Minggu, April 10, 2005

Kapal Diraja Rencong

Membaca Kompas edisi Minggu (10/4), saya jadi senyam-senyum sendiri. Di headlines yang berjudul KRI Tedong Naga Serempetan dengan Kapal Perang Malaysia, saya mendapati betapa Kompas memakai pendekatan nasionalisme dalam menulis beritanya.

Simak saja kutipan berita berikut ini:

“Karena berkali-kali melakukan manuver yang membahayakan pembangunan mercusuar di perairan Karang Unarang, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, akhirnya Kapal Diraja Rencong milik Malaysia "diserempet" Kapal Republik Indonesia Tedong Naga, Jumat (8/4) pagi sekitar pukul 06.15 hingga pukul 07.30 WITA. Dalam tiga kali serempetan tersebut, Kapal Diraja Rencong, yang umurnya sudah tua dan berkarat di beberapa bagian, rusak di bagian lambung sebelah kanan, sedangkan KRI Tedong Naga hanya lecet, tak sampai satu meter di bagian lambung sebelah kiri.”

Tapi, bukan itu yang membuat saya tertarik untuk mengomentari kejadian ini. Saya terheran-heran ketika membaca nama kapal perang Malaysia. Kapal Diraja Rencong nama kapal itu. Rencong, itu sebuah kosakata yang hanya dimiliki oleh Aceh. Itu merupakan senjata khas Aceh dalam melawan Belanda, Portugis dulu.

Untuk sedikit mengetahui sejarah rencong, saya kembali mengutip tulisan lama yang pernah saya tulis di majalah Latitudes Bali, Maret 2004 silam. Tulisan ini saya ambil dari beberapa sumber.

“The history of the rencong is inseparable from the story of the struggle of the people of Aceh against foreign occupation. As a kingdom of great military power in the Malay world from the 16th through the 19th centuries, Aceh produced and consumed great quantities of weapons, including all sorts of swords and daggers and knives, used for ceremonial and everyday purposes as well as war. But the rencong occupies a unique position as a weapon that came to symbolize Aceh to the outside world, as expressed in one of Acehs epithets: Tanah Rencong (land of the rencong).

The origin of the rencong is most popularly attributed to Sultan Alaiddin Riayatyah Al-Kahhar (1528-1568) whose father, Sultan Ali Mughayat Sjah (1511-1530) was the founder of Aceh Darussalamthe Islamic kingdom that successfully kept the Portuguese from conquering Aceh, and maintained control of the spice trade in the Malacca Straits for the next century, until the advent of Dutch and British efforts to dominate the region.[1]

Al-Kahhar engaged in frequent battles to repel and attack the Portuguese at sea. It is told that in one of these fights, in the cramped space of the deck of a ship, the sultans men experienced difficulty using the siwaha dagger like the rencong in many respects, except for its short and straight-up handle, which became very slippery once it got smeared in blood, and too easily slipped from the hand. After that battle, the sultan called upon his blacksmiths to design a better weapon. The result was the rencong, an adaptation of the siwah that not only gave fighters a much firmer grip but also imbued them with the power of Allah, thanks to its innovative design.

The new dagger had a longer hilt, curved into the shape of ba the second letter of the Arabic alphabet. The decoration at the base of the hilt took the form of the letter sin. The blade was shaped like mim and the metal parts at the top of the blade, like lam, while the base of the scabbard was notched into the form of the letter ha. Together, they spelled out Bismillah (In the name of Allah, the Merciful and the Compassionate)the prayer recited at the beginning of each section of the Koran and uttered before an undertaking. Engraved with this invocation, a rencong inspired those who wielded it to remember God in their actions.

As a close-range weapon, the rencong proved particularly effective. As described by D.F. Draeger in Weapons and Fighting Arts of the Indonesian Archipelago (1972:151):

Its peculiar shape seems to fit well with the air of magic and mystery connected to it. Each blade has distinct markings, Arabic characters that tell of mystic power. The rentjong is employed according to its length, which varies from five to twenty inches. The shorter lengths are highly favoured because they can be easily concealed. The rentjong is worn sheathed at the lefthand side of the bearer. It is usually drawn with the left foot forward so that by a quick short step forward with the right foot, the thrust of the knife receives added impetus. The blade is withdrawn from its sheath, cutting edge toward the enemy. It is then whipped to the right by a snap of the hand, which brings the palm upward; the elbow is held fairly close to the body. The thrust is made by extending the right arm almost to full extension and turning the palm downward just prior to penetration of the target."

Popularitas rencong di Aceh, mengalami pasang surut. Saya terakhir melihat rencong keluarga, ketika berumur 10 tahun. Saat itu, saya sering melihat ayah menyimpan rencong kecil yang terbuat dari besi putih, di balik bantal tidurnya. Di rencong kecil itu, saya melihat goresan tulisan Bismillah dan ayat Al-Qur’an lainnya.

Lambat laun, ketika saya menempuh pendidikan menengah (1992), saya tidak lagi mendapati rencong ayah saya. Entah ke mana. “Hilangnya” benda pusaka itu, seiring dengan sering masuknya militer ke kampung saya. Saat itu pun, saya tidak lagi berada di kampung, karena harus sekolah.

Praktis, sebenarnya sejak pemberlakuan daerah operasi militer (DOM) pada tahun 1989, senjata tajam menjadi haram di Aceh. Saya masih teringat ketika saya bermain dengan kawan-kawan di sungai (pante krueng). Setiap hari pekan, saya selalu menyempatkan ke pasar kaget dan membeli sebilah pisau ukuran kecil. Ke mana pun saya pergi saya bawa.

Saya hanya ikut-ikutan seperti itu. Pasalnya, setiap saya melihat orang tua di Aceh, selalu menyelipkan sebilah pisau (dulu sebenarnya rencong) di pinggangnya. Bukan untuk berperang atau mencelakakan orang, sebenarnya. Penyelipan pisau di pinggang orang Aceh, dimaksudkan, (1) menjaga diri, (2) memotong ranting, karena jalan di Aceh banyak yang belum tersentuh pembangunan saat itu, (3) mengupas pinang untuk dimakan dengan sirih, (4) memotong kuku setiap hari Jum’at, (5) mengupas buah-buahan yang akan dimakan.

Itu sederet maksud orang tua di Aceh membawa serta pisau, ke mana pun mereka beranjak. DOM dan konflik yang berkepanjangan, menyebabkan kebiasaan itu semua, tidak bisa dijumpai lagi.

Saya teringat sebuah foto di Harian Serambi Indonesia. Seorang pedagang rencong terpaksa harus mengalami interogasi panjang, ketika aparat Brimob yang sedang sweeping di Lambaro, Aceh Besar, mendapati pria ini membawa beberapa bilah rencong di dalam tasnya. Padahal, tujuan si bapak ini, untuk menjual di Pasar Aceh. Kejadian ini berlangsung pada awal tahun 2004, saat Aceh masih berstatus darurat.

Begitulah, dinamika yang ada di Aceh, Tanah Rencong. Kendati bernama Tanah Rencong, Anda tidak akan sebebasnya membawa serta rencong di pinggang Anda, jika ingin bepergian. Kalau ketahuan dalam razia militer, siap-siap saja bagi pembawa rencong, untuk berlama-lama diinterogasi.

Tidak seperti di Jawa dan Jogjakarta yang bebas membawa keris atau senjata tradisional lainnya. Itulah keisitimewaan Aceh.

Makanya, ketika mendapati kapal perang Malaysia dinamai Rencong, saya jadi terharu. Memang, secara historis, Aceh dan Malaysia mempunyai ikatan emosional yang tinggi. Serasa lebih bersaudara dengan mereka. Aceh dan Malaysia mempunyai kesamaan yang banyak. Di sana ada namanya Kampung Aceh, tempatnya orang Aceh bermukim. Di Aceh, ada yang namanya Keudah, tapi bukan tempat orang Malaysia bermukim. Tapi, di Malaysia, ada juga yang namanya Negeri Keudah.

Jika orang Aceh mempunyai masalah di kampung, mereka akan memilih bepergian ke Malaysia. Kampung saya nyaris kosong dari anak muda seumuran, karena mereka memilih pergi ke Malaysia.

Putroe Phang (Puteri Pahang), permaisuri Sultan Iskandar Muda, mungkin menjadi perekat dua bangsa yang dipisahkan Selat Malaka ini. [r]

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting