Senin, April 11, 2005

Abdullah Puteh Diganjar 10 Tahun Penjara

Penulis: Radzie & Agus R

Bahan: Agus Rakasiwi dan Tuahta Arif

Jakarta, Acehkita. Gubernur Aceh non-aktif Abdullah Puteh, yang menjadi terdakwa kasus pembelian helikopter Mi-2 Rostov buatan Rusia, dijatuhi hukuman 10 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dalam persidangan Senin (11/4). Putusan yang diambil kendati Puteh tidak hadir dalam persidangan ini dua tahun lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Selain hukuman 10 tahun penjara, Puteh juga diharuskan membayar denda Rp 500 juta dan hukuman subsider enam bulan penjara.

Menurut majelis hakim yang terdiri dari Kresna Menon (Ketua), Dudu Duswara, Ahmad Linoh, I Made Hendra Kusuma dan Gus Rizal (hakim anggota), Abdullah Puteh secara sah dan meyakinkan telah bersalah sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 13,875 miliar. Puteh juga bersalah karena telah melakukan penunjukan langsung perusahaan pengadaan heli tanpa tender. Atas tindakan ini, Puteh telah melanggar Keputusan Presiden No 18 tahun 2000.

Dalam Keppres itu, Penunjukan Langsung bisa dilakukan jika untuk pengdaaan barang dengan harga di atas Rp 50 miliar. Itu pun, yang melakukan pengadaan barang adalah kepala kantor atau pihak setara yang ditunjuk, bukan gubernur atau kepala daerah.

Selain bersalah karena melakukan PL, mantan ketua KNPI itu juga diputuskan bersalah karena memindahkan dana dari APBD ke rekening pribadi senilai Rp 7,75 miliar. Atas tindakan ini, Puteh telah melanggar Peraturan Pemerintah No 105 tahun 2000 mengenai pengelolaan keuangan daerah. Majelis hakim menilai, tindakan ini adalah untuk memperkaya diri.

Dalam persidangan yang tidak dihadiri terdakwa itu, majelis hakim juga memutuskan, alasan pengadaan heli dalam kondisi darurat dan mendesak, tidak terpenuhi. Pasalnya, kata majelis hakim, pengadaan heli berlangsung lama dari tanggal 25 Agustus 2001 hingga 23 Februari 2004. Alasan lainnya, mendesak tidaknya sesuatu hal dalam penyelenggaraan pemerintahan, harus ditentukan oleh pemerintah pusat, bukan oleh pemerintah daerah. Di sisi lain, tidak terpenuhinya unsur mendesak dalam kasus ini, karena DPRD Aceh sendiri menunda-nunda pemberina izin prinsip pengadaan heli ini.

Di persidangan ini juga terungkap, bahwa Abdullah Puteh telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 13,875 miliar. Pasalnya, dari bukti-bukti yang dihadirkan ke pengadilan, dana yang diterima perusahaan Putra Pobiagan Mandiri (PPM) sebesar Rp 10,875 miliar. Namun, berdasarkan bukti transfer bank dari PPM ke perusahaan penyedia heli di Rusia, terungkap PPM hanya mentransfer Rp 6,4 miliar. Akibatnya, masih tersisa dana sebesar Rp 3,6875 miliar pada PT PPM.

Walkout
Para pengacar Abdullah Puteh yang terdiri dari Mohammad Assegaf, Juan Felix Tampubolon, dan OC Kaligis sedari awal menolak segala keputusan majelis hakim. Saat sidang dimulai, para pengacara mengatakan, persidangan dengan agenda pembacaan vonis tidak bisa dilanjutkan karena terdakwa Abdullah Puteh tidak bisa menghadiri persidangan karena alasan sakit. Karena itu, para pengacara mengatakan tidak akan menerima apa pun keputusan yang diambil majelis hakim.

Juan Felix Tampubolon kepada majelis hakim mengatakan, hasil persidangan ini tidak bisa diterima karena hakim tidak bisa menanyakan hak-hak terdakwa, apakah menerima, menolak atau mengajukan banding, keputusan yang diambil majelis hakim. Atas dasar ini pula, para pengacara melakukan aksi walkout atau tidak menghadiri persidangan.

Ketidakhadiran Abdullah Puteh ke persidangan, disebut-sebut karena masih dalam perawatan dokter di Rumah Sakit MH Thamrin di Salemba. Ketika reporter acehkita datang ke RS MH Thamrin, Senin siang, pihak security melarang reporter situs ini untuk menemui Abdullah Puteh. Alasannya, pihak kepolisian melarang siapa pun yang hendak menemui Abdullah Puteh menjelang putusan pengadilan.

Dissenting opinion
Dalam memutuskan persidangan ini, ada dua anggota majelis hakim yang berbeda pendapat mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menyidik perkara ini.

Hakim Gus Rizal dan Kresna Menon menyatakan, KPK tidak berwenang memangani perkara pembelian heli oleh Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Pasalnya, kasus pembelian heli ini sudah berlangsung sebelum KPK terbentuk.

Sementara tiga anggota majelis hakim mengatakan, KPK berwenang mengusut kasus ini, karena penyidikan oleh KPK sudah dimulai sejak 28 Juni 2004.

Dalam persidangan uji materil UU KPK di MK pada Selasa (15/2) silam, sembilan hakim konstitusi yang diketuai Prof. Jimly Asshiddiqie, sepakat bahwa pasal 68 UU KPK tidak memiliki asas retroaktif (berlaku surut).

Tolak vonis hakim
Gubernur Aceh non-aktif Abdullah Puteh melalui kuasa hukumnya menolak putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menjatuhkan vonis 10 tahun penjara, berikut denda 500 juta dan subsider enam bulan kurungan.

Mohammad Assegaf, salah seorang anggota tim kuasa hukum Abdullah Puteh, mengataan putusan majelis tidak memperhatikan penjelasan Puteh yang telah mempertanggungjawabkan pembelian heli kepada DPRD Aceh.

Pertanggungjawaban itu, menurut Assegaf, menandakan tidak adanya pelanggaran dalam pengelolaan keuangan daerah. “Kami menolak dan melanjutkan banding,” kata Assegaf ketika dihubungi acehkita via telepon selulernya, Senin (11/4).

Pada hari-hari persidangan, Puteh berulang kali membantah telah mempergunakan uang APBD tanpa sepengetahuan DPRD. Menurutnya, pemerintah daerah telah mengajukan dua kali izin prinsip pembelian heli pada 20 Oktober. Namyun karena kesibukan anggota dewan maka diajukan kembali pada 26 Desember 2001.

Namun begitu, paparan pertimbangan majelis hakim pada kasus pengadaan heli MI-2 PLC Rostov Rusia tidak semata-mata pertanggungjawaban kepada DPRD. Majelis menilai Puteh telah salah menggunakan fungsi jabatannya sebagai kepala daerah, terutama pada masalah pengelolaan keuangan daerah yang efektif dan efisien.

Hakim menilai pula, pengadaan heli itu bukan sesuatu yang mendesak sebagaimana yang didengungkan Puteh dan kuasa hukumnya. Majelis mengungkapkan, keterdesakan yang dimaksud Puteh tidak sesuai dengan kenyataan di mana pengadaan heli berlangsung lama dari tahun 2001 hingga 2004. Ditambah lagi heli yang dibeli saat ini tidak bisa dipakai dan tidak bermanfaat apapun.

Abdullah Puteh memiliki waktu mengajukan banding ini selama 14 hari setelah majelis hakim menjatuhkan vonis. Selama kurun waktu itu pihak pemohon sudah harus menyerahkan memori bandingnya ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Sambut baik
Sementara itu, Solidaritas Masyarakat Antikorupsi (Samak) menyambut baik keputusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang memvonis Puteh 10 tahun penjara. Samak juga menyampaikan rasa terimakasih kepada majelis hakim yang telah berani mengambil keputusan ini. “Memang tidak sebanding dengan kerugian negara sebesar Rp 13,875 miliar akibat perbuatan Puteh. Namun, keberanian hakim yang memberikan vonis melebihi tuntutan jaksa, sebuah keputusan berani yang perlu kita puji,” tulis J Kamal Farza, Koordinator Samak dalam rilis yang diterima acehkita.

Samak menilai, dengan putusan ini memberikan secercah harapan bagi aktivis antikorupsi dan masyarakat Aceh yang dirundung kasus korupsi. “Ada secercah harapan bagi masyarakat Aceh yang kehidupannya teraniaya oleh kejahatan korupsi. Hari-hari ke depan akan semakin cerah, dengan adanya hakim yang memiliki komitmen tinggi, yang bisa merasakan tingkat penderitaan dan keprihatinan rakyat,” lanjut Kamal.

Selanjutnya, Samak menghimbau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar tidak berhenti menyidik kasus korupsi di Aceh. “Salah satu kasus yang harus ditindaklanjuti adalah kejahatan korupsi ketika Aceh dalam status darurat militer dan sipil,” terang Kamal. [dzie]

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting