Rabu, Juli 28, 2004

Hari Benci Anak?

Kemarin, Selasa (27/7), saya meliput di kantor Gubernur Aceh. Paginya, saya datang. Ternyata ada peringatan Hari Keluarga Nasional. Saya dan beberapa wartawan lainnya, terlambat datang. Abdullah Puteh, sedang membacakan amanat peringatan itu. Hampir semua pegawai negeri sipil di jajaran Pemda Aceh, datang. Halaman depan kantor gubernur, dipenuhi PNS. Juga dari ibu-ibu PKK. Di barisan depan, peserta upacara, terlihat rapi. Di belakang, pegawai itu, banyak yang duduk-duduk. Ibu-ibu PKK, juga banyak yang duduk, sambil mengobrol.
“Wah, gubernur lagi pidato, bawahannya, gak ada yang peduli,” kata saya kepada Yuswardi. Dia hanya mengangguk.
Saya tidak terlalu dengar pesan Gubernur Puteh. Karena, saya datang bukan untuk liputan Hari Keluarga Nasional itu. Saya dan kawan wartawan lainnya, datang untuk meminta keterangan Puteh, soal penolakan gugatan praperadilan dirinya terhadap KPK. Jadi, saya tidak terlalu dengar apa yang diomongkan Puteh.
Usai pidato, wawancara Puteh. Dia bicara lancar, soal Hari Keluarga Nasional. Pas giliran pertanyaan ke soal Puteh, ia enggan menjawabnya.
Banyak wartawan yang kecewa karena Puteh tidak mau “umbar” pernyataan. Padahal, ia dikenal sangat suka bicara kepada wartawan. Wartawan memutuskan untuk menunggu di depan kantor megah itu. Hampir satu jam menunggu, tak juga Puteh kunjung tiba turun lagi. Sebagian pulang. Lama-lama, tak terlihat lagi wartawan di sana. Saya pun, memutuskan pulang.
Kembali ke acara peringatan Hari Keluarga. Usai acara, para ibu-ibu PKK yang dikomandoi Marlidan Abdullah Puteh, naik becak hias keliling kota Banda Aceh. Semua ibu-ibu PKK ikut serta. Becak dihiasi dengan umbul-umbul. Pokoknya meriah. Ada tulisan ini dan itu.
“Banyak anak, banyak masalah.” Begitu bunyi salah satu “spanduk” kecil di becak mesin. Terbuat dari kain warna biru. Tulisannya, merah.
Tak berapa lama, datang becak lainnya.
“Sedikit anak, sedikit masalah.” Kompak!
Saya tercengung melihat dua spanduk itu. Saya mengurut dada.
Saya teringat, semasa Sekolah Dasar dulu, saya direcoki dengan kata-kata: “Banyak anak, banyak rezeki”. Ironis, pikir saya.
Saya langsung teringat. Ini adalah program keluarga berencana, untuk mengurangi populasi penduduk Indonesia yang sudah mencapai 120 juta lebih itu.
Lalu, kenapa mesti memusuhi anak-anak, dengan membatasi kelahiran? Bukankah anak-akan itu tidak minta dilahirkan? Apa salah mereka? Orang tua kan yang sangat ngebet cetak anak, siang dan malam. Kalau tidak dapat jatah, malah jajan. Nah giliran dapat anak, e malah susah.
Ini, saya pikir, sudah tidak sehat lagi persaingan untuk hidup di dunia. Masa orang tua-tua masih bias hidup. Untuk melanggengkannya, menyebarkan provokasi banyak anak banyak masalah itu.
“Kalau memang tidak bisa bersaing, jangan hidup lagi. Mati saja. Kan sudah lama, tinggal di dunia,” begitu kata-kata tidak senang yang akan dikeluarkan anak-anak.
Kenapa sih membatasi kehidupan? Tua muda, anak-anak, kan sama saja. Punya hak untuk hidup. Ingat, yang tua itu bersumber dari anak-anak. Jangan sok dan angkuh deh. Nanti kalau sudah tua bangka, yang ngasuh itu yang muda-muda dan anak-anak.
Anak-anak jendela mata telinga para malaikat. Kesayangan. Jangan dibenci. Pesan, saya. Juga pesan lainnya.
Ini, bagi saya, adalah Hari Kebencian Anak.
Sedih dan ironis!
radzie

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting