Kamis, September 17, 2009

Nurjannah & Qanun Jinayah

MENJELANG waktu berbuka puasa, bersama dua teman (Yo Fauzan dan Abdul Munar), saya mengunjungi Desa Lamtimpeung, Tungkop, Aceh Besar. Letaknya hanya sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh. Ke Lamtimpeung, kami ingin menunaikan amanah sejumlah pembaca acehkita.com. Sekitar dua bulan lalu, reporter acehkita.com, Riza Nasser, menurunkan liputan tentang Nurjannah, perempuan berusia 22 tahun yang menderita lumpuh layu sejak usia 4 bulan. Nurjannah terbujur kaku di atas dipan di dalam kamar sempit dan pengap. Aroma pesing merebak, hingga keluar rumah. Suasana kamar juga tak tertata. Kasur, kain, pakaian, saling bertindih: awut-awutan. Singkatnya, kamar itu sangat tak layak dihuni.

Nurjannah tinggal bersama ayah dan dua adiknya di rumah tipe 36 tersebut. Ada tiga kamar ukuran kecil yang tak terurus. Nurjannah tidur sendirian. Kamar di sebelah Nurjannah, dibiarkan kosong melompong. Ayahnya, tidur di kamar yang dekat ruang tamu. Jangan bayangkan ruang tamu dilengkapi televisi, meja dan kursi. Buang bayangan itu, karena di sana hanya ada tumpukan baju berserakan, sepeda bekas. Di dekat kamar Nurjannah, tergeletak satu kompor. Di atasnya ada penggorengan. Di sekitar kompor, cangkang telur ayam berserakan, dibiarkan bebas tergeletak di atas lantai. Rumah dicat kuning itu semi permanen.

"Binteh kadikap le kamue (dinding rumah dimakan rayap)," kata Muhammad Dehan, ayah Nurjannah. Telunjuknya mengarah ke dinding rumah.

Dehan mengurus anak-anaknya seorang diri, sejak istrinya meninggal dunia beberapa tahun silam. Ia hanya seorang pemelihara sapi suruhan orang. Kerjanya serabutan. Penghasilan sebulan paling banyak 200.000. Tinggal di pinggiran Kota Banda Aceh yang tingkat inflasinya tinggi, uang segitu sama-sekali tidak mencukupi. Apalagi untuk membiayai anak-anaknya. Tapi Dehan tak putus asa. Ia bekerja apa saja yang bisa menghasilkan rupiah.

Dua hari lalu, seorang warga yang hendak melangsungkan resepsi pernikahan memintanya menjaga sapi yang akan dipotong pada hari kenduri. Sapi agak kecil itu ditambat tak jauh dari rumahnya. Oya, sekitar 10 meter dari rumah, ada kandang kerbau atau sapi. Di sinilah, sapi-sapi peliharaannya bernaung. Bulan lalu, saat meugang puasa, Dehan menjual sapi yang dipelihara secara mawah. Mawah merupakan cara memelihara bagi hasil. Setelah modal membeli sapi dikembalikan ke pemodal, angka selisih dibagi berdua: antara dia dan pemodal.

"Misalnya harga sapi waktu dibeli itu lima juta rupiah dan waktu dijual tujuh juta, bagi hasilnya yang dua juta selisih itu," kata Dehan. "Ya dapat sejuta per orang."

Melihat kehidupan Dehan, saya kehabisan kata-kata. Betapa Ia tegar melakoni hidup dengan segudang permasalahan yang melingkupinya.

Sore itu, Dehan memakai oblong putih lengan biru. Bajunya dipakai terbalik: bagian dalam dibiarkan menjadi bagian terluar. Baju itu bukan dibeli, tapi diberi orang saat musim kampanye. Ya, baju putih berlengan biru itu atribut kampanye Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Boediono. Di punggung Dehan jelas tertulis nama pasangan itu. Sementara di bagian depan, gambar SBY-Boediono lagi tersenyum juga terlihat jelas.

Nurjannah juga memakai baju SBY. Bantal yang tergeletak di samping Nurjannah juga dibajukan SBY. Saya tidak bertanya apakah keluarga ini pendukung SBY. Tapi yang jelas, tak jauh dari rumah Dehan, masih di dalam pekarangan rumahnya, ada bendera Partai Aceh. Ehm, saat pemilu presiden lalu, aktivis partai bentukan Gerakan Aceh Merdeka ini menyokong pasangan yang diusung Partai Demokrat ini. Hiruk-pikuk pemilu menyeruak ke kamar Nurjannah: yang terbujur kaku.

Melihat kondisi Nurjannah kemarin, saya teringat berita di sebuat media lokal di Banda Aceh, yang memuat pernyataan Abu Panton. Nama terakhir ini merupakan ulama yang bermukim di Aceh Utara. Ia mengasuh dayah di Panton Labu. Abu merupakan ulama yang disegani. Ia tak dekat kekuasaan.

Dalam berita itu, Abu Panton menyentil pengesahan Qanun Hukum Jinayat dan Qanun Acara Jinayat. Abu bilang, Qanun yang mengatur hukum rajam dan cambuk bagi pelanggar Syariat Islam baru bisa diterapkan kalau saja masyarakat Aceh sudah sadar hukum dan hidupnya makmur. Minimal sudah tidak berada di bawah garis kemiskinan.

Pernyataan nyaris serupa dikemukakan Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Ziauddin Ahmad. Saat kami wawancarai menjelang dinihari usai rapat paripurna DPR Aceh, saya dan sejumlah wartawan ikut memintai tanggapan Ziauddin soal penerapan hukum rajam. Ziauddin terang-terangan menyatakan penolakannya terhadap hukum rajam bagi pelaku zina yang telah menikah. Menurut Ziauddin, hukum Islam baru bisa ditegakkan kalau masyarakat di suatu negeri sudah hidup mapan dan sadar hukum. Nah, dua hal inilah yang belum dipunyai Aceh.

"Bagaimana, misalnya, kita menerapkan hukum potong tangan bagi yang mencuri," kata Ziauddin, "kalau perekonomian kita belum bagus."

Benar, bagaimana mungkin kita menggembar-gemborkan penegakan syariat Islam kalau sendi-sendi kehidupan masyarakat belum dibenahi. Syariat Islam kan bukan hanya hukum potong tangan, cambuk, rajam semata. Ia melingkupi segala aspek. Ada aspek sosial, ekonomi, syariat, hukum, dan banyak lagi.

Saya menilai bahwa selama ini para politisi –yang pemahaman agamanya pas-pasan—ingin memaksakan pemahaman dan keyakinan syariatnya kepada masyarakat. Mereka selalu mengklaim bertindak atas amanah rakyat. Di sini, mereka mengambil secuil ayat al-Quran dan meninggalkan ayat-ayat lainnya. Bukankah pola beragama seperti ini sangat dibenci oleh Allah dan Nabi-Nya?

Bagaimana mungkin hanya menegakkan hukum Allah di bidang lendir, judi, dan minuman, sementara ajaran dan hukum Allah yang lain ditinggalkan begitu saja. Misalnya, korupsi dan pembunuhan. Bukankah dalam Islam dua aspek ini juga mendapat sorotan tajam? Bagaimana misalnya dalil dalam Islam menyebutkan bahwa "pembunuh dan yang dibunuh sama-sama masuk neraka". Ini dalil untuk orang yang sama-sama ingin saling bunuh. Di sisi lain bagaimana misalnya Tuhan berjanji akan menempatkan pembunuh di neraka.

Dalam al-Quran memang tak ada kata khusus soal korupsi, tapi ini kan identik dengan mencuri. Nah, bagaimana dengan hukum potong tangan bagi si pencuri dan koruptor? Apa karena ada politisi dan pejabat yang berselemak kasus korupsi lantas hukum tak tegak?

Sungguh aneh para politisi yang mengaku sedang berjihad ini: agama menjadi dagangan semata.

Sebelum pikiran terus berkeliaran ke mana-mana, saya kembali fokus pada Dehan dan Nurjannah yang terbaring di kamar berbau pesing. Aroma amoniak menusuk hidung, hingga ke relung kepala yang membuat pusing. Tapi, penegakan syariat Islam dalam bentuk membebaskan orang-orang dari kemiskinan, sama sekali tak dipikirkan para politisi itu. []

1 comments:

Liza Marthoenis mengatakan...

ada foto nurjannahnya bang? mungkin liza bisa bantu cari donatur dari blog or media2 online

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting