Rabu, Oktober 14, 2009

Membangkitkan Trauma Tsunami

Oleh FAKHRURRADZIE GADE

DI tembok bekas pagar, Hamiyah bersandar. Tangan dan bibirnya terlihat bergetar. Pandangan ia arahkan ke sejumlah orang yang lari sambil berteriak histeris. Di depannnya, dari arah laut puluhan orang berlari ke arah gedung penyelamatan di kantor Pusat Riset Mitigasi Bencana dan Tsunami --yang terpaut sekira 300 meter dari posisi Hamiyah.

"Tujuannya apa dibuat acara seperti ini?" tanya Hamiyah kepada seorang pemuda yang mendekatinya.Hamiyah sadar, puluhan orang berlari sambil berteriak histeris adalah mereka yang terlibat dalam simulasi penyelamatan diri saat tsunami menerjang. Tapi, Hamiyah tidak ingin mengikuti simulasi tersebut.

Sejak pagi, Hamiyah mengurung diri di rumah. Ia tidak ingin melihat simulasi, yang membuatnya terkenang peristiwa Desember 2004 silam. Tsunami yang menghancurkan Aceh lima tahun silam itu, menyebabkan Hamiyah harus kehilangan 12 anggota keluarganya.

Hamiyah mengaku masih trauma. "Buat apa diingat-ingat kejadian dulu," kata Hamiyah.

Bagi Hamiyah, peristiwa tragis yang melumat 12 anggota keluarganya itu telah menjadi lembar kelam. "Saya sedih kalau mengingat kejadian itu," ujarnya.

Saat mendengar bunyi raungan sirine yang dibunyikan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Banda Aceh, perempuan berusia 58 tahun itu, langsung terkejut. "Dada saya sesak," ujarnya. Tangan kirinya mengusap-usap dada. Terlihat nada gemetar di tangan dan bibirnya.

Matanya juga terlihat berkaca-kaca.

Tsunami telah menyebabkan Hamiyah kehilangan keluarga dan rumah. Bencana tsunami yang menghancurkan kampungnya, menyebabkan empat anak, lima cucu, dan tiga menantunya meninggal. Hamiyah sendiri sempat terseret arus.

"Jari kelingking saya putus," ia menunjuk tangan kirinya, yang tanpa kelingking.

Bagi Hamiyah, simulasi yang digelar ini tidak terlalu berguna. "Lihat anak-anak itu, mereka berlari-lari sambil ketawa-ketawa," ujar warga Desa Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, itu. "Mereka ria."

Hamiyah mengaku, jika bencana kembali datang, ia akan lari menyelamatkan diri ke masjid. "Tapi, kalau ada bencana, kapan kita mau lari. Dulu setelah gempa, kami melihat air laut kering. Tapi tidak ada yang suruh lari, karena tidak ada yang kasih tahu," kata Hamiyah yang mengaku tinggal bersama dua anaknya yang selamat dari humbalang tsunami tersebut.

***

Pukul 08.00 WIB. Satu ledakan keras terdengar dari arah laut. Berselang beberapa detik kemudian, ledakan keras kembali terdengar. Dari pengeras suara masjid, seorang lelaki mengabarkan bahwa telah terjadi gempa besar. Warga diminta tidak panik.

"Mari sama-sama kita berdoa dan berzikir kepada Allah. Masyarakat diharap tenang, jangan panik," suara dari pengeras suara masjid.

Peringatan itu disuarakan berulang kali. Puluhan perempuan dan lelaki -- yang membawa anak-anak balita-- berkumpul di pekarangan masjid. Sebelumnya, mereka sedang berkumpul di dalam masjid.

Sepuluh menit kemudian, raungan sirine memecahkan kesunyian. Warga diminta untuk menyelamatkan diri ke gedung penyelamatan yang berjarak sekitar 300 meter dari masjid. Lokasi penyelamatan berada di atas atap gedung Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana.

Dari arah laut, puluhan warga juga berlarian. Mereka berteriak tsunami. Kepanikan jelas diperlihatkan oleh peserta simulasi.

Kepanikan bertambah, saat ambulans membunyikan sirenenya. Petugas medis dengan sigap mengevakuasi beberapa orang yang mengalami luka akibat gempa. Mobil polisi juga siaga. Mereka mengangkut warga ke gedung penyelamatan.

Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman, mengatakan, simulasi ini bertujuan untuk menguji kesiapan sistem dan kesiagaan bencana. “Skenarionya sudah berjalan,” katanya di Banda Aceh, Rabu (14/10).

Ini kali kedua simulasi tsunami dibuat di Aceh, setelah pada 2 November 2008. Pada simulasi kali ini, Kusmayanto magatakan, kesiapan system evakuasi bencana di Indonesia, khususnya Aceh mengalami kemajuan, dibanding sebelumnya. “Setelah kita uji coba, sistemnya jalan semua, komunikasi juga lancar,” ujarnya.

Wakil Gubernur Muhammad Nazar menambahkan, simulasi kali ini berjalan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP). “Hanya beberapa komunikasi radio yang kurang berjalan saat kita coba dan ini akan kita perbaiki,” tuturnya.

***

Bagi Bakhtiar, warga Desa Gampong Pie, Kecamatan Meuraxa, simulasi tsunami yang digelar pemerintah ini sangat berguna. "Ini bisa membuat kita belajar dan mengetahui cara menyelamatkan diri saat ada bencana dan tsunami," kata Bakhtiar, saat ditemui di atas gedung penyelamatan tsunami. Saat mengikuti simulasi, Bakhtiar memboyong anak perempuannya.

Saat tsunami 2004 silam, Bakhtiar sedang berjualan di pasar, di Kota Banda Aceh. Sementara istri dan anaknya berada di rumah. Beruntung, tidak ada keluarga intinya yang menjadi korban dalam gelombang gergasi tersebut.

"Waktu bunyi sirene tadi, saya langsung teringat anak saya ini," kata Bakhtiar. "Saya lalu mengambilnya dan langsung bersama warga berlari ke sini."

Lain lagi pendapat Sri Mulyani. Warga Desa Ulee Lheue ini menilai simulasi yang digelar ini tak banyak berguna. "Kalau ada tsunami, secara spontan saya akan berlari mencari tempat tinggi. Tidak mesti saya harus berlari ke gedung penyelamatan. Saya akan mengikuti naluri saya," kata perempuan 39 tahun ini.

Mulyani mengaku sempat terseret arus tsunami. Anaknya yang berusia lima tahun terlepas dari genggaman suaminya. Sampai kini, anaknya itu tak ditemukan. Mulyani selamat setelah berhasil mencapai lantai dua Rumah Sakit Umum Meuraxa, yang juga rusak parah.

"Kita tidak mau tsunami terulang lagi. Cukup membuat saya trauma," kata Mulyani. []

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting