Sabtu, Agustus 29, 2009

Reuni Kapten dan Penyerang

Oleh Fakhrurradzie Gade & Jamaluddin

Hasan Tiro mahir menggiring si kulit bundar. Tendangannya kerap membobol gawang lawan.

“I can’t speak English,” kata Azhari saat Hasan Muhammad di Tiro menanyakan namanya.

Pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu lantas bertanya dalam bahasa Arab. “Man ismuka?”

“Ismi Azhari,” jawabnya.

“Azhari...?” Raut wajah Hasan Tiro berubah. Ia terlihat menebar senyum. Azhari lalu dipersilakan duduk di sisi kirinya. Keduanya lantas melepaskan kerinduan yang sudah lama terpendam. Azhari berkali-kali meraba tangan kiri Hasan Tiro, mencubit kecil tangan kerutnya yang sudah renta.

“Kita sudah tua,” katanya, masih dalam bahasa Arab. Hasan Tiro mengangguk.

Azhari dan Hasan Tiro berteman sejak kecil. Dulu, mereka satu sekolah di Madrasah Diniyah Islamiyah Blang Paseh, Sigli. Hasan Tiro merupakan adik kelas Azhari. Tapi, “dia terlalu pandai,” kenang pria berusia 85 tahun itu. “Dia sering loncat kelas, sehingga saya tertinggal di belakang.”

Tak mengherankan, Hasan Tiro dengan mudah bisa merampungkan pendidikan di sekolah yang diasuh Teungku Muhammad Daud Beureu-eh itu. Dia lantas bersekolah di Al Muslim Peusangan, Matang Geulumpang Dua, Bireuen. Sejak menamatkan sekolah di Blang Paseh, kedua sahabat karib itu tak pernah lagi bertemu.

Tapi, jarak yang memisahkan keduanya tak lantas membuat mereka saling melupakan. Azhari selalu mengikuti perkembangan Hasan Tiro melalui surat kabar. Begitu pula, saat kabar Hasan Tiro pulang kampung, 11 Oktober silam. “Saya selalu berdoa agar Allah memanjangkan umur saya dan bisa bertemu Hasan Tiro,” kata Azhari.

Doa itu dilafalkannya setiap usai menunaikan salat lima waktu. Doa itu pula yang disampaikan Azhari saat bersua dengan Hasan Tiro, di rumah adiknya di Dusun Tanjong Bungong, Desa Mali Cot, Kecamatan Sakti, Pidie, 14 Oktober silam.

“Sekarang, doa saya terkabulkan. Kita telah bertemu sekarang,” kata Azhari. Hasan Tiro hanya mengangguk. Keduanya terdiam. Tak berapa lama, reuni dua sahabat itu berakhir karena Hasan Tiro harus bersantap makan siang.

***

PERTEMUAN lima belas menit itu sangat berarti bagi Azhari. Ini merupakan pertemuan yang dinanti semasa hayatnya. Begitu koran-koran mengabarkan Hasan Tiro yang di kalangan aktifis GAM dikenal sebagai wali nanggroe akan pulang ke Aceh, Azhari telah mempersiapkan diri. Kabar itu ditulisnya di secarik kertas dan ditempel di pintu rumah, dekat ranjangnya. Saban hari, dia membaca kabar itu, menanti hari kepulangan Hasan Tiro tiba.

Ahad, 12 Oktober, sehari setelah Hasan Tiro menjejakkan kakinya kembali di Aceh, Azhari bersiap diri. Pagi-pagi sekali, saat matahari masih belia, dia telah datang di rumah Siti Aisyah, adik tiri Hasan Tiro. Pagi itu, Azhari mengenakan jas tua, yang dibelinya bersama Hasan Tiro dulu.

Jas hitam itu lusuh sudah. Warnanya telah pudar. Lama sekali jas itu disimpan di lemarinya. “Saya tidak pernah memakainya lagi,” kata Azhari.

Pagi itu, jas tua sengaja dipakainya, dipadu kemeja tua berwarna merah. “Saya pakai jas, biar sama dengan Hasan Tiro. Apalagi saya lihat dia memakai dasi merah. Saya pikir itu warna bajunya,” kata Azhari, tersenyum memperlihatkan gusi yang tak bergigi.

Namun, penantian itu tak membuahkan hasil. Hasan Tiro yang ditunggui, tak kunjung datang. Jelang siang, dengan sepeda mininya, dia kembali ke rumah. Jas yang dipakainya, dilipat dan kembali disimpan di lemari.

Besoknya, Azhari kembali mendatangi rumah Aisyah, yang berjarak sekitar 400 meter dari rumahnya. Azhari lagi-lagi harus memendam kecewa. Hasan Tiro yang ditungguinya tak jua datang. Sialnya, ban sepeda bututnya bocor saat pulang dari rumah adik Hasan Tiro. Baru pada Rabu, penantian itu membuahkan hasil. Itu pun, setelah bersusah payah menunggu sejak pagi.

Hampir saja Azhari tak bisa bertemu dengan teman sekaligus idolanya. Pasalnya, pengawalan Hasan Tiro sangat ketat. Azhari yang semula hanya mau bersalaman saja, tidak bisa. Hasan Tiro keburu digiring ke rumah sang adik.

“Saya didorong-dorong tidak boleh bertemu. Padahal saya hanya ingin salaman saja,” kata dia.

Untung saja, beberapa pengawal Hasan Tiro dikabari bahwa Azhari merupakan teman sepermainan bos mereka sewaktu kecil. Tak berapa lama, Azhari pun digiring ke dalam rumah dan dipertemukan dengan Hasan Tiro.

“Saya senang bisa bertemu Tengku Hasan Tiro. Sudah lama sekali kami tidak berjumpa,” kata Azhari pada ACEHKINI usai melepas kerinduannya.

Rindu Azhari benar-benar tertunaikan, meski ia harus rela sandal kesayangannya raib entah kemana. Memang, usai bertemu teman masa kecilnya itu, dia harus rela sandal Mirado coklat miliknya hilang. “Tapi tidak apa-apa, saya senang bisa bertemu teman saya,” ujarnya.

Azhari lega. Usai duduk bersanding dengan Hasan Tiro, dengan sepeda bututnya, Azhari kembali ke rumah. Kemeja hitam bermotif bunga dilepasnya. Dia langsung merebahkan diri di peraduan. “Saya senang sekali. Makanya, begitu pulang saya langsung tidur,” ujarnya. “Njoe teungeut-teungeut ka mangat.”

***

AZHARI ingat betul masa kecilnya bersama Hasan Tiro. Di mata Azhari, Hasan Tiro kecil, sosok yang cerdas. Saat bersekolah di Blang Paseh dulu, Hasan Tiro sangat menyukai pelajaran berhitung dan mengaji. Tak mengherankan jika kemudian Teungku Daud Beureu-eh, pejuang Darul Islam, merekomendasikan Hasan Tiro melanjutkan pendidikan di Al Muslim Bireuen. Usai di Al Muslim, Hasan Tiro mengambil jurusan Hukum Internasional di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Menurut Azhari, saat masih di Blang Paseh, Hasan Tiro nyambi sebagai tenaga pengajar di balai pengajian yang didirikan ayahnya, Muhammad di Tiro, di Tanjong Bungong. Di balai itu, Hasan Tiro berduet dengan Azhari mengajar anak-anak sekampungnya belajar ilmu agama dan umum. Balai pengajian itu kemudian jadi cikal-bakal lahirnya Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Tanjong Bungong, Desa Mali Cot. “Di sana, saya dan Hasan Tiro mengajar, ganti-gantian. Ada dua guru lagi, tapi saya tidak ingat lagi nama mereka,” kata Azhari.

Tak hanya pandai di bangku sekolah, Hasan Tiro kecil juga menjadi bintang di lapangan hijau. Dia pandai mengolah si kulit bundar. Azhari bilang, hampir saban hari usai sekolah atau mengaji, mereka menjejal kemampuan sepak bola. Tapi jangan membayangkan si kulit bundar yang mereka mainkan itu terbuat dari bahan kulit atau plastik. “Kami main bola boh giri,” kenang Azhari.

Boh giri adalah jeruk bali. Saban hendak main bola, Hasan Tiro memetik jeruk bali di kebun neneknya. Tak jarang, Hasan Tiro harus main kucing-kucingan dengan sang nenek. “Dia dilarang main bola, karena tidak baik kata neneknya,” ujar Azhari.

Karena Hasan Tiro sangat kepingin main bola, larangan itu tak dihiraukan. Dia rela saat harus “mencuri” jeruk bali di kebun neneknya untuk bisa menggiring si bundar di lapangan hijau. Azhari dan Hasan Tiro selalu berduet. Hasan Tiro sering bertindak sebagai penyerang kanan. Sedangkan Azhari di posisi kapten.

“Kalau bola sudah di kaki Hasan Tiro, pasti masuk. Tendangannya keras sekali,” kenang Azhari.

Mereka kerap memenangkan permainan. Bahkan, saat berlaga di kampung tetangga, duet Hasan Tiro-Azhari selalu membuat kesebelasan Tanjong Bungong keluar sebagai pemenang. Tarkam alias permainan sepak bola antarkampung menjadi favorit mereka. Jika sudah berlaga di arena tarkam, Tanjong Bungong selalu unggul. Azhari masih ingat saat mereka mengalahkan kesebelasan Titeue, Beureunuen, dan Lamlo. Dalam ajang tarkam itu, Hasan Tiro selalu berhasil menjaring boh giri ke jaring lawan.

Tentu, reuni singkat antara kapten dan penyerang itu tak hendak menjejal lagi kemampuan mengolah si kulit bundar. Keduanya, kini telah renta dimakan usia. [a]

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting