Jumat, Desember 03, 2004

Mencapai Perbatasan [1]

9 November 2004
PERJALANAN dari Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng Jakarta ke Bandara Polonia Medan, terasa berjalan lama. Pikiran saya terus melayang supaya bisa segera berkumpul bersama keluarga, orang yang saya cintai dan orang-orang terdekat saya.

Jarum jam masih menunjukkan angka 09.12 WIB, ketika saya keluar dari lambung pesawat Adam Air yang mendarat di Bandara Polonia Medan.

Saya bergegas menuju ke tempat pengambilan bagasi dan segera saja meluncur ke Rumah Sakit Islam Malahayati yang terletak di Jalan Diponegoro Medan. Di sana, saya dan dua kawan akan mengambil tiket bus dengan menggunakan jalur darat. Keluarga kawan saya di Medan, sudah menunggu di rumah sakit itu.

Selembar tiket bus Kurnia, untuk dua orang, diberikan kepada kawan saya. Kami lalu mengganti biaya.

Jalur darat kami pilih, karena tiket pesawat Jakarta-Banda Aceh, sangat mahal, untuk ukuran saya. Wajar, karena menjelang perayaan Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 14 November 2004.

Sekitar pukul 12.03 WIB, kami berangkat ke Jalan Gajah Mada, tempat bus Kurnia mangkal. Lama juga kami berada di sana. Seharusnya, pukul 12.30 WIB bus sudah meninggalkan poolnya. Namun entah kenapa, baru pada pukul 13.00 WIB, bus baru berangkat.

Dalam perjalanan, saya mencoba memejamkan mata. Di luar bus, rintikan hujan membasahi jalanan yang membawa saya keluar dari Sumatera Utara. Mata saya sangat lelah. Maklum, malam sebelum berangkat, saya hanya sempat tidur satu jam, karena harus menyelesaikan pekerjaan yang akan saya tinggalkan selama dua pekan.

Seteklah bisa memejamkan mata sekitar 30 menit, saya kembali terjaga. Bus berhenti di sebuah SPBU, mengisi bahan bakar dan perbaikan kecil sebelum melanjutkan perjalanan jauh. Hujan masih belum berhenti ketika saya terjaga. Bus tak segera berangkat. Pikiran saya terus berkeliaran ke kampung halaman. Perjalanan akan memakan waktu sekitar 11 jam. Benar-benar akan menjadi hari yang melelahkan, sepanjang hidup saya.

Pukul 14.00 WIB, bus baru berangkat. Hujan sudah agak mereda. Jalanan licin, membuat sopir yang saya taksir berumur 40-an tahun berhati-hati dalam menekan pedal gas.

Mata tidak lagi terpejam. Saya mencoba tidur, tapi tidak bisa. Saya segera ingin mencapai perbatasan. Keinginan untuk cepat sampai perbatasan bukan tanpa alasan. Ketika singgah di RSI Malahayati, seorang dari Aceh mewanti-wanti razia identitas yang dilancarkan aparat keamanan.

“Pake KTP apa?” tanya orang itu.

“Merah Putih,” jawab saya.

Dia terdiam. Saya melihat dia agak tersenyum.

“Kalau KTP Kuning atau KTP luar Aceh, perjalanan akan lebih aman,” ujarnya.

Saya hanya bisa memandangi kawan yang duduk di samping. Kami membisu.

“Kalau KTP Merah Putih, biasanya harus ada surat jalan, kalau bepergian jauh,” lanjutnya lagi.

“Kami sudah lama tinggal di Jakarta,” balas kawan saya.

Tidak ada jawaban dari orang itu. Kami lalu bertanya, bagaimana situasi di jalan. Di daerah mana saja yang sering dilakukan razia atau pemeriksaan identitas.

“Tidak bisa dipastikan,” katanya.

Benar-benar gelap! Ini adalah perjalanan pertama saya dari Medan ke Banda Aceh, melalui jalur darat. Saya tidak tahu medan yang akan saya lewati. Namun, saya agak sedikit lega, setelah barang bawaan saya tidak ada yang berbahaya. Hanya baju. Selebihnya tidak ada. Sebelumnya, saya menyerahkan satu unit handphone kepada kawan, yang menjemput di Medan. Telepon itu, milik dia, yang dia titip beli di Jakarta. Ketika di Medan, saya berikan kepadanya.

***

Bus tidak segera mencapai perbatasan. Saya makin gusar, karena tidak sabar ingin segera mencapai perbatasan. Laju bus AC itu, lambat. Benar-benar membuat saya tidak sabar. Saya mencoba memejamkan mata. Tapi tetap tidak bisa. Entah kenapa. Di luar, hujan masih membasahi bumi. Entah kenapa, kali ini saya ingin hujan tidak berhenti.

“Kalau hujan, tidak ada razia,” batin saya.

Saya terus memandangi suasana jalan dan mengamati setiap kampung yang saya lewati. Setiap mencapai kecamatan baru, saya selalu mengirimi pesan pendek kepada kawan saya. Ini sering saya lakukan dalam setiap perjalanan jauh.

Sudah mencapai Binjai. Tak berapa lama, perbatasan, akan segera tampak. Jam sudah menunjukkan angka 17.15 WIB. Sudah sore. Perut saya mulai keroncongan. Ketika di Medan, saya mengeluh perut saya yang sakit. Saya berusaha untuk bertahan puasa.

Tak berapa lama, akhirnya bus yang membawa saya kembali ke Aceh, sampai juga ke perbatasan. Semula, saya melihat satu pos Polisi Militer. Seorang anggota berdiri di depannya, sembari mempersilakan bus dan kendaraan berjalan.

“Lho, katanya ada razia,” batin saya lagi.

Sebuah truk di depan, langsung merangsek, meninggalkan pos itu. “Perbatasan Sumatera Utara-Aceh”. Sebuah pamplet say abaca, begitu kira-kira isinya. Saya tidak terlalu sempat baca semua.

Ternyata dugaan saya salah. Pemeriksaan baru akan dilakukan setelah mencapai garis yang menjadi wilayah hukum Nanggroe Aceh Darussalam.

Sebuah pos berdiri di sana yang dijaga oleh beberapa petugas dari Polisi Militer. Mobil berhenti, mengantri pemeriksaan.

Giliran bus yang saya tumpangi, diperiksa.

“Assalamu’alaikum,” sapa petugas PM yang naik ke bus. Dia memakai seragam lengkap dengan senjata M-16 yang ditenteng di bahunya.

“Coba perlihatkan KTP,” katanya ramah.

Saya dan kawan yang duduk di depan, langsung saja merogoh dompet, mengeluarkan KTP. Ketika KTP saya pegang, petugas itu sudah berada di bangku nomor dua, di belakang saya. Petugas itu memperhatikan KTP dan mencocokkan dengan wajah si pemilik. Saya menduga, petugas itu akan kembali, memeriksa identitas saya. Ternyata, perkiraan saya salah. Petugas itu terus memeriksa penumpang di bagian belakang.

Seorang pemuda, tidak bisa menunjukkan KTP. Dia diturunkan, dan dibawa ke pos. Semua penumpang, terbelalak, mengetahui ada seorang penumpang lainnya yang tidak mengantongi KTP. Pak Sopir pun, terkejut.

“Kenapa?” tanyanya kepada kernet.

“Tidak ada KTP,” jawabnya. Kedua mereka berbicara dalam bahasa Aceh.

“Kok berani pulang kalau tidak ada KTP,” gumam sopir, sembari beranjak turun dari bus dan bergerak ke pos.

Saya terus memandangi beberapa aparat lainnya yang memeriksa kendaraan yang datang dari arah Aceh Tamiang. Tidak ada yang luput dari pemeriksaan. [bersambung]

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting