Jumat, Februari 25, 2005

CATATAN HARIAN 2
Hari-hari Sulit Menggawangi Newsroom

Baca juga:
CATATAN HARIAN 1
Tsunami: Semoga Bukan Kado Ulang Tahun


Ya, hari-hari selanjutnya menjadi hari-hari terberat saya dalam bekerja. Apalagi, setelah saya tinggal seorang diri, menggawangi situs berita yang menampilkan kepedihan akibat gempa dan gelombang pasang tsunami. Sebelum tsunami, di jajaran redaksi yang mengurus berita hanya dua orang, saya dan Dandhy D Laksono (Pemred). Dibantu oleh Tuahta (Sekretaris Redaksi). Saya juga sering ditemani oleh kawan sekampung, Maimun.

Namun, setelah tsunami, Maimun dan Dandhy ke Aceh. Tingallah saya bersama Tuahta. Dia pun, sering membantu posko Rumoh Kita, di lantai bawah. Akibatnya, hanya saya seorang diri menghandle redaksi. Mengerjakan pengkoordiniran reporter di Lhokseumawe, Bireuen dan Banda Aceh. Menerima telepon reporter yang akan melaporkan berita, dan kemudian menulis sendiri berita yang dilaporkan secara mentah itu.

Wuh, benar-benar menjadi hari-hari berat yang saya rasakan.

Itu dimulai sejak Senin (27/12/04) malam, setelah Dandhy memutuskan berangkat ke Banda Aceh, untuk memastikan keselamatan rekan-rekan wartawan AcehKita. Sekaligus, melakukan liputan di daerah yang baru saja dilanda tsunami yang mengganas.

Pagi Selasa (28/12), saya bangun dari tidur singkat saya. Muka tidak saya cuci, termasuk mulut. Dengan hanya mengenakan celana pendek yang dibalut sarung dan baju kaos yang saya gunakan untuk tidur, saya langsung menuju meja komputer. Kali ini, saya turun ke ruang meeting yang ada di lantai bawah. Di sana, melalui laptop, saya meng-upload foto yang dikirim kawan dari Bireuen.

Ketika memilih-milih foto, saya menemukan kematian yang disebabkan laut yang murka.

Tak disangka, mata saya berkaca-kaca. Hati gelisah, teringat keluarga dan orang-orang terkasih yang belum ada kabar. Saya pasti tidak akan bisa membayangkan, jika ini menimpa mereka. Saya pasti tidak sanggup menerimanya. Saya terlalu lemah.

Yan Aryanto, kepala Teknologi Informasi Situs AcehKita, bertanya. “Kenapa, Pak?” Saya dan dia, suka saling memanggil Pak. Tapi, bukan dalam artian formal seperti kebanyakan terjadi di kantor-kantor. Bukan sama sekali. Cuma, keenakan aja.

“Nggak,” saya menjawab sekenanya, sambil menggeleng.

Setelah sukses mengupload foto, saya bergegas ke ruang dan duduk di depan komputer saya. Kembali, saya bergelut dengan dunia saya. Saya menelepon kawan-kawan di Bireun, Lhokseumawe dan Banda Aceh, meminta setoran berita.

Mandi dan cuci muka, tidak teringat lagi. Sesuatu yang saya jarang lakukan ketika masuk kerja pada hari-hari sebelumnya.

Tanpa mandi, saya menerima berita dari kawan-kawan di sana. Banyak kesedihan yang dilaporkan. Banyak mayat yang bertebaran di setiap sudut kota. Banyak kerusakan yang terjadi. Banyak tempat yang dulu familiar dengan saya, dilaporkan telah rusak.

“Masya Allah, Dzie. Ada ibu dengan orok di antara kakinya,” kata Dandhy.

Saya terdiam.

“Itu di simpang Lambaro, ratusan jenasah yang sudah dikumpulkan di depan markas PMI,” lanjutnya.

“Belum ada tanda-tanda akan dikuburkan. Padahal, jenasah korban terus berdatangan.”

Lapor Dandhy, begitu dia sampai di Aceh Besar. Belakangan, ratusan jenasah itu dikuburkan di pemakaman umum yang tak jauh dari markas PMI.

Saya tidak bisa membayangkan ratusan jenasah terkumpul dalam satu tempat.

Laporan demi laporan terus dikirimkan mereka dari daerah itu. Hingga menjelang pukul 23.00 WIB, laporan kesedihan itu terus berdatangan.

Oops, ternyata saya belum makan malam. Saya mencoba makan nasi kotak, yang dibeli orang posko. Menunya, ayam bakar. Saya makan beberapa sendok, nasi dan ayam bakar, saya letakkan kembali di bawah meja saya. Tidak mampu membangkitkan selera makan saya. Padahal, siangnya, saya juga hanya makan sedikit.

Wah, ternyata saya juga belum mandi. Ah, biarlah besok saya mandi.

Saya terus memantau berita demi berita dari media lain.

Menjelang pukul 03.00 dinihari, saya beranjak tidur, dengan membawa segenap kegelisahan yang tersimpan dalam benak saya.

Ketika bangun sekitar pukul 09.00 WIB, saya langsung menuju ke komputer. Seperti biasa, saya mengupload foto.

Hari itu saya lakoni seperti hari sebelumnya. Tidak berubah, kecuali satu hal. Selain menerima telepon dari wartawan Acehkita di Aceh, saya juga menerima telepon dari orang-orang yang mencari anggota keluarganya.

Ketika deringan telepon itu saya sahut, saya seperti robot yang sudah mempunyai segudang jawaban yang akan diberikan.

“Pak, kami dari PT Samudera. Kami mencari kapal yang kehilangan kontak di Aceh,” kata seorang dari balik telepon. Saya lupa nama Bapak itu dan nama kapal yang diminta informasi itu.

“Aduh, kita kesulitan melacaknya. Hubungan telepon ke sana sangat susah,” kata saya. “Namun, kalau ada informasi, saya akan kabari.”

Saya memberi dia nomor HP kawan saya di Aceh. Eh, ternyata nomor itu sudah berganti. Dia tidak lagi memakai nomor yang saya berikan itu. Dia telah mengganti dengan nomor Mentari. Pasalnya, jaringan Mentari, walau pun terganggu, bisa digunakan dengan baik.

Aduh, saya tidak bisa membantu.

Hari-hari menerima telepon dari orang yang meminta dicarikan anggota keluarganya, membuat saya semakin bersedih.

“Saya Ana. Tinggal di Jerman,” sebut perempuan di balik telepon. Mulanya dia menggunakan bahasa Indonesia. Namun, dia tidak terlalu fasih berbicara bahasa Indonesia lagi. Logatnya, persis seperti orang Malaysia.

“Dek, bisa bahasa Aceh?” tanyanya.

“Jeut (bisa), Kak,” jawab saya langsung.

“Kakak nggak terlalu bisa lagi ngomong bahasa Indonesia. Sudah lama di Jerman,” dia beralasan. Kali ini dia menggunakan bahasa Aceh, dengan lancar dan fasih.

“Saya mencari Maskirbi. Do you know Maskirbi? Ooh, maaf, tahu Maskirbi?” tanyanya.

“Ya, saya tahu.”

“Dia tinggal di Kajhu.”

Saya tercenung mendengar nama Kajhu. Pikiran saya tambah kacau. Kalau tinggal di sana, kemungkinan selamat sangat kecil. Namun, saya tidak berani mengatakan itu. Saya langsung teringat empat hari sebelum tsunami.

Menjelang pukul 23.00 WIB, saya menelpon Nurul. Dari situ, saya tahu malam itu dia tidur di Kajhu, tempat bibinya. Setelah menelepon malam itu, saya tidak bisa menghubungi dia lagi. Pasalnya, malam kami ngobrol selama setengah jam itu, dia mengabarkan akan menjual HP-nya. Alasannya, layar HP Nokia 2100 miliknya, sudah tidak bagus lagi. Ketika saya bertemu dia waktu pulang liburan Idul Fitri, sebulan sebelum tsunami, saya lihat layar HP dia sudah menghitam di bagian samping.

Ketika saya tanya, dia menjawab. “HP jelek,” katanya singkat.

“Do you know Kajhu kan,” kata-kata Kak Ana memecahkan lamunan saya.

“Ya, memang…” saya tidak kuasa melanjutkan kata-kata.

“Kami kehilangan kontak dengan Maskirbi. Kalau Adek tahu, kasih informasi ke kakak, ya,” harapnya.

“Saya berharap tidak terjadi apa-apa dengan keluarga Kakak.”

“Semoga.”

“Namun, saya tidak bisa menjanjikan apa-apa.”

“Kapan saya bisa kembali call ke sini?”

“Aduh, saya tidak bisa pastikan. Hubungan telepon ke Banda Aceh, sangat susah.”

“Tapi, tolong kabari, ya.”

“Insya Allah.”

“Nanti saya telepon lagi.”

Saya meletakkan gagang telepon.

Saya menghempaskan badan di atas kursi saya yang sama sekali tidak empuk. Saya menarik nafas panjang. Tangan saya gemetar. Membayangkan Kajhu, yang telah hilang dari peta.

Bukan hanya Kak Ana yang menelpon menanyakan kabar keluarganya. Saya tidak terlalu ingat, berapa orang yang meminta bantuan redaksi. Namun, saya tidak bisa berbuat apa-apa.

“Ah, bagaimana dengan keluarga saya?” teriak saya pada Tuahta.

Dia tersenyum, getir. Dia tidak berkata apa-apa.

“Masih sempat aku duduk di sini, aku tidak mengetahui kabar keluargaku.”

Aku mulai emosi. Jiwaku sangat tertekan. Aku labil.

Tuahta mulai menenangkan saya.

“Abang tabah,” katanya, menghibur.

“Tabah, apanya?”

“Abang masih bisa melayani orang-orang. Sedikit yang bisa.”

Aku tertawa. “Tapi, orang tidak tau kan, perasaanku? Aku stress, Tuah.”

Dia terdiam.

Setelah mengucapkan kata-kata itu, aku tertawa keras. “Wowwwwww,” aku berteriak.

Hampir semenit, aku cengingisan. Ketawa dalam kepedihan hatiku. “Ini obat untuk menghilangkan stress,” kataku, berlalu meninggalkan dia. Aku kembali duduk di depan komputer. [bersambung]

Baca juga:
CATATAN HARIAN 3
Beroleh Kabar dari Kampung

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting