Jumat, Februari 25, 2005

CATATAN HARIAN 3
Beroleh Kabar dari Kampung

Hari itu (Rabu), saya masih juga belum tahu kabar dari keluarga dan Nurul.

“Dzie, kamu ikhlaskan aja. Susah cari yang mati, apalagi yang hidup,” kata Dandhy, setelah dia memberikan laporan perkembangan terakhir di hari ketiga itu.

Kata-kata dia, membuat aku terdiam. Darahku panas.

Aku kembali membayangkan suasana Banda Aceh. aku kembali teringat terakhir kali bisa berbicara dengan dia. Wuh, benar-benar menyiksaku.

Pada siang hari, saya menerima panggilan dari Abang saya yang tinggal di Palembang. Dia menanyakan gimana kondisi dan kabar keluarga di kampung.

Saya menjawab sekenanya.

“Jika banyak kematian dan kerusakan itu ditimbulkan air tsunami, kemungkinan besar kampung kita tidak apa-apa. Tapi, kalau sebaliknya, saya tidak tau,” kata saya. Waktu menjawab ini, saya masih bisa tersenyum.

Dari balik HP, saya mendengar suara dia parau. Semoga dia tidak menangis.

Lalu, saya mengalihkan pembicaraan pada kerusakan yang ditimbulkan. “Orang meninggal sudah ratusan,” kata saya.

Ketika menceritakan kerusakan, kematian dan daerah mana saja yang rusak parah, saya mulai menitikkan airmata. Terlebih, ketika saya sebutkan daerah Kajhu dan Cadek. Saya mengabarkan daerah itu, karena kawan abang saya tinggal di Kajhu. Saya lalu menangis. Dia lalu menghibur saya. Tak berapa lama, pembicaraan kami akhiri.

“Wuh.” Perasaan saya sesak. Saya mulai berpikir, kenapa saya bisa memberikan jawabab ketika orang-orang menanyakan tentang nasib keluarga mereka. Namun, kenapa saya tidak bisa memberikan kabar tentang keluarga saya, ketika abang menelepon? Saya menyesali diri sendiri.

***

Seperti biasa, menjelang pukul 03.00 dinihari, aku beranjak tidur, masih dengan perasaan yang tidak menentu. Tapi, aku sangat berterimakasih pada Allah, yang masih memberi kenikmatan tidur bagiku, di saat aku sedang gundah. Aku tertidur pulas. Seperti tidak ada mimpi yang menemaniku.

***

Hari keempa pascatsunami.

Aku tidak bercerita lagi tentang rutinitas yang aku lakoni. Karena masih seperti kemarin.

Agak sore, aku menerima telepon. Lagi-lagi dari Kak Ana.

“Sudah ada kabar, dik?” tanyanya.

“Belum,” jawab saya singkat.

“Oh.”

“Kasih tau saya, ya, jika ada kabar. Ini catat nomor HP saya.”

Saya mencatat nomor HP yang dia berikan. Saya simpan, entah di mana. Saya tidak ingat lagi. Yang jelas, ketika itu saya simpan di dalam file berita hari itu. Saya tidak ingat judul file.

***

Nada dering di HP saya berdering. Lagu Bring Me to Life yang dinyanyikan merdu oleh kelompok Evanescence. Saya memandangi layar HP. Muncul angka telepon yang tidak tercatat di memori HP saya. Namun, angka di kode wilayah, membuat saya tercengang.

Pasalnya, kode itu sangat familiar dengan saya.

“Alhamdulillah. Tuah, ini dari kampung saya,” teriak saya kepada Tuahta yang duduk di depan komputer saya.

Saya menerima panggilan itu. Ternyata, Hamdan.

“Cek Ran,” kata Hamdan, membuka bicara.

Dia memanggil saya Cek (paman). Sebenarnya, dia bukan keponakan saya. Tapi, karena istrinya keponakan kakak ipar saya, makanya dia juga ikutan memanggil saya cek, seperti halnya dia memanggil kakak ipar saya.

“Tidak usah sedih. Keluarga di kampung tidak apa-apa,” kata dia.

“Alhamdulillah. Bagaimana dengan Abi, Mak dan Abang?” tanya saya tentang keluarga saya, yang tinggal di kampung lain.

“Tidak apa-apa,” kata dia.

“Benar tidak apa-apa?”

“Ya, tadi Abi ada di Keude. Om juga ada. Apa mau bicara sama Om?”

Yang dimaksud Om adalah, abang saya. Memang, selama ini Abi dan Abang saya, berjualan di pasar.

“Tidak usahlah.”

“Tadi Cek Yah mau nelpon, tapi nggak masuk. Susah kali sinyalnya,” kata dia.

“Iya.”

“Makanya, ketika Cek Yah pulang, saya minta nomor HP Cek Ran.”

“Ooo…. Mungkin saya pulang nanti tanggal 1 atau 2 Januari,” kata saya.

“Mau pulang? Tapi di kampung tidak apa-apa.”

“Hom hai, meuka tawoe (Entahlah, pokoknya saya pulang),” kata saya. “Salam saya buat Abi dan Abang, ya.”

Usah menerima kabar itu, saya tak henti-hentinya mengucapkan syukur.

Satu masalah, terlampaui. Kini, saya hanya bisa mencari keberadaan Nurul.

Kepada Tuahta, saya pernah petakan beberapa kemungkinan keberadaan Nurul.

“Ada tiga tempat yang sering berada,” kata saya. “Pertama, dia tidur di rumahnya, Cadek. Kedua, karena terakhir saya telepon dia berada di rumah bibinya, berarti dia berada di Kajhu. Ketiga, dia tidur di rumah kawannya, di kampung Laksana. Nah, kalau dia tidur di Cadek dan Kajhu, kemungkinan besar dia tidak selamat. Tapi, kalau waktu kejadian dia tinggal di Kp Laksana, kemungkinan besar, dia selamat.”

Tuahta manggut-manggut mendengar penjelasan saya.

“Saya berharap, dia berada di Kp Laksana pada malam itu,” harap saya.

Sampai di sini, saya belum beroleh kabar tentang keberadaan dia. Masih di sore itu, entah kenapa jemari saya bergerak mencari nomor HP dia. Saya mencoba menelepon. Tidak tersambungkan. Lalu, jemari saya menulis pesan pendek.

“Gimana kabarnya. Saya sangat mencemaskanmu.” Pesan itu saya tulis dalam bahasa Aceh. Dua nomor HP milik dia, saya kirimi pesan itu. statusnya, Menunggu. Uh! [bersambung]

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting