Minggu, Juni 10, 2007

Paradiso

Its look like in heaven, kata seorang teman saat menghabiskan sisa malam di Pantai Paradiso. Saya tak yakin dg ucapan itu. Tapi tak jadi soal, saya terus amati sekeliling pantai. Di keremangan malam nun jauh di lautan, saya melihat cahaya lampu. Itu adalah cahaya lampu dari kapal2 di perairan internasional yg melintas di Selat Malaka. Sabang memang berada di pintu masuk Selat Malaka yg menjadi jalur transportasi laut dunia. Dulu, kapal2 itu pasti singgah di Sabang, di pelabuhan bebas. Sabang jadi kota perdagangan internasional. Sabang ramai. Ekonomi rakyat menggeliat. Barang luar negeri dg mudah bisa diperoleh di sini. Sehingga, menjadi orang Sabang adalah kebanggaan. Tapi, sejak 1985, status pelabuhan bebas dicabut pemerintah, Sabang perlahan2 mati. Roda ekonomi berhenti. Rakyat jadi miskin, apalagi setelah harga cengkeh rakyat anjlok. Sabang jadi hilang di mata dunia, dari segi ekonomi. Ah, tak usah saya bnyak cerita ttg freeport. Pantai Paradiso memang indah. Di sini, malam berganti di tengah keramaian. Ada beberapa cafè yg buka sampai jelang pagi. Bnyak orang yg habiskan malam di sini, sekadar ngobrol dg teman atau menyantap makanan. Malam ini, saya dan teman makan mie Aceh yg pedas banget, sehingga perut saya ikut berirama. Saya tdk berani bilang makanan di sini enak, tp menikmati malam di sini memang patut dicoba sambil melihat hamparan laut di malam pekat, yg dari kejauhan dihiasi lampu berjalan. Lantas, kenapa disebut Paradiso? 'Di sini awalnya yg ada cafè dikasih nama paradiso,' kata teman dari Sabang. Mungkin itu sebabnya. Pantai ini memang indah.*** Paradiso, tengah malam.

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting