Jumat, Desember 24, 2004

Geger 'Kayu Haram'

Reporter: Radzie – Jakarta

Selasa (26/10) lalu, kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh di kawasan Lampriet mendadak ramai dijejali wartawan. Di salah satu ruang sempit di kantor itu, para wartawan duduk menekuri Muhammad Ibrahim, Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Bambang Antariksa, pengacara, dan Akhiruddin, Koordinator Badan Pekerja Solidaritas Gerakan Antikorupsi (SoRAK) Aceh.

Hari itu, mereka memakai bendera Kelompok Kerja Aceh Damai Tanpa Korupsi (Pokja ADTK). Isu yang diangkat adalah hilangnya 5.221,99 meter kubik kayu sitaan di Pulau Simeulue. Akibatnya, menurut mereka, negara telah dirugikan Rp 3,5 miliar.

Bambang Antariksa yang menjadi jurubicara, lancar memaparkan ihwal penyelewengan kayu yang disita Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) pada 11 Agustus 2003 silam. Dalam sebuah operasi pencegahan illegal logging di pulau penghasil kayu terbesar di Aceh itu, PDMD menyita 18.682,42 meter kubik. Oleh PDMD, kayu bulat tak bertuan itu disita menjadi milik negara.

Cerita selesai sampai di sini. Nasib kayu itupun nyaris terlupakan. Baru di penghujung darurat militer, PDMD mengalihkan kayu sitaan itu kepada Pemda Nanggroe Aceh Darussalam. Lalu, pada tanggal 14 April 2004, Gubernur Abdullah Puteh membentuk Tim Pemanfaatan Kayu Sitaan Kabupaten Simeulue dan Aceh Singkil, melalui SK Gubernur Aceh No 522.21/144/2004.

Dari namanya saja, kata Pokja Aceh Damai, tim bentukan Abdullah Puteh ini sejak semula memang tak berniat akan melelang kayu curian itu. Yang terjadi justru pengangkutan, pengolahan dan penjualan. Dan belakangan terbukti, kayu-kayu itu memang dilego tanpa lelang. Padahal, menurut UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 79 ayat (1), setiap kayu hasil sitaan harus dilelang oleh negara.

Tapi nyatanya, penjualan itu hanya didasarkan pada SK Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) No DD 1152211 tertanggal 19 Mei 2004 oleh Dinas Kehutanan NAD cq Dinas Kehutanan Simeulue. Lalu dikuatkan oleh Abdullah Puteh, selaku PDSD saat itu, yang mengirimkan surat kepada menteri keuangan dan menteri kehutanan tentang pemutihan kayu sitaan tersebut. Surat itu bernomor 522.21/159-PDSD/2004, tanggal 28 Juni. Yang menarik, saat surat itu belum lagi sampai ke Jakarta, kayu-kayu tersebut sudah berada di Banda Aceh sejak 26 Mei.

Siapa Pembelinya?
Dalam dokumen yang diterima acehkita, proses pelegoan kayu negara itu dimulai pada Mei 2004, saat kayu-kayu itu dipindahkan dari Pulau Simeulue ke Banda Aceh melalui pelabuhan Ulee Lheue. Tahap pertama, kayu gelondongan itu dibawa dengan tug boat Panton, sebanyak 2.221,99 meter kubik. Kayu log dikirim ke alamat PT Kuala Batee Indonesia, milik seorang penguasa bernama Akmal di Jalan Tengku Chik Di Tiro, 24, Banda Aceh.

Menurut taksiran Pokja ADTK, kayu itu bernilai Rp 1,5 miliar dengan asumsi harga Rp 500 ribu per meter kubik. Anehnya, belakangan kayu yang dialamatkan ke PT Kuala Batee Indonesia itu, juga berada di lokasi CV Rahmah Furniture milik H. Anwar dan PT Budi Triksati yang beralamat di Krueng Raya, Ladong, Aceh Besar.

Nah, inilah yang menjadi masalah di kemudian hari. Selain kayu-kayu tersebut dijual tanpa melalui proses lelang, Pokja ADTK juga mencium gelagat tak baik dari perusahaan-perusahaan pembeli itu. PT Kuala Batee Indonesia misalnya, disebut-sebut sebelumnya tidak mencantumkan alamat jelas dan belum memiliki izin Perdagangan Kayu Antar-Pulau (PKAPT). Padahal, pencantuman nomor PKAPT pada SKSHH (Surat Keputusan Sahnya Hasil Hutan) adalah wajib.

Lagipula, menurut Pokja ADTK, kapal yang digunakan untuk mengangkut kayu tersebut diduga juga tak jelas juntrungannya. Menurut aturan, pengangkutan kayu antar pulau harus melalui perusahaan angkutan laut nasional yang memiliki Surat Izin Usaha Perusahaan Angkutan Laut (SIUPAL) atau Surat Izin Operasi Perusahaan Angkutan Laut Khusus (Siopsus) atau Pelayaran Rakyat (Pelra).

Silang sengkarut ini dilanjutkan pada bulan Agustus 2004, di mana sebanyak 3.000 meter kubik kayu sitaan itu kembali masuk ke Banda Aceh, dengan taksiran nilai mencapai Rp 2,02 miliar setelah ditambah Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).

Yang lebih miris, setelah PDMD menyita kayu haram itu, kasusnya sendiri justru terkatung-katung dan tak terdengar tindak lanjut pengusutan terhadap para pihak yang terlibat. Nah, belum lagi selesai yang satu, kini ditimpali dengan kasus penjualan tanpa lelang ini.

“Kita mendorong Kajati untuk mengusut tuntas kasus ini, sampai ke pengadilan. Kita akan bantu supaya pelaku illegal logging ini ditangkap,” kata Muhammad Ibrahim, Direktur Eksekutif Walhi Aceh ketika dihubungi acehkita telepon selular, Senin (29/11).

Lalu untuk kasus penjualan zonder lelang ini, Ibrahim menaksir kerugian negara yang ditimbulkan tak hanhya mentok pada angka Rp 3,5 miliar. “Itu angka minimal yang kita hitung,” katanya.

Lalu, siapa yang harus bertanggungjawab dalam penjualan kayu tanpa lelang ini? Ibrahim mengatakan, Gubernur Abdullah Puteh dan Wakil Gubernur Azwar Abubakar adalah orang yang paling bertanggungjawab. “Mereka sangat bertanggungjawab terkait kasus ini,” tegasnya.

Dalih bahwa kucuran dana hasil penjualan kayu ilegal itu digunakan untuk operasi kemanusiaan, tak terlalu dipercaya Ibrahim. “Kalau membangun fasilitas kemanusiaan yang dana proyeknya ada, tidak boleh. Tapi kalau tidak ada dananya, silakan saja. Seharusnya, membangun rumah korban konflik, bisa menggunakan kayu ini,” katanya.

Selain menohok Puteh dan Azwar Abubakar, Pokja ADTK juga mencatat sedikitnya 15 orang yang juga harus dimintai pertanggungjawaban.

Mereka adalah Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Ir Mustafa Hasjubullah, Ir Husni Syamaun (Kepala Sub Dinas Pengusahaan Hutan Dishut Aceh), Ir Ibnu Abbas (Kadis Kehutanan Simeulue), Hermansyah (Kepala Sub Dinas Pengusahaan Hutan Dishut Simeulue), Syamsuddin AG (staf Dishut Simeulue), dan Yuswin (staf Dishut Aceh).

Sementara di kalangan pengusaha, Pokja ADTK memasukkan Direktur PT Kuala Batee Indonesia, Akmal, sebagai pihak yang layak dimintai tanggungjawab. Selain itu, ada nama H Anwar (Direktur CV Rahmah Furniture), Direktur PT Budi Trisakti, H Datuk NG Razali (PT Panton Teungku Abadi), Reinir Aminsyah (PT Simeulue Kekal Mandiri), serta Welly Utomo (PT Simeulue Kekal Mandiri).

Masih ada lagi; Margono (PT Langkis Inti Persada), HT Burdansyah (PT Langkis Inti Persada), Nurdin Harahap (CV Angga) dan Ansaruddin (Koperasi Aurivan Bersamo).

Dibantah
Tentu saja pemerintah daerah tak tinggal diam menghadapi tudingan ini. Kepala Biro Hukum dan Humas Sekretariat Pemda Aceh, Hamid Zein mengatakan tidak benar Gubernur Abdullah Puteh dan Wagub Azwar Abubakar harus bertanggungjawab dalam kasus ini.

Kata Zein, kasus ini sudah dikelarkan melalui rapat Muspida yang dihadiri Gubernur, Wagub, Pangdam Iskandar Muda, Kapolda, Kepala Kejaksaan dan unsur BPKP. Menurut rapat itu, tidak ada masalah sama sekali mengenai penjualan kayu tersebut.

Karenanya, “Tuduhan dan data-data itu tidak benar sama sekali,” kata Hamid Zein kepada acehkita.

Lalu, bagaimana dengan penjualan tanpa lelang?

Menurut Hamid Zein, hal itu dilakukan karena pihak Pemda Aceh atau PDSD sudah mengantongi kewenangan. “Kita sudah dikasih kewenangan. Namun kewenangan itu bukan secara normal. Artinya, kewenangan itu berdasarkan UU Kedaruratan. Jadi, dari PDMD yang kemudian PDSD, sebagai turunannya, dapat menggunakan hukum darurat itu,” elaknya.

Bahkan, menurutnya, Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayjen Endang Suwarya juga berpendapat bahwa penjualan itu tidak ada masalah sama sekali. “Itu dalam konferensi pers sudah dikelarkan,” terangnya.

“PDSD tidak bisa sembarangan menggunakan dalih status darurat. Tindakan penguasa darurat tetap tidak dapat dibenarkan jika melanggar peraturan perundangan yang sudah ada. Maka, tindakan PDSD yang ‘melegalkan’ kayu sitaan itu dan menjualnya kepada pihak ketiga adalah Perbuatan Melawan Hukum berupa tindak pidana korupsi,” bantah Pokja ADTK. [r]


Dimuat di Majalah AcehKita Edisi Desember 2004

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting