Senin, September 27, 2004

Bagian 3
Pemaksaan dan Pemukulan di Hari Pemilu

“IKUT Pemilu bukti cinta kepada NKRI.” Demikian isi sebuah spanduk terbentang di sudut Kota Caleue Kecamatan Indrajaya, sekitar 5 km dari Kota Sigli, Kabupaten Pidie. Bukan hanya di Caleue saja, spanduk yang berbunyi seperti itu, dipampang di setiap sudut kota. Di Banda Aceh pun, spanduk bernada senada, juga banyak menghiasi kantor-kantor pemerintahan dan persimpangan jalan kota.

Aneh memang jika melihat dari substansi Pemilu. Dalam undang-undang dinyatakan, ikut Pemilu merupakan hak warga negara. Namun, di Aceh serasa ikut Pemilu merupakan sebuah kewajiban, yang apabila tidak ditunaikan, akan mendapat dosa-dosa politik. Alasan ini terasa klise! Tapi, itu adalah kenyataan yang berkembang di Aceh, sejak berada dalam status darurat militer.

Lalu, bagaimana jika masyarakat calon pemilih tidak menggunakan hak suaranya? Lantas, bagaimana peran serta TNI-Polri dalam prosesi pesta demokrasi lima tahunan itu?

Itu adalah beberapa pertanyaan yang pantas untuk diajukan untuk mengkritisi pelaksanaan pencoblosan Pemilu 5 April lalu di Aceh.

Nasir Zalba, Kepala Humas Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mengatakan, warga yang tidak menggunakan hak pilihnya, bukanlah warga negara yang baik. Nasir ingin mengatakan, sah-sah saja warga tidak menggunakan hak pilihnya, namun ia bukan warga negara yang baik dan taat karena tidak ingin menentukan arah perbaikan negara.

Ungkapan yang dilontarkan Nasir selaras dengan bunyi spanduk yang banyak menghiasi Aceh, ketika menjelang pelaksanaan pesta demokrasi ini. Ungkapan ini, sadar atau tidak, telah menyebabkan ketakutan dan kegelisahan di kalangan masyarakat.

Hal ini bukan mengada-ada. Di Desa Lamreung, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, seorang pria paruh baya yang baru saja mencoblos pilihannya, terpaksa kembali lagi ke arena pencoblosan. Kembalinya pria itu bukan bermaksud mencoblos untuk kedua kalinya. Jarinya tidak ditandai dengan tinta hitam seperti jamaknya pemilih lainnya usai pencoblosan. Ya, pria yang berprofesi sebagai petani itu kembali ke TPS tadi hanya untuk mencelupkan jari kelingking kirinya ke dalam botol tinta hitam.

Lalu kenapa pria itu, kembali lagi hanya sekedar untuk memberi tinta hitam di salah satu jarinya.

Ardi, warga Lamreung yang juga kawan petani itu mengingatkan, adanya “isu” yang mengatakan akan bermasalah jika tidak ada tinta hitam di jari. Tinta di jari, dimaksudkan sebagai pertanda sudah ikut Pemilu.

Wajar saja jika kekhawatiran diperlihatkan petani itu. Pasalnya, berembus kabar, aparat TNI akan melakukan razia. Jika kedapatan, aparat keamanan akan memberikan sanksi kepada warga yang tidak memiliki tinta hitam di jarinya. Sampai di sini, isu itu tidak berbuah kenyataan.

Kekhawatiran-kekhawatiran semacam itu timbul setelah adanya spanduk-spanduk yang berbunyi seperti di awal pembuka tulisan tadi: ikut Pemilu adalah bukti cinta NKRI. Pun, ada amaran dari jajaran pemerintah daerah dan Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) untuk menyukseskan Pemilu. Tragisnya, ada yang menerjemahkan, tidak ikut Pemilu berarti anggota dan simpatisan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Simaklah pernyataaan tegas Komandan Korem-001/Lilawangsa Kolonel Inf H AY Nasution di Lhokseumawe Kabupaten Aceh Utara. Dia menegaskan, selama ini yang tidak mendukung NKRI adalah pemberontak GAM. Jadi siapa saja yang yang tidak mendukung momen pemungutan suara, berarti termasuk pemberontak GAM.” Pernyataan ini dimuat di Harian lokal terbitan Banda Aceh, Serambi Indonesia, 6 April 2004 di halaman depan.

Simak saja apa yang dilontarkan Bupati Bireuen, Mustafa Geulanggang yang mengeluarkan pernyataan bernada ancaman bagi warga. Dalam kunjungan ke salah satu kampung, mantan anggota Komisi A DPRD Aceh ini menggolongkan desa rawan dan basis GAM dengan kerusakan suara. Menurut politisi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini, jika salah satu desa mengalami kerusakan suara mencapai 50 persen, maka desa itu digolongkan daerah rawan gangguan GAM. Ironisnya, salah satu TPS di asrama polisi di Bireuen, kerusakan kertas suara, mencapai 50 persen.

Adanya ketakutan untuk untuk tidak menggunakan hak suaranya dalam Pemilu, juga dibenarkan Tri Hartati, aktivis Forum LSM Aceh yang bertugas di Bireuen ini mengatakan, ada ketakukan warga untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau golongan putih alias golput. Karena, “Dalam imbauan itu juga ada disebutkan kalau ada suara rusak sekitar 50%, akan dikategorikan daerah rawan,” sebut Tri Hartati.

Masyarakat, kata Hartati, datang ke TPS-TPS untuk mencoblos, bukan didasari kesadaran politiknya. Namun, menurut Hartati, keikutsertaan itu, wujud dari tekanan dan ketakutan saja. Hartati mengungkapkan jika masyarakat pemilih diberikan pilihan antara memilih dengan tidak memilih, maka masyarakat akan banyak yang memilih tidak menggunakan hak suaranya pada hari pemilihan. “Tidak, kalau mereka boleh memilih, mungkin mereka akan memilih golput dan tidak akan ikut memilih. Mungkin warga merasa ketakutan kalau tidak pergi ke TPS untuk memilih. Karena mereka semua di data melalui kartu keluarga,” sebut Tri Hartatai.

Apa yang dikemukakan Hartati, juga dibenarkan Laina, relawan pemantau pemilu dari LSM Sahara Bireuen. Menurut amantannya di Desa Teupin Siron, Gandapura, Bireuen, warga pemilih pada umumnya diliputi rasa cemas dan kekhawatiran.

Menurutnya, dua hari menjelang Pemilu, Orang Tak Dikenal (OTK) masuk ke Desa Siron dan mengancam warga desa. Ancamannya, “Kalau paginya ada suara tembakan jangan pergi Pemilu,” sebut Laina menirukan ancaman tersebut.

Ancaman itu, menimbulkan rasa takut dan traumatis yang mendalam di benak warga. Pun begitu, warga tetap saja pergi ke TPS-TPS yang telah disediakan. Namun, praktis kondisi Desa Siron, lengang ditinggal penghuni. Warga juga membawa serta anak-anak kecil ke tempat pemilihan. “Masyarakat mungkin takut dan kampung sepi, tidak ada yang tinggal, bahkan anak-anak kecil pun dibawa serta,” sebutnya kemudian.

Lalu, bagaimana pengamanan di hari pemilihan di Kabupaten Bireuen. Adakah ancaman juga diterima warga dari pelaksana keamanan itu.

Wadanramil Peusangan Serka Sukarsyah mengaku menjaga ketat pelaksanaan pemilu di wilayahnya. Menurutnya, pasukan TNI dikerahkan di titik-titik TPS. Namun, katanya, pasukan TNI disiagakan dalam radius 500 meter dari TPS. Ia juga melanjutkan, dalam hal ini TNI tidak pernah memaksa warga untuk mengikuti Pemilu.

Pasukan TNI, kata Sukarsyah, selain diperbantukan aparat dari kepolisian, juga diperbantukan oleh anggota Front Perlawanan Separatis Gerakan Aceh Merdeka (FPSG). Pihak “relawan” FPSG, bahkan dua hari menjelang Pemilu melakukan penyisiran dan pengejaran terhadap anggota gerilyawan GAM. Menurut Fakri SE, dari FPSG, tindakan ini diambil pihaknya untuk mengantisipasi ketakutan warga terhadap imbauan GAM yang melarang masyarakat mengikuti Pemilu.

"Begitu kita adakan penyisiran, masyarakat timbul keberanian lagi, yang tadinya udah ketakutan diancam. Begitu kita turun bersama dengan masyarakat, masyarakat juga menganggap masih banyak yang membela kita, membela NKRI. Makanya waktu hari H, menurut pengamatan kami, di Bireuen itu 100% sukses,” sebut Fakri SE.

“Kesuksesan” mengamankan pelaksanaan Pemilu diakui Hasan Adamy, Ketua Panitia Pengawas Pemilu Bireuen. Dalam perannya TNI/Polri perlu diberikan nilai plus dalam pengamanan Pemilu di Bireuen. Hal itu dikatakan oleh Drs. Hasan Adamy, selaku ketua Panwaslu Kabupaten Bireun. “Kita juga berterimakasih kepada TNI/Polri yang telah mendukung kesuksesan pemilu di Bireuen, sehingga berjalan sukses,” sebutnya. Sementara dengan adanya beberapa insiden yang melibatkan TNI/Polri maupun GAM, dia mengatakan itu hanyalah hal yang kecil.

“Kesuksesan” itu, dinodai oleh adanya beberapa insiden yang bisa dikatagorikan ancaman terhadap pelaksanaan Pemilu. Sebut saja kejadian yang dilakukan TNI-Polri di Desa Krueng Meuh. Di desa ini, kata Munandar, Anggota Linmas Desa Pante Baro Glesiblah, aparat TNI-Polri memaksa masyarakat Pante Baro untuk mengikuti pemilihan di tempat yang telah dirayonisasi. “Mereka menyuruh warga untuk mengikuti Pemilu yang dirayonkan di Desa Alue Iet,” katanya.

Bukan hanya pemaksaan untuk melakukan pemilihan saja yang dilakukan aparat keamanan. Di Desa Tingkeum Manyang, Kecamatan Gandapura, Bireuen, Zakaria Ibrahim, kepala desa, mengalami perlakuan kasar dari aparat Brimob pengamanan Pemilu.

M. Yasin, tokoh masyarakat desa tersebut, membenarkan kejadian yang menimpa kepala desa Tingkeum Manyang itu. Namun, ia tidak mengetahui persis apa penyebab yang melatari pemukulan itu. Yasin mengaku, mengetahui insiden pemukulan yang menimpa Zakaria Ibrahim, dari keterangan yang diberikan warga. Yasin menduga, pemukulan itu terjadi karena keterlambatan perhitungan suara di TPS yang ada di desa itu.

Masih menurut Yasin, pemukulan itu disebabkan karena biaya pengamanan pemilu yang tidak sesuai. Padahal, kata Yasin, Zakaria sudah “membayar” biaya pengamanan kepada aparat kepolisian dari kesatuan Brimob tersebut.

“Sebagian warga juga mengatakan kalau Brimob tersebut meminta uang jatah pengamanan kepada keuchik, tetapi karena keuchik merasa telah memberikan, maka terjadilah pemukulan itu,” sebut Yasin.

Zakaria Ibrahim ketika dihubungi Selasa (13/4) membenarkan kejadian yang menimpanya pada hari pemilihan itu. Ketika ditemui, Zakaria masih tertatih-tatih ketika berjalan. Pemukulan oleh oknum aparat kepolisian yang dialami pada 5 April lalu itu, masih meninggalkan luka dalam tubuhnya. Menurut hasil rontgen di salah satu rumah sakit di Medan, Sumatera Utara, pemukulan itu, menyebabkan limpa Zakaria membengkak.

Zakaria pun berkisah. Kejadian itu terjadi pada pukul 20:30 WIB, pada saat perhitungan suara masih dilakukan. Namun, entah kenapa, tiba-tiba aparat yang menjaga perhitungan suara tiba-tiba menyiksanya. Akibatnya, Zakaria sempat dirawat inap selama empat hari di Rumah Sakit Umum Cut Meutia, Lhokseumawe, sebelum akhirnya dirujuk ke salah satu rumah sakit di Medan.

Kejadian ini, menyebabkan Zakaria sering mengalami kesakitan di rusuknya.

Namun, Zakaria berharap, insiden pemukulan dirinya itu, tidak diperpanjang lagi. Bahkan, ia buru-buru mengatakan sudah memaafkan tindakan yang dilakukan oknum Brimob itu. “Saya mohon jangan diperpanjang lagi, karena hal ini telah ditempuh jalan damai dan Kapolres Bireuen (AKBP. Handono Warih –red.) telah turun tangan,” katanya.

Bukan hanya Zakaria seorang diri yang menuai kekerasan di hari pesta demokrasi itu. Salah seorang warga Desa Lhok Bengkuang, Aceh Selatan, juga mengalami perlakuan hampir serupa.

Menurut data yang dikeluarkan Forum LSM Aceh, pada Minggu (4/4) pukul 23:00 WIB, korban dikasari oleh aparat yang tergabung dalam Satuan Gabungan Intelijen (SGI). Pemukulan ini, dilakukan karena korban memiliki selebaran politisi busuk. Pada Senin, korban dilepaskan. Namun, saat menjadi saksi untuk Partai Bulan Bintang (PBB), aparat dari SGI kembali menjemput paksa korban. Masih menurut informasi yang diperoleh dari Forum LSM Aceh, di pos SGI itu, korban kembali menerima siksaan dan pemukulan.
Namun, sayang informasi yang dikeluarkan Forum LSM Aceh ini, tidak disebutkan nama korban dan saksi pelapor. Alasannya, demi keselamatan korban dan saksi.

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting