Senin, Juli 26, 2004

Taman Ratu Safiatuddin

Tadi siang, Senin (26/7), saya mangkal di kantor Gubernur Aceh. Mengejar perkembangan Abdullah Puteh, yang kembali masuk kerja. Tak ada Puteh, kebetulan hari itu di kantor. Saya dan Yuswardi dari TEMPO NEWS ROOM, kemudian sepakat meminta keterangan dari Sekretaris Daerah, Tanthawi Ishak. Saat itu dia sedang mimpin rapat panitia HUT RI ke-59.
Lama menunggu. Hampir satu jam. Tak sabar, Yuswardi mengajak melihat-lihat pembangunan arena Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) IV, yang berada di belakang kantor gubernur yang megah itu. Baru hari itu, saya pergi ke sana.
Saya melihat (dengan terkagum) beberapa rumah adat Aceh, dari beberapa kabupaten.
"Itu Rumah Adat Gayo," tunjuk Yuswardi.
Baru ini, saya melihat langsung rumah adat Gayo. Saya tidak tahu, apakah benar itu rumah adat Gayo. Karena, saya belum pernah lihat. Apalagi, seumur ini, baru sekali ke Tanah Gayo, semasa SMA. Itu pun, saya tidak menemukan pemandangan rumah adat masyarakat Gayo. Kebetulan, saya pergi ke  komunitas suku Aceh yang hidup di Gayo. Wajar!
Di sampingnya, saya menduga berdiri rumah adat dari kabupaten Aceh Tenggara.
"Seperti rumah adat suku di Kalimantan," kata saya kepada Yuswardi.
Lalu, Yuswardi bilang lagi sama saya, kalau di Indonesia ada Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Nah, katanya, ini juga menjadi Taman Mini Aceh. "Ala Marlinda," katanya.
Marlinda yang dimaksud adalah Marlinda Abdullah Puteh, isteri Gubernur Abdullah Puteh. Memang, ide ini datang dari Marlinda. Pun begitu, ide ini, menurut saya, perlu diberi apresiasi.
Tapi, ada tapinya.. Akibat pembuatan Taman Mini Aceh yang menyediakan semua miniatur Aceh yang ada di 21 Kabupaten/Kota, ada sebagian masyarakat yang bermukim di sekitar itu, yang terkena gusur. Memang ada ganti rugi. Semoga sesuai!
Tapi, ada lagi. Saya bertemu dengan salah seorang loper koran yang membuka kios di Jalan Teungku Daud Beureu-eh. Beberapa hari lalu, dia digusur, bersama puluhan pemilik kios lainnya. Alasannya, demi keindahan kota dan untuk menyambut PKA. Dia dan beberapa pemilik kios lainnya, memang berjualan di seputar jalan yang menuju PKA.
"Saya tidak bisa jualan," kata Bang Har, tempat saya sering berlangganan koran dan majalah.
"Kenapa?" tanya saya.
"Ya, dilarang. Katanya untuk keindahan kota dan PKA," sebutnya, lesu.
"Saya banyak merugi," katanya kemudian.
Wah, pikir saya. Jika hanya untuk keindahan kota dan PKA harus ada anak negeri yang merugi, buat apa sih kota itu indah-indah amat. Ya, rakyatnya dikejar-kejar dan miskin.
Akhirnya, saya menghentikan kekaguman saya terhadap Taman Mini Aceh yang dinamai dengan Taman Ratu Safiatuddin. Padalah, Ratu Safiatuddin adalah salah satu ratu, yang memimpin Aceh pada masa Kerajaan Aceh Darussalam. Ia, isteri Raja Iskandar Thani. Safiatuddin, merupakan anak Sultan Iskandar Muda. Di masa Safiatuddin, Aceh masih jaya-jayanya. Puncaknya, ya semasa Iskandar Muda. Safiatuddin, sangat mencintai rakyat. Kalau sang ratu masih hidup, ia akan merasa bersedih, rakyatnya melarat, hanya demi sebuah pelestarian namanya.
"Buat apa nama saya lestari. Kalau rakyat rugi, dibuatnya," mungkin ia akan berkata demikian.
Entahlah. Itulah Aceh.

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting