Kamis, Agustus 26, 2004

Adakah Hak Aceh untuk Damai?

RABU, 25 Agustus 2004. Ratna Sarumpaet, Ketua Ikatan Kesenian Jakarta (IKJ) membuka Bazaar Media yang digelar Alianasi Jurnalis Independen (AJI) dalam peringatan HUT AJI ke-10. Bazaar yang diadakan di Galeri Cipta 2 Taman Ismail Marzuki, banyak diikuti media terkenal di Jakarta. TEMPO, Sinar Harapan dan LKBN Antara, untuk menyebut beberapa. Selain itu, ada stan Mizan, LKiS, Yayasan Obor, ISAI dan Toko Buku Kalam.

Banyak pengunjung memadati arena bazaar. Sebuah media yang baru berumur 1,5 tahun, juga ikut. Acehkita, nama media itu. Sebuah media yang mengkhususkan pemberitaannya pada penderitaan rakyat Aceh yang sedang dilanda konflik. Acehkita, memilih menampilkan beberapa foto kejadian selama daerah Serambi Mekkah diterapkan status darurat militer selama setahun lamanya. Kemudian, diperpanjang dengan darurat sipil.

Sekitar 100-an foto rakyat korban konflik dipajang. Semua mata yang berlalu lalang, memilih untuk ikut menyaksikan foto itu.

“Aduh, ngeri. Saya nggak bisa lihat,” kata salah seorang pengunjung.

Perempuan itu, lalu memilih untuk tidak berlama-lama di stan .

“Ayo, ke stan lain,” ia mengajak kawannya.

Ya, ini adalah cara acehkita menceritakan kejadian yang sebenarnya di Aceh. Tidak bermaksud mendramatisir.

Saya juga hadir dalam pameran itu. Betapa, saya bergumam, hak-hak rakyat di daerah konflik, diinjak-injak. Ini, gumam saya lagi, bisa terjadi di daerah mana saja yang dilanda konflik. Papua, Ambon, Kosovo dan Bosnia, juga mengalami seperti ini, batin saya.

Lantas, saya bertanya pada diri sendiri, tidakkah ada kesempatan untuk rakyat Aceh untuk hidup normal sebagaimana saudara-saudaranya di Jakarta, Surabaya, dan daerah aman lainnya? Kenapa mereka harus terus dikasari?

Saya tidak menemukan jawabnya. Entah siapa yang bisa memberikan jawaban itu.

Seorang kawan saya dari Jakarta bertanya. “Seperti apa sih konflik di Aceh?”

Saya hanya menjawab dari apa yang saya pahami. Kata saya, kepada sang kawan, konflik Aceh tidak bisa dipandang dari satu sudut pandang. Artinya, kasus Aceh yang sudah menahun dan sudah sangat kompleks permasalahannya. Di Aceh, lanjut saya, konflik itu telah ada sejak pasca-kemerdekaan, kalau mau ambil garis pembatas sejak lahirnya Indonesia. Tapi, tidak semua kejadian menyalahkan Pemerintah Indonesia.

Masa pasca-kemerdekaan, Presiden Soekarno menjanjikan akan memberikan hak istimewa kepada Aceh. Tapi apa lacur, Provinsi Aceh malah dilebur menjadi bagian dari Sumatera bagian Utara. Ya, digabung menjadi bagian (kabupaten) yang berinduk ke Medan. Semua marah! Daud Beureu-eh, tokoh yang sangat mempertahankan Indonesia di Aceh, lalu angkat senjata, melalui Darul Islam Indonesia (DI/TII), pada 21 September 1953.

Pada 23 September 1955, tokoh Aceh menggelar Kongres Rakyat Aceh atau Kongres Batee Krueng. Daud Beureueh diangkat sebagai Kepala Negara dan Wali Negara Aceh. Aceh sebagai Negara Bagian Aceh dari konfederasi NII pimpinan Kartosoewirjo. Dibentuk Ketua Majelis Syura (DPR) Tengku Husin Al Mujahid, Kabinet Negara Bagian Aceh sebanyak sembilan menteri dan Resimen Pertahanan dan Perlawanan sebanyak tujuh wilayah.

Padahal, dulu Daud Beureu-eh merupakan pendukung setia Soekarno dan Indonesia. Lihat saja ketika Soekarno merengek-rengek minta dibelikan kapal terbang. Tempo dua bulan, terkumpul 500.000 dolar AS. Sebanyak 250.000 dolar AS disalurkan kepada angkatan perang RI, 50.000 dolar AS untuk perkantoran RI, 100.000 dolar AS untuk pengembalian pemerintah RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 1000 dolar AS diserahkan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis.

Kemudian rakyat Aceh mengumpulkan 5 kg emas untuk membeli obligasi pemerintah untuk membiayai perwakilan Indonesia di Singapura, pendirian Kedutaan Besar RI di India dan pembelian dua pesawat terbang untuk transportasi pejabat RI.

Lalu, apa yang didapat? “Merger” provinsi. Bayangkan, Aceh dari sebuah kerajaan yang diperhitungkan di dunia ketika sebelum Indonesia ada, malah menjadi sebuah distrik.

Setelah dibujuk, akhirnya Beureu-eh “turun” kembali ke pengkuan “Ibu Pertiwi”, setelah pada 16 Mei 1959 Pemerintah Seokarno kembali menyetujui berdirinya Provinsi Daerah Istimewa Aceh berdiri. Persetujuan itu dituangkan Wakil Perdana Menteri RI Mr. Hardi dalam Surat Keputusan Nomor 1/Missi/1959. Isinya, memberikan otonomi bidang pendidikan, agama dan adat istiadat. Babak baru Aceh ini berkat negosiasi Gubernur Ali Hasjmy dan Pemimpin Dewan Revolusi Aceh Hasan Saleh. Ia orang dekat Daud Beureueh yang membelot dengan alasan letih berjuang dan memilih turun gunung.

Selesai? Sementara, ya!

Ketidak-adilan terus berlanjut di Aceh. Apalagi setelah gas alam ditemukan di Aceh pada kurun waktu tahun 1970-an. Semakin terasa ketidakadilan, apalagi, kekayaan alam yang dikeruk dari perut bumi Aceh, tidak dikembalikan secara setimpal. Pada 4 Desember 1976, Hasan Muhammad di Tiro memproklamirkan Aceh Merdeka.

Pada 1989, Jakarta di bawah Soeharto menggelar Daerah Operasi Militer dengan sandi Operasi Jaring Merah. Selama sepuluh tahun lamanya, sebelum pada 7 Agustus 1998 Presiden Habibie melalui Panglima ABRI Jendral Wiranto mencabut DOM.

Semua mata terbelalak, ketika DOM dicabut. Ribuan pelanggaran HAM terkuak, akibat penerapan DOM di Aceh. Nyaris tidak ada yang tahu. Rakyat Aceh sebenarnya hanya menginginkan mereka yang terlibat dalam DOM, diadili. Itu saja. Ini semacam rekonsiliasi. Namun, itu tidak mendapat respons positif Jakarta.

Semakin terluka rakyat Aceh. Pada 4 Februari 1999 mahasiswa Aceh menggelinding bola referendum yang mendapat sambutan hangat rakyat Aceh. Puncaknya, pada 9 November 1999, Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) Aceh yang, katanya, dihadiri oleh sekitar 1,5 juta rakyat Aceh. Gus Dur dan Amien Rais, merupakan tokoh nasional yang juga ikut membuka selubung referendum yang dipancangkan di Mesjid Raya, ketika itu. Ketika Gus Dur menjadi Presiden, bola referendum semakin menggelinding. Bahkan, ia memprovokasi: “Jika ada referendum di Timor Timur, kenapa tidak boleh ada (referendum) di Aceh,” kata Gus Dur ketika berada di Phom Phen, Kamboja.

Di tahun 1999 atau tepatnya 23 Juli, sebuah luka rakyat Aceh kembali tergores. Teungku Bantaqiah dan 56 pengikutnya dibantai di Dayah Babul Mukarramah, yang dipimpinnya di Beutong Ateuh, Aceh Barat (sekarang Nagan Raya). Tidak ada yang dihukum, selain beberapa prajurit.

Laksa pelanggaran dan ketidakadilan itulah, yang menyebabkan rakyat Aceh tidak bisa hidup dalam damai. Upaya perundingan antara GAM dan RI telah dilakukan. Mentok! Puncaknya, pada 19 Mei 2003, Jakarta memberlakukan Darurat Militer hingga 19 Mei 2004. Setahun lamanya. Disusul penerapan Darurat Sipil pada 19 Mei 2004 hingga 18 November 2004.

Foto pajangan acehkita itulah, produk pemberlakuan dua status itu di Aceh. Tidak adil memang kalau mengatakan itu semua salah TNI/Polri (Jakarta). GAM juga banyak yang memproduksi kekerasan selama konflik Aceh. Kedua mereka telah menyebabkan rakyat Aceh menjadi korban.

“Kalau melihat Aceh, kamu harus cari pembandingnya. Jangan hanya dengar dari saya saja,” kata saya kepada kawan itu.

Ia terangguk-angguk.

“Coba bicara dari hati ke hati dengan rakyat Aceh. Ketahuan akan ke mana mereka berkiblat,” lanjut saya lagi.

Ia masih terangguk-angguk. Saya tidak tahu, apa ia terima dengan penjelasan saya. Tapi, saya tetap berharap, ia mencari sumber pembanding.

Jakarta, 26 Agustus 2004

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting