Selasa, September 08, 2009

Bencana di Ambang Mata

Pelan tapi pasti, virus mematikan itu bergentayangan antara kita. Benteng negeri bersyariat bobol sudah, seiring bertambahnya jumlah penderita HIV/AIDS. Bila tak segera ditangani serius, alamat bencana di ambang mata.

Oleh FAKHRURRADZIE GADE

KABAR itu bak petir di siang bolong. Cahaya sama sekali tak percaya dengan hasil tes darah yang dijalani sang suami. Saat itu, dokter menyatakan suaminya, sebut saja namanya Arman, divonis mengidap virus HIV positif. Hari-hari dijalani Cahaya bagai orang putus asa. Ia kemudian menjalani tes. Hasilnya, membuat ia semakin terpuruk: Cahaya positif HIV dan AIDS. Mulanya, Cahaya marah dan menyesali hidupnya. Terlebih keluarganya shock dengan kejadian ini.

Cahaya tertular virus HIV dari sang suami, yang seorang pecandu narkotika. Saat terinfeksi, Cahaya sedang mengandung anaknya. Awal Maret lalu, dia melahirkan si buah hati. Kegembiraannya atas kehadiran bayi juga direnggut rasa was-was. Kelak di usia 18 bulan, nasib bayinya dipastikan: tertular HIV/AIDS atau tidak. “Syukurlah bila tidak, tapi bila positif kami siap menerimanya,” katanya, pasrah.

Cahaya merupakan potret orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di Aceh, provinsi ujung barat Indonesia yang katanya telah memberlakukan syariat Islam secara kaffah. Ia merupakan ODHA yang mampu bertahan dan bangkit menjalani hidup normal. Sisa hidupnya diabdikan untuk berkecimpung di lembaga nirlaba yang bergerak pada upaya penanggulangan HIV/AIDS di Aceh.

Penyebaran virus mematikan itu tidak bisa dipandang sebelah mata. Data yang dilansir Dinas Kesehatan Aceh cukup membuat mata publik terbelalak. Hingga Desember tahun lalu, ada 29 kasus HIV/AIDS ditemukan di Aceh. Dibandingkan daerah lain, memang angka ini relatif kecil. Tapi, penyebaran meningkat drastis dalam empat tahun terakhir.

Kepala Seksi Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Dinas Kesehatan Aceh dr. Abdul Fatah menyebutkan, penyebaran HIV/AIDS di Aceh terbilang cepat. Pada tahun 2004, pihaknya hanya mencatat satu kasus. Namun angka itu terus merangsek naik pertahunnya. Pada 2005 tercatat dua kasus. Di tahun 2006 ditemukan tujuh kasus, tahun 2007 (sembilan kasus). Puncaknya pada 2008 yang tercatat 10 kasus. Dari data itu, hubungan seks menjadi faktor dominan penyebaran virus mematikan itu.

Usai bencana gempa bumi dan tsunami melanda Aceh, akhir tahun 2004, banyak “pekerja kemanusiaan” dari berbagai belahan dunia datang ke Aceh. Bandingkan dengan keadaan sebelum tsunami, warga asing sulit bisa masuk ke Aceh. Tetapi, sekarang hampir setiap hari, kita bisa menemukan warga asing yang bekerja di berbagai lembaga internasional dan bergaul bersama warga Aceh.

“Aceh sekarang menjadi wilayah open area. Jadi potensi terjadinya penyebaran HIV juga semakin besar,” kata Abdul Fatah kepada ACEHKINI, medio Maret lalu.

Dinas Kesehatan bekerjasama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Aceh giat memberikan penyuluhan dan pemahaman tentang penyakit ini. Selain penyuluhan soal bahaya AIDS, Dinas Kesehatan juga berupaya menekan stigma negatif terhadap ODHA. “Selama ini ada stigma negatif terhadap penderita HIV. Padahal, HIV tidak ditularkan melalui makan bersama, bersentuhan. Bahkan tak ditularkan melalui ciuman,” ujar Fatah.

Menurut dia, penyebaran HIV/AIDS di Aceh tidak ada sangkut pautnya dengan keberadaan pekerja asing pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Sebab, kebanyakan penderita HIV terinfeksi saat mereka berada di luar Aceh. “Setelah terinfeksi, mereka kembali ke Aceh. Dulunya mereka pernah bekerja di Batam, misalnya,” kata dia.

Pernyataan ini seperti menghibur diri. Tetapi, bagaimana menjamin para pekerja asing itu tidak membawa virus mematikan itu. Apakah sebelum mereka datang ke Aceh, pernah dilakukan tes darah bahwa pekerja asing itu tak terjangkit HIV. Bukan rahasia umum lagi kalau selama ini mereka juga sering menggelar party terbatas, yang juga diikuti warga Aceh, untuk menghilangkan penatnya bekerja.

Harus diakui, praktik prostitusi terselubung juga menjamur di daerah bersyariat ini. ACEHKINI sempat menelusuri jejaring dan lokasi pelacuran terselubung di Banda Aceh dan beberapa kota besar lain. Sejumlah salon kecantikan malah menyediakan servis plus bagi para lelaki hidung belang. Bisnis esek-esek ini juga menghinggapi kalangan remaja di Aceh. Inilah yang menyebabkan Aceh menjadi rentan dan berpotensi meluasnya penyebaran virus yang hingga kini belum ditemukan obat penawarnya.

Praktik prostitusi dan penyebaran HIV/AIDS ibarat sisi mata uang. Di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh itu menyebar cepat. Hal ini tak terlepas dari bebasnya praktik prostitusi. Angka pengidap HIV/AIDS pada 1997 yang hanya berjumlah satu orang, bergerak cepat dalam jangka 10 tahun. Awal Januari 2007, seperti dilaporkan Antara, di Mimika telah 1.181 warga mengidap HIV/AIDS. Mimika menyumbang 45 persen dari total kasus HIV/ADIS di Papua dan Irian Jaya Barat. Hal yang sama juga terjadi di Maluku.

Gencarnya penyebaran HIV/AIDS di Mimika karena pemerintah setempat gagal dalam menanggulanginya. Selama ini, Pemerintah Mimika hanya memberikan penyuluhan bahaya HIV/AIDS bagi warga. Namun penyuluhan ini tak disertai dengan regulasi pemerintah soal penanggulangan penyakit itu.

Kasus Mimika harus menjadi pelajaran bagi Pemerintah Aceh. Penanggulangan HIV/AIDS di Aceh butuh payung hukum tersendiri. Apalagi pascatsunami Aceh menjadi wilayah terbuka. Baby Rivona, Ketua Medan Aceh Partnership (MAP), menyebutkan, selama ini penanganan HIV/AIDS tak terlalu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Padahal, jumlah penderita di Aceh terus bertambah. Karenanya, “perlu aturan khusus,” ujar Baby.

Rencana aktivis peduli HIV/AIDS mendulang pro-kontra. Ketua Panitia Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Amir Helmi, mempersilahkan jika ada yang ingin mengajukan draf qanun tersebut. “Selama masalah penting dan dirasa mendesak,” ujar Amir.

Ada juga pihak yang menentang rencana pembuatan qanun tersebut. Sebut saja, Khairul Amal. Menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera ini, untuk menangani kasus AIDS di Aceh tidak perlu kekhususan. Baginya, cukup diatur dalam qanun kesehatan saja.

Teungku Faisal Ali, Sekretaris Himpunan Ulama Dayah Aceh mendukung inisiatif lahirnya qanun untuk pengidap HIV/AIDS. “Ini hal positif yang perlu didukung. Meski belum lihat draftnya, saya yakin tujuannya baik, untuk menanggulangi dan menangani masalah HIV/AIDS,” ujarnya.

Menurut Faisal, HIV bukanlah masalah yang harus dihindari. Dia juga meminta masyarakat tak mengucilkan penderita penyakit mematikan itu. Sebab, kata dia, penyakit itu terjadi tak hanya karena perilaku si penderita, tapi bisa jadi karena ketidaksengajaan.

Angka jumlah penderita HIV/AID yang dipapar Dinas Kesehatan ialah data yang tercatat. Menurut prediksi WHO – badan kesehatan dunia— bila terdeteksi satu kasus, berkemungkinan 100 kasus lain terjadi. Jadi tak tertutup kemungkinan HIV positif di Aceh, yang belum diketahui, masih banyak. Nah, bila tidak segera ditangani serius, bencana baru kini mengancam di ambang mata. [a]

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting