Senin, September 27, 2004

Bagian 2
Surat Intimidasi GAM yang Misterius

SEBUAH siaran pers dikeluarkan aktivis Forum LSM Aceh--salah satu lembaga yang melakukan pemantauan Pemilu di Aceh. Dalam siaran pers itu, Forum mensinyalir telah terjadi ancaman terhadap masyarakat pemilih. Ancaman itu, kata siaran pers tadi, dilakukan oleh GAM terhadap para kepala desa dan masyarakat pemilih yang ada di wilayah kabupaten Aceh Jaya. Ancaman potong jari ditujukan bagi pemilih yang mempunyai tinta hitam di jempolnya. Selain itu, GAM mengancam akan memberikan tindakan tegas bagi kepala desa.

Kasus dugaan adanya ancaman GAM terhadap masyarakat pemilih, merebak menyusul adanya surat dari enam kepala desa di sejumlah kecamatan yang ada di kabupaten Aceh Jaya. Para kepala desa itu, dalam pernyataan bersama, mengatakan, ancaman itu ditebar melalui selebaran-selebaran yang berkop Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF), nama lain bagi kelompok GAM.

Lalu, benarkah GAM menebar teror bagi masyarakat Aceh yang ikut Pemilu? Lantas, benarkah selebaran itu berasal dari GAM? Selain di Aceh Jaya, apakah kabupaten, seperti Bireuen, juga menuai teror?

Tidak mudah memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Sejauh ini, GAM tidak mengeluarkan statemen resminya mengenai ancaman ini.

Baiklah, sebuah penelusuran dicoba lakukan di Kabupaten Bireuen, apakah GAM juga mengancam pemilih di kabupaten yang dulunya berinduk ke Aceh Utara itu.

Di kabupaten yang intensitas konfliknya tinggi ini ternyata ada masyarakat yang mengalami intimidasi dan pemaksaan pada hari pemilihan. Beberapa kepala desa yang ditanyai mengaku mendapat larangan untuk mengikuti Pemilu. Hal ini juga dibenarkan beberapa warga yang dimintai keterangannya.

Rusli, Keuchik Lueng Daneun, Kecamatan Peusangan, mengakui pernah mendengar adanya surat ancaman yang dikeluarkan GAM yang melarang warga ikut Pemilu. Namun, ia sendiri tidak menerimanya. Bahkan, katanya, beberapa koleganya yang mendapatkan selebaran itu, mengaku tidak berani menyimpan, karena takut. “Ada keuchik-keuchik yang menerima selebaran jangan ikut Pemilu. Tapi keuchik mana yang berani menyampaikan kepada masyarakat, karena keuchik sama takutnya kepada kedua belah pihak, ke sana takut, ke sini takut,” sebut Rusli. Sampai di sini, Rusli ingin mengatakan bahwa, mereka serba salah. Takut pada GAM, juga TNI.

Menurut pengakuannya, hal itu terjadi di beberapa desa di pedalaman. Dia memberikan contoh di Desa Rambong Payong, Alue Kupula, Cot Batee, Alue Iet dan beberapa desa lainnya, masih di Kecamatan Peusangan.

“Itu saya dengar, belum tentu pasti kan, kita dengar kan lain,” sebutnya kemudian. Tetapi dia sendiri mengatakan tak pernah mendapatkannya.

Informasi yang diberikan Rusli sangat membantu. Beberapa desa yang disebutkan itu kami datangi untuk melakukan verifikasi.

***

Desa Alue Iet yang oleh Rusli disebut sebagai salah satu desa yang menerima ancaman, berjarak 20 km arah tenggara Kota Bireuen. Di desa itu, terdapat pos TNI dari Yon TNI kesatuan Kostrad yang bermarkas tak jauh dari SD Alue Iet.

Pada Pemilu 5 April silam, warga desa tersebut melakukan pencoblosan bersama-sama dengan warga dari lima desa lainnya. Artinya, TPS-TPS di Alue Iet, Alue Glumpang, Mamprei, Buket Sudan, Pante Karya dan Kreueng Meuh, dirayonkan. Rayonisasi adalah menggabungkan beberapa desa untuk melakukan pencoblosan di TPS-TPS yang dikumpulkan di sebuah tanah lapang.

Desa Krueng Meuh yang berbatasan dengan Aceh Tengah adalah desa yang masih sangat pedalaman. Desa ini dikelilingi hutan belantara. Warga desa ini pada hari pemilihan, terpaksa harus menggunakan hak pilihnya di desa Alue Iet, yang berjarak sekitar 7 km. Desa ini termasuk basis GAM di wilayah Bireuen.

Amri, anak Keuchik Alue Iet, mengatakan, menjelang pemilihan di Mamperi yang berdekatan dengan desanya terdengar suara dentuman layaknya suara letupan bom sebanyak tiga kali. Yunus (54), Keuchik Alue Iet, sosok pendiam dan sedikit hati-hati dalam memberikan keterangan kelihatan gugup dalam menjawab beberapa pertanyaan yang kami ajukan dalam bahasa Aceh. Memang kadang kala warga jika ditanyai dalam bahasa Aceh dijawab dengan lancar tanpa beban. Sebaliknya ditanya dalam bahasa Indonesia, mungkin saja jawaban tersebut singkat atau berbeda yang diberikan dalam bahasa Aceh.

Menurut Yunus, tidak ada intimidasi dari para pihak yang bertikai selama Pemilu. Dia juga mengaku tidak pernah mendapat surat ancaman dari GAM. Sehingga, ia dan warganya, tidak perlu khawatir. “Tidak ada kendala, pasukan pengaman ada disini semua kok, ada TNI, Brimob juga,” katanya.

Hanya saja, katanya, perhitungan suara di TPS yang ada di desanya, hanya sampai dengan jam 17:00 WIB. Sebelum perhitungan suara usai, kotak suara dan kartu suara yang sudah dicoblos dibawa ke kantor camat untuk pehitungan suara lanjutan. “Besoknya beres terus semua,” lanjutnya kemudian.

Tidak mudah menemukan bukti surat yang mengancam warga itu. Hanya beberapa kepala desa saja yang mengaku pernah mendapat surat semacam itu. Itu pun, para mereka mengaku tidak berani menyimpannya. Hal ini sebagaimana dikatakan Ramli, kepala desa Rambong Payong. Ramli, mengaku pernah menerima surat ancaman dari GAM itu. Namun ia tidak menyimpan terlalu lama surat tersebut di tangannya. “Saya bakar karena takut,” kata Ramli.

Mawardi, Sekretaris Desa Pante Baro mengaku tidak pernah menerima surat ancaman dari GAM. Tapi, Mawardi mengaku pernah mendengar adanya ancaman bagi para perangkat desa dan warga, yang ikut menyukseskan Pemilu 2004. Ancaman itu, sebut Mawardi, bersifat lisan. Tapi ia tidak bisa memastikan kebenarannya.

Hal senada juga dikemukakan Fakri SE, Sekretaris Front Perlawanan Separatis GAM (FPSG) wilayah Bireuen. Menurutnya ancaman dalam bentuk lisan terjadi hampir di semua daerah pedalaman Bireuen. “Sampai hari ini di pedalaman itu sebagian besar masih dikuasai oleh GAM,” ujar Fakri.

Fakri juga mengatakan, ketika mengancam, GAM langsung mendatangi rumah kepala desa, anggota Pam Pemilu Linmas. Ancaman GAM, kata Fakri, berbentuk dengan menyuruh kepala desa dan anggota Pam Pemilu Linmas untuk mengungsi.

Sementara itu, Drs A Madjid, Camat Kecamatan Peusangan mengaku beberapa desa mendapat ancaman dari GAM. Bahkan, Madjid mengaku pernah “memegang” surat itu, yang diberikan oleh seorang kepala desa yang ada di kecamatan yang dipimpinnya.

“Surat itu memang ada,” kata Madjid ketika dihubungi di kantornya, Rabu, (12/5). Namun, katanya, pihaknya tidak tahu pengirim surat misterius itu. “Para keuchik yang umumnya di daerah pedalaman atau sekitar basis GAM mendapatkan surat itu di bawah pintu, yang ditaruh pada malam harinya,” kata Madjid, yang mengaku meneruskan surat ancaman itu kepada pihak aparat keamanan. “Saya kasih ke aparat keamanan, dalam hal ini Koramil Peusangan,” sebutnya.

Ketika hal ini dikonfirmasi kepada komandan koramil Peusangan, Lettu inf Doraji mengaku tidak pernah menerima surat ancaman itu. Pernyataan Doraji sangat kontras dengan pengakuan Madjid yang mengaku menerima dan menyerahkannya kepada koramil. “Tidak ada sama kami, kalau isu itu ada. GAM mungkin tidak sempat menyebarkan surat itu ke warga, karena kami ada di tiap daerah pedalaman,” sebut Wadanramil Serka Sukarsyah.

Agaknya, keberadaan surat misterius itu, memang sangat sulit diendus. Namun, kami berhasil memperoleh surat ancaman GAM yang ditujukan kepada kepala desa dan warga di Aceh Jaya.
Berdasarkan analisa atas surat itu, ada beberapa kejanggalan yang patut dipertanyakan lebih jauh. Hal ini terlihat dari penggunaan kata intimidasi. Padahal, masyarakat perkampungan, sangat jarang menggunakan kata-kata ini. Juga, sangat sistematisnya pengakuan surat itu. Tapi, di sini kami tidak berpretensi untuk membenarkan dan menyalahkan keberadaan surat itu.

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting