakinkan pihak GAM. “Sekarang mari masuk bersama, kita urus negara ini. Buktinya, kami sekarang sudah pegang pemerintahan.”

Usai meyakinkan para pentolan GAM di pengasingan, menjelang penandatanganan Pakta Damai di Helsinki pada 15 Agustus 2005, bersama Mahyuddin, seorang warga Aceh yang dikenal dengan GAM lapangan, Farid bergerilya ke hutan di pedalaman Aceh Utara untuk menemui Jurubicara Militer GAM Sofyan Dawood.

Dalam upaya merintis hubungan dengan tokoh-tokoh GAM, Farid sempat beberapa kali berusaha menemui pucuk pimpinan tertinggi kelompok itu, Teungku Hasan di Tiro, di kediamannya di Stockholm, Swedia, tapi selalu gagal. Dalam bukunya, Farid mengakui bahwa tidak semudah itu untuk dapat menjumpai Hasan Tiro. Pertemuan Farid dengan deklarator Aceh merdeka baru berhasil terwujud empat bulan setelah Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki diteken.

Suatu hari bulan Desember 2005, Farid mendapat tugas bertemu Hasan Tiro, untuk mendiskusikan hal-hal yang sudah dicapai setelah kesepakatan damai. Selain itu, dia juga menyampaikan undangan dari Jusuf Kalla pada Hasan Tiro untuk menghadiri pertemuan segitiga antara pemerintah Indonesia, Martti Ahtisaari –mediator proses perundingan Helsinki— dan pimpinan GAM.
Farid menghubungi Malik untuk mengatur pertemuan dengan Hasan Tiro. Setelah mendapat lampu hijau, dia berangkat ke Finlandia. Bersama Juha, Farid bertolak ke Stockholm. Tiba di bandara, keduanya dijemput Malik dan sekretarisnya. Kemudian, mereka bersama menuju apartemen tempat Hasan Tiro di Norsborg, Stockholm.

Salju turun cukup deras, dan malam mulai menjelang saat mereka dalam perjalanan ke kediaman Hasan Tiro. Pikiran Farid melambung ke suatu hari akhir Agustus 2003 saat menjejak kaki di kawasan itu. Tetapi waktu itu dia tidak tahu apartemen Hasan Tiro, karena banyaknya bangunan di komplek tersebut.

Farid tidak ingat lagi Hasan Tiro tinggal di lantai berapa. Tetapi yang membesarkan hatinya, malam ketika mereka tiba di apartemen itu, Hasan Tiro turun menjemput di lobi. “Dia jemput dan antar saya ke lobi. Kata sekretarisnya, seumur-umur saya baru sekali ini ada yang begini. Semua orang Aceh menganggap saya, orang yang bisa dipercaya,” ujar Farid bangga.

Menurut sekretarisnya, tulis Farid dalam bukunya, biasanya Hasan Tiro menunggu tamunya di kamar apartemennya. “Saya dapat melihat senyum dan kegembiraan di wajah Hasan di Tiro ketika kami akhirnya berjabat tangan. Ia mengenakan setelan formal dengan jas berwarna coklat. Perawakannya kecil, tetapi wibawanya tak hilang karena itu,” kenang Farid.

Sambil mencicipi makanan kecil, dalam suasana penuh keakraban selama dua jam, mereka berdiskusi banyak hal. Hasan Tiro berulang kali menitip pesan agar kedua belah pihak memelihara perdamaian dan jangan mencederainya lagi.

“Saya bilang, saudara-saudara kita di Aceh ingin ayahandanya pulang,” tutur Farid seraya menambahkan, yang penting dalam perdamaian bersedia untuk kompromi dan harus bermartabat.

Ketika menyampaikan undangan dari Kalla untuk menghadiri pertemuan segitiga di Filandia, Hasan Tiro meminta maaf tak bisa datang karena alasan kesehatan. Sebenarnya, dia sangat ingin hadir dalam pertemuan tersebut, tetapi karena usianya sudah lanjut, dia sudah jarang keluar rumah, sebut Farid dalam bukunya.

Farid Husain menggambarkan lobi-lobi untuk meyakinkan GAM dari berbagai faksi, ibarat seorang pria yang sedang merayu belahan jiwanya. “Ini seperti orang pacaran. Kita tidak bisa main paksa,” katanya sambil tersenyum-senyum. [a]

Jumat, Juni 05, 2009

Istimewa Lebaran Bareng Upin dan Ipin

Oleh FAKHRURRADZIE GADE

Selain kocak, serial Upin dan Ipin bisa dijadikan film edukasi bagi anak-anak.

PERBINCANGAN itu terjadi di meja makan usai pengumuman datangnya bulan suci Ramadan. “Kalian berdua pun kena puase,” kata Opah.

“Hah, puase?” sergah Upin, terkejut. Tangannya berusaha menyentuh adik kembarnya, Ipin, yang lahap menyantap paha ayam goreng. Seketika, Ipin berujar, “Oh, boleh-boleh, boleh.” Dia terus melahap ayam goreng kesukaannya. Sementara Upin, masih bingung mendengar pernyataan Opah.

“Puase itu apa, Opah?” tanya Upin.

Dengan sabar, Opah menjelaskan pengertian puasa. Namun, Ipin terkejut saat Opah menyebutkan bahwa puasa tidak boleh makan dan minum mulai dari fajar sampai magrib.

“Hah, tak boleh makan?” sergah Ipin, masih dengan ayam goreng di tangannya. “Matilaaah,” lanjut Ipin.

Perbincangan di meja makan terus berlanjut. Upin belum puas dengan penjelasan yang diberikan Opah dan Kak Roes, kakaknya. Upin dengan lugunya lantas bertanya kenapa mereka harus berpuasa. Sekali lagi, Opah dengan bijak menjelaskan bahwa orang Islam diharuskan berpuasa di bulan suci Ramadan untuk menunaikan perintah Allah.

“Berpuasa itu Tuhan suruh, supaya kita tahu bagaimana rasanya orang miskin dan mereka yang kelaparan,” kata Opah.

Tak puas, Upin protes. Menurut Upin, mereka belum wajib berpuasa karena masih kecil. “Iyalah, kecil-kecil haruslah belajar puase,” jawab Opah.

Perbincangan tadi merupakan adegan dalam film animasi tiga dimensi, Upin dan Ipin, yang diproduksi Les’ Copaque, Malaysia. Pada bulan Ramadan ini, film animasi itu ditayangkan saban Jumat, Sabtu, dan Minggu di TV9.

Upin dan Ipin adalah serial animasi yang bercerita tentang kakak-beradik kembar berusia lima tahun. Ini pengalaman pertama mereka melaksanakan puasa di bulan Ramadan. Ceritanya disajikan sederhana dalam bentuk komik dengan nuansa kocak.

Dalam film 12 episode itu, Opah (dialihsuarakan oleh Hajjah Ainon) dan Ros (Ida Shaheera) memberikan petuah dan nasihat kepada Upin dan Ipin (Nur Fathiah). Nilai-nilai kebajikan yang ditanamkan Opah dan Kak Ros dalam film ini sangat mudah dimengerti anak-anak. Adegan dan dialog disajikan dengan kocak dan sederhana. Selain bercerita soal puasa, film Upin dan Ipin juga menyampaikan pesan-pesan edukasi dan nilai moral kepada anak-anak.

Pesan sosial, agama, dan moral yang disampaikan Upin dan Ipin sangat kaya. Dalam hampir semua scene, Opah dan Kak Ros memberi nasihat kepada dua kakak-beradik kembar ini. Lihat saja misalnya saat Fizi mencoba mempengaruhi Upin dan Ipin. Saat itu, Fizi bilang bahwa dirinya mendapat satu ringgit dari puasa setengah hari yang dilakoninya.

Mendengar “provokasi” Fizi, Upin dan Ipin seakan hendak mengajukan protes pada Opah. “Opah. Kawan Upin kan, dia puase satu hari dapat seringgit... Jadi Opah, pahamlah Opah,” kata Upin, malu-malu. “Tapi kata kawan Ipin, dia puasa setengah hari ke. Boleh ke Opah?” timpal Ipin.

Kesempatan ini digunakan Opah untuk menjelaskan bahwa puasa dilakukan dengan ikhlas, tanpa mengharap pemberian uang. Boleh-boleh saja, kata Opah, anak-anak semisal Upin dan Ipin berpuasa setengah hari. Tapi apa salahnya belajar untuk berpuasa sehari penuh. Penjelasan Opah ini membuat dua kakak-beradik yang lugu ini merasa malu dan akhirnya mereka bertekad untuk berpuasa penuh selama sebulan Ramadan.

Atau misalnya, saat Upin, Ipin, Mei Mei, dan Rajoo –empat bocah berbeda etnis dan agama—bermain di halaman rumah Opah. Usai bermain, Upin dan Ipin kelelahan. Rajoo (Kannan) yang kalah, mengajak Upin dan Ipin untuk membeli minuman dan makanan. Hampir saja dua kakak-beradik ini terbujuk ajakan Rajoo, sebelum akhirnya dicegah Mei Mei (Yap Ee Jean).

“Hei, kamu berdua kan puasa?” sergah Mei Mei, teman Upin dan Ipin yang beretnis Tionghoa.

Seketika Upin dan Ipin mengangguk.

“Alah, tak ape, orang tak tau,” kata Rajoo, keturunan India.

“Betol, betol, betol,” angguk Ipin, dengan gaya khasnya.

“Tak boleh, yu punya Tuhan tau. Nanti ya, yu punya Tuhan malah, mana boleh main-main,” kata Mei Mei, dalam logat Tionghoa yang kental.

Rajoo, Upin dan Ipin pun akhirnya membatalkan niat mereka membeli minuman.

***

FILM Upin dan Ipin ini sarat dengan nilai edukasi, sehingga layak menjadi hadiah bagi putra-putri Anda saat bulan Ramadan dan Idul Fitri. Les’ Copaque Production merampungkan produksi film animasi Upin dan Ipin pada Agustus 2007. Sebulan kemudian, film ini diputar di Channel 9, satu televisi swasta Malaysia.

Film ini mendapat sambutan hangat dari publik Malaysia. Tak hanya berjaya di negaranya, film ini melebarkan sayap di negeri jiran, Indonesia. Ramadan tahun lalu, Upin dan Ipin menyapa penonton TVRI. Namun Ramadan tahun ini, Upin menyapa penikmat TPI. Bahkan di Banda Aceh, Upin dan Ipin dijual bebas penjual cakram padat bajakan di pinggir jalan. Tak hanya itu, Upin dan Ipin juga dengan mudah bisa diunduh di Internet, termasuk situs resminya. Les’ Copaque juga sudah memproduksi Upin dan Ipin dalam versi bahasa Turki.

Direktur Kreatif dan Pemasaran Les’ Copaque Mohd Nizam Abdul Razak yakin animasi Upin dan Ipin yang mengangkat nilai tradisi dan budaya Malaysia akan mendapat sambutan hangat dari publik, tak hanya di Malaysia tapi juga bagi penyuka film animasi di belahan dunia.

“Serial film animasi terkenal, seperti animasi Doraemon dari Jepang, semuanya mengangkat tema budaya lokal, ketimbang budaya internasional. Kami percaya bisa melakukan hal yang sama dengan karya kami,” kata Mohd Nizam seperti dikutip In.Tech.

Nizam tak sesumbar. Selepas dirilis dan ditayangkan di TV9, serial Upin dan Ipin memperoleh penghargaan Film Animasi Terbaik pada Kuala Lumpur International Film Festival 2007. Sukses dengan Upin dan Ipin I, Les’ Copaque merilis Upin dan Ipin Season Dua: Setahun Kemudian. Film kedua ini diproduksi dalam enam episode, masing-masing berdurasi lima menit.

Sesi ini mengisahkan Upin dan Ipin telah duduk di bangku sekolah dasar. Lagi-lagi, tema besar yang diangkat soal pengalaman puasa dua anak kembar ini. Di beberapa bagian, Les’ Copaque menyisip tema soal budaya Malaysia, seperti pada Episode 9 yang berjudul Adat.

“Kami akan meningkatkan staf menjadi 100 orang akhir tahun ini, karena kami akan mengerjakan animasi ‘Pada Zaman Dahulu’ dan merampungkan keseluruhan 52 serial Upin dan Ipin,” kata Nizam. Sukses Upin dan Ipin juga membuat rumah produksi Les’ Copaque merilis animasi “Geng: Sebuah Petualangan”. Pemeran utama tetap si bocah kembar lugu: Upin dan Ipin, Kak Ros, dan teman-teman mereka.

Pembuatan animasi tiga dimensi Upin dan Ipin terinspirasi film animasi Toy Story yang diproduksi Disney-Pixar pada 1995 silam. “Ini benar-benar menginspirasi kami karena diproduksi saat tidak ada orang yang percaya tentang film animasi tiga dimensi,” kata Safwan, tim kreatif Les’ Copaque.

Penghargaan yang diperoleh film Upin dan Ipin mendongkrak reputasi rumah produksi Les’ Copaque. “Kami memulai film berdurasi pendek ini tahun lalu sebagai tes penerimaan pasar lokal dan untuk mengukur bagaimana reaksi terhadap kemampuan cara bercerita kami,” tambah Safwan.

Managing Director Les’ Copaque Burhanuddin Md. Radzi mengatakan, sambutan publik Malaysia terhadap Upin dan Ipin luar biasa. “Bagus sekali, karena anak di sini maupun di Indonesia merindukan animasi yang bisa mereka pahami dan menceritakan kehidupan mereka sehari-hari,” kata Burhanuddin kepada ACEHKINI.

Respon pasar ini membuat Les’ Copaque akan memproduksi Upin dan Ipin sebanyak 52 episode. Pada lebaran pertama ini, Upin dan Ipin episode 13 sampai 18 akan kembali diluncurkan.

Serial Upin dan Ipin memberi nuansa baru dalam dunia film animasi Melayu. Apalagi, temanya tidak mengekor sukses film animasi versi Nickelodeon atau Disney, yang sebenarnya tak pantas ditonton anak-anak. Film animasi Nick dan Disney kebanyakan mengangkat soal kekerasan, perkelahian, dan bahkan disajikan dengan bahasa yang sama sekali tak mendidik. Dan Upin & Ipin menyuguhkan warna lain: toleransi dan sarat pesan moral. [a]

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting