Rabu, Juni 08, 2005

Demiliterisasi Pasca-Perundingan
FPDRA & Segera Tawarkan Konsep Integrasi GAM ke TNI

Laporan: Fakhrurradzie - Jakarta

Aceh Interaktif - Jakarta. Front Perlawanan Demokratik Rakyat Aceh (FPDRA) dan Solidaritas Gerakan untuk Rakyat Aceh (Segera) menilai pentingnya perumusan konsep demiliterisasi pascaperundingan damai Pemerintah Indonesia dan GAM. Bahkan, kedua lembaga ini menawarkan konsep mengintegrasikan pasukan GAM ke dalam kesatuan lokal TNI.

Ketua FPDR, Thamrin Ananda, mengatakan menyatukan kekuatan GAM ke dalam TNI menjadi sangat penting, jika perundingan damai di Helsinki menghasilkan sebuah keputusan politik. Jika penggabungan ini terjadi, maka nantinya bekas anggota GAM akan menjadi bagian dari prajurit TNI.

“Ini pernah berhasil seperti di Filipina dalam kasus Moro,” kata Thamrin Ananda dalam konferensi pers di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Jakarta, Selasa (7/6).

Proses pengintegrasian GAM ini, sebutnya, tetap harus melalui seleksi. “Ya, mereka harus juga diseleksi, dites kemampuan menggunakan senjata, kesehatan dan keanggotaannya diakui oleh GAM,” sebut dia.

Menurutnya, peleburan dua institusi militer yang saling bertikai ini menjadi penting dilakukan untuk menyelamatkan proses perundingan. Pasalnya, sebut pria yang akrab disapa Nanda, ini perundingan sering gagal saat para pihak mulai membicarakan proses demiliterisasi. Dia mencontohkan pengalaman kegagalan proses perdamaian di masa Jeda Kemanusiaan dan Cessation of Hostilities Agreement (CoHA/Kesepakatan Penghentian Permusuhan).

Jika sudah berada dalam satu institusi, sebut Nanda, pengontrolan terhadap kedua belah pihak akan mudah dilakukan. “Kalau diintegrasikan, mereka akan lebih terkontrol,” kata Nanda dibenarkan Arie Arianto, Ketua Presidium Segera.

Baik FPDRA maupun Segera tetap memandang perlu dilakukan pengawasan oleh lembaga internasional. “Untuk konsep ini, harus ada fase, misalnya selama lima tahun, mereka dimonitor oleh pihak asing. Supaya mereka bisa saling percaya dan tidak saling menyerang. Ini win-win solution.”

Selain menawarkan proses peleburan GAM ke dalam TNI sebagai langkah demiliterisasi, FPDRA dan Segera juga menawarkan dua opsi lain, yaitu penggudangan senjata yang diawasi pihak internasional, dan pelucutan senjata GAM, namun tidak diberikan kepada TNI. Tapi, “Digudangkan yang dikontrol oleh parlemen lokal,” tandas Nanda.

Selain itu, dalam masa demiliterisasi ini, FPDRA dan Segera meminta pemerintah menarik pasukan non-organik dan pengurangan jumlah pasukan organik sesuai dengan kebutuhan lokal.

Arie Ariyanto menambahkan, konsep demiliterisasi yang mereka tawarkan, tidak akan dengan mudah diimplementasikan di lapangan. Apalagi, selama ini ada pihak yang meminta pemerintah menghentikan dialog dengan GAM. Menurutnya, anggota DPR yang selama ini menolak perundingan, menjadi ganjalan serius untuk mewujudkan konsep ini. “Di DPR ada dua sikap anggota DPR. Ada yang asal oposisi, dan ada yang masih ambigu,” kata Arie.

Kendala lain diperkirakan datang dari Markas Besar TNI. “Juga, dari unsur pemerintah, yang memegang peranan di bidang pertahanan,” katanya. [AI]

DISCLAIMER:
Aceh Interaktif sebuah medium untuk memberitakan Aceh dari berbagai sudut pandang, tidak hanya dari sudut pandang konflik, tapi juga berusaha menggali nuansa budaya, pariwisata, dan religiusitas yang membumi di kalangan rakyat Aceh.

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting