Rabu, Desember 08, 2004

Ada yang Tidak Tahu Konflik Aceh

Reporter: Radzie - Jakarta

“Payah TNI, main tembak aja. Belum tentu bersalah juga,” kata seorang anak jalanan, seakan memberi penjelasan kepada kawannya, ketika melihat foto dua Tenaga Pembantu Operasi (TPO) yang diduga tewas ditembak anggota GAM.

Beberapa anak jalanan sibuk memelototi pajangan foto yang dipamerkan di stan acehkita, Sabtu (28/8) di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. Pandangan mereka, tertuju pada sebuah foto mayat yang berdarah-darah.

“E, ini di mana, ya?” tanya salah seorang anak jalanan itu kepada kawannya.

“Di Iraq, kali,” sahut yang lainnya. “Ambon!”

“Bukan! Ini di Aceh,” kata kawannya yang satu lagi. “Baca tulisan di bawah foto.”

Anak yang memakai baju kaos bercelana pendek itu, lalu termangut-mangut. Ia lalu membaca caption foto yang ada di bawahnya. Raut wajahnya, seketika berubah. Dahinya berkerut, begitu tahu kejadian itu di Aceh, sebuah provinsi yang terletak di ujung barat Indonesia.

“Ngeri,” katanya, sambil berlalu meninggalkan stan acehkita.

Hari Minggu (29/8), sekitar lima anak jalanan yang lain datang melihat-lihat pameran Bazar Media yang diselenggarakan dalam rangka memperingati 10 tahun keberadaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Seorang anak yang bertubuh tinggi kurus, terlihat seakan menjadi “penunjuk” jalan bagi kawannya untuk melihat foto-foto menarik.

Satu per satu foto yang menurutnya menarik, diperlihatkan kepada empat kawannya. Rata-rata anak ini menunjuk foto mayat. Bahkan, ia juga menunjuk gambar dua tengkorak yang ditemukan di Lhok Ndoe, Simpang Tiga, Sibreh Aceh Besar. Kedua tengkorak warga sipil yang diduga dibantai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini, ditemukan dalam satu liang.

Dua buah foto yang menampilkan dua Tenaga Pembantu Operasi (TPO) yang tewas ditembak GAM, membuat anak jalanan ini berkomentar pedas. Ia tidak lagi membaca keterangan foto yang dibuat acehkita.

“Payah TNI, main tembak aja. Belum tentu bersalah juga,” katanya seakan memberi penjelasan kepada kawannya yang berdiri di samping kanannya. Anak-anak jalanan itu, diperkirakan masih berumur delapan atau sembilan tahun.

Kawannya yang berpakaian lusuh, terlihat hanya mengangguk. Matanya masih menatap sebuah foto yang menampilkan mayat yang mengucurkan darah segar. Lama ia menatap foto yang mengerikan itu. Ia baru tersentak kaget, setelah tanggannya dihentak seorang kawan lainnya.

“Lihat yang lain aja,” ajak kawannya.

Lima anak jalanan itu, akhirnya meninggalkan stan acehkita.

Tak berapa lama setelah lima anak jalanan tersebut meninggalkan stan acehkita, seorang pria berpakaian rapi, datang melihat-lihat pajangan foto.

“Wah, ternyata ada ya, foto-foto korban seperti ini. Saya tanya sama salah seorang kawan saya di sana, katanya tidak ada,” kata pria itu terheran-heran.

Penjaga stan acehkita, lalu menceritakan, bahwa banyak rakyat sipil yang menjadi korban semasa pemberlakuan darurat militer di Aceh. Ini, kata penjaga stan itu, hanya beberapa foto saja yang dipajang dari sekian banyak foto serupa yang dimiliki acehkita.

“Kalau mau lihat lagi, Bapak buka situs kami aja,” kata salah seorang staf acehkita.

Lelaki itu hanya bisa termangut-mangut. Ia masih terus memelototi foto demi foto yang dipajang di stan berukuran 2x2 meter itu.

“Ini haluannya ke mana. Kiri atau kanan? Atau, tengah-tengah aja,” tiba-tiba lelaki berkulit putih itu, bertanya.

“Kita hanya berpihak kepada rakyat sipil,” kata staf acehkita, menjelaskan.

Mendengar penjelasan ini, lelaki itu, pamit, setelah melihat-lihat kesemua foto dan karikatur satir yang ada di stan itu.

Stan acehkita termasuk salah satu stan yang paling banyak dikunjungi, selain stan Tabloid Pulsa. Pasalnya, di stan tabloid ini, saban sore sejak pukul 18.00-19.00 WIB diadakan pelelangan telepon selular.

Stan acehkita pada Sabtu (28/8) atau hari keempat pameran, sempat dikunjungi Sri Bintang Pamungkas, mantan aktivis Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang pernah dijebloskan ke penjara semasa rezim Soeharto. Selain Bintang, Liem Soei Liong dari Tapol Internasional (LSM HAM yang bermarkas di London) juga menyempatkan diri berkunjung.

Pengunjung stan acehkita, terlihat membludak di hari pertama dan kedua. Untuk mengantisipasi ini, acehkita meminta “ruang” lainnya untuk menempel beberapa foto lain. Akhirnya, Panitia dari AJI memperbolehkan acehkita menempel empat frame foto di dinding samping stan Tempo Inti Media yang berada persis di depan stan acehkita.

Dalam acara Bazar Media yang diikuti 33 lembaga pers dan penerbitan itu, Acehkita menampilkan sebanyak 106 lembar foto. Foto yang paling dominan dipamerkan adalah foto rakyat sipil yang menjadi korban semasa setahun pemberlakuan darurat militer, yang diperpanjang lagi dengan darurat sipil. Sejak 19 Mei 2003 hingga 18 Mei 2004, Pemerintah Pusat memberlakukan status darurat militer di Aceh. Pada 19 Mei 2004, Jakarta menurunkan status Aceh, menjadi Darurat Sipil selama enam bulan, yang akan berakhir pada 18 November 2004 mendatang.

Namun, ada juga beberapa foto yang bersifat human interest, seperti foto Muhammaddin, salah seorang pemulung di Banda Aceh, yang diabadikan melalui rekaman lensa Fajar M, usai perayaan HUT RI ke-59 di Blang Padang Banda Aceh.

Foto kematian Ersa Siregar, dan pembebasan Ferry Santoro, reporter dan kameramen RCTI, juga menarik minat pengunjung, selain foto-foto bernuansa pemilu presiden putaran pertama, 5 Juli lalu.

Bahkan, seorang ibu yang berkunjung bersama dua anak gadisnya, terlihat terus mengamati foto-foto yang menampilkan dua wartawan stasiun televisi swasta nasional pertama di Indonesia itu. Padahal, seorang anak gadisnya, terlihat menarik tangan sang ibu mengajak melihat-lihat ke stan lain.

“Entar dulu. Ini lihat mayat Ersa,” kata sang ibu memberi penjelasan kepada anak gadisnya yang sudah tidak sabaran itu.

Foto Ersa yang dipajang adalah foto ketika Ersa disalatkan oleh masyarakat dan perwira serta prajurit TNI di Makodim 0103 Aceh Utara. Usai melihat gambar Ersa dan Ferry Santoro, ibu itu bukannya memenuhi keinginan anak-anaknya. Ia terus saja melihat-lihat foto-foto lainnya.

Beberapa foto korban penembakan, seperti foto jepretan Misrie yang mengabadikan seorang korban yang otaknya terburai, terpaksa ditutup dengan kertas, agar tidak terkesan vulgar dan sadis. Beberapa pengunjung, termasuk wanita, malah menyempatkan diri untuk menyibak kertas putih itu, untuk melihat foto-foto otak terburai itu.

Banyak yang bersimpati dengan kejadian di Tanah Seulanga. Seorang pengunjung yang mengaku dari sebuah lembaga swadaya masyarakat yang konsern dengan Hak-hak Asasi Manusia (HAM) di Jakarta, sempat meminta acehkita untuk memberikan data-data tentang pelanggaran HAM di Aceh.

Bahkan, seorang perempuan muda, terlihat betah berlama-lama di depan pajangan foto yang banyak menampilkan kematian itu. Perempuan yang memakai baju merah dipadu celana panjang berwarna hitam, justru seakan tidak mau melewatkan satu pun foto-foto hasil jepretan kontributor acehkita di Aceh.

Namun, tidak jarang, pengunjung juga tidak sanggup melihat tampilan foto-foto yang dipajang acehkita tersebut.

“Takut,” kata salah seorang gadis yang menjaga salah satu stan yang berdekatan dengan stan acehkita.

Tidak semua pengunjung yang menyatakan rasa simpatinya terhadap penderitaan korban di Aceh. Salah seorang pria malah sempat mencibir.

“Kalian jual data ke negara asing, ya?” cibir pria itu.

Mungkin sebelum melontarkan pertanyaan ini, pria berbadan tegap tersebut, terprovokasi dengan sebuah tulisan yang dipajang di antara 17 frame foto yang dipamerkan acehkita.

“Bagaimana selama ini kalian bisa berjalan? Karena menukarkan data, kan? Sama seperti… (menyebutkan sebuah LSM –red.),” timpalnya lagi.

Mendengar beberapa pertanyaan yang dicecar, dua staf acehkita yang menjaga stan ketika itu hanya bisa senyam-senyum.

Tidak sedikit pula yang mempertanyakan kebenaran foto tersebut. Salah seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Jakarta, bahkan mengaku tidak percaya di Tanah Serambi Mekkah ada banyak korban berjatuhan seperti yang tengah disaksikan di hadapan matanya itu.

“Ini benar di Aceh?” tanya mahasiswi itu, seakan tidak percaya.

Pasalnya, menurut penuturan mahasiswi itu, dia tidak mendapatkan informasi seperti ini, di media nasional dan ibu kota lainnya.

“Bagaimana foto-foto ini bisa diambil?” dia bertanya dengan wajah yang serius, masih tidak percaya.

Penjaga stan acehkita lalu menjelaskan bagaimana media yang konsern memberitakan perang di Tanah Seulanga, ini mendapatkan foto-foto yang bagi sebagian orang “mengerikan” itu.


***

Minggu (29/8), pukul 18.30 WIB. Bazaar Media AJI, ditutup. Belasan lembaga yang ambil bagian dalam bazaar itu, sibuk mengepak barang-barangnya. Puluhan pengunjung, masih tampak melihat-melihat beberapa stan yang belum tutup. Beberapa pengunjung, malah makin memadati stan acehkita. Padahal, Tuahta Arif dari Acehkita, sudah mengepak beberapa barang. Namun, ia urung mencopot 17 frame foto. Pasalnya, sekitar 10 pengunjung masih terus melihat-lihat koleksi acehkita itu.

“Sebentar lagi aja,” kata Tuah kepada kawannya.

Satu per satu pengunjung mulai meninggalkan stan acehkita. Tuah pun, akhirnya mencabut frame foto yang dipasang di dinding partisi ruang utama.

Sebelumnya, pada pukul 17.30 WIB, usai temu presenter, panitia AJI secara resmi menutup acara bazar yang berlangsung selama lima hari itu. Bazar Media yang dibuka Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Ratna Sarumpaet yang juga sutradara Teater Satu Merah Panggung yang pernah mementaskan Alia Luka Serambi Mekkah, diikuti 33 lembaga pers dan penerbitan di Jakarta, dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia. Di antaranya, Tempo Inti Media, Majalah Trust, Forum, Bussiness Week edisi Indonesia, Sinar Harapan, The Habibie Centre (THC), Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), LKiS Yogyakarta dan Mizan Bandung.

Sebelumnya, Bazar Media juga diramaikan dengan bedah diskusi, bedah buku Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa dan Gelombang Kematian: Media Pengobar Genosida di Yugoslavia. Ada pemutaran film Fahrenheit 9/11 karya Michael Moore yang monumental dan sebuah film dokumenter tentang Veronica Guerin, seorang wartawan investigasi asal Irlandia yang tewas karena membongkar mafia obat bius, selain temu presenter dengan sejumlah presenter dari RCTI, SCTV, Metro TV dan beberapa televisi lainnya. [r]

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting