Senin, September 27, 2004

Bagian 4
Jalan Panjang Menuju Pemilu

CENTER for Electoral Reform (CETRO) pada Desember 2003 menegaskan, pelaksanaan Pemilu 2004 di Aceh dalam status Darurat Militer (DM) adalah cacat hukum. Bukan hanya CETRO saja yang mengeluarkan pendapat pesimistis Pemilu di bawah status DM bisa berjalan dengan asas langsung, bebas, rahasia (luber) dan jujur, adil (jurdil).

Indra Jaya Piliang, peneliti Center for Stategic and International Studies (CSIS) juga melontarkan pernyataan senada dengan CETRO. Menurut Indra Piliang, Pemilu di Aceh secara legal formal lemah.

Argumentasi yang dilontarkan CETRO berpijak pada landasan hukum pelaksanaan Pemilu dan pemberlakuan status keadaan bahaya. Menurut Smita Notosusanto, Direktur Eksekutif CETRO di Jakarta kepada penulis melalui email pada Mei 2004, banyak anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawas Pemilu yang tidak memahami Perpu No. 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya yang menjadi dasar hukum pelaksanaan DM di Aceh. Smita ingin mengatakan dua lembaga yang berkompeten dalam penyelenggaraan Pemilu, kurang menyadari adanya pembatasan hak-hak sipil akibat penerapan DM.

Smita memaparkan terjadi dualisme hukum dalam pelaksanaan Pemilu di Aceh. Satu sisi, merujuk pada UU No. 12 Tahun 2003, penyelenggaran Pemilu adalah hak sepenuhnya KPU. Sementara dalam Keppes No. 28 Tahun 2003 disebutkan segala pelaksanaan kegiatan ada pada otoritasi Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD). “Dualisme penerapan dua undang-undang yang saling bertentangan secara prinsip ini tidak akan kondusif terhadap penyelenggaraan Pemilu," tegasnya.

Senada dengan Smita, Indra J Piliang melihat pelaksanaan Pemilu legislatif di daerah yang berstatus DM (kemudian status ini berakhir dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 43 Tahun 2004 tentang penurunan keadaan bahaya dari tingkat DM menjadi Darurat Sipil (DS) pada 19 Mei 2004. Walaupun demikian, peraturan DM masih berlaku hingga enam bulan ke depan–red) mempunyai paradoksi undang-undang yang sangat kentara.

Pertentangan ini, ungkap Piliang, terjadi pada berlakunya dua undang-undang yang satu sama lain saling bertentangan. "Dari sisi undang-undang saja, itu kita tidak bisa mengsinkronisasikan antara UU No.12 Tahun 2003 tentang pemilihan umum dengan Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2003 tentang pernyataan darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Menurut UU No.12 Tahun 2003, penyelenggara Pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum. Komisi Pemilu adalah pengambil keputusan tertinggi atas persoalan-persoalan yang menyangkut tahapan-tahapan kampanye, menyangkut masalah pelanggaran pemilu dan lain-lain di seluruh daerah di Indonesia,” kata Piliang seperti dikutip Radio Nederland Siaran Indonesia, edisi 5 November 2003.

Apa yang dikhawatirkan Smita, Piliang dan aktivis pro-demokrasi lainnya wajar adanya. Dalam pelaksanaan Pemilu legislatif 2004, antara KPU, Pemda Aceh dan PDMD Aceh tergambar kurang koordinasi.

Baiklah, sejenak kita ulang kaji kontroversial pelaksanaan Pemilu di propinsi paling ujung barat dari Pulau Sumatera ini. Simak saja penuturan Hasbullah Tjutgam, Ketua KPU Aceh ini mengaku tidak diundang dalam rapat evaluasi akhir pelaksanaan Pemilu di Markas Komando Daerah Militer (Makodam) Iskandar Muda pada Kamis, 1 April 2004. Rapat di Makodam Iskandar Muda itu selain dihadiri unsur Muspida Aceh, juga dihadiri Menteri Dalam Negeri yang juga Menteri Koordinator Politik dan Keamanan ad interim Hari Sabarno, Kepala Kejaksaan Agung MA Rahman, Kapolri Da’i Bachtiar. “Kami tidak disampaikan undangan untuk bertemu Menkopolkam. Kami hanya dapat undangan untuk bertemu para wartawan dari Jakarta di Aula Dinas Infokom. Itu pun tidak jadi,” kata Hasballah Tjutgam.

Padahal dalam rapat evaluasi itu, Menko Polkam mengeluarkan pernyataan keras mengenai 25 desa yang diperkirakan tidak bisa mengikuti prosesi pesta demokrasi sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan KPU Pusat. Menurut Sabarno, berdasarkan laporan sampai April 2004 masih ada 25 desa di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam – Aceh memiliki 5.947 desa 228 kecamatan dan 21 kabupaten/kota - yang belum bisa digelar Pemilu pada 5 April 2004. Menurut Sabarno karena masih ada gangguan keamanan dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Ada beberapa desa yang memang tidak memungkinkan diadakannya Pemilu (5 April 2004–red). Sehingga nanti mungkin akan diadakan pemilihan di TPS-TPS terdekat,” kata Sabarno di Banda Aceh.

Desa-desa yang tidak bisa diadakan Pemilu serentak itu tersebar di empat kabupaten, yaitu di Kabupaten Pidie, Aceh Utara, Aceh Barat, dan Aceh Timur. Sabarno tidak merincikan desa mana saja yang ada gangguan Pemilu. Gubernur Aceh Puteh menandaskan desa yang masih rawan gangguan GAM 52 desa. “Bukan 25 desa, tapi 52 desa yang rawan diadakan Pemilu pada 5 April nanti. Terbanyak di Pidie,” kata Puteh.

Walaupun demikian, kata Puteh tidak ada kendala yang berarti dalam perhelatan Pemilu di Aceh. “Menurut PDMD tidak ada masalah, karena dibuat rayonisasi. Artinya kalau tidak bisa di desa sendiri, maka bisa di desa lainnya,” lanjut Puteh.

Atas pernyataan Hari Sabarno dan Abdullah Puteh ini, Hasbullah menyangkalnya. Menurut data dari KPU Kabupaten/Kota, sampai menjelang Pemilu, semua desa bisa melaksanakan Pemilu tanpa ada kendala. “Kami masih optimis kok, pelaksanaan Pemilu berlangsung sesuai jadwal. Dari segi logistik, kita sudah siap. Tinggal tergantung situasi keamanan di lapangan,” lanjutnya.

Hasbullah mengatakan bahwa pihaknya belum menerima laporan sama sekali dari daerah tentang adanya desa yang tidak bisa ikut pemilu. “Itu mungkin data awal, yang dulunya mungkin ada 52 desa, sekarang tinggal 25 desa. Tapi, saya tidak tahu,” ujar Hasballah. Dia mengatakan di 25 desa itu, KPU juga akan mengadakan pemilu. “25 desa itu tetap ikut Pemilu. Mana yang terancam, saya tidak tahu,” kata dia.

Hasbullah menerangkan, KPU tidak mengenal daerah hitam, abu-abu atau putih. “Kita tidak membuat katagori desa hitam, abu-abu atau putih. Itu bukan urusan kita. Itu kan hanya istilah untuk keamanan. Bagi KPU, itu sama saja,” kata Hasballah.

Sampai di sini, semakin jelas bahwa telah terjadi dualisme pandangan dalam proses pelaksanaan pemilu legislatif di Aceh.

Puteh menyebutkan, partisipasi masyarakat di Aceh dalam menyukseskan Pemilu 2004 menjadi barometer kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu, dalam pertemuan dengan bupati se Aceh pada 10 Januari 2004 di Banda Aceh, Puteh pinta semua komponen eksekutif di setiap jenjang dan lini, mendukung terlaksananya Pemilu di Provinsi NAD mengingat suara sebagai pemilih ikut menentukan perjalanan bangsa ini. Puteh dan jajarannya, jauh-jauh hari sudah menyatakan rasa optimismenya Pemilu legislatif bisa berjalan tanpa kendala walau Aceh dalam paying DM yang ditentang oleh kalangan aktivis pro demokrasi. "Saya optimistis Pemilu 2004 di Aceh, berjalan lancar karena selama sebulan pelaksanaan operasi terpadu telah terlihat hasilnya, dimana masyarakat sudah mulai berani," katanya.

Sementara itu, PDMD Aceh mengatakan tidak melakukan intervensi terhadap proses Pemilu. Intervensi yang dimaksud adalah untuk memenangkan salah satu kontestan Pemilu. "Yang diragukan PDMD dengan segala kewenangannya akan melakukan intervensi dan sebagainya untuk menggolkan salah satu partai atau menekan salah satu partai. Itu tidak akan pernah terjadi," tegas Endang ketika menyampaikan sambutan pada acara penandatanganan kesepakatan bersama peserta Pemilu 2004, Rabu, 18 Februari 2004 di depan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Endang ingin mengatakan bahwa TNI berusaha keras untuk bersikap netral.

Untuk menyukseskan Pemilu, PDMD mengerahkan 8.450 anggota Polri, sekitar 13.000 pasukan TNI dan sekitar 60.000 anggota Perlindungan Masyarakat (Linmas) untuk mengamankan 11.045 TPS. Malah Pangdam menduga, tidak suksesnya Pemilu bukan disebabkan karena adanya gangguan keamanan dari kelompok GAM. Tapi, karena banyak pemilih yang tidak mengerti tata cara pencoblosan. "Sudah capek-capek kita amankan, ternyata hasil Pemilu ditandai banyaknya suara yang rusak. Ini yang kita ragukan," katanya.

***

Secara umum, pelaksanaan Pemilu di Aceh berjalan tanpa kendala berarti. Memang, ada beberapa insiden yang mewarnai jalan panjang pemilu legislatif yang mengantarkan Partai Golongan Karya sebagai pemenang. Selain beberapa insiden yang telah disebutkan di muka, insiden bersenjata lainnya yang terjadi pada hari pemilihan juga terjadi di Desa Teupin Panah, Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat. Di desa ini sekitar 70 warga, gagal memberikan hak suaranya karena kontak senjata antara TNI dengan GAM di desanya. “Mereka tidak bisa memberikan suaranya pada hari pemungutan suara karena kontak senjata,” kata Zuhri Hasibuan, Ketua Panitia Pengawas Pemilu Aceh. Ini bukan pelanggaran Pemilu tambah Zuhri tenang.

Di Desa Blang Rheum, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen, Abu Bakar (30), warga sipil, mengalami luka tembak peluru nyasar ketika aparat TNI yang berposko di desa itu membalas serangan yang diduga dilakukan GAM.

Forum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aceh menyatakan, GAM –yang oleh pemerintah acapkali disebut-sebut berusaha menggagalkan pemilu, juga mengancam warga yang mengikuti pemilu. Menurut TAF Haikal, Direktur Eksekutif Forum LSM, ancaman yang ditebar GAM terhadap warga masyarakat lima desa di Kabupaten Aceh Jaya adalah denda uang tunai Rp 1 juta per orang. "Warga mendapat ancaman dari GAM, jika ikut mencoblos, maka akan didenda Rp 1 juta per orang," jelas Haikal kepada penulis, Sabtu, 3 April 2004. "Warga yang tidak mau ikut lari dengan GAM didenda Rp 1 juta per orang. Warga yang mencoblos dan tidak ikut lari bersama GAM didenda Rp 2 juta per orang," ungkap Haikal.

Lalu bagaimana GAM mengetahui warga yang ikut Pemilu? Ada bekas tinta pada jari. "Jika ada bekas tinta di jari, itu tanda mencoblos, maka jari tangan dipotong," jelasnya.

Laporan yang diterima Forum LSM Aceh itu masing-masing ditandatangani oleh Kepala Desa Sarah Jaya, Alue Jang, Ceuracee, Alue Punti dan Bintah berdasarkan warganya.

Ancaman melalui selembar halaman yang disebarluaskan oleh GAM dalam kenyataan tidak terbukti. Hingga Pemilu 5 April 2004, tidak ada jari pemilih yang dipotong. Justru, pemilih di seluruh Aceh mengikuti Pemilu mencapai 100 persen. Seorang anggota TNI di Keude Geurebak Kecamatan Peureulak Kabupaten Aceh Timur- daerah basis GAM dan bertetangga dengan lokasi pembebasan kameraman RCTI Ferry Santoro – kepada penulis pada 18 Mei 2004 menyatakan sekitar 3.000 pemilih semua hadir ke TPS. “Ada warga yang memilih Partai Mardeka. Yang menang Partai Bintang Reformasi karena ada caleg dari daerah ini,” ungkap seorang anggota Koramil kepada penulis yang tidak mau namanya ditulis.

Berdasarkan pemaparan di atas, pemilih di Aceh mendapat ancaman secara langsung bahkan fisik dari pihak-pihak yang bertikai di Serambi Mekkah. Ada ancaman non fisik lain yang lebih bersifat psikologis. Kisah Syamsuar (21) –nama samaran-- warga Kecamatan Sawang Aceh Utara yang juga dikatagorikan kecamatan hitam sehingga camat dijabat oleh TNI, kepada penulis pada 5 April 2004 dia mengakui memilih karena tidak mau mengambil risiko.

Pasalnya, di desanya banyak anggota TNI. Pemuda lajang itu membenarkan, dirinya dan penduduk sama sekali tidak mendapat ancaman untuk mengikuti Pemilu. Namun warga sudah mafhum, tanpa ada perintah atau ancaman pun warga sudah mengerti. “Tidak ikut Pemilu dianggap GAM. Hanya GAM yang tidak ikut Pemilu,” sebutnya meniru ucapan petinggi TNI di Aceh.
Last but not least, secara kasat mata, Pemilu 5April 2004 sudah berlalu. Ada warga yang memilih pada Pemilu yakni memilih keselamatan hidup. Ketakutan merasuk jiwa bila memilih berdiam di bilik kamar rumah pada hari pencoblosan dari TNI atau Polri hingga memilih pada bilik suara pada 5 April 2004 dari GAM.

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting