Minggu, Agustus 21, 2005

Cape dan Kabar dari Nanggroe


Tidur malam ini tidak terlalu lelap. Padahal, jam 11 malam, saya sudah beranjak ke peraduan. Menjelang pukul 01 dinihari, saya terbangun, karena bunyi nada dering HP yang ada di atas lemari. Saya lirik jam di HP satunya lagi, 00.57 WIB.

"Siapa gerangan," batin saya.

Begitu mengangkat HP, tak ada jawab dari seberang. Terputus. Mungkin si penelpon sudah lama menelpon. Nomor itu tidak bernama.

Saya kembali merebahkan badan, setelah meminum setengah gelas air putih yang sudah kupersiapkan sejak beranjak tidur. Suasana malam tadi, gerah. Sebelum kembali menjemput mimpi, saya memencet beberapa digit nomor yang menghubungi saya di dinihari itu.

"Ooo..." kata saya setelah mengetahui siapa yang melakukan panggilan.

Memang, sejak usai Isya, saya mengirim SMS kepada kawan untuk mengabari kabar penting. Kabar itu berupa amanah. Dan, alhamdulillah, saya sudah menyampaikan amanah.

Saya kembali siap menjemput mimpi (yang saya berharap mimpi indah). Kendati suasana gerah, saya terlelap lagi, kendati dalam perjalanan tidur itu, beberapa sempat terbangun, karena terusik oleh kawan yang mondar mandir ke kamar saya.

Malam tadi, saya benar-benar tidak menuntaskan tidur dengan sempurna, layaknya malam-malam sebelumnya. Tapi, tidak mengapa, karena saya juga tidur terlalu cepat tadi malam. (Biasanya saya baru tidur jam 01.00 atau lebih dikit. Tiap malam begitu).

Paginya, tanpa membasuh muka, langsung menghidupkan komputer. Berusaha meng-up load foto ke situs acehkita.com. Belum lagi semua imel saya terbuka, koneksi internet kacau.

"Uh, menyebalkan," gerutu saya.

Tak mau buang waktu, saya beranjak ke kamar mandi. Mulanya hanya ingin mengguyur tubuh dengan air dingin. Tapi, melihat tumpukan pakaian kotor yang sudah menggunung, saya putuskan untuk nyuci.

Benar-benar membuat saya cape. Soalnya, sudah sebulan ini saya tidak mencuci pakaian kotor. Bayangkan saja, ya....

Kendati sedikit malas, saya menuntaskan mencuci pakaian itu dalam dua ronde. Ronde pertama, baju kaos yang ringan. Ronde kedua, celana jeans yang membuat tangan cape dan mengeluarkan keringat. Tapi, akhirnya semua bisa dilalui. Tapi, konsekuensinya, saya terlambat meng-up date situs.

Kabar dari Aceh
Ada yang menarik sebenarnya yang ingin saya publikasi di situs. Ya, kejadiannya sih sudah kemarin. Ada tiga bendera Gerakan Aceh Merdeka yang dikibarkan di Desa Alue Mampreh, Kecamatan Nisam, Aceh Utara. Nisam memang dikenal sebagai daerah basis GAM, pada kurun waktu 1999 hingga 2004 awal. Kini, daerah itu juga masih jadi wilayah "hitam" atau minimal "abu-abu" lah, versi TNI. Sandi HITAM dan ABU-ABU adalah daerah yang rawan keamanan.

Rupanya, banyak media yang tertarik dengan kejadian ini. Radio ABC Australi juga menampilkan foto bendera GAM. Kompas juga menulis berita ini di versi Cyber Media. Kalau di situs kami, berita ini sudah tayang sejak tadi malam.

Saya kemudian membaca-baca berita yang ada di TEMPO Interaktif dan Koran Tempo versi Online. Di sana, saya menemukan pernyataan Alwi Shihab, yang Menko Kesra. Dia mengatakan, masyarakat jangan cemburu terhadap fasilitas yang diterima anggota GAM yang kembali ke Indonesia.

Kepada kawan, saya mengatakan, "Apa benar nanti masyarakat Aceh akan cemburu?"

"Entah," jawab kawan, sambil tersenyum.

Kemudian, sebuah SMS datang dari kawan di Aceh. Dia seperti berpantun. Inti SMS itu mengabari begini: "Orang Jakarta (baca: pemerintah) memang tidak suka kalau Aceh itu damai. Mereka ingin Aceh tidak damai, tapi sudah ada MoU RI-GAM."

Saya balas.

"Orang Jakarta itu, tidak termasuk saya, kan?"

Tidak berbalas lagi. Saya yakin, dia kesal dengan situasi dan sikap yang diambil pemerintah. Tapi yang mana, saya tidak tahu. Mungkin ini ada kaitannya dengan kondisi lapangan di Aceh. Tapi, dia tidak mengabari lebih lanjut.

Kepada kawan di kantor, saya berkata.

"Ada orang Jakarta, artinya politisi dan pemerintah, yang tidak ingin Aceh itu damai dan aman," kata saya. "Termasuk beberapa wartawan."

"Ohya?" kata dia sambil tersenyum.

"Bukan apa-apa, saya jadi teringat, bahwa media itu diuntungkan oleh situasi tidak normal atawa krisis," kata saya, yang teringat ungkapan Raboy dan Dagenais, yang dikutip Dedy N Hidayat dalam tulisan yang berjudul Media Sang Penabuh Genderang Perang yang ditulis di Kompas, September 2001, beberapa pekan setelah tragedi WTC, 9/11.

"Lihat saja, kalau ada kejadian besar di Aceh, situs kita banyak pengunjung," kata saya.

"Iya," kata dia.

Tapi, kami kemudian sepakat untuk mencoba bersikap fair terhadap kejadian di lapangan. Kami semua berharap, Aceh aman dan damai.

Ehm,

Saya kembali berkutat dengan tuts dan layar komputer. Mata saya perih. Namun kembali berusaha mengedit tulisan dari Aceh Timur. Masih soal perang dan damai. Seorang panglima muda yang ingin kembali ke masyarakat dan ingin jadi guru ngaji saja. Tidak muluk-muluk cita-cita panglima ini.

Makanya, kembali teringat ucapan Alwi Shibab. Benarkah orang Aceh akan cemburu terhadap fasilitas yang diterima GAM? Entah!

Tapi, simak komentar dari orang GAM yang diwawancara TEMPO. Begini kira-kira. "Kita tak tergiur dengan konsesi tanah, tapi bagaimana kami bisa dapat jaminan keamanan," kata GAM di pedalaman Bireuen.

Begitulah...!

Jakarta, 21 Agustus 2005

1 comments:

Anonim mengatakan...

Ceck this out....
http://www.investorindonesia.com/koraninvestor/news.php?Content=22476

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting